Fatwa Organisasi Islam Tentang Bunga Bank
Sabtu, 05 Mei 2018
Add Comment
Riba dalam nash al-qur’an turun secara berangsur-angsur dari mulai
surat Ar-Rum ayat ke 39 yang membandingkan keberkahan shodaqoh dan menjauhkan riba dari keberkahan rizki disisi Allah, lalu
kemudian turun lagi surat An-Nisa ayat 160-161 pada periode awal madinah pelaku
riba di ancaman dengan ancaman yang
sangat pedih dan menganalogikanya pada mereka yang mengambil kekayaan seseorang
dengan jalan yang tidak benar. Setelah perang uhud pada tahun ke tiga hijriyah
turun surat Ali Imran ayat 130 yang isinya mengaitkan riba dengan tambahan berlipat ganda dan eksploratif terhadap
masyarakat jahiliyah yang menjadikan riba sebagai sebuah tradisi penindasan
antara kaum borjuis yang menindas kaum proletar. Surat Al-Baqarah ayat 278-279
menegaskan status dan kedudukan riba sebagai suatu keharaman dalam sebuah
transaksi hutang piutang dan menyerukan kaum muslimin untuk meninggalkan
sisa-sisa riba pada masa jahiliyah dan kemudian menghapuskan hutang-hutang riba
tersebut kemudian diperkuat oleh seruan nabi pada haji wada untuk menghapuskan
praktek riba.
Perkembangan zaman semakin banyak memodifikasi transaksi-transaksi
dalam muamalah menjadi sangat variatif dan problematik, salah satunya timbul
perdebatan tentang status dan kedudukan bunga bank. Bunga bank merupakan
masalah kontemporer yang selalu menarik untuk dibahas, karena dari segi
kedudukan hukum dan keterkaitan nash bunga bank merupakan hal yang baru sehingga
memerlukan ijtihad untuk menentukan hukum secara normatif. Hampir semua majelis
fatwa yang ada di Indonesia, memberikan pandangan hukum terhadap bunga bank.
Berikut adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh organisasi Islam yang
berpengaruh di Indonesia :
1.
Majelis
Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama
Indonesia merupakan lembaga yang sangat berpengaruh dalam memberikan kebijakan
hukum di Indonesia terutama pada masalah masalah yang datang pada masa
kontemporer yang memerlukan ketetapan hukum dari otoritas terkait. Hal ini juga
berimplikasi pada status dan kedudukan bunga bank dalam pandangan majelis ulama
Indonesia, berikut adalah fatwa yang dikeluarkan oleh majelis ulama Indonesia
nomor 1 tahun 2004 :
1. Bahwa umat Islam Indonesia masih mempertanyakan status hukum bunga (interest/fa’idah) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qardh) atau utang piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan, individu maupun lainya ;
2. Bahwa ijtima ‘Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 syawal 1424 H/ 16 Desember 2003 telah memfatwakan tentang status hukum bunga.
3. Bahwa karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang bunga bank dimaksud untuk dijadikan pedoman.
1. Bahwa umat Islam Indonesia masih mempertanyakan status hukum bunga (interest/fa’idah) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qardh) atau utang piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan, individu maupun lainya ;
2. Bahwa ijtima ‘Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 syawal 1424 H/ 16 Desember 2003 telah memfatwakan tentang status hukum bunga.
3. Bahwa karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang bunga bank dimaksud untuk dijadikan pedoman.
MENGINGAT :
1. Firman Allah SWT, antara lain : orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyatkit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran,dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman,mengerjakan amal shaleh,mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang-orang berhutang itu) dalam kesukaran,mereka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Ali’Immran [3]: 130).
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain :
1. Firman Allah SWT, antara lain : orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyatkit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran,dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman,mengerjakan amal shaleh,mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang-orang berhutang itu) dalam kesukaran,mereka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Ali’Immran [3]: 130).
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain :
Dari Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) dan memberikan riba.” Rawi berkata:
saya bertanya:”(apakah Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskan dan dua
orang yang menjadi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab : “Kami hannya
menceritakan apa yang kami dengar.” (HR.Muslim).
Dari Jabir r.a.,ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikan.” Ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan datang kepada umat manusia suatu masa dimana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambilnya)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR.al-Nasa’I).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu (cara,macam).” (HR. Ibn Majah). Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikannya.” (HR. Ibn Majah)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh akan datang kepada umat manusia suatu masa dimana tak ada seorang pun diantara mereka kecuali (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR. Ibn Majah).
3. Ijma’ ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’Syarch al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar al-Fikr,t.th.],juz 9,h 391)
Dari Jabir r.a.,ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikan.” Ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan datang kepada umat manusia suatu masa dimana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambilnya)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR.al-Nasa’I).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu (cara,macam).” (HR. Ibn Majah). Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikannya.” (HR. Ibn Majah)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh akan datang kepada umat manusia suatu masa dimana tak ada seorang pun diantara mereka kecuali (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR. Ibn Majah).
3. Ijma’ ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’Syarch al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar al-Fikr,t.th.],juz 9,h 391)
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat
para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang
piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang di haramkan
Allah SWT., seperti dikemukakan,antara lain, oleh :
Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama mazhab
Syafi’I) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh
al-Qur’an, atas dua pandangan.Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal
(global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang
dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan
al Qur’an, baik riba naqad maupun riba nasi’ah.
Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesungguhnya hanya
mencakup riba nasa’yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan
tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah
seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihang
berhutang tidak membayarnya,ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa
pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya.
Itulah maksud firman Allah : “… janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda… “ kemudian Sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqad)
terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-Qur’an.
a. Ibn al-Araby dalam Ahkam al-Qur'an :
b. Al-Aini dalam Umdah al-Qary :
c. Al-Sarakhsyi dalam Al-Mabsuth :
d. Ar-Raghib al-Isfani dalam Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur'an :
e. Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawa-I al-Bayan :
f. Muhammad Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba :
g. Yusuf al-Qardhawy dalam fawa’id al-Bunuk :
h. Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh :
2. Bunga uang atas pinjaman (Qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang di haramkan Allah SWT dalam Al-Quran,karena dalam riba tambahan hanya dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam system bunga tambhan sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi. Ketetapan akan keharaman bunga Bank oleh berbagai forum Ulama Internasional, antara lain :
a. Majma'ul Buhuts al-Islamy di Al- Azhar Mesir pada Mei 1965
b. Majma al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI yang di selenggarakan di Jeddah tanggal 10-16 Rabi'ul Awal 1406 H/ 22-28 Desember 1985.
c. Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H.
d. Keputusan Dar Al-Itfa, kerajaan Saudi Arabia,1979
e. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
f. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan Syari’ah.
g. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammdiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
h. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan system tanpa Bunga.
j. Keputusasn Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004;28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004;dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.
a. Ibn al-Araby dalam Ahkam al-Qur'an :
b. Al-Aini dalam Umdah al-Qary :
c. Al-Sarakhsyi dalam Al-Mabsuth :
d. Ar-Raghib al-Isfani dalam Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur'an :
e. Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawa-I al-Bayan :
f. Muhammad Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba :
g. Yusuf al-Qardhawy dalam fawa’id al-Bunuk :
h. Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh :
2. Bunga uang atas pinjaman (Qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang di haramkan Allah SWT dalam Al-Quran,karena dalam riba tambahan hanya dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam system bunga tambhan sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi. Ketetapan akan keharaman bunga Bank oleh berbagai forum Ulama Internasional, antara lain :
a. Majma'ul Buhuts al-Islamy di Al- Azhar Mesir pada Mei 1965
b. Majma al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI yang di selenggarakan di Jeddah tanggal 10-16 Rabi'ul Awal 1406 H/ 22-28 Desember 1985.
c. Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H.
d. Keputusan Dar Al-Itfa, kerajaan Saudi Arabia,1979
e. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
f. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan Syari’ah.
g. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammdiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
h. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan system tanpa Bunga.
j. Keputusasn Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004;28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004;dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.
Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN
MEMUTUSKAN : FATWA TENTANG BUNGA (INTERST/FA`IDAH):
Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba
Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam
transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman
tanpa mempertimbangkan pemanfaatan / hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo
waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan
persentase. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena
penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah yang
disebut Riba Nasi’ah.
Kedua : Hukum Bunga (interest)
Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang
terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian,
praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram
Hukumnya. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan
oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan
lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga : Bermu’amalah dengan lembaga keuangan konvensional
Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan
Syari’ah dan mudah di jangkau,tidak di bolehkan melakukan transaksi yang di
dasarkan kepada perhitungan bunga. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan
Syari’ah,diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan
konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.
2. Majelis tarjih Muhammadiyah
Majelis tarjih Muhammadiyah telah merespon dalam mengambil keputusan tentang hukum ekonomi anatara lain meliputi masalah perbankan pada tahun 1968 dan 1972, keuangan secara umum (1976), dan koperasi simpan pinjam (1989). Marjlis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo (1968) memutuskan :
1. Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al Qur’an dan As Sunnah.
2. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
3. Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
4. Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk meng-usahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang sesuai dengan kaidah Islam.
Penjelasan keputusan ini menyebutkan bahwa bank negara, secara kepemilikan dan misi yang diemban sangat berbeda dengan bank swasta. Tingkat suku bunga bank pemerintah (pada saat itu) relatif lebih rendah dari suku bunga bank swasta nasional. Meskipun demikian, kebolehan bunga bank negara ini masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).
3. Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Persoalan bank dan bunganya dalam pandangan Nahdlatul Ulama (NU) telah menjadi persoalan yang signifikan, sehingga perlu mendapat perhatian yang cukup besar dari para ulama NU. Kaitannya dengan masalah bunga bank, NU melalui forum kajian Bahsul Masailnya telah mengaharamkannya, hal ini dikarenakan bunga bank disamakan dengan gadai yang digunakan pada zaman jahiliyah, jika pemilik barang gadai tidak bisa membayar uang pada waktunya, maka barang gadaiannya lepas dari pemiliknya dan menjadi milik penggadai dan hal ini telah ditetapkan hukumnya dalam Mu’tamar NU ke-2 Tahun 1927 di Surabaya. Dalam masalah ini, terdapat tiga pendapat dari para ahli hukum Islam (jumhur ulama) :
1. Haram : karena termasuk barang yang dipungut manfaatnya
2. Halal : Sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku itu tidak termasuk menjadi syarat.
3. Syubhat : Tidak tentu halal-haramnya
Sedangkan mu’tamar memutuskan, bahwa yang lebih hati-hati adalah pendapat mu’tamirin yang pertama—yakni mengaharamkan adanya bunga dalam dunia perbankan. Meskipun telah diambil kesepakatan tentang hukum bunga bank, tampaknya para muktamirin masih berbeda pendapat, terutama dalam Munas ‘Alim Ulama di Bandar Lampung, 21-25 Januari 1992, khususnya mengenai hukum bunga bank konvensional. Di antaranya sebagai berikut :
1. Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya adalah haram.
2. Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bak dengan riba, sehingga hukumnya adalah boleh.
3. ada pendapat yang mengatakan bunga bank hukumnya syubhat (tidak indentik dengan riba). meski begitu, Munas memutuskan, pilihan yang lebih berhati-hati adalah bunga bank haram.
2. Majelis tarjih Muhammadiyah
Majelis tarjih Muhammadiyah telah merespon dalam mengambil keputusan tentang hukum ekonomi anatara lain meliputi masalah perbankan pada tahun 1968 dan 1972, keuangan secara umum (1976), dan koperasi simpan pinjam (1989). Marjlis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo (1968) memutuskan :
1. Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al Qur’an dan As Sunnah.
2. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
3. Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
4. Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk meng-usahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang sesuai dengan kaidah Islam.
Penjelasan keputusan ini menyebutkan bahwa bank negara, secara kepemilikan dan misi yang diemban sangat berbeda dengan bank swasta. Tingkat suku bunga bank pemerintah (pada saat itu) relatif lebih rendah dari suku bunga bank swasta nasional. Meskipun demikian, kebolehan bunga bank negara ini masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).
Majlis Tarjih Wiradesa, Pekalongan (1972) memutuskan:
1. Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat memenuhi keputusan
Majlis Tarjih di Sidoarjo tahun 1968 tentang terwujudnya konsepsi sistem
perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
2. Mendesak Majlis Tarjih PP Muhammadiyah untuk dapat mengajukan konsepsi tersebut dalam muktamar yang akan datang.
2. Mendesak Majlis Tarjih PP Muhammadiyah untuk dapat mengajukan konsepsi tersebut dalam muktamar yang akan datang.
Masalah keuangan secara umum
ditetapkan berdasarkan keputusan Muktamar Majlis Tarjih Garut (1976). Keputusan
tersebut menyangkut bahasan pengertian uang atau harta, hak milik, dan
kewajiban pemilik uang menurut Islam. Adapun masalah koperasi simpan-pinjam
dibahas dalam Muktamar Majlis Tarjih Malang (1989). Keputusannya: koperasi
simpan-pinjam hukumnya adalah mubah, karena tambahan pembayaran pada koperasi
simpan-pinjam bukan termasuk riba. Berdasarkan keputusan Malang di atas, Majlis
Tarjih PP Muhammadiyah mengeluarkan satu tambahan keterangan yakni, bahwa
tambahan pembayaran atau jasa yang diberikan oleh peminjam kepada koperasi
simpan-pinjam bukanlah riba. Namun, dalam pelaksanaannya, perlu mengingat
beberapa hal. Di antaranya, hendaknya tambahan pembayaran (jasa) tidak
melampaui laju inflasi.
3. Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Persoalan bank dan bunganya dalam pandangan Nahdlatul Ulama (NU) telah menjadi persoalan yang signifikan, sehingga perlu mendapat perhatian yang cukup besar dari para ulama NU. Kaitannya dengan masalah bunga bank, NU melalui forum kajian Bahsul Masailnya telah mengaharamkannya, hal ini dikarenakan bunga bank disamakan dengan gadai yang digunakan pada zaman jahiliyah, jika pemilik barang gadai tidak bisa membayar uang pada waktunya, maka barang gadaiannya lepas dari pemiliknya dan menjadi milik penggadai dan hal ini telah ditetapkan hukumnya dalam Mu’tamar NU ke-2 Tahun 1927 di Surabaya. Dalam masalah ini, terdapat tiga pendapat dari para ahli hukum Islam (jumhur ulama) :
1. Haram : karena termasuk barang yang dipungut manfaatnya
2. Halal : Sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku itu tidak termasuk menjadi syarat.
3. Syubhat : Tidak tentu halal-haramnya
Sedangkan mu’tamar memutuskan, bahwa yang lebih hati-hati adalah pendapat mu’tamirin yang pertama—yakni mengaharamkan adanya bunga dalam dunia perbankan. Meskipun telah diambil kesepakatan tentang hukum bunga bank, tampaknya para muktamirin masih berbeda pendapat, terutama dalam Munas ‘Alim Ulama di Bandar Lampung, 21-25 Januari 1992, khususnya mengenai hukum bunga bank konvensional. Di antaranya sebagai berikut :
1. Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya adalah haram.
2. Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bak dengan riba, sehingga hukumnya adalah boleh.
3. ada pendapat yang mengatakan bunga bank hukumnya syubhat (tidak indentik dengan riba). meski begitu, Munas memutuskan, pilihan yang lebih berhati-hati adalah bunga bank haram.
0 Response to "Fatwa Organisasi Islam Tentang Bunga Bank"
Posting Komentar