Filsafat Ibnu Sina
Kamis, 03 Mei 2018
Add Comment
TELAAH PEMIKIRAN FILUSUF MUSLIM :
IBNU SINA
IBNU SINA
Biografi
Ibn Sina
Abu Ali Husein ibnu Abdillah ibnu Sina
lahir di Afsahan, suatu tempat yang terletak didekat Bukhara di tahun 980 M.
Orang tuanya berkedudukan pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Samani.
Menurut sejarah hidup yang disusun muridnya, Jurjanji dari semenjak kecil ibnu
sina telah mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang ada dizamanya, seperti fisika,
matematika, kedokteran, hukum dan lain-lain (Harun Nasution, 2006).
Ibnu Sina lahir dalam masa kekacauan,
ketika Khalifah Abbasiyah mengalami kemunduran dan negeri-negeri yang mula-mula
berada di bawah kekuasaan khalifah tersebut mulai melepaskan diri satu persatu
untuk berdiri sendiri. kota Baghdad sendiri, sebagai pusat pemerintahan
Khalifah Abbasiyah dikuasai oleh golongan Banu Buwaih pada tahun 334 H. dan
kekuasaan mereka berlangsung terus sampai tahun 447 H (Poerwantana, A. Ahmadi, & Rosali, 1988)
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan
sampai sekarang, sosok Ibnu Sina (371/980 M-428/1037 M) merupakan sosok filsuf
muslim yang sangat unik dan dikenal dengan kecerdasannya (Dedi Suriyadi, 2009) Ia mempunyai ingatan dan
kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal
al-Qur’an, sebagian sastra Arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan
aristoteles, setelah membacanya 40 kali. Ia juga mempelajari ilmu kedokteran
pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Dalam usianya yang belum melebihi
enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang,
bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Tidak hanya teori
– teori kedokteran yang ia pelajari, tetapi juga melakukan praktek dan
mengobati orang – orang sakit. ketika berumur 17 tahun ia pernah mengobati
pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu
Sina mendapat sambutan baik sekali dikalangan masyarakat (Ahmad Hanafi, 1990)
Ibnu Sina telah banyak
mengarang buku antara lain: Asy-Syifa, An-Najat, Al-Isyarat Wat Tanbihat,
Alhikmat Asyrigiyyah dan Al-Qanun atau Canon of Mediciul.(Wahyu Murtiningsih, 2014) Asy-Syifa,
merupakan buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina dan terdiri
dari empat bagian yaitu : logika, filsafat, matematika dan metafisika
(ketuhanan). Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang terbesar di
berbagai-bagai perpustskaan di Barat dan timur. Bagian ketuhanan dari fisika
pernah dicetak dengan cetakan batu di Taheran. Risalah utama Ibnu Sina adalah
Kitab Al-Syifa atau kitab pengobatan yang terkenal dalam bahasa latin dengan
judul yang keliru Sufficientia. Karya ini merupakan ensiklopediastudi
Islamic-Yunani pada abad kesebelas, yang disusun dari logika sampai matematika.
Karena para pembaca (karya) filosofis waktu itu, yang telah terbiasa
menggunakan ringkasan merasa puas dengan keyakinannya sendiri untuk
menganalisis penjelasan yang terlalu panjang, maka Ibnu Sina membuat inisiatif
untuk membuat sendiri ringkasan karya ensiklopedi ini. Ia menyebutkan Kitab
Al-Najat atau kitab penyelamat yang jauh lebih luas dibaca daripada As-Syifa
sendiri.
Pada
akhir hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Isfahan dan meninggal di
Hamadzan pada 428 H (1037 M) dalam usia 58 tahun. Ibnu Sina tidak pernah
mengalami ketenangan, dan usianyapun tidak panjang. Kebanyakan hidupnya menurut
beberapa sumber dipenuhi oleh kesibukan-kesibukan politik. Kendati demikian, ia
juga telah banyak mengarang tulisan(Atang Abdul Hakim & Beni Ahmad Saebeni, 2008)
Filsafat
Jiwa
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah filsafatnya tentang
jiwa. Sebagaimana al-Farabi, ia juga menganut paham pancaran. Dari Tuhan
memancar Akal Pertama, dan dari Akal Pertama memancar Akal Kedua dan Langit
Pertama demikian seterusnya sehingga tercapai Langit Kesepuluh dan bumi. Dari Akal Kesepuluh memancar segala apa yang
terdapat di bumi yang berada di bawah bulan. Akal Pertama adalah malaikat
tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Jibril.
Berlainan dengan al-Farabi , Ibnu Sina berpendapat bahwa Akal Pertama
mempunyai dua sifat, Sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan
sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya. Demikian ia
mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan
dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul
akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wujudnya timbul jiwa-jiwa dan
dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.
Jiwa manusia, sebagaimana jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat dibawah
bulan, memancar Akal Kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina membagi jiwa
menjadi tiga bagian (Harun Nasution, 2006) :
a.
Jiwa tumbuh – tumbuhan, dengan daya
- daya :
Makan
( nutrition)
Tumbuh
( growth)
Berkembang
biak ( reproduction)
b.
Jiwa binatang, dengan daya - daya :
Gerak
(locomotion)
Menangkap
( perception) dengan dua bagian :
a) Menagkap dari luar dengan panca
indera
b) Menangkap dari dalam dengan indera -
indera dalam:
1. Indera bersama yang menerima segala
apa yang ditangkap oleh panca indera.
2. Representasi yang menyimpan segala
apa yang diterima oleh indera bersama.
3. Imaginasi yang dapat menyusun apa
yang disimpan dalam representasi
4. Estimasi yang dapat menangkap hal -
hal abstraks yang terlepas dari materi
umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
5. Rekoleksi yang menyimpan hal - hal
abstrak yang diterima oleh estimasi.
c.
Jiwa manusia, dengan daya - daya :
Praktis yang
hubungannya dengan badan dan Teoritis yang hubungannya adalah dengan hal - hal
abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
1) Akal materiil yang semata - mata
mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
2)
Intelectual in habits, yang telah
mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak.
3) Akal actuil, yang telah dapat
berfikir tentang hal - hal abstrak.
4) Akal mustafad yaitu akal yang telah
sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengantak perlu pada daya upaya.
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga
macam jiwa tumbuh - tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang
itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai pengaruh
atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat dengan
kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri
dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali
ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun
jiwa manusia tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak
berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa
masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong
jiwa manusia untuk dapat berfikir.
1.
Teori Fisika
Ibnu Sina mengatakan bahwa alam jisim
ini terdiri dari dua dasar: materi dan forma. Keduanya merupaka kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Dan juga alam ini mempunyai sifat-sifat seperti gerak,
diam, dan sebagainya. Pendapat ini berasal dari aristoteles dan juga dianut
oleh al-farabi.
Adapun
diantara hal-hal yang melekat pada (lawahiq) jisim adalah:
a)
Gerak
dan diam
Yang
dimaksud dengan gerak adalah “pertukaran suatu keadaan yang menetap pada jisim
secara perlahan-lahan menuju arah tertentu”. Jadi, gerak adalah peralihan dari
satu tempat ketempat lain, perubahan dari putih menjadi hitam, dan juga
bertambah dan berkurangnya sesuatu disebut gerak. Adapun diam, kata ibnu sina
adalah “tidak adanya gerak pada apa yang sifatnya dapat bergerak”. Ibnu Sina
berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini berada dalam gerak.
Kajian yang dikemukakan ibnu sina dalam masalah ini adalah bersifat teori. Yang
objek kajiannya adalah segala maujudat. Gerak ada dua macam yaitu :
1)
Gerak paksaan (harakah qahriah) yang
timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian
menggerakkannya.
