Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6
Sabtu, 12 Mei 2018
Add Comment
{اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) }
Tunjukilah kami jalan yang
lurus
Bacaan yang dilakukan oleh jumhur ulama ialah ash-shirat
dengan memakai shad. Tetapi ada pula yang membacanya sirat dengan
memakai sin, ada pula yang membacanya zirat dengan memakai za, menurut Al-Farra
berasal dari dialek Bani Uzrah dan Bani Kalb. Setelah pujian dipanjatkan terlebih dahulu kepada Allah Swt, sesuailah bila
diiringi dengan permohonan, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis di atas,
yaitu:
«فَنِصْفُهَا
لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»
Separo untuk-Ku dan separo lainnya buat hamba-Ku, serta bagi hamba-Ku apa
yang dia minta.
Merupakan suatu hal yang baik bila seseorang yang mengajukan permohonan
kepada Allah Swt. terlebih dahulu memuji-Nya, setelah itu baru memohon
kepada-Nya apa yang dia hajatkan —juga buat saudara-saudaranya yang beriman—
melalui ucapannya, "Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus." Cara ini lebih
membawa kepada keberhasilan dan lebih dekat untuk diperkenankan oleh-Nya; karena
itulah Allah memberi mereka petunjuk cara ini, mengingat Ia paling sempurna.
Adakalanya permohonan itu diungkapkan oleh si pemohon melalui kalimat berita
yang mengisahkan keadaan dan keperluan dirinya, sebagaimana yang telah dikatakan
oleh Nabi Musa a.s. dalam firman-Nya:
رَبِّ
إِنِّي لِما أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau
turunkan kepadaku. (Al-Qashash : 24) Tetapi adakalanya permohonan itu didahului dengan menyebut sifat Tuhan,
sebagaimana yang dilakukan oleh Zun Nun dalam firman-Nya:
لَا
إِلهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
Tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah
termasuk orang-orang yang zalim. (Al-Anbiya: 87)
Adakalanya permohonan diungkapkan hanya dengan memuji orang yang diminta,
sebagaimana yang telah dikatakan oleh seorang penyair:
أَأَذْكُرُ حَاجَتِي أَمْ قَدْ كَفَانِي ... حَيَاؤُكَ إِنَّ شِيمَتَكَ
الْحَيَاءُ
إِذَا أَثْنَى عَلَيْكَ الْمَرْءُ يَوْمًا ... كَفَاهُ مِنْ تَعَرُّضِهِ الثَّنَاءُ
Apakah aku harus mengungkapkan
keperluanku ataukah rasa malumu dapat mencukupi diriku, sesungguhnya pekertimu
adalah orang yang pemalu, yaitu bilamana pada suatu hari ada seseorang memujimu,
niscaya engkau akan memberinya kecukupan.
Al-hidayah atau hidayah yang dimaksud dalam ayat ini ialah
bimbingan dan taufik (dorongan). Lafaz hidayah ini adakalanya muta'addi dengan
sendirinya. sebagaimana yang terdapat dalam ayat di bawah ini:
{اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ}
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6)
Maka al-hidayah mengandung makna "berilah kami ilham atau berilah kami
taufik, atau anugerahilah kami, atau berilah kami", sebagaimana yang ada dalam
firman-Nya:
وَهَدَيْناهُ
النَّجْدَيْنِ
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10)
yang dimaksud ialah "Kami telah menjelaskan kepadanya (manusia) jalan
kebaikan dan jalan keburukan".
Adakalanya al-hidayah muta'addi dengan ila seperti yang ada
Dalam firman-Nya:
اجْتَباهُ
وَهَداهُ إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ
Allah Swt. telah berfirman:
فَاهْدُوهُمْ
إِلى صِراطِ الْجَحِيمِ
maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. (Ash-Shaffat: 23)
Makna hidayah dalam ayat-ayat di atas ialah bimbingan dan petunjuk, begitu
pula makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
وَإِنَّكَ
لَتَهْدِي إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang
lurus. (Asy-Syura: 52)
Adakalanya al-hidayah ber-muta'addi kepada lam, sebagaimana ucapan
ahli surga yang disitir oleh firman-Nya:
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي هَدانا لِهذا
Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini.
(Al-A'raf: 43)
Makna yang dimaksud ialah "segala puji bagi Allah yang telah mem-beri kami
taufik ke surga ini dan menjadikan kami sebagai penghuni-nya". Mengenai as-siratal mustaqim, menurut Imam Abu Ja'far ibnu Jarir semua
kalangan ahli takwil telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan siratal mustaqim
ialah "jalan yang jelas lagi tidak berbelok-belok (lurus)". Pengertian ini
berlaku di kalangan semua dialek bahasa Arab, antara lain seperti yang dikatakan
oleh Jarir ibnu Atiyyah Al-Khatfi dalam salah satu bait syairnya, yaitu:
أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى صِرَاطٍ ...
