Filsafat Al-Ghazali

  

TELAAH PEMIKIRAN FILUSUF MUSLIM :
AL-GHAZALI

1.    Biografi al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali lahir di tahun 1059 M, di Ghazaleh suatu kota kecil yang terletak di dekat Tus, Khurasan, kawasan Iran dewasa ini. Dimasa mudanya ia belajar di Nisyapur, juga di Khurasan yang pada masa itu adalah pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid dari Imam Haramain al-Juwaini, guru besar di madrasah al-Nizamiyah, Nisyapur. Mata pelajaran yang diberikan di Madrasah ini, diantaranya ialah teologi (ilmu kalam), hukum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam.(Juhaya S. Praja, 2010)
Dengan perantara juwaini, al-Ghazali berkenalan dengan Nizam al-Mulk perdana menteri dari Sultan Seljuk Maliksyah. Nizam al-Mulk adalah pendiri madrasah-madrasah al-Nizamiah. Di tahun 1091 M, al-Ghazali diangkat menjadi guru di Madrasah al-Nizamiah Baghdad. Ia adalah sosok muslim yang berpengaruh besar terhadap dunia Islam. Ia bergelar hujjatul Islam (Ali Maksum, 2013)
Al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam dikenal dengan sebagai orang yang pada mulanya syak (skeptis) terhadap gejala-gejalanya. Perasaan syak ini kelihatanya timbul dalam dirinya dari pelajaran ilmu kalam atau teologi yang diperoleh dari al-Juawimi. Sebagaimana diketahui bahwa ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan. Timbullah pertanyaan dalam diri al-Ghazali : aliran manakah yang betul-betul benar di antara semua aliran itu? (Harun Nasution, 2006)
Menurut al-Ghazali, kebenaran hakiki ialah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya tanpa sedikit pun keraguan. Kata-nya: “Jika ku ketahui sepuluh adalah lebih banyak dari tiga dan orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti seajaib tongkat yang dapat dirubah menjadi ular dan itu memang terjadi dan kusaksikan sendiri, hal itu tak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuan bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Sekali-kali hal itu tidak akan membuat aku ragu tehadap pengetahuanku” (al-Ghazali, al-Munqidz min adh-Dhalal). Dengan kata lain, di samping mengandung pengertian tentang keyakinan, al-Ghazali di pihak lain, membenarkan pengetahuan yang tidak empirik, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada intuisi, yang dimulai dengan kekaguman dan keraguan. Dalam kitab al Munqidz min al Dhalāl, al Ghazāli membagi para pencari ilmu pada masanya menjadi empat kelompok, yaitu teolog (mutakallimūn), filosof (al-falāsifah), Ta'limiyah (al- bāthiniyah), dan Sufi (al shufîyah).  
2.    Kritik terhadap filusuf-filusuf
Al-Ghazali mempelajari filsafat, semata-mata hanya untuk menyelidiki apakah pendapat-pendapat yang diajukan filusuf-filusuf itulah yang merupakan kebenaran. Baginya ternyata bahwa argumen-argumen yang mereka ajukan tidak kuat dan menurut keyakinanya ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Akhirnya ia mengambil sikap menentang filsafat.
