Filsafat Ibnu Sina




TELAAH PEMIKIRAN FILUSUF MUSLIM :
IBNU SINA

   

Biografi Ibn Sina
Abu Ali Husein ibnu Abdillah ibnu Sina lahir di Afsahan, suatu tempat yang terletak didekat Bukhara di tahun 980 M. Orang tuanya berkedudukan pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Samani. Menurut sejarah hidup yang disusun muridnya, Jurjanji dari semenjak kecil ibnu sina telah mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang ada dizamanya, seperti fisika, matematika, kedokteran, hukum dan lain-lain (Harun Nasution, 2006).
Ibnu Sina lahir dalam masa kekacauan, ketika Khalifah Abbasiyah mengalami kemunduran dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khalifah tersebut mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri. kota Baghdad sendiri, sebagai pusat pemerintahan Khalifah Abbasiyah dikuasai oleh golongan Banu Buwaih pada tahun 334 H. dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai tahun 447 H (Poerwantana, A. Ahmadi, & Rosali, 1988)
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan sampai sekarang, sosok Ibnu Sina (371/980 M-428/1037 M) merupakan sosok filsuf muslim yang sangat unik dan dikenal dengan kecerdasannya (Dedi Suriyadi, 2009) Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal al-Qur’an, sebagian sastra Arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan aristoteles, setelah membacanya 40 kali. Ia juga mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Dalam  usianya yang belum melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Tidak hanya teori – teori kedokteran yang ia pelajari, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang – orang sakit. ketika berumur 17 tahun ia pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali dikalangan masyarakat (Ahmad Hanafi, 1990)
Ibnu Sina telah banyak mengarang buku antara lain: Asy-Syifa, An-Najat, Al-Isyarat Wat Tanbihat, Alhikmat Asyrigiyyah dan Al-Qanun atau Canon of Mediciul.(Wahyu Murtiningsih, 2014) Asy-Syifa, merupakan buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina dan terdiri dari empat bagian yaitu : logika, filsafat, matematika dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang terbesar di berbagai-bagai perpustskaan di Barat dan timur. Bagian ketuhanan dari fisika pernah dicetak dengan cetakan batu di Taheran. Risalah utama Ibnu Sina adalah Kitab Al-Syifa atau kitab pengobatan yang terkenal dalam bahasa latin dengan judul yang keliru Sufficientia. Karya ini merupakan ensiklopediastudi Islamic-Yunani pada abad kesebelas, yang disusun dari logika sampai matematika. Karena para pembaca (karya) filosofis waktu itu, yang telah terbiasa menggunakan ringkasan merasa puas dengan keyakinannya sendiri untuk menganalisis penjelasan yang terlalu panjang, maka Ibnu Sina membuat inisiatif untuk membuat sendiri ringkasan karya ensiklopedi ini. Ia menyebutkan Kitab Al-Najat atau kitab penyelamat yang jauh lebih luas dibaca daripada As-Syifa sendiri.
Pada akhir hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Isfahan dan meninggal di Hamadzan pada 428 H (1037 M) dalam usia 58 tahun. Ibnu Sina tidak pernah mengalami ketenangan, dan usianyapun tidak panjang. Kebanyakan hidupnya menurut beberapa sumber dipenuhi oleh kesibukan-kesibukan politik. Kendati demikian, ia juga telah banyak mengarang tulisan(Atang Abdul Hakim & Beni Ahmad Saebeni, 2008)
Filsafat Jiwa
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah filsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana al-Farabi, ia juga menganut paham pancaran. Dari Tuhan memancar Akal Pertama, dan dari Akal Pertama memancar Akal Kedua dan Langit Pertama demikian seterusnya sehingga tercapai Langit Kesepuluh dan bumi.  Dari Akal Kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Jibril.
Berlainan dengan al-Farabi , Ibnu Sina berpendapat bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat, Sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya. Demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit. Jiwa manusia, sebagaimana jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat dibawah bulan, memancar Akal Kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina membagi jiwa menjadi tiga bagian  (Harun Nasution, 2006) :
a.    Jiwa tumbuh – tumbuhan, dengan daya - daya :
Makan ( nutrition)
Tumbuh ( growth)
Berkembang biak ( reproduction)
b.    Jiwa binatang, dengan daya - daya :
Gerak (locomotion)
Menangkap ( perception) dengan dua bagian :
a) Menagkap dari luar dengan panca indera
b) Menangkap dari dalam dengan indera - indera dalam:
1.  Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera.
2.   Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama.
3.   Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi
4. Estimasi yang dapat menangkap hal - hal abstraks yang terlepas dari materi  
    umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
  5.   Rekoleksi yang menyimpan hal - hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
c.    Jiwa manusia, dengan daya - daya :