إِذَا اعْوَجَّ الْمَوَارِدُ مُسْتَقِيمُ
Amirul Mu’minin berada pada jalan yang lurus
manakala jalan mulai bengkok (tidak lurus lagi).
Menurutnya, syawahid (bukti-bukti) yang menunjukkan pengertian tersebut
sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya. Kemudian ia mengatakan, "Setelah itu
orang-orang Arab menggunakan sirat ini dengan makna isti'arah
(pinjaman). lalu digunakan untuk menunjukkan setiap ucapan, perbuatan, dan sifat
baik yang lurus atau yang me-nyimpang. Maka jalan yang lurus disebut mustaqim,
sedangkan jalan yang menyimpang disebut mu'awwij." Selanjutnya ungkapan para ahli tafsir dari kalangan ulama Salaf dan ulama
Khalaf berbeda dalam menafsirkan lafaz sirat ini, sekalipun pada garis besarnya
mempunyai makna yang sama, yaitu mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya".
Telah diriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan sirat ialah Kitabullah alias
Al-Qur'an.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ
يَمَانٍ، عَنْ حَمْزَةَ الزَّيَّاتِ، عَنْ سَعْدٍ، وَهُوَ أَبُو الْمُخْتَارِ
الطَّائِيُّ، عَنِ ابْنِ أَخِي الْحَارِثِ الْأَعْوَرِ، عَنِ الْحَارِثِ
الْأَعْوَرِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الصِّرَاطُ
الْمُسْتَقِيمُ كِتَابُ اللَّهِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Arafah, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Yaman, dari Hamzah Az-Zayyat,
dari Sa'id (yaitu Ibnul Mukhtar At-Ta'i), dari anak saudaraku Al-Haris Al-A'war,
dari Al-Haris Al-A'war sendiri, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Siratal Mustaqim adalah
Kitabullah. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui hadis Hamzah ibnu
Habib Az-Zayyat. Dalam pembahasan yang lalu —yaitu dalam masalah keutamaan Al-Qur'an— telah
disebutkan melalui riwayat Imam Ahmad dan Imam Turmuzi melalui riwayat Al-Haris
Al-A'war, dari Ali r.a. secara marfu’,
"وَهُوَ
حَبْلُ اللَّهِ الْمَتِينُ، وَهُوَ الذِّكْرُ الْحَكِيمُ، وَهُوَ الصِّرَاطُ
المستقيم"
Telah diriwayatkan pula secara mauquf dari Ali r.a. Riwayat terakhir ini
lebih mendekati kebenaran.
As-Sauri —dari Mansur, dari Abu Wa'il, dari Abdullah— telah mengatakan bahwa
siratal mustaqim adalah Kitabullah (Al-Qur'an). Menurut pendapat lain, siratal mustaqim adalah al-islam (agama Islam). Dahhak
meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Malaikat Jibril pernah
berkata kepada Nabi Muhammad Saw., "Hai Muhammad, katakanlah. 'Tunjukilah kami
jalan yang lurus'." Makna yang dimaksud ialah "berilah kami ilham jalan
petunjuk, yaitu agama Allah yang tiada kebengkokan di dalamnya".
Maimun ibnu Mihran meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan
firman-Nya: Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6) Bahwa makna
yang dimaksud dengan "jalan yang lurus" itu adalah "agama Islam". Ismail ibnu Abdur Rahman As-Sadiyyul Kabir meriwayatkan dari Abu Malik, dari
Abu Saleh, dari Ibnu Abbas dan Mun-ah Al-Hamazani, dari Ibnu Mas'ud, dari
sejumlah sahabat Nabi Saw. sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami
jalan yang lurus" (Al-Fatihah: 6). Mereka mengatakan bahwa makna yang
dimaksud ialah agama Islam. Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil meriwayatkan dari
Jabir sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami jalan yang lurus"
(Al-Fatihah: 6); dia mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah agama Islam yang
pengertiannya lebih luas daripada semua yang ada di antara langit dan bumi.
