Keutamaan Basmallah


فَصْلٌ فِي فَضْلِها

Imam Abu Muhammad Abdur Rahman ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab Tafsir-nya:

حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُسَافِرٍ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْمُبَارَكِ الصَّنْعَانِيُّ، حَدَّثَنَا سَلَّامُ بْنُ وَهْبٍ الجَنَديّ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. فَقَالَ: "هُوَ اسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ، وَمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اسْمِ اللَّهِ الْأَكْبَرِ، إِلَّا كَمَا بَيْنَ سَوَادِ الْعَيْنَيْنِ وَبَيَاضِهِمَا  مِنَ الْقُرْبِ"

telah menceritakan kepada kami ayahku, telah rnenceritakan kepada kami Ja'far ibnu Musafir, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Mubarak As-San'ani, telah menceritakan kepada kami Salam ibnu Wahb Al-Jundi. telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa Usman bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang basmalah. Beliau menjawab: Basmalah merupakan salah satu dari nama-nama Allah; antara dia dan asma Allahu Akbar jaraknya tiada lain hanyalah seperti antara bagian hitam dari bola mata dan bagian putihnya karena saking dekatnya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih, dari Sulaiman ibnu Ahmad, dari Ali ibnul Mubarak, dari Zaid ibnul Mubarak.

وَقَدْ رَوَى الْحَافِظُ ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقَيْنِ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَيَّاشٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ يَحْيَى، عَنْ مِسْعَر، عَنْ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَسْلَمَتْهُ أُمُّهُ إِلَى الكتَّاب لِيُعَلِّمَهُ، فَقَالَ الْمُعَلِّمُ: اكتب، قال ما أكتب؟ قال: بسم اللَّهِ، قَالَ لَهُ عِيسَى: وَمَا بِاسْمِ اللَّهِ؟ قَالَ الْمُعَلِّمُ: مَا أَدْرِي. قَالَ لَهُ عِيسَى: الْبَاءُ بَهاءُ اللَّهِ، وَالسِّينُ سَنَاؤُهُ، وَالْمِيمُ مَمْلَكَتُهُ، وَاللَّهُ إِلَهُ الْآلِهَةِ، وَالرَّحْمَنُ رَحْمَنُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَالرَّحِيمُ رَحِيمُ الْآخِرَةِ".

Al-Hafiz ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui dua jalur. dari Ismail ibnu Iyasy, dari Ismail ibnu Yahya, dari Mis'ar, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Sesungguhnya Isa ibnu Maryam a.s. diserahkan oleh ibunya kepada guru tulis untuk diajar menulis. Kemudian si guru berkata kepadanya, Tulislah.' Isa a.s. bertanya, 'Apa yang harus aku tulis?' Si guru menjawab, 'Bismillah." Isa bertanya kepadanya, 'Apakah arti bismillah itu?' Si guru menjawab, 'Aku tidak tahu.' Isa menjawab, 'Huruf ba artinya cahaya Allah, huruf sin artinya sinar-Nya. huruf mim artinya kerajaan-Nya, dan Allah adalah Tuhan semua yang dianggap tuhan. Ar-Rahman artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan Ar-Rahim artinya Yang Maha Penyayang di akhirat'."

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui hadis Ibrahim ibnul Ala yang dijuluki dengan sebutan Ibnu Zabriq, dari Ismail ibnu Iyasy, dari Ismail ibnu Yahya, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari seseorang yang menceritakannya, dari Ibnu Mas'ud dan Mis'ar, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda. Kemudian ia menuturkan hadis ini, tetapi predikatnya garib (aneh) sekali. Barangkali berpredikat sahih sampai kepada orang selain Rasulullah Saw., dan barangkali hadis ini termasuk salah satu dari hadis israiliyat, bukan dari hadis yang marfu’. Juwaibir meriwayatkannya pula sebelum dia, dari Dahhak.

وَقَدْ رَوَى ابْنُ مَرْدُويه، مِنْ حَدِيثِ يَزِيدَ بْنِ خَالِدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ، وَفِي رِوَايَةٍ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آيَةٌ لَمْ تَنْزِلْ عَلَى نَبِيٍّ غَيْرِ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ وَغَيْرِي، وَهِيَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ"

Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari hadis Yazid ibnu Khalid, dari Sulaiman ibnu Buraidah; sedangkan menurut riwayat lain dari Abdul Karim Abu Umayyah, dari Abu Buraidah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Telah diturunkan kepadaku suatu ayat yang belum pernah diturunkan kepada seorang nabipun selain Sulaiman ibnu Daud dan aku sendiri, yaitu bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).

Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula berikut sanadnya melalui Abdul Karim Al-Kabir ibnul Mu'afa ibnu Imran, dari ayahnya, dari Umar ibnu Zar, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa ketika diturunkan kalimat berikut: Dengan nama Allah YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang. Maka seluruh awan lari ke arah timur, angin hening tak bertiup, sedangkan lautan menggelora, semua binatang mendengar melalui telinga mereka, dan semua setan dirajam dari langit. Pada saat itu Allah Swt. bersumpah dengan menyebut keagungan dan kemuliaan-Nya bahwa tidak sekali-kali asma-Nya (yang ada dalam basmalah) diucapkan terhadap sesuatu melainkan Dia pasti memberkatinya. Waki' mengatakan dari Al-A'masy, dari Abu Wa'il, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa barang siapa yang ingin diselamatkan oleh Allah dari Malaikat Zabaniyah yang jumlahnya sembilan belas (Zabaniyah adalah juru penyiksa neraka), hendaklah ia membaca: Dengan nama Allah YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang. Allah akan menjadikan sebuah surga baginya pada setiap huruf dari basmalah untuk menggantikan setiap Malaikat Zabaniah. Hal ini diketengahkan oleh Ibnu Atiyyah dan Al-Qurtubi, diperkuat dan didukung oleh Ibnu Atiyyah dengan sebuah hadis yang mengatakan,

"فَقَدْ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا" لِقَوْلِ الرَّجُلِ: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

"Sesungguhnya aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebutan (mencatat) perkataan seorang lelaki yang mengucapkan, 'rabbana walakal hamdu hamdan ka'siran tayyiban mubarakan fihi' (Wahai Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji dengan pujian yang sebanyak-banyaknya, baik lagi diberkati), mengingat jumlah semua hurufnya ada sembilan belas." Dan dalil-dalil lainnya.
Imam Ahmad ibnu Hambal di dalam kitab Musnad-nya mengatakan bahwa:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَاصِمٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا تَمِيمَةَ يُحَدِّثُ، عَنْ رَدِيفِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: عَثَرَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: تَعِس الشَّيْطَانُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ. فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ: تَعِسَ الشَّيْطَانُ تَعَاظَمَ، وَقَالَ: بِقُوَّتِي صَرَعْتُهُ، وَإِذَا قُلْتَ: بِاسْمِ اللَّهِ، تَصَاغَرَ حَتَّى يَصِيرَ مِثْلَ الذُّبَابِ".

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Asim yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Abu Tamim yang menceritakan hadis dari orang yang pernah membonceng Nabi Saw. Si pembonceng menceritakan: Unta kendaraan Nabi Saw. terperosok, maka aku mengatakan, "Celakalah setan." Maka Nabi Saw. bersabda, "Janganlah kamu katakan, 'Celakalah setan,' karena sesungguhnya jika kamu katakan demikian, maka ia makin membesar, lalu mengatakan, 'Dengan kekuatanku niscaya aku dapat mengalahkannya.' Tetapi jika kamu katakan, 'Dengan nama Allah,' niscaya si setan makin mengecil hingga bentuknya menjadi sebesar lalat."

Demikian menurut riwayat Imam Ahmad.
Imam Nasai di dalam kitab Al-Yaumu wal Lailah dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya. telah meriwayatkan melalui hadis Khalid Al-Hazza, dari Abu Tamimah (yaitu Al-Hujaimi), dari Abul Malih ibnu Usamah ibnu Umair, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah membonceng Nabi Saw. Selanjutnya dia menuturkan hadis hingga sampai pada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:

«لَا تَقُلْ هَكَذَا فَإِنَّهُ يَتَعَاظَمُ حَتَّى يَكُونَ كَالْبَيْتِ، وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّهُ يَصْغُرُ حَتَّى يَكُونَ كَالذُّبَابَةِ»

Jangan kamu katakan demikian, karena sesungguhnya setan nanti akan makin membesar hingga bentuknya seperti rumah. Tetapi katakanlah.”Bismillah" (dengan nama Allah), karena sesungguh-nya dia akan mengecil hingga bentuknya seperti lalat. Demikian itu terjadi berkat kalimah bismillah. Karena itu, pada permulaan setiap perbuatan dan ucapan disunatkan terlebih dahulu membaca basmalah. Membaca   basmalah   disunatkan   pada   permulaan   khotbah, berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan:

«كُلُّ أَمْرٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَهُوَ أَجْذَمُ »

Setiap perkara yang tidak dimulai dengan bacaan bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), maka perkara itu kurang sempurna. Disunatkan membaca basmalah di saat hendak memasuki kamar kecil, berdasarkan sebuah hadis yang menganjurkannya. Disunatkan pula membaca basmalah pada permulaan wudu, berdasarkan sebuah hadis yang disebutkan di dalam Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Sunan. melalui riwayat Abu Hurairah dan Sa'id ibnu Zaid serta Abu Sa'id secara. marfu’. yaitu:

«لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ»

Tidak ada wudu bagi orang yang tidak menyebut asma Allah (bismillah) dalam wudunya.
Hadis ini berpredikat hasan.
Di antara ulama ada yang mewajibkannya di saat hendak melakukan zikir, dan di antara mereka ada pula yang mewajibkannya secara mutlak. Membaca basmalah disunatkan pula di saat hendak melakukan penyembelihan, menurut mazhab Imam Syafii dan segolongan ulama. Ulama lain mengatakan wajib di kala hendak melakukan zikir, juga wajib secara mutlak menurut pendapat sebagian dari mereka, seperti yang akan dijelaskan pada bagian lain. Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya menyebutkan hadis mengenai keutamaan basmalah, antara lain dari Abu Hurairah r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"إِذَا أَتَيْتَ أَهْلَكَ فَسَمِّ اللَّهَ؛ فَإِنَّهُ إِنْ وُلِدَ لَكَ وَلَدٌ كُتِبَ لَكَ بِعَدَدِ أَنْفَاسِهِ وَأَنْفَاسِ ذُرِّيَّتِهِ حَسَنَاتٌ"

Apabila kamu mendatangi istrimu, maka sebutlah asma Allah, karena sesungguhnya apabila ditakdirkan bagimu punya anak, niscaya akan dicatatkan bagimu kebaikan-kebaikan menurut bilangan helaan napasnya dan napas-napas keturunannya.
Akan tetapi, hadis ini tidak ada asalnya, dan aku (penulis: yakni Ibnu Katsir) belum pernah melihatnya dalam suatu kitab pun di antara kitab-kitab yang dapat dipegang, tidak pula pada yang lainnya. Disunatkan membaca basmalah di saat hendak makan, seperti apa yang disebutkan di dalam hadis sahih Muslim yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada anak tirinya, yaitu Umar ibnu Abu Salamah:

"قُلْ: بِاسْمِ اللَّهِ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ"

Ucapkanlah bismillah, dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah makanan yang dekat denganmu.
Sebagian ulama mewajibkan membaca basmalah dalam keadaan seperti itu.
Disunatkan pula membaca basmalah di saat hendak melakukan senggama, seperti yang disebutkan dalam hadis Sahihain melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

«لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقَتْنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ أَبَدًا» .

Seandainya seseorang di antara kalian hendak mendatangi istrinya, lalu ia mengucapkan, "Dengan menyebut asma Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezekikan (anugerahkan) kepada kami, "karena sesungguhnya jika ditakdirkan terlahirkan anak di antara keduanya, niscaya setan tidak dapat menimpakan mudarat terhadap anak itu untuk selama-lamanya.

Berawal dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa kedua pendapat di kalangan ahli nahwu dalam masalah lafaz yang dijadikan ta'alluq (kaitan) oleh huruf ba dalam kalimat Bismillah. apakah berupa fi’l atau isim, keduanya sama-sama mendekati kebenaran. Masing-masing pendapat memang ada contohnya di dalam Al-Qur'an. Pendapat yang mengatakan bahwa ta'alluq-nya berupa isim. hingga bentuk lengkapnya menjadi seperti berikut: "Dengan menyebut asma Allah kumulai", contohnya di dalam Al-Qur'an ialah firman-Nya:

وَقالَ ارْكَبُوا فِيها بِسْمِ اللَّهِ مَجْراها وَمُرْساها إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan Nuh berkata, "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuh." Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Hud: 41) Orang yang memperkirakannya dalam bentuk fi’l, baik fi’l amar ataupun khabar (kalimat berita), contohnya ialah: "Aku memulai dengan menyebut asma Allah" atau "Dengan nama Allah aku memulai", seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (Al-'Alaq: 1)

Kedua pendapat tersebut benar, karena suatu fi'il pasti mempunyai masdar. Maka Anda boleh memperkirakan ta'alluq-nya dalam bentuk fi'il atau masdar-nya. Yang demikian itu disesuaikan dengan pekerjaan yang akan dibacakan basmalah untuknya, misalnya duduk, berdiri, makan, minum, membaca, wudu, ataupun salat. Hal yang dianjurkan ialah membaca basmalah di kala hendak melakukan semua hal yang disebutkan untuk memperoleh berkah dan rahmat serta pertolongan dalam menyelesaikannya dan agar diterima oleh Allah Swt. Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadis Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa hal yang mula-mula dibawa turun oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. ialah: "Hai Muhammad, katakanlah, 'Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk'." Kemudian Malaikat Jibril berkata, "Katakanlah bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)."
Jibril berkata kepadanya, "Hai Muhammad, sebutlah asma Allah, bacalah dengan menyebut asma Allah —Tuhanmu— dan berdiri serta duduklah dengan menyebut asma Allah," menurut lafaz Ibnu Jarir.

