Takwil Kalimat "ALLAH"
Sabtu, 12 Mei 2018
Add Comment
[القول في تأويل اللَّهِ]
Allah adalah 'alam (nama) yang ditujukan kepada Tuhan Yang Mahaagung lagi
Maha Tinggi. Menurut suatu pendapat, Allah adalah Ismul A'zam karena Dia
memiliki semua sifat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
هُوَ
اللَّهُ الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ عالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهادَةِ هُوَ
الرَّحْمنُ الرَّحِيمُ. هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ
الْقُدُّوسُ السَّلامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ
الْمُتَكَبِّرُ سُبْحانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ. هُوَ اللَّهُ الْخالِقُ
الْبارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْماءُ الْحُسْنى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي
السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Semua asma lainnya dianggap sebagai sifat-Nya, seperti yang dise-butkan di dalam firman-Nya:
وَلِلَّهِ
الْأَسْماءُ الْحُسْنى فَادْعُوهُ بِها
Allah Swt. berfirman:
قُلِ
ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْماءُ
الْحُسْنى
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«إِنَّ
لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا، مِائَةٌ إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا
دَخَلَ الْجَنَّةَ»
Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yaitu seratus
kurang satu; barang siapa menghitungnya (menghafalnya), niscaya masuk
surga.
Hal seperti itu disebutkan pula di dalam riwayat Imam Turmuzi dan Ibnu Majah,
hanya di antara kedua riwayat terdapat perbedaan mengenai tambahan dan
pengurangan lafaz. Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya menyebutkan dari sebagian mereka bahwa
Allah mempunyai lima ribu isim (nama); seribu nama terdapat di dalam Al-Qur'an
dan sunnah yang sahih, seribu terdapat di dalam kitab Taurat, seribu di dalam
kitab Injil, seribu di dalam kitab Zabur. dan yang seribu lagi di dalam Lauh
Mahfuz. Allah adalah isim yang tidak dimiliki oleh selain Allah sendiri Yang Maha
Agung lagi Maha Tinggi. Karena itu, maka dalam bahasa Arab tidak terdapat
isytiqaq (bentuk asal) dari fi'il-nya. Segolongan kalangan ahli nahwu ada
yang berpendapat bahwa lafaz "Allah" merupakan isim jamid yang tidak mempunyai
isytiqaq. Pendapat ini dinukil oleh Al-Qurtubi dari sejumlah ulama, antara lain
Imam Syafii, Al-Khattabi, Imamul Haramain, Imam Gazali, dan lain-lainnya.
Diriwayatkan dari Imam Khalil dan Imam Sibawaih bahwa huruf alif dan lam yang
ada padanya merupakan lazimah. Imam Khattabi mengatakan, "Tidakkah kamu melihat
bahwa kamu katakan, 'Ya Allah', tetapi kamu tidak dapat mengatakan, 'Ya
Ar-Rahman.' Seandainya huruf alif dan lam ini bukan berasal dari lafaz itu
sendiri, niscaya tidak boleh memasukkan huruf nida pada alif dan lam." Menurut
pendapat yang lain, lafaz "Allah" mempunyai akar kata sendiri, dan mereka
berpendapat demikian berpegang kepada ucapan seorang penyair, Ru'bah ibnul
Ajjaj, yaitu:
لِلَّهِ
دَرُّ الْغَانِيَاتِ الْمُدَّهِ ... سَبَّحْنَ
وَاسْتَرْجَعْنَ مِنْ تَأَلُّهِي
Hanya milik Allah-lah semua kebaikan
yang dilahirkan oleh budak-budak perempuan penyanyi yang bersuara merdu itu,
mereka bertasbih dan ber-istirja' karena menganggapkn sebagai
dewa
(penolong).
Penyair menjelaskan bentuk masdar-nya yaitu ta'alluh (التَّأَلُّهُ), berasal dari fi’l
aliha ya-lahu ilahah dan ta-alluhan (أَلِهَ يَأْلَهُ إِلَاهَةً وَتَأَلُّهًا). Sebagaimana pula yang telah
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dia membaca firman-Nya dalam surat Al-A'raf
ayat 127 dengan bacaan seperti berikut: Wayazaraka wailahataka (ويذرك وآلهتك)
yang artinya menurut dia ialah "Dan meninggalkanmu serta tidak
menganggapmu sebagai tuhan lagi". Dikatakan demikian karena Fir'aun disembah,
sedangkan dia sendiri tidak menyembah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid
dan yang lainnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa lafaz "Allah" mempunyai isytiqaq, berdalilkan
firman-Nya:
وَهُوَ
اللَّهُ فِي السَّماواتِ وَفِي الْأَرْضِ
Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi.