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah dan al-Munqidz min ad-Dlalal, al-Ghazali menentang filosof-filosof Islam bahkan mengkafirkan mereka dalam tiga soal. Pertama, pengingkaran kebangkitan jasmani. Kedua, membatasi ilmu tuhan kepada hal-hal yang besar saja. Ketiga, kepercayaan tentang qadimnya alam dan keazalianya.(Ahmad Hanafi, 1990)
Penolakan  filosof  terhadap  kebangkitan  jasmani dan  mortalitas  jiwa  individu.  Para  filosof  Muslim  sebelum  al- Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan dari alam kubur  menuju  akhirat  nanti  adalah  rohani  semata,  sedangkan jasmani  akan  hancur  lebur.  Menurut  mereka,  akan  merasakan kebahagiaan atau siksaan adalah rohani semata. Al-Ghazali dalam mengkritik pendapat para filosof tersebut lebih banyak bersandar pada arti tekstual Al-Qur’an, yang menurutnya tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan (siksaan)  fisik  dan  rohani  secara  bersamaan. Allah  Maha  Kuasa menciptakan segala sesuatu dan untuk itu tidaklah ada keraguan sedikitpun  Allah  akan  mengembalikan  rohani  pada  jasmani  di akhirat nanti. (Sirajudin Zar, 2012)
Pendapat  filosof  yang  menyatakan  bahwa Tuhan tidak mungkin mengetahui hal-hal yang bersifat particular (pendapat yang dipegangi oleh Ibnu Sina). Mula-mula pendapat ini dipegangi oleh Aristoteles kemudian dianut oleh para filosof Muslim. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya sendiri (juz’iyat) dengan alasan alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan,  jika  Allah  mengetahui  rincian  perubahan  tersebut, hal itu akan membawa perubahan pada zat-Nya. Perubahan pada obyek  ilmu  akan  membawa  perubahan  pada  yang  punya  ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah. Al- Ghazali  mengkritik  seraya  mengatakan  bahwa  para  filosof  itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurutnya, sebuah perubahan pada  obyek  ilmu  tidak  membawa  perubahan  pada  ilmu.  Karena ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, sebagaimana halnya kalau ada orang berdiri di sebelah kanan kita, kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan kita. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan.(Ahmad Atabik, 2014)
Untuk memperkuat bangunan argument untuk mengkritik para filosof Muslim, al-Ghazali mengemukakan dalil ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukan bahwa Allah mengetahui segala yang di bumi, baik itu kecil maupun besar, diantaranya :
$tBur ãbqä3s? Îû 5bù'x© $tBur (#qè=÷Gs? çm÷ZÏB `ÏB 5b#uäöè% Ÿwur tbqè=yJ÷ès? ô`ÏB @@yJtã žwÎ) $¨Zà2 ö/ä3øn=tæ #·Šqåkà­ øŒÎ) tbqàÒÏÿè? ÏmÏù 4 $tBur Ü>â÷ètƒ `tã y7Îi/¢ `ÏB ÉA$s)÷WÏiB ;o§sŒ Îû ÇÚöF{$# Ÿwur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# Iwur ttóô¹r& `ÏB y7Ï9ºsŒ Iwur uŽy9ø.r& žwÎ) Îû 5=»tGÏ. AûüÎ7B ÇÏÊÈ  
Artinya : Kamu tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yunus : 61)
Dalam ayat lain, Allah berfirman :
ö@è% šcqßJÏk=yèè?r& ©!$# öNà6ÏZƒÏÎ/ ª!$#ur ãNn=÷ètƒ $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒOÎ=tã ÇÊÏÈ    
Artinya : Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, Padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?" (QS. Al-Hujarat : 16
Para  filosof  yang  berpendapat  bahwa  alam  itu qadim (tidak  mempunyai  permulaan),  ini merupakan  pendapat Aristoteles  dan  pengikutnya.  Para  filosof  muslim  sebelum  al-Ghazali  mengatakan  bahwa  alam  ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada  sebab  akibat),  yakni  dari  zat  dan  tingkatan,  juga  dari  segi zaman. Para filosof kala itu beralasan tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan  demikian  berarti  kita  bisa  membayangkan  bahwa  yang qadim  itu  sudah  ada,  sedangkan  alam  belum  ada. Menurut  al-Ghazali yang qadim (tidak mempunyai permulaan) hanyalah Tuhan semata. Maka, selain Tuhan haruslah baru (hadits). Karena apabila  terdapat  sesuatu  yang qadim selain  Tuhan,  maka  dapat memunculkan paham; apabila yang qadim banyak, berarti Tuhan banyak; pemikiran ini tentu menimbulkan kemusyrikan yang pelakunya  dosa  besar  yang  tidak  dapat  diampuni  Tuhan;  atau masuk  golongan  Ateisme  yang  menyatakan  bahwa  alam  yang qadim tidak perlu adanya pencipta.(Ahmad Atabik, 2014)