Ibnul Hanafiyyah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami
jalan yang lurus" (Al-Fatihah: 6), bahwa yang dimaksud ialah "agama Islam
yang merupakan satu-satunya agama yang diridai oleh Allah Swt. buat
hamba-Nya". Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, yang dimaksud dengan ihdinas
siratal mustaqim (tunjukilah kami jalan yang lurus) ialah agama Islam. Dalam hadis berikut yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab
Musnad-nya disebutkan:
حَدَّثَنَا
الْحَسَنُ بْنُ سَوَّارٍ أَبُو الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ يَعْنِي ابْنَ
سَعْدٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ: أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ جُبَيْرِ
بْنِ نُفَيْرٍ، حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ، عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا
صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا، وَعَلَى جَنْبَتَيِ الصِّرَاطِ سُورَانِ فِيهِمَا أَبْوَابٌ
مُفَتَّحَةٌ، وَعَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ مُرْخَاةٌ، وَعَلَى بَابِ الصِّرَاطِ
دَاعٍ يَقُولُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، ادْخُلُوا الصِّرَاطَ جَمِيعًا وَلَا
تُعَوِّجُوا، وَدَاعٍ يَدْعُو مِنْ فَوْقِ الصِّرَاطِ، فَإِذَا أَرَادَ
الْإِنْسَانُ أَنْ يَفْتَحَ شَيْئًا مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ، قَالَ: وَيْحَكَ،
لَا تَفْتَحْهُ؛ فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ. فَالصِّرَاطُ الْإِسْلَامُ،
وَالسُّورَانِ حُدُودُ اللَّهِ، وَالْأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ مَحَارِمُ اللَّهِ،
وَذَلِكَ الدَّاعِي عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ كِتَابُ اللَّهِ، وَالدَّاعِي مِنْ
فَوْقِ الصِّرَاطِ وَاعِظُ اللَّهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ"
telah meriwayatkan kepada kami Al-Hasan ibnu Siwar Abul Ala, telah
menceritakan kepada kami Lais (yakni Ibnu Sa'id), dari Mu'awiyah ibnu Saleh,
bahwa Abdur Rahman ibnu Jabir ibnu Nafir menceritakan hadis berikut dari
ayahnya, dari An-Nawwas ibnu Sam'an, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:
Allah membuat suatu perumpamaan, yaitu sebuah jembatan yang lurus; pada kedua
sisinya terdapat dua tembok yang mempunyai pintu-pintu terbuka, tetapi pada
pintu-pintu tersebut terdapat tirai yang menutupinya. sedangkan pada pintu masuk
ke jembatan itu terdapat seorang penyeru yang menyerukan, "Hai manusia, masuklah
kalian semua ke jembatan ini dan janganlah kalian menyimpang darinya." Dan di
atas jembatan terdapat pula seorang juru penyeru; apabila ada seseorang hendak
membuka salah satu dari pintu-pintu (yang berada pada kedua sisi jembatan) itu,
maka juru penyeru berkata, "Celakalah kamu, janganlah kamu buka pintu itu,
karena sesungguhnya jika kamu buka niscaya kamu masuk ke dalamnya." Jembatan itu
adalah agama Islam, kedua tembok adalah batasan-batasan (hukuman-hukuman had)
Allah, pintu-pintu yang terbuka itu adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah,
sedangkan juru penyeru yang berada di depan pintu jembatan adalah Kitabullah,
dan juru penyeru yang berada di atas jembatan itu adalah nasihat Allah yang
berada dalam kalbu setiap orang muslim.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir melalui
hadis Lais ibnu Sa'd dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi dan Imam Nasai
meriwayatkan pula hadis ini melalui Ali ibnu Hujr, dari Baqiyyah, dari Bujair
ibnu Sa'd ibnu Khalid ibnu Ma'dan, dari Jubair ibnu Nafir, dari An-Nawwas ibnu
Sam'an dengan lafaz yang sama. Sanad hadis ini hasan sahih. Mujahid mengatakan bahwa makna ayat, "Tunjukilah kami kepada jalan yang
lurus," adalah perkara yang hak. Makna ini lebih mencakup semuanya dan tidak ada
pertentangan antara pendapat ini de-ngan pendapat-pendapat lain yang
sebelumnya.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Abun Nadr Hasyim
ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Hamzah ibnul Mugirah, dari Asim
Al-Ahwal, dari Abul Aliyah mengenai makna "Tunjukilah kami ke jalan yang benar";
bahwa yang dimaksud dengan jalan yang benar adalah Nabi Saw. sendiri dan kedua
sahabat yang menjadi khalifah sesudahnya (yaitu Abu Bakar dan Umar r.a.). Asim
mengatakan, "Lalu kami ceritakan pendapat tersebut kepada Al-Hasan, maka
Al-Hasan berkata, 'Abul Aliyah memang benar dan telah menunaikan
nasihatnya'."
Semua pendapat di atas adalah benar, satu sama lainnya saling memperkuat,
karena barang siapa mengikuti Nabi Saw. dan kedua sa-abat yang sesudahnya (yaitu
Abu Bakar dan Umar r.a.), berarti dia mengikuti jalan yang hak (benar); dan
barang siapa yang mengikuti jalan yang benar, berarti dia mengikuti jalan Islam.