Apakah lafaz isim (yang ada pada lafaz Bismi) merupakan musamma (yang diberi nama) atau lainnya? Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu: Pertama, isim adalah musamma (yang diberi nama). Pendapat ini dikatakan oleh Abu Ubaidah dan Imam Sibawaih, kemudian dipilih oleh Al-Baqilani dan Ibnu Faurak; dikatakan pula oleh Ar-Razi (yaitu Muhammad ibnu Umar) yang dikenal dengan julukan Ibnu Khatib Ar-Ray di dalam mukadimah kitab Tafsir-nya.

Kedua, menurut golongan Al-Hasywiyyah, Al-Karamiyyah, dan Al-Asy'ariyyah, isim adalah diri yang diberi nama, tetapi bukan namanya. Ketiga, menurut Mu'tazilah isim bukan menunjukkan yang diberi nama, tetapi merupakan namanya. Menurut pendapat yang terpilih di kalangan kami, isim bukan menunjukkan yang diberi nama. bukan pula namanya. Kemudian kami simpulkan, jika yang dimaksud dengan istilah "isim" adalah "suara dari huruf-huruf yang tersusun", maka menurut kesimpulannya isim bukanlah musamma, sekalipun menurut makna yang dimaksud dengan isim adalah diri musamma (yang diberi nama). Hal seperti ini termasuk ke dalam Bab "Menjelaskan Hal yang Sudah Jelas Berarti Tidak Ada Gunanya". Maka dapat dibuktikan bahwa melibatkan diri ke dalam pembahasan ini dengan mengadakan semua hipotesis sama saja dengan membuang-buang waktu yang tidak ada guna. Kemudian dibahas hal yang menunjukkan adanya perbedaan antara isim dan musamma. Disebutkan bahwa adakalanya isim memang ada, tetapi musamma-nya tidak ada, seperti lafaz ma'dum (yang tidak ada). Adakalanya sesuatu itu mempunyai banyak isim (nama), seperti lafaz mutaradif (sinonim). Adakalanya isim-nya satu. sedangkan mu-samma-nya berbilang, seperti lafaz yang musytarak (satu lafaz yang mempunyai dua makna yang bertentangan). Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara isim dan musamma, dan isim merupakan lafaz, sedangkan musamma adalah penampilannya; musamma itu adakalanya merupakan zat yang mungkin atau wajib keberadaan zatnya. Lafaz an-nar (api) dan as-salj (es) seandainya merupakan musamma, niscaya orang yang menyebutnya akan merasakan panasnya api dan dinginnya es. Akan tetapi. tentu saja hal seperti ini tidak akan dikemukakan oleh orang yang berakal waras. Juga karena Allah Swt. telah berfirman:

وَلِلَّهِ الْأَسْماءُ الْحُسْنى فَادْعُوهُ بِها

Allah mempunyai asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu. (Al-A'raf: 180)
Nabi Saw. telah bersabda:

«إِنْ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا»

Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan  isim (nama).

Shahih: Bukhari 7392 dan Muslim 2677
Ini adalah nama yang banyak, tetapi musamma-nya adalah esa, yaitu Allah Swt. Allah pun telah berfirman: Allah mempunyai nama-nama. (Al-A'raf: 180) Allah telah meng-idafah-km nama-nama itu kepada dirinya, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ

Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahabesar. (Al-Waqi'ah: 74)
Demikian pula yang lain-lainnya yang semisal; kesimpulannya menyatakan bahwa idafah memberikan pengertian mugayarah (perbedaan antara isim dan musamma). Allah Swt. telah berfirman: maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu. (Al-A'raf: 180)
Hal ini menunjukkan bahwa isim bukanlah zat Allah.
Sedangkan orang yang berpendapat bahwa isim adalah musamma, beralasan dengan firman-Nya:

تَبارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلالِ وَالْإِكْرامِ

Mahaagung nama Tuhanmu Yang mempunyai Kebesaran dan Karunia. (Ar-Rahman: 78)

Yang Mahaagung adalah Allah Swt, sebagai jawabannya ialah bahwa isim yang diagungkan untuk mengagungkan Zat Yang Mahasuci; demikian pula jika seorang lelaki mengatakan Zainab —yakni istrinya— tertalak, maka Zainab menjadi terceraikan. Seandainya isim bukanlah musamma, niscaya talak tidak akan jatuh kepadanya, dan tentu saja sebagai jawabannya dikatakan bahwa makna yang dimaksud ialah diri yang diberi nama Zainab terkena talak. Ar-Razi mengatakan bahwa tasmiyah artinya "menjadikan isim ditentukan untuk diri orang yang bersangkutan", maka diri orang tersebut bukanlah isim-nya.

Tafsir Ibnu katsir

0 Response to "Keutamaan Basmallah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

pasang