Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 7
Sabtu, 12 Mei 2018
Add Comment
{صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
(7) }
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
pula (jalan) mereka yang sesat.
Dalam hadis yang lalu disebutkan apabila seseorang hamba
mengucapkan.”Tunjukilah kami ke jalan yang lurus ...." sampai akhir surat. maka
Allah Swt. berfirman: Ini untuk Hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia
minta
Firman Allah swt yang mengatakan: Yaitu jalan orang-orangyang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka. (Al-Fatihah: 7) berkedudukan menafsirkan
makna siratal mustaqim. Menurut kalangan ahli nahwu menjadi badal. dan
boleh dianggap sebagai 'ataf bayan. Orang-orang yang memperoleh anugerah nikmat dari Allah Swt. adalah mereka
yang disebutkan di dalam surat An-Nisa melalui firman-Nya:
وَمَنْ
يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَداءِ وَالصَّالِحِينَ
وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيقاً. ذلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفى بِاللَّهِ
عَلِيماً
Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para
nabi, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan
Allah cukup mengetahui. (An-Nisa: 69-70)
Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna firman Allah Swt., "(yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka"
(Al-Fatihah: 7) ialah orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka
berupa ketaatan kepada-Mu dan beribadah kepada-Mu; mereka adalah para
malaikat-Mu, para nabi-Mu, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh.
Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mere-ka itu
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, hingga
akhir ayat. (An-Nisa: 69)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan
makna firman-Nya, "(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan
nikmat kepada mereka" (Al-Fatihah: 7). Makna yang dimaksud adalah "para
nabi". Ibnu Juraij meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas r.a., bahwa yang dimaksud
dengan "mereka" adalah orang-orang beriman; hal yang sama dikatakan pula oleh
Mujahid. Sedangkan menurut Waki'. mereka adalah orang-orang muslim. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, mereka adalah Nabi Saw. dan
orang-orang yang mengikutinya. Tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas tadi
mempunyai pengertian yang lebih mencakup dan lebih luas.
{غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ}
Menurut jumhur ulama, lafaz gairi dibaca jar berkedudukan
sebagai na'at (sifat). Az-Zamakhsyari mengatakan dibaca gaira
secara nasab karena dianggap sebagai hal (keterangan keadaan), hal ini merupakan
bacaan Rasulullah Saw. dan Khalifah Umar ibnu Khattab r.a. Qiraah ini
diriwayatkan oleh Ibnu Kasir. Sedangkan yang berkedudukan sebagai zul hal
ialah damir yang ada pada lafaz 'alaihim, dan menjadi 'amil
ialah lafaz an'amta. Makna ayat "tunjukilah kami kepada jalan yang lurus" yaitu jalan
orang-orang yang telah Engkau berikan anugerah nikmat kepada mereka yang telah
disebutkan sifat dan ciri khasnya. Mereka adalah ahli hidayah. istiqamah, dan
taat kepada Allah serta Rasul-Nya, dengan cara mengerjakan semua yang
diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Bukan jalan orang-orang
yang dimurkai. Mereka adalah orang-orang yang telah rusak kehendaknya; mereka
mengetahui perkara yang hak, tetapi menyimpang darinya. Bukan pula jalan orang
yang sesat. mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu agama). akhirnya
mereka bergelimang dalam kesesatan. tanpa mendapatkan hidayah kepada jalan yang
hak (benar).
Pembicaraan dalam ayat ini dikuatkan dengan huruf la untuk menunjukkan bahwa ada dua jalan yang kedua-duanya rusak, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi dan oleh orang-orang Nasrani. Sebagian dari kalangan ulama nahwu ada yang menduga bahwa kata gairi dalam ayat ini bermakna istisna (pengecualian). Berdasarkan takwil ini berarti istisna bersifat munqati', mengingat mereka dikecualikan dari orang-orang yang beroleh nikmat. dan mereka bukan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beroleh nikmat. Akan tetapi, apa yang telah kami ketengahkan di atas adalah pendapat yang lebih baik karena berdasarkan kepada perkataan seorang penyair, yaitu:
كَأَنَّكَ مِنْ جِمَالِ بَنِي أُقَيْشٍ ... يُقَعْقِعُ عِنْدَ رِجْلَيْهِ
بِشَنِّ
Seakan-akan engkau merupakan salah
satu dari unta Bani Aqyasy yang mengeluarkan suara dari kedua kakinya di saat
melakukan penyerangan.
Makna yang dimaksud ialah "seakan-akan kamu mirip dengan salah seekor unta
dari temak unta milik Bani Aqyasy". Dalam kalimat ini mausuf dibuang karena
cukup dimengerti dengan menyebutkan sifatnya. Demikian pula dalam kalimat gairil
magdubi 'alaihim, makna yang dimaksud ialah gairi siratil magdubi 'alaihim
(bukan pula jalan orang-orang yang dimurkai). Dalam kalimat ini cukup hanya
dengan menyebut mudafilaih-nya saja, tanpa mudaf lagi; pengertian ini telah
ditunjukkan melalui konteks kalimat sebelumnya, yaitu firman-Nya:
{اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ}
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka. (Al-Fatihah: 6-7)
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ}
Di antara mereka ada yang menduga bahwa huruf la dalam firman-Nya, "Walad dallina," adalah la zaidah (tambahan). Bentuk kalam selengkapnya menurut hipotesis mereka adalah seperti berikut: "Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan orang-orang yang sesat." Mereka mengatakan demikian berdalilkan perkataan Al-Ajjaj (salah seorang penyair), yaitu:
فِي بِئْرٍ لَا حُورٍ سَرَى وَمَا شَعَرَ
Dalam sebuah telaga
—bukan telaga yang
kering— dia berjalan, sedangkan dia tidak
merasakannya.
Makna yang dimaksud ialah bi-ri haurin. Akan tetapi, makna yang sahih
adalah seperti yang telah kami sebutkan di atas. Karena itu, Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam di dalam kitab Fadailil Qur’an
meriwayatkan sebuah asar Abu Mu'awiyah, dari A'masy dari Ibrahim, dari Al-Aswad,
dari Umar ibnul Khattab r.a. Disebutkan bahwa Umar r.a. pernah membaca gairil
magdubi 'alaihim wa gairid dallina.
Sanad asar ini berpredikat sahih.
Demikian pula telah diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa dia membacanya
demikian, tetapi dapat diinterpretasikan bahwa bacaan tersebut dilakukan oleh
keduanya (Umar dan Ubay) dengan maksud menafsirkannya. Dengan demikian, bacaan
ini memperkuat apa yang telah kami katakan. yaitu bahwa sesungguhnya huruf
la didatangkan hanya untuk menguatkan makna nafi agar tidak ada dugaan
yang menyangka bahwa lafaz ini di-ataf-kan kepada allazina an'amta
'alaihim; juga untuk membedakan kedua jalan tersebut dengan maksud agar
masing terpisah jauh dari yang lainnya. karena sesungguhnya jalan yang ditempuh
oleh ahli iman mengandung ilmu yang hak dan pengamalannya. Sedangkan
-orang-orang Yahudi telah kehilangan pengamalannya, dan orang-orang Nasrani
telah kehilangan ilmunya. Karena itu dikatakan murka menimpa orang-orang Yahudi
dan kesesatan menimpa orang-orang Nasrani. Orang yang mengetahui suatu ilmu lalu
ia meninggalkannya, yakni tidak mengamalkannya, berarti ia berhak mendapat
murka; lain halnya dengan orang yang tidak mempunyai ilmu. Orang-orang Nasrani
di saat mereka mengarah ke suatu tujuan. tetapi mereka tidak mendapat petunjuk
menuju ke jalannya, mengingat mereka mendatangi sesuatu bukan dari pintunya,
yakni tidak mengikuti perkara yang hak, akhirnya sesatlah mereka. Orang-orang
Yahudi dan Nasrani sesat lagi dimurkai. Hanya, yang dikhususkan mendapat murka
adalah orang-orang Yahudi, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman Allah
Swt.:
مَنْ
لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ
yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah. (Al-Maidah:
60)
Yang dikhususkan mendapat predikat sesat adalah orang-orang Nasrani,
sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
قَدْ
ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيراً وَضَلُّوا عَنْ سَواءِ
السَّبِيلِ
mereka telah sesat sebelum (kedatangan Muhammad) dan mereka telah
menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.
(Al-Maidah: 77)
Hal yang sama disebutkan pula oleh banyak hadis dan asar. Pengertian ini
tampak jelas dan gamblang dalam riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: سَمِعْتُ سِماك بْنَ حَرْبٍ،
يَقُولُ: سَمِعْتُ عبَّاد بْنَ حُبَيش، يُحَدِّثُ عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ،
قَالَ: جَاءَتْ خَيْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَأَخَذُوا عَمَّتِي وَنَاسًا، فَلَمَّا أَتَوْا بِهِمْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُفُّوا لَهُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
نَاءَ الْوَافِدُ وَانْقَطَعَ الْوَلَدُ، وَأَنَا عَجُوزٌ كَبِيرَةٌ، مَا بِي مِنْ
خِدْمَةٍ، فمُنّ عَلَيَّ مَنّ اللَّهُ عَلَيْكَ، قَالَ: "مَنْ وَافِدُكِ؟ "
قَالَتْ: عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ، قَالَ: "الَّذِي فَرَّ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ! "
قَالَتْ: فمنَّ عَلَيَّ، فَلَمَّا رَجَعَ، وَرَجُلٌ إِلَى جَنْبِهِ، تَرَى أَنَّهُ
عَلِيٌّ، قَالَ: سَلِيهِ حُمْلانا، فَسَأَلَتْهُ، فَأَمَرَ لَهَا، قَالَ:
فَأَتَتْنِي فَقَالَتْ: لَقَدْ فَعَلَ فَعْلَةً مَا كَانَ أَبُوكَ يَفْعَلُهَا،
فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُ فُلَانٌ فَأَصَابَ مِنْهُ، وَأَتَاهُ فُلَانٌ فَأَصَابَ
مِنْهُ، فَأَتَيْتُهُ فَإِذَا عِنْدَهُ امْرَأَةٌ وَصِبْيَانٌ أَوْ صَبِيٌّ،
وَذَكَرَ قُرْبَهُمْ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:
فَعَرَفْتُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمُلْكِ كسرى ولا قيصر، فقال: "يَا
عَدِيُّ، مَا أَفَرَّكَ أَنْ يُقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ فَهَلْ مِنْ
إِلَهٍ إِلَّا اللَّهُ؟ قَالَ: مَا أَفَرَّكَ أَنْ يُقَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ،
فَهَلْ شَيْءٌ أَكْبَرُ مِنَ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ؟ ". قَالَ: فَأَسْلَمْتُ،
فَرَأَيْتُ وَجْهَهُ اسْتَبْشَرَ، وَقَالَ: "الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمُ الْيَهُودُ،
وَإِنَّ الضَّالِّينَ النَّصَارَى"
Dia mengatakan. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah
menceritakan kepada kami Syu'bah yang mengatakan bahwa dia pernah mendengar
Sammak ibnu Harb menceritakan hadis berikut, bahwa dia mendengar Abbad ibnu
Hubaisy menceritakannya dari Addi ibnu Hatim. Addi ibnu Hatim mengatakan,
"Pasukan berkuda Rasulullah Saw. tiba, lalu mereka mengambil bibiku dan sejumlah
orang dari kaumku. Ketika pasukan membawa mereka ke hadapan Rasulullah Saw.,
mereka berbaris ber-saf di hadapannya, dan berkatalah bibiku. 'Wahai Rasulullah.
pemimpin kami telah jauh. dan aku tak beranak lagi, sedangkan aku adalah seorang
wanita yang telah lanjut usia, tiada suatu pelayan pun yang dapat kusajikan.
Maka bebaskanlah diriku, semoga Allah membalasmu.' Rasulullah Saw. bertanya,
'Siapakah pemimpinmu?' Bibiku menjawab, 'Addi ibnu Hatim.' Rasulullah
Saw. menjawab, 'Dia orang yang membangkang terhadap Allah dan Rasul-Nya,'
lalu beliau membebaskan bibiku. Ketika Rasulullah Saw. kembali bersama seorang
lelaki di sampingnya lalu lelaki itu berkata (kepada bibiku), 'Mintalah unta
kendaraan kepadanya,' lalu aku meminta unta kendaraan kepadanya dan ternyata aku
diberi." Addi ibnu Hatim melanjutkan kisahnya, "Setelah itu bibiku datang
kepadaku dan berkata, 'Sesungguhnya aku diperlakukan dengan suatu perlakuan yang
tidak pernah dilakukan oleh ayahmu. Sesungguhnya beliau kedatangan seseorang,
lalu orang itu memperoleh darinya apa yang dimintanya; dan datang lagi kepadanya
orang lain, maka orang itu pun memperoleh darinya apa yang dimintanya'." Addi
ibnu Hatim melanjutkan kisahnya, "Maka aku datang kepada beliau Saw. Ternyata di
sisi beliau terdapat seorang wanita dan banyak anak, lalu disebutkan bahwa
mereka adalah kaum kerabat Nabi Saw. Maka aku kini mengetahui bahwa Nabi Saw.
bukanlah seorang raja seperti kaisar, bukan pula seperti Kisra. Kemudian beliau
Saw. bersabda kepadaku, 'Hai Addi. apakah yang mendorongmu hingga kamu
membangkang tidak mau mengucapkan, Tidak ada Tuhan selain Allah'? Apakah ada
Tuhan selain Allah? Apakah yang mendorongmu membangkang tidak mau mengucapkan,
'Allahu Akbar'? Apakah ada sesuatu yang lebih besar daripada Allah
Swt.'?" Addi ibnu Hatim melanjutkan kisahnya.”Maka aku masuk Islam.
dan kulihat wajah beliau tampak berseri-seri, lalu beliau bersabda,
«إن
الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمُ الْيَهُودُ وَإِنَّ الضَّالِّينَ
النَّصَارَى»
'Sesungguhnya orang-orang yang dimurkai itu adalah orang-orang Yahudi, dan
sesungguhnya orang-orang yang sesat itu adalah orang-orang Nasrani'."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi melalui Hadis Sammak ibnu Harb,
dan ia menilainya hasan garib. Ia mengatakan, "Kami tidak mengetahui hadis ini
kecuali dari Sammak ibnu Harb."
Menurut kami, hadis ini telah diriwayatkan pula oleh Hammad ibnu Salamah
melalui Sammak, dari Murri ibnu Qatri, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan:
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai firman-Nya. 'Bukan jalan
orang-orang yang dimurkai," lalu beliau menjawab. 'Mereka adalah orang-orang
Yahudi"; dan tentang firman-Nya. -Dan bukan pula jalan orang-orang yang
sesat" beliau menjawab, "Orang-orang Nasrani adalah orang-orang yang
sesat.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sufyan ibnu Uyaynah ibnu Ismail ibnu Abu
Khalid, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim dengan lafaz yang sama. Hadis Addi
ini diriwayatkan melalui berbagai jalur sanad dan mempunyai banyak lafaz (teks),
bila dibahas cukup panjang.
قَالَ
عَبْدُ الرَّزَّاقِ: أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ بُدَيْل العُقَيْلي، أَخْبَرَنِي
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَقِيق، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ مَنْ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِوَادِي القُرَى، وَهُوَ عَلَى فَرَسِهِ،
وَسَأَلَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي الْقَيْنِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ
هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: " الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمْ -وَأَشَارَ إِلَى
الْيَهُودِ-وَالضَّالُّونَ هُمُ النَّصَارَى"
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Badil
Al-Uqaili; telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Syaqiq, bahwa ia pernah
mendapat berita dari orang yang mendengar Rasulullah Saw. bersabda ketika beliau
berada di Wadil Qura seraya menaiki kudanya, lalu ada seorang lelaki dari
kalangan Bani Qain bertanya, "Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah?" Lalu
beliau Saw. bersabda: Mereka adalah orang-orang yang dimurkai, seraya
menunjukkan isyaratnya kepada orang-orang Yahudi; dan orang-orang yang sesat
adalah orang-orang Nasrani.
Al-Jariri, Urwah, dan Khalid meriwayatkannya pula melalui Abdullah ibnu
Syaqiq, tetapi mereka me-mursal-kannya dan tidak menyebutkan orang yang
mendengar dari Nabi Saw. Di dalam riwayat Urwah disebut nama Abdullah ibnu
Amr.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui hadis Ibrahim ibnu Tahman, dari Badil
ibnu Maisarah, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Abu Zar r.a. yang menceritakan:
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang makna al-magdubi
'alaihim. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi. Aku
bertanya lagi, "(Siapakah) orang-orang yang sesat?" Beliau menjawab,
"Orang-orang Nasrani." As-Saddi meriwayatkan dari Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, dan
dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari segolongan orang dari
kalangan sahabat Nabi Saw. Disebutkan bahwa orang-orang yang dimurkai adalah
orang-orang Yahudi, dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani.
Dahhak dan Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang yang
dimurkai adalah orang-orang Yahudi, sedangkan orang-orang yang sesat adalah
orang-orang Nasrani. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta lainnya yang bukan hanya seorang. Ibnu Abu Hatim mengatakan, ia belum pernah mengetahui di kalangan ulama
tafsir ada perselisihan pendapat mengenai makna ayat ini. Bukti yang menjadi
pegangan pada imam tersebut dalam masalah "orang-orang Yahudi adalah mereka yang
dimurkai, dan orang-orang Nasrani adalah orang-orang yang sesat" ialah hadis
yang telah lalu dan firman Allah Swt. yang mengisahkan tentang kaum Bani Israil
dalam surat Al-Baqarah, yaitu:
بِئْسَمَا
اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِما أَنْزَلَ اللَّهُ بَغْياً أَنْ
يُنَزِّلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلى