Filsafat Al-Ghazali
Kamis, 03 Mei 2018
Add Comment
TELAAH PEMIKIRAN FILUSUF MUSLIM :
AL-GHAZALI
1. Biografi al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad
Al-Ghazali lahir di tahun 1059 M, di Ghazaleh suatu kota kecil yang terletak di
dekat Tus, Khurasan, kawasan Iran dewasa ini. Dimasa mudanya ia belajar di
Nisyapur, juga di Khurasan yang pada masa itu adalah pusat ilmu pengetahuan
yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid dari Imam Haramain
al-Juwaini, guru besar di madrasah al-Nizamiyah, Nisyapur. Mata pelajaran yang
diberikan di Madrasah ini, diantaranya ialah teologi (ilmu kalam), hukum Islam,
filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam.(Juhaya S. Praja, 2010)
Dengan perantara juwaini, al-Ghazali
berkenalan dengan Nizam al-Mulk perdana menteri dari Sultan Seljuk Maliksyah.
Nizam al-Mulk adalah pendiri madrasah-madrasah al-Nizamiah. Di tahun 1091 M,
al-Ghazali diangkat menjadi guru di Madrasah al-Nizamiah Baghdad. Ia adalah sosok
muslim yang berpengaruh besar terhadap dunia Islam. Ia bergelar hujjatul Islam (Ali Maksum, 2013)
Al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam
dikenal dengan sebagai orang yang pada mulanya syak (skeptis) terhadap
gejala-gejalanya. Perasaan syak ini kelihatanya timbul dalam dirinya dari
pelajaran ilmu kalam atau teologi yang diperoleh dari al-Juawimi. Sebagaimana
diketahui bahwa ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan.
Timbullah pertanyaan dalam diri al-Ghazali : aliran manakah yang betul-betul
benar di antara semua aliran itu? (Harun Nasution, 2006)
Menurut
al-Ghazali, kebenaran hakiki ialah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya
tanpa sedikit pun keraguan. Kata-nya: “Jika ku ketahui sepuluh adalah lebih
banyak dari tiga dan orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti seajaib
tongkat yang dapat dirubah menjadi ular dan itu memang terjadi dan kusaksikan
sendiri, hal itu tak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuan bahwa sepuluh
lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang
tersebut. Sekali-kali hal itu tidak akan membuat aku ragu tehadap
pengetahuanku” (al-Ghazali, al-Munqidz min adh-Dhalal). Dengan kata lain, di
samping mengandung pengertian tentang keyakinan, al-Ghazali di pihak lain,
membenarkan pengetahuan yang tidak empirik, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada
intuisi, yang dimulai dengan kekaguman dan keraguan. Dalam kitab al Munqidz min
al Dhalāl, al Ghazāli membagi para pencari ilmu pada masanya menjadi empat
kelompok, yaitu teolog (mutakallimūn), filosof (al-falāsifah), Ta'limiyah (al-
bāthiniyah), dan Sufi (al shufîyah).
2. Kritik
terhadap filusuf-filusuf
Al-Ghazali mempelajari filsafat,
semata-mata hanya untuk menyelidiki apakah pendapat-pendapat yang diajukan
filusuf-filusuf itulah yang merupakan kebenaran. Baginya ternyata bahwa
argumen-argumen yang mereka ajukan tidak kuat dan menurut keyakinanya ada yang
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Akhirnya ia mengambil sikap menentang
filsafat.
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah
dan al-Munqidz min ad-Dlalal, al-Ghazali menentang filosof-filosof Islam
bahkan mengkafirkan mereka dalam tiga soal. Pertama, pengingkaran
kebangkitan jasmani. Kedua, membatasi ilmu tuhan kepada hal-hal yang
besar saja. Ketiga, kepercayaan tentang qadimnya alam dan keazalianya.(Ahmad Hanafi, 1990)
Penolakan filosof
terhadap kebangkitan jasmani dan
mortalitas jiwa individu.
Para filosof Muslim
sebelum al- Ghazali berpandangan
bahwa yang akan dibangkitkan dari alam kubur
menuju akhirat nanti
adalah rohani semata,
sedangkan jasmani akan hancur
lebur. Menurut mereka,
akan merasakan kebahagiaan atau
siksaan adalah rohani semata. Al-Ghazali dalam mengkritik pendapat para filosof
tersebut lebih banyak bersandar pada arti tekstual Al-Qur’an, yang menurutnya tidak
ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan
(siksaan) fisik dan
rohani secara bersamaan. Allah Maha
Kuasa menciptakan segala sesuatu dan untuk itu tidaklah ada keraguan
sedikitpun Allah akan
mengembalikan rohani pada jasmani
di akhirat nanti. (Sirajudin Zar, 2012)
Pendapat
filosof yang menyatakan
bahwa Tuhan tidak mungkin mengetahui hal-hal yang bersifat particular
(pendapat yang dipegangi oleh Ibnu Sina). Mula-mula pendapat ini dipegangi oleh
Aristoteles kemudian dianut oleh para filosof Muslim. Menurut al-Ghazali para
filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya sendiri
(juz’iyat) dengan alasan alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika
Allah mengetahui rincian
perubahan tersebut, hal itu akan
membawa perubahan pada zat-Nya. Perubahan pada obyek ilmu akan membawa
perubahan pada yang
punya ilmu (bertambah atau
berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah. Al- Ghazali mengkritik
seraya mengatakan bahwa
para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal.
Menurutnya, sebuah perubahan pada obyek ilmu
tidak membawa perubahan
pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa perubahan
pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah.
Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, sebagaimana halnya kalau ada
orang berdiri di sebelah kanan kita, kemudian ia berpindah ke sebelah kiri
kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan kita. Ia mengetahui segala
sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah
meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan.(Ahmad Atabik, 2014)
Untuk memperkuat bangunan argument untuk
mengkritik para filosof Muslim, al-Ghazali mengemukakan dalil ayat-ayat
al-Qur’an yang menunjukan bahwa Allah mengetahui segala yang di bumi, baik itu
kecil maupun besar, diantaranya :
$tBur ãbqä3s? Îû 5bù'x© $tBur (#qè=÷Gs? çm÷ZÏB `ÏB 5b#uäöè% wur tbqè=yJ÷ès? ô`ÏB @@yJtã wÎ) $¨Zà2 ö/ä3øn=tæ #·qåkà øÎ) tbqàÒÏÿè? ÏmÏù 4 $tBur Ü>â÷èt `tã y7Îi/¢ `ÏB ÉA$s)÷WÏiB ;o§s Îû ÇÚöF{$# wur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# Iwur ttóô¹r& `ÏB y7Ï9ºs Iwur uy9ø.r& wÎ) Îû 5=»tGÏ. AûüÎ7B ÇÏÊÈ
Artinya
: Kamu tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al
Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi
atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun
sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan
tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab
yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yunus : 61)
Dalam ayat lain,
Allah berfirman :
ö@è% cqßJÏk=yèè?r& ©!$# öNà6ÏZÏÎ/ ª!$#ur ãNn=÷èt $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒOÎ=tã ÇÊÏÈ
Artinya : Katakanlah:
"Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, Padahal
Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu?" (QS. Al-Hujarat : 16
Para
filosof yang berpendapat
bahwa alam itu qadim (tidak mempunyai
permulaan), ini merupakan pendapat Aristoteles dan
pengikutnya. Para filosof
muslim sebelum al-Ghazali
mengatakan bahwa alam
ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya
illat atas ma’lulnya (ada sebab akibat),
yakni dari zat
dan tingkatan, juga
dari segi zaman. Para filosof
kala itu beralasan tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar
dari yang qadim (Tuhan), karena dengan
demikian berarti kita
bisa membayangkan bahwa
yang qadim itu sudah
ada, sedangkan alam
belum ada. Menurut al-Ghazali yang qadim (tidak mempunyai
permulaan) hanyalah Tuhan semata. Maka, selain Tuhan haruslah baru (hadits).
Karena apabila terdapat sesuatu
yang qadim selain Tuhan, maka
dapat memunculkan paham; apabila yang qadim banyak, berarti Tuhan
banyak; pemikiran ini tentu menimbulkan kemusyrikan yang pelakunya dosa besar yang
tidak dapat diampuni
Tuhan; atau masuk golongan
Ateisme yang menyatakan
bahwa alam yang qadim tidak perlu adanya pencipta.(Ahmad Atabik, 2014)
Namun sebagai pengkaji Al-Qur’an
beliau kemudian kembali mengunakan akal dalam membahas arti hidup, hikmah
Al-Qur’an serta hakikat kenabian sehingga beliau dianggap berhasil membela
kemurnian agama Islam. Jadi pikiran para filosof yang selama ini cukup
membingungkan dalam mengkaji Tuhan, beliau uraikan dengan filsafat Islam itu
sendiri.(Inu Kencana Syafiie, 2010)
3.
Wujud
dan Sifat Allah
Dalam perdebatan terkait sifat-sifat
Allah, al-Ghazali memegang pendapat yang dianut oleh al-Asy’ari, sehingga tidak
menerima pendapat yang
dikemukakan oleh kaum
Hasywiyah maupun Mu’tazilah, karena
kedua aliran ini
dianggap sebagai aliran kaum
ekstrimis. Aliran Hasywiyah berpedoman teguh pada arti dari
suatu teks (ayat
al-Quran dan al-Sunnah)
agar mereka tidak menghindarkan
Allah dari berbagai sifat, sehingga mereka terkesan antropomorfis (tajsim).
Sebaliknya Mu’tazilah berlebih- lebihan dalam menyucikan Allah, sehingga mereka
harus menafikan sifat-sifat Allah. Yang
paling baik menurut
al-Ghazali adalah jalan tengah.
Lebih tegas al-Ghazali menjelaskan. Allah adalah satu-satunya sebab
bagi alam. Allah menciptakan
alam dengan kehendak dan kekuasaan-Nya,
karena kehendakAllah adalah sebab bagi
segala yang ada (al-maujudat), sedang ilmu-Nya
meliputi segala sesuatu. Lebih lanjut al-Ghazali menetapkan adanya sifat
Zat yang
diistilahkan dengan sifat Salbiyah, yakni sifat
yang menafikan sesuatu yang
tidak sesuai dengan
kesempurnaan Zat Allah. Sifat
Salbiyah ini ada lima; Qidam, Baqa’, mukhalafat li al- hawaditsi, qiyamuhu
binafsihi, dan wahdaniyah. Dengan adanya sifat-sifat ini pada Zat
Allah, maka menjadi tiada kesempurnaan makhluk dan hanya Allah-lah yang maha
sempurna. Sedangkan tentang wujud
Allah, Al-Ghazali tidak
jauh berbeda dengan pendapat para filosof paripatetik lainnya, semisal
al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina. Bahwa Tuhan merupakan prima kausa (penyebab pertama).
Menurut mereka Allah Esa tak terbilang, sama sekali tidak menyamai
makhluk-makhluk-Nya, kekal dan tak akan Fana. Menurut al-Farabi, Allah adalah
Pencipta Yang Maha Kuasa dan Maha Bijak, Allah adalah Dzat yang harus ada
karena diri-Nya sendiri (wajib al-Wujud
li Dzatihi) dan sebab
pertama dalam segala entitas (kausa prima). Wujud-Nya merupakan wujud
yang paling sempurna, Maha Suci dari segala kuasa seperti materi, bentuk, aksi
dan efisiensi. Allah dengan subtansi-Nya merupakan akal aktual (aql
bi al-f’l), karena Dia suci dari
materi.
Dengan subtansi-Nya, Allah juga ma’qul
(kategori, obyek pengetahuan), karena
Dia mengetahui Dzat-Nya.40 Terkait dengan
penciptaan alam, menurut al-Farabi
dan Ibnu Sina
bahwa wujudnya alam bukanlah
dan bukanlah diciptakan, Allah memang
prima kausa, penyebab pertama,
penggerak pertama, wajib al-Wujud. Namun, Allah bukanlah pencipta alam,
melainkan sebagai penggerak pertama. Allah menciptakan sesuatu dari bahan yang
sudah ada secara pancaran (emanasi). Dengan demikian, Allah menciptakan
alam semenjak azali
alam semenjak azali
dengan materi alam berasal dari energi yang qadim,
sedangkan susunan materi yang menjadi
alam adalah baru
berasal dari pancaran
pikiran Akal Pertama.