Praktis yang hubungannya dengan badan dan Teoritis yang hubungannya adalah dengan hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
1)     Akal materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
2)     Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak.
3)     Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
4)  Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengantak perlu pada daya upaya.
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh - tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.
1.    Teori Fisika
Ibnu Sina mengatakan bahwa alam jisim ini terdiri dari dua dasar: materi dan forma. Keduanya merupaka kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dan juga alam ini mempunyai sifat-sifat seperti gerak, diam, dan sebagainya. Pendapat ini berasal dari aristoteles dan juga dianut oleh al-farabi. Adapun diantara hal-hal yang melekat pada (lawahiq) jisim adalah:
a)   Gerak dan diam
Yang dimaksud dengan gerak adalah “pertukaran suatu keadaan yang menetap pada jisim secara perlahan-lahan menuju arah tertentu”. Jadi, gerak adalah peralihan dari satu tempat ketempat lain, perubahan dari putih menjadi hitam, dan juga bertambah dan berkurangnya sesuatu disebut gerak. Adapun diam, kata ibnu sina adalah “tidak adanya gerak pada apa yang sifatnya dapat bergerak”. Ibnu Sina berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini berada dalam gerak. Kajian yang dikemukakan ibnu sina dalam masalah ini adalah bersifat teori. Yang objek kajiannya adalah segala maujudat. Gerak ada dua macam yaitu :
1)        Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
2)        Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :
a.    Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
b.    Gerak yang  terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sedang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut ialah jiwa.
Pengenalan (pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua – duanya dari Aristoteles.
b)   Zaman
Zaman berkaitan dengan gerak, dan hanya dengan adanya gerak, zaman dapat terbayang adanya. Zaman itu bukanlah sesuatu yang tidak ada lalu ada, tapi terjadinya penciptaan tidaklah didahului zaman, tetapi didahului oleh dzat. Dan zaman itu sendiri adalah ukuran gerak melingkar dari segi maju dan mundur. Oleh karena zaman adalah kabar atau ukuran gerak, maka zaman tidak didahului oleh ketiadaan, demikian pula halnya gerak. Jika demikian,gerak dan zaman adalah kadim, begitu pula halnya jisim.
2.    Ruang (tempat)
Ruang adalah sesuatu yang ada padanya terdapat jisim, meliputinya dan berpisah dengannya pada waktu gerak. Juga ruang menyamai jisim karena tidak mungkin ada dua jisim pada satu ruang dan pada waktu yang sama.(Harun Nasution, 2006)
a)   Filsafat wujud
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun esensi sendiri (quiddity) sediri. Esensi, dalam faham Ibnu Sina, terdapat dalam akal, sedangkan wujud terdapat diluar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Kalau dikombinasikan, esensi dan wujud dapat dapat mempunyai kombinasi sebagai berikut:
1)        Esensi yang tidak dapat mempunyai wujud.
2)        Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud.
3)        Esensi yang tidak boleh dan tidak mesti mempunyai wujud. Dengan argument ini Ibnu Sina ingin membuktikan adanya tuhan menurut logika.
3.    Teori Kenabian
Sebagaimana al-Farabi, Ibnu Sina juga mengusahakan pemaduan (rekonsiliasi) antara agama dan filsafat.  Menurutnya nabi dan filosof menerima kebenaran yang dari sumber yang sama, yakni malaikat jibril yang disebut Akal Kesepuluh atau Akal Aktif. Perbedaanya hanya terletak pada cara memperolehnya, bagi nabi terjadinya hubungan dengan Malaikat Jibril melalui akal materil yang disebut hads (kekuatan suci), sedangkan filosof melalui akal mustafad. Nabi memperoleh akal materil yang dayanya jauh lebih kuat dari pada Akal Mustafad sebagai anugrah Tuhan pada orang pilihanya. Sementara itu, filosof memperoleh Akal Mustafad yang dayanya jauh lebih rendah dari pada akal materil melalui latihan berat. Pengetahuan yang diperoleh nabi disebut wahyu, berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh filosof dalam bentuk ilham, tetapi diantara keduanya tidaklah bertentangan.(Sirajudin Zar, 2012)
Ibnu Sina memberikan ketegasan tentang perbedaan antara para nabi dan para filosof. Mereka yang disebut pertama, menurutnya adalah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi manusia lain untuk mengusahakan dirinya menjadi nabi. Sementara itu, mereka yang disebut kedua adalah manusia yang mempunyai intelektual yang tinggi dan tidak bisa menjadi nabi. Para nabi sangat diperlukan kemaslahatan manusia dan alam semesta. Hal ini disebabkan para nabi dengan mukjizatnya dapat dibenarkan dan diikuti menusia dengan kata lain, kebenaran yang disampaikan nabi, seperti adanya hari akhirat dan lain-lain, dapat diterima dan dibenarkan manusia, baik secara rasional maupun syar’i.

0 Response to "Filsafat Ibnu Sina"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

pasang