2)
Gerak bukan paksaan, dan gerak ini
terbagi menjadi dua yaitu :
a. Gerak
sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
b. Gerak yang terjadi
dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sedang berat
badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang
menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas bumi. Gerak
yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak
khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut
ialah jiwa.
Pengenalan
(pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh
sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan –
kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil
natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan
Physics, kedua – duanya dari Aristoteles.
b)
Zaman
Zaman
berkaitan dengan gerak, dan hanya dengan adanya gerak, zaman dapat terbayang adanya.
Zaman itu bukanlah sesuatu yang tidak ada lalu ada, tapi terjadinya penciptaan
tidaklah didahului zaman, tetapi didahului oleh dzat. Dan zaman itu sendiri
adalah ukuran gerak melingkar dari segi maju dan mundur. Oleh karena zaman
adalah kabar atau ukuran gerak, maka zaman tidak didahului oleh ketiadaan,
demikian pula halnya gerak. Jika demikian,gerak dan zaman adalah kadim, begitu
pula halnya jisim.
2.
Ruang
(tempat)
Ruang
adalah sesuatu yang ada padanya terdapat jisim, meliputinya dan berpisah
dengannya pada waktu gerak. Juga ruang menyamai jisim karena tidak mungkin ada
dua jisim pada satu ruang dan pada waktu yang sama.(Harun Nasution, 2006)
a) Filsafat
wujud
Bagi
Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas
segala sifat lain, walaupun esensi sendiri (quiddity) sediri. Esensi, dalam
faham Ibnu Sina, terdapat dalam akal, sedangkan wujud terdapat diluar akal.
Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar
akal. Kalau dikombinasikan, esensi dan wujud dapat dapat mempunyai kombinasi
sebagai berikut:
1)
Esensi yang tidak dapat mempunyai wujud.
2)
Esensi yang boleh mempunyai wujud dan
boleh pula tidak mempunyai wujud.
3)
Esensi yang tidak boleh dan tidak mesti
mempunyai wujud. Dengan argument ini Ibnu Sina ingin membuktikan adanya tuhan
menurut logika.
3. Teori Kenabian
Sebagaimana al-Farabi, Ibnu Sina juga mengusahakan
pemaduan (rekonsiliasi) antara agama dan filsafat. Menurutnya nabi dan filosof menerima
kebenaran yang dari sumber yang sama, yakni malaikat jibril yang disebut Akal
Kesepuluh atau Akal Aktif. Perbedaanya hanya terletak pada cara memperolehnya,
bagi nabi terjadinya hubungan dengan Malaikat Jibril melalui akal materil yang
disebut hads (kekuatan suci), sedangkan filosof melalui akal mustafad.
Nabi memperoleh akal materil yang dayanya jauh lebih kuat dari pada Akal
Mustafad sebagai anugrah Tuhan pada orang pilihanya. Sementara itu, filosof
memperoleh Akal Mustafad yang dayanya jauh lebih rendah dari pada akal materil
melalui latihan berat. Pengetahuan yang diperoleh nabi disebut wahyu, berlainan
dengan pengetahuan yang diperoleh filosof dalam bentuk ilham, tetapi diantara
keduanya tidaklah bertentangan.(Sirajudin Zar, 2012)
Ibnu Sina memberikan ketegasan tentang perbedaan
antara para nabi dan para filosof. Mereka yang disebut pertama, menurutnya
adalah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi manusia lain untuk
mengusahakan dirinya menjadi nabi. Sementara itu, mereka yang disebut kedua
adalah manusia yang mempunyai intelektual yang tinggi dan tidak bisa menjadi
nabi. Para nabi sangat diperlukan kemaslahatan manusia dan alam semesta. Hal
ini disebabkan para nabi dengan mukjizatnya dapat dibenarkan dan diikuti
menusia dengan kata lain, kebenaran yang disampaikan nabi, seperti adanya hari
akhirat dan lain-lain, dapat diterima dan dibenarkan manusia, baik secara
rasional maupun syar’i.
0 Response to "Filsafat Ibnu Sina"
Posting Komentar