Menurut al-Ghazali
teori ketuhanan (ilahiyyat)
al-Farabi dan Ibnu Sina
yang teperngaruhi oleh
filsafat Aristoteles, lebih
me-Mehasuci-kan dan me-Mahaabstrak-kan Tuhan dibandingkan dengan yang
dikembangkan oleh kaum Mu’tazilah, menjauhkan Tuhan secara total dari segala yang
memiliki cela inderawi dan materi.
Tuhan digambarkan secara
rasional murni, yang
lebih mendekati teori transenden dan tak terhingga yang dikembangkan
olehfilosof-filosofmodern. Lebih jelas al-Ghazali mengemukakan, pemikiran
al-Farabi dan Ibnu Sina tersebut jelas-jelas tidak bisa diterima dalam
pandangan Islam. Sebab, dalam ajaran Islam (yang bersumber dari al-Qur’an dan
Hadits) Allah merupakan Dzat yang Pencipta (al-Khaliq), yaitu yang
menciptakan sesuatu dari tiada. Kalau alam dikatakan qadim, tidak bermula,
berarti alam bukanlah diciptakan, dan dengan demikian Tuhan bukanlah Pencipta.
4.
Iradah
(kehendak) Allah dan Hubunganya dengan Hukum Kausalitas
Alam merupakan sesuatu yang
diciptakan, Al-Ghazali mengungkapkan
bahwa alam (dunia) itu berasal dari iradah (kehendak) Allah
semata, tidak bisa
terjadi dengan sendirinya, sebagaimana yang diyakini oleh
filosof Islam sebelumya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat
itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang,
dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian
antara zarah-zarah yang
abstrak dengan undang-undang
itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini. Iradat tuhan
adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan
ruang, tetapi dunia
yang diciptakan itu
seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal
(intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu.Al-Ghazali
menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di
atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.(Ahmad Atabik, 2014)
Al-Ghazali sebenarnya tidak mengingkari
adanya hukum kausalitas. Namun yang ia ingkari adalah pendapat para filosof
Muslim yang mengatakan bahwa hubungan sebab akitab merupakan hubungan kepastian
atau keniscayaan. Sikap al-Ghazali ini di dasari oleh konsep bahwa Allah adalah
pencipta segala yang ada termasuk peristiwa yang berada di luar kebiasaan.
Al-Ghazali sangat menekankan pada kehendak Tuhan, suatu sifat yang
mentransformasikan diri dalam potensi (dan aktualitas) tindakan. Dengan mempertimbangkan premis-premis
ini, adakah tempat bagi
sebab-sebab alamiah atau causae secundae dalam sistem pemikiran al-Ghazali? Malah kausalitas
mungkin merupakan masalah yang paling banyak dibahas dalam literatus
historiografis tentang pemikir ini.
Bahkan belakangan ini
sejumlah sarjana menggarap
masalah ini.
Menurut
al-Ghazali, hubungan antara
sebab dan akibat tidak
bersifat dharuri (kepastian),
dalam pengertian keduanya tidak merupakan hubungan yang mesti
berlaku, tetapi keduanya masing-masing memiliki individualitasnya sendiri.
Sebagai contoh, antara makan dan kenyang tidak terdapat hubungan yang bersifat
keniscayaan. Artinya, orang makan tidak niscaya merasa kenyang Karena makan
tidak mesti menyebabkan orang kenyang. Artinya, orang makan tidak niscaya
merasa kenyang karena makan tidak mesti menyebabkan orang kenyang, begitu pula
kertas tidak mesti terbakar meski terkena api. Ini merupakan adat kebiasaan
alam, bukan sesuatan keniscayaan. Terjadinya segala sesuatu itu hanya karena
kekuasan dan kehendak Sang Maha Pencipta yaitu Allah Swt. Sebagai
contoh, kertas tidak
mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain.
Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian.
Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah
semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar
dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan
menghilangkan sifat membakar
dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim
menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
Namun, merupakan sebuah kesalahan jika
ada yang menyatakan bahwa al-Ghazali menolak secara mutlak keberadaan
kausalitas alamiah, menolak
fakta bahwa api
membakar kapas adalah sangat
bodoh. Yang ditolak al-Ghazali adalah keberadaan hubungan yang niscaya antara
sebab dan akibat yang terlepas dari kehendak Tuhan yang menciptakan hakikat
membakar. Jika dunia yang mungkin adalah dunia tempat segala kemungkinan,
al-Ghazali mengklaim bahwa kemungkinan in hanyalah karena tindakan bebas Tuhan.
Kesulitannya bukan terletak pada keberadaan objektif hal- hal konkret hanya
karena Tuhan menciptakan mereka. Dalam pemikirannya tentang kausalitas, selain
al-Ghazali, ada seorang filosof barat yang bernama David Hume yang
menyuarakan pemikiran, namun
al-Ghazali tentu lebih
dahulu dalam teori kausalitas ini. Menurut al-Ghazali, hubungan kausalitas
hanyalah penampakan dan merupakan efek dari kebiasaan manusia yang mengaitkan
dua kejadian yang tejadi secara konsisten dalam alam; “Kontinuitas kebiasaan (‘adah)
berkenaan dengan mereka (yaitu, hal-hal yang kelihatannya niscaya, tetapi
sebenarnya hanya munkin), dari waktu ke waktu, menanamkan dengan kuat dalam
pikiran kita kesan aliran (jarayan) yang sesuai denga kebiasaan yang
lalu sehingga kontinuitas tidak dapat dipisahkan dari hal-hal tersebut.
Kebiasan yang menyimpang dari hukum kausalitasnya
sejatinya terjadi pada nabi-nabi Allah.
Terkait dengan hal ini, Zar menjelaskan dengan memberi pertanyaan, apakah hal
ini terjadi karena kekuatan diri nabi sendiri atau disebabkan hal lain? Dalam
hal ini baik para filosof Muslim maupun al-Ghazali mempunyai pendapat yang
sama, sebagaimana para
filosof bisa menerima terjadinya hujan petir, gempa bumi
atas kekuatan diri nabi atau karena hal lainnya.
Namun yang lebih
penting kata al-Ghazali, harus mengakui
bahwa semuanya melalui
perantaraan malaikat sebagai
mu’jizat untuk menguatkan bukti kenabian mereka.
5.
Teori
Kenabian
Meskipun al-Ghazali dalam bukunya Thafut
al-Falasifah bernada menentang teori kenabian dari al-Farabi dan Ibnu Sina,
dengan mengatakan bahwa seorang nabi dapat berhubungan dengan Tuhan langsung
atau dengan perantara malaikat kepada Akal-Faal atau daya imajinasi tertentu
atau cara-cara lain yang di kemukakan filosof-filosof. Namun dalam bukunya yang
lain, yaitu Al-Munqidzu Dlalal, al-Ghazali menetapkan bahwa kenabian
adalah perkara yang dapat diakui menurut riwayat dan dapat diterima menurut
pertimbangan pikiran. Dari segi pikiran, cukuplah diakui bahwa kenabian mirip
dengan gejala-gejala kejiwaan yang diakui oleh kita semua, yaitu impian. Ia berkata
:
“Tuhan telah mendekatkan demikian itu (kenabian)
kepada hamba-hamba-Nya denagn jalan memberikan kepada mereka suatu contoh dari
ciri khas kenabian yaitu tidur, karena orang tidur dapat melihat rahasia yang
akan terjadi, baik dengan berbajukan perumpamaan yang akan terjadi, baik dengan
jelas atau dengan berbajukan perumpamaan yang bisa diungkapkan dengan
kata-kata” (Ahmad Hanafi, 1990)
0 Response to "Filsafat Al-Ghazali"
Posting Komentar