Namun sebagai pengkaji Al-Qur’an beliau kemudian kembali mengunakan akal dalam membahas arti hidup, hikmah Al-Qur’an serta hakikat kenabian sehingga beliau dianggap berhasil membela kemurnian agama Islam. Jadi pikiran para filosof yang selama ini cukup membingungkan dalam mengkaji Tuhan, beliau uraikan dengan filsafat Islam itu sendiri.(Inu Kencana Syafiie, 2010)
3.    Wujud dan Sifat Allah
Dalam perdebatan terkait sifat-sifat Allah, al-Ghazali memegang pendapat yang dianut oleh al-Asy’ari, sehingga tidak menerima  pendapat  yang  dikemukakan  oleh  kaum  Hasywiyah maupun  Mu’tazilah,  karena  kedua  aliran  ini  dianggap  sebagai aliran kaum ekstrimis. Aliran Hasywiyah berpedoman teguh pada arti  dari  suatu  teks  (ayat  al-Quran  dan  al-Sunnah)  agar  mereka tidak menghindarkan Allah dari berbagai sifat, sehingga mereka terkesan antropomorfis (tajsim). Sebaliknya Mu’tazilah berlebih- lebihan dalam menyucikan Allah, sehingga mereka harus menafikan sifat-sifat  Allah.  Yang  paling  baik  menurut  al-Ghazali  adalah jalan tengah. Lebih tegas al-Ghazali menjelaskan. Allah adalah satu-satunya  sebab  bagi  alam. Allah  menciptakan  alam  dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, karena kehendakAllah adalah sebab bagi  segala  yang  ada (al-maujudat), sedang  ilmu-Nya  meliputi segala sesuatu. Lebih lanjut al-Ghazali menetapkan adanya sifat Zat  yang  diistilahkan  dengan  sifat Salbiyah, yakni  sifat  yang menafikan  sesuatu  yang  tidak  sesuai  dengan  kesempurnaan  Zat Allah. Sifat Salbiyah ini ada lima; Qidam, Baqa’, mukhalafat li al- hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdaniyah. Dengan adanya sifat-sifat ini pada Zat Allah, maka menjadi tiada kesempurnaan makhluk dan hanya Allah-lah yang maha sempurna. Sedangkan  tentang  wujud  Allah,  Al-Ghazali  tidak  jauh berbeda dengan pendapat para filosof paripatetik lainnya, semisal al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina. Bahwa Tuhan merupakan prima kausa (penyebab pertama). Menurut mereka Allah Esa tak terbilang, sama sekali tidak menyamai makhluk-makhluk-Nya, kekal dan tak akan Fana. Menurut al-Farabi, Allah adalah Pencipta Yang Maha Kuasa dan Maha Bijak, Allah adalah Dzat yang harus ada karena diri-Nya  sendiri (wajib  al-Wujud  li  Dzatihi) dan  sebab  pertama dalam segala entitas (kausa prima). Wujud-Nya merupakan wujud yang paling sempurna, Maha Suci dari segala kuasa seperti materi, bentuk, aksi dan efisiensi. Allah dengan subtansi-Nya merupakan akal  aktual (aql  bi  al-f’l), karena  Dia  suci  dari  materi.
Dengan subtansi-Nya, Allah juga ma’qul (kategori, obyek pengetahuan), karena  Dia  mengetahui  Dzat-Nya.40 Terkait  dengan  penciptaan alam,  menurut  al-Farabi  dan  Ibnu  Sina  bahwa  wujudnya  alam bukanlah  dan  bukanlah  diciptakan, Allah  memang  prima  kausa, penyebab pertama, penggerak pertama, wajib al-Wujud. Namun, Allah bukanlah pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama. Allah menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran (emanasi). Dengan demikian, Allah menciptakan alam  semenjak  azali  alam  semenjak  azali  dengan  materi  alam berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi  alam  adalah  baru  berasal  dari  pancaran  pikiran  Akal Pertama.