Barang siapa mengikuti jalan Islam, berarti mengikuti Al-Qur'an, yaitu
Kitabullah atau tali Allah yang kuat atau jalan yang lurus. Semua definisi yang
telah dikemukakan di atas benar, masing-masing membenarkan yang lainnya.
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu-hammad ibnu Fadl
As-Siqti, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Mahdi Al-Masisi, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Al-A'masy.
dari Abu Wa'il. dari Abdullah yang mengatakan bahwa siratal mustaqim itu ialah
apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah Saw. buat kita semua.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan bahwa takwil yang lebih
utama bagi ayat berikut, yakni: Tunjukilah kami jalan yang lurus.
(Al-Fatihah: 6) ialah "berilah kami taufik keteguhan dalam mengerjakan semua
yang Engkau ridai dan semua ucapan serta perbuatan yang telah dilakukan oleh
orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat taufik di antara hamba-hamba-Mu",
yang demikian itu adalah siratal mustaqim (jalan yang lurus). Dikatakan demikian
karena orang yang telah diberi taufik untuk mengerjakan semua perbuatan yang
pernah dilakukan oleh orang-orang yang telah mendapat nikmat taufik dari Allah
di antara hamba-hamba-Nya —yakni dari kalangan para nabi, para siddiqin, para
syuhada, dan orang-orang yang saleh— berarti dia telah mendapat taufik dalam
Islam, berpegang teguh kepada Kitabullah, mengerjakan semua yang diperintahkan
oleh Allah, dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta mengikuti jejak Nabi Saw.
dan empat khalifah sesudahnya serta jejak setiap hamba yang saleh. Semua itu
termasuk ke dalam pengertian siratal mustaqim (jalan yang lurus).
Apabila dikatakan kepadamu, "Mengapa seorang mukmin dituntut untuk memohon
hidayah dalam setiap salat dan juga dalam keadaan lainnya, padahal dia sendiri
berpredikat sebagai orang yang beroleh hidayah? Apakah hal ini termasuk ke dalam
pengertian meraih apa yang sudah teraih?"
Sebagai jawabannya dapat dikatakan, "Tidak." Seandainya seorang hamba tidak
memerlukan minta petunjuk di siang dan malam harinya, niscaya Allah tidak akan
membimbingnya ke arah itu. Karena sesungguhnya seorang hamba itu selalu
memerlukan Allah Swt. Dalam setiap keadaanya. agar dimantapkan hatinya pada
hidayah dan dipertajam pandangannya untuk menemukan hidayah, serta hidayahnya
bertambah meningkat dan terus-menerus berada dalam jalan hidayah. Sesungguhnya
seorang hamba tidak dapat membawa manfaat buat dirinya sendiri dan tidak dapat
menolak mudarat terhadap dirinya kecuali sebatas apa yang dikehendaki oleh Allah
Swt. Maka Allah memberinya petunjuk agar dia minta kepada-Nya setiap wakru.
semoga Dia memberinya pertolongan dan keteguhan hati serta taufik. Orang yang
berbahagia adalah orang yang beroleh taufik Allah hingga dirinya terdorong
memohon kepada-Nya, karena sesungguhnya Allah Swt. telah menjamin akan
memperkenankan doa orang yang meminta kepada-Nya. Terlebih lagi bagi orang yang
dalam keadaan terdesak lagi sangat memerlukan pertolongan di setiap waktunya,
baik di tengah malam ataupun di pagi dan petang harinya.
Allah Swt. telah berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي
نَزَّلَ عَلى رَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ
Wahai orang-orangyang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. (An-Nisa: 136)
Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk beriman. Hal
seperti ini bukan termasuk ke dalam pengertian meraih apa yang telah teraih,
melainkan makna yang dimaksud ialah "perintah untuk lebih meneguhkan iman dan
terus-menerus melakukan semua amal perbuatan yang melestarikan keimanan". Allah
Swt. telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengucapkan
doa berikut yang termaktub di dalam firman-Nya:
رَبَّنا
لا تُزِغْ قُلُوبَنا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنا وَهَبْ لَنا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً
إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan
sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami
rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi
(karunia). (Ali Imran: 8)
Abu Bakar As-Siddiq r.a. sering membaca ayat ini dalam rakaat ketiga setiap
salat Magrib, yaitu sesudah dia membaca surat Al-Fatihah; ayat ini dibacanya
dengan suara perlahan. Berdasarkan kesimpulan ini dapat dikatakan bahwa makna
firman-Nya: Tunjukilah kami ke jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6) ialah
"tetapkanlah kami pada jalan yang lurus dan janganlah Engkau simpangkan kami ke
jalan yang lain".
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6"
Posting Komentar