(Al-An'am: 3)
Sebagaimana pula yang terdapat di dalam firman-Nya yang lain, yaitu:
وَهُوَ
الَّذِي فِي السَّماءِ إِلهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلهٌ
Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di
bumi. (Az-Zukhruf: 84)
Imam Sibawaih menukil dari Imam Khalil bahwa asal lafaz "Allah" adalah
illahun (إِلَاهٌ)
berwazan fi'alun (فِعَالٍ), kemudian dimasukkan alif dan
lam sebagai ganti hamzah hingga jadilah Allah. Imam Sibawaih mengatakan,
perihalnya semisal dengan lafaz nasun (النَّاسِ), bentuk asalnya adalah unasun
(أناس). Menurut pendapat yang lain, asal lafaz "Allah" ialah lahun (لَاهَ)
. kemudian masuklah alif dan lam untuk mengagungkan, hingga jadilah "Allah";
pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Sibawaih.
Seorang penyair mengatakan:
لَاهِ
ابْنِ عَمِّكَ لَا أَفْضَلْتَ فِي حَسَبٍ ...
عَنِّي وَلَا أَنْتَ دَيَّانِي فَتَخْزُونِي
Anak pamanmu merasa tinggi diri,
padahal kamu tidak mempunyai keutamaan melebihiku dalam hal kehinaan, dan tidak
pula kamu berhak mengadakan pembalasan kepadaku hingga kamu dapat menghinaku
dengan seenaknya.
Menurut Al-Qurtubi, fatukhzuni memakai huruf kha artinya "menggodaku
dengan seenaknya".
Al-Kisai dan Al-Farra mengatakan bahwa bentuk asalnya adalah ilahun. kemudian
mereka membuang hamzah dan memasukkan alif lam, lalu mereka meng-idgam
(memasuk)kan lam pertama kepada lam kedua hingga jadilah Allah, seperti yang
terdapat di dalam bacaan Al-Hasan terhadap firman-Nya, "lakinna huwallahu
rabbi," bentuk asalnya ialah lakin ana, yakni "tetapi Aku".
Al-Qurtubi mengatakan. selanjutnya dikatakan bahwa lafaz "Allah" berasal dari
walaha yang artinya "bingung", karena al-walah artinya "hilangnya akal".
Dikatakan rajulun walihun dan imra-atun walha atau mauluhah artinya "bilamana
dia dikirim ke padang pasir". Allah Swt. membingungkan mereka dalam memikirkan
hakikat sifat-Nya. Berdasarkan pengertian ini berarti bentuk asalnya adalah
wilahun, kemudian huruf wawu diganti dengan hamzah, sebagaimana dikatakan oleh
mereka wisyahun menjadi isyahun, dan wisadah menjadi isadah.
Ar-Razi mengatakan, bentuk asalnya adalah alihtu ilafidan yang artinya "aku
tinggal di tempat si Fulan" Dengan kata lain, akal manusia tidak akan tenang
kecuali dengan berzikir mengingat-Nya. Roh tidak akan gembira kecuali dengan
makrifat kepada-Nya, karena Dia-lah Yang Mahasempurna secara mutlak, bukan yang
lain-Nya, Allah Swt. telah berfirman;
أَلا
بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman .... (Ar-Ra'd: 28)
Ar-Razi mengatakan. menurut pendapat yang lain berasal dari laha yaiuhu yang
artinya "bila terhalang". Menurut pendapat lainnya lagi berasal dari alihal
fasilu, artinya "anak unta itu merindukan induk-nya"". Makna yang dimaksud ialah
bahwa semua hamba rindu dan gandrung kepada-N'ya dengan ber-tadarru'
(merendahkan diri) kepada-Nya dalam setiap keadaan. Menurut pendapat lain, lafaz
"Allah" berasal dari alihar rajula ya-lahu; dikatakan demikian bila dia merasa
terkejut terhadap suatu peristiwa yang menimpa dirinya, kemudian dilindungi.
Yang melindungi semua makhluk dari segala marabahaya adalah Allah Swt., seperti
yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
وَهُوَ
يُجِيرُ وَلا يُجارُ عَلَيْهِ
Dia-lah Yang memberi nikmat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَمَا
بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ}
Dia-lah yang memberi makan, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
{وَهُوَ
يُطْعِمُ وَلا يُطْعَمُ}
Dia memberi makan dan tidak diberi makan. (Al-An'am: 14),
Dia-lah yang mengadakan segala sesuatu, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{قُلْ
كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ}
Katakanlah, "Segala sesuatu dari sisi Allah." (An-Nisa: 78)
Ar-Razi sendiri memilih pendapat yang mengatakan bahwa lafaz "Allah" adalah
isim yang tidak ber-musytaq sama sekali, hal ini merupakan pendapat Imam Khalil
dan Imam Sibawaih serta kebanyakan ulama Usul dan ulama Fiqih. Kemudian Ar-Razi
mengemukakan dalil yang memperkuat pendapatnya itu dengan berbagai alasan,
antara lain ialah "seandainya lafaz 'Allah' mempunyai isytiqaq, niscaya maknanya
dimiliki pula oleh selain-Nya yang banyak jumlahnya". Alasan lainnya ialah bahwa
semua nama disebut sebagai sifat untuk-Nya. misalnya dikatakan Allah Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang, Raja, lagi Mahasuci. Hal ini menunjukkan bahwa
lafaz "Allah" tidak ber-musytaq. Ar-Razi mengatakan mengenai firman-Nya yang
mengatakan:
{الْعَزِيزِ
الْحَمِيدِ اللَّهِ}
Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, yaitu Allah. (Ibrahim: 1-2)
Menurut qiraah yang membaca jar lafaz "Allah", hal ini dianggap termasuk ke dalam Bab "Ataf Bayan". Alasan lainnya ialah berdasarkan firman Allah Swt.:
هَلْ
تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut
disembah)? (Maryam: 65)
Akan tetapi, berpegang kepada dalil tersebut untuk menunjukkan bahwa lafaz
"Allah" merupakan isim jamid yang tak ber-musytaq, masih perlu
dipertimbangkan. Ar-Razi meriwayatkan dari sebagian ulama bahwa nama Allah Swt. berasal dari
bahasa Ibrani, bukan bahasa Arab. Kemudian Ar-Razi menilai pendapat ini lemah,
dan memang menurutnya pantas dinilai lemah. Ar-Razi pada mulanya meriwayatkan
pendapat ini, kemudian ia mengatakan perlu diketahui bahwa semua makhluk itu
terbagi menjadi dua, yaitu orang-orang yang sampai ke tepi pantai lautan
makrifat serta orang-orang yang tersesat di dalam kegelapan kebingungan dan
sahara kebodohan, seakan-akan mereka dalam keadaan hilang akal dan rohnya.
Orang-orang yang sampai kepada makrifat berarti telah sampai ke haribaan cahaya
Allah dan kemahaluasan sifat Yang Maha Agung lagi Maha Terpuji. akhirnya mereka
tenggelam ke dalam sifat As-shamad lebur ke dalam sifat Fard (esa). Maka
terbuktilah bahwa setiap makhluk kebingungan untuk sampai kepada tingkat
makrifat kepada-Nya.
Diriwayatkan dari Khalil ibnu Ahmad, dinamakan "Allah" karena semua makhluk
mempertuhankan-Nya. Menurut pendapat lain, lafaz "Allah" musytaq dari makna irtifa' (tinggi)
orang-orang Arab mengatakan lahat terhadap sesuatu yang tinggi. Mereka
mengatakan lahat —yakni telah meninggi— bila matahari terbit. Menurut pendapat lainnya lagi, lafaz "Allah" berasal dari kata alihar rajulu.
yakni "bila lelaki tersebut beribadah"; dikatakan ta-al-laha bila dia melakukan
ibadah. Ibnu Abbas membacakan firman-Nya, "wayazaraka wailahatuka", dengan kata
lain bentuk asalnya adalah ilahun, kemudian hamzah-nya dibuang yang merupakan fa
kalimah; setelah dimasuki alif lam, maka bertemulah dua huruf lam, yaitu 'ain
fi’l dan lam zaidah. Selanjutnya lam pertama di-Idgam-kan kepada lam kedua,
hingga keduanya secara lafzi menjadi satu lam yang di-tasydid-kan, kemudian
di-tafkhim-kan karena tujuan mengagungkan, hingga jadilah Allah.
Tafsir ibnu katsir
0 Response to "Takwil Kalimat "ALLAH""
Posting Komentar