Menurut  al-Ghazali  teori  ketuhanan (ilahiyyat) al-Farabi dan  Ibnu  Sina  yang  teperngaruhi  oleh  filsafat Aristoteles,  lebih me-Mehasuci-kan dan me-Mahaabstrak-kan Tuhan dibandingkan dengan yang dikembangkan oleh kaum Mu’tazilah, menjauhkan Tuhan secara total dari segala yang memiliki cela inderawi dan materi.  Tuhan  digambarkan  secara  rasional  murni,  yang  lebih mendekati teori transenden dan tak terhingga yang dikembangkan olehfilosof-filosofmodern. Lebih jelas al-Ghazali mengemukakan, pemikiran al-Farabi dan Ibnu Sina tersebut jelas-jelas tidak bisa diterima dalam pandangan Islam. Sebab, dalam ajaran Islam (yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits) Allah merupakan Dzat yang Pencipta (al-Khaliq), yaitu yang menciptakan sesuatu dari tiada. Kalau alam dikatakan qadim, tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dan dengan demikian Tuhan bukanlah Pencipta.
4.    Iradah (kehendak) Allah dan Hubunganya dengan Hukum Kausalitas
Alam merupakan sesuatu yang diciptakan,  Al-Ghazali mengungkapkan bahwa alam (dunia) itu berasal dari iradah (kehendak)  Allah  semata,  tidak  bisa  terjadi  dengan  sendirinya, sebagaimana yang diyakini oleh filosof Islam sebelumya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak.  Penyesuaian  antara  zarah-zarah  yang  abstrak  dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini. Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan  ruang,  tetapi  dunia  yang  diciptakan  itu  seperti  yang  dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu.Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.(Ahmad Atabik, 2014)
Al-Ghazali sebenarnya tidak mengingkari adanya hukum kausalitas. Namun yang ia ingkari adalah pendapat para filosof Muslim yang mengatakan bahwa hubungan sebab akitab merupakan hubungan kepastian atau keniscayaan. Sikap al-Ghazali ini di dasari oleh konsep bahwa Allah adalah pencipta segala yang ada termasuk peristiwa yang berada di luar kebiasaan. Al-Ghazali sangat menekankan pada kehendak Tuhan, suatu sifat yang mentransformasikan diri dalam potensi (dan aktualitas) tindakan. Dengan  mempertimbangkan  premis-premis  ini,  adakah  tempat bagi  sebab-sebab  alamiah  atau causae  secundae dalam  sistem pemikiran al-Ghazali? Malah kausalitas mungkin merupakan masalah yang paling banyak dibahas dalam literatus historiografis tentang  pemikir  ini.  Bahkan  belakangan  ini  sejumlah  sarjana menggarap masalah ini.
Menurut  al-Ghazali,  hubungan  antara  sebab  dan  akibat tidak  bersifat dharuri (kepastian),  dalam  pengertian  keduanya tidak merupakan hubungan yang mesti berlaku, tetapi keduanya masing-masing memiliki individualitasnya sendiri. Sebagai contoh, antara makan dan kenyang tidak terdapat hubungan yang bersifat keniscayaan. Artinya, orang makan tidak niscaya merasa kenyang Karena makan tidak mesti menyebabkan orang kenyang. Artinya, orang makan tidak niscaya merasa kenyang karena makan tidak mesti menyebabkan orang kenyang, begitu pula kertas tidak mesti terbakar meski terkena api. Ini merupakan adat kebiasaan alam, bukan sesuatan keniscayaan. Terjadinya segala sesuatu itu hanya karena kekuasan dan kehendak Sang Maha Pencipta yaitu Allah  Swt. Sebagai  contoh,  kertas  tidak  mesti  terbakar  oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali  dengan  menghilangkan  sifat  membakar  dari  api  ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
Namun, merupakan sebuah kesalahan jika ada yang menyatakan bahwa al-Ghazali menolak secara mutlak keberadaan kausalitas  alamiah,  menolak  fakta  bahwa  api  membakar  kapas adalah sangat bodoh. Yang ditolak al-Ghazali adalah keberadaan hubungan yang niscaya antara sebab dan akibat yang terlepas dari kehendak Tuhan yang menciptakan hakikat membakar. Jika dunia yang mungkin adalah dunia tempat segala kemungkinan, al-Ghazali mengklaim bahwa kemungkinan in hanyalah karena tindakan bebas Tuhan. Kesulitannya bukan terletak pada keberadaan objektif hal- hal konkret hanya karena Tuhan menciptakan mereka. Dalam pemikirannya tentang kausalitas, selain al-Ghazali, ada seorang filosof barat yang bernama David Hume yang menyuarakan  pemikiran,  namun  al-Ghazali  tentu  lebih  dahulu dalam teori kausalitas ini. Menurut al-Ghazali, hubungan kausalitas hanyalah penampakan dan merupakan efek dari kebiasaan manusia yang mengaitkan dua kejadian yang tejadi secara konsisten dalam alam; “Kontinuitas kebiasaan (‘adah) berkenaan dengan mereka (yaitu, hal-hal yang kelihatannya niscaya, tetapi sebenarnya hanya munkin), dari waktu ke waktu, menanamkan dengan kuat dalam pikiran kita kesan aliran (jarayan) yang sesuai denga kebiasaan yang lalu sehingga kontinuitas tidak dapat dipisahkan dari hal-hal tersebut. Kebiasan yang menyimpang dari hukum kausalitasnya
sejatinya terjadi pada nabi-nabi Allah. Terkait dengan hal ini, Zar menjelaskan dengan memberi pertanyaan, apakah hal ini terjadi karena kekuatan diri nabi sendiri atau disebabkan hal lain? Dalam hal ini baik para filosof Muslim maupun al-Ghazali mempunyai pendapat  yang  sama,  sebagaimana  para  filosof  bisa  menerima terjadinya hujan petir, gempa bumi atas kekuatan diri nabi atau karena  hal  lainnya.  Namun  yang  lebih  penting  kata  al-Ghazali, harus  mengakui  bahwa  semuanya  melalui  perantaraan  malaikat sebagai mu’jizat untuk menguatkan bukti kenabian mereka.
5.    Teori Kenabian
Meskipun al-Ghazali dalam bukunya Thafut al-Falasifah bernada menentang teori kenabian dari al-Farabi dan Ibnu Sina, dengan mengatakan bahwa seorang nabi dapat berhubungan dengan Tuhan langsung atau dengan perantara malaikat kepada Akal-Faal atau daya imajinasi tertentu atau cara-cara lain yang di kemukakan filosof-filosof. Namun dalam bukunya yang lain, yaitu Al-Munqidzu Dlalal, al-Ghazali menetapkan bahwa kenabian adalah perkara yang dapat diakui menurut riwayat dan dapat diterima menurut pertimbangan pikiran. Dari segi pikiran, cukuplah diakui bahwa kenabian mirip dengan gejala-gejala kejiwaan yang diakui oleh kita semua, yaitu impian. Ia berkata :
“Tuhan telah mendekatkan demikian itu (kenabian) kepada hamba-hamba-Nya denagn jalan memberikan kepada mereka suatu contoh dari ciri khas kenabian yaitu tidur, karena orang tidur dapat melihat rahasia yang akan terjadi, baik dengan berbajukan perumpamaan yang akan terjadi, baik dengan jelas atau dengan berbajukan perumpamaan yang bisa diungkapkan dengan kata-kata” (Ahmad Hanafi, 1990)

0 Response to "Filsafat Al-Ghazali"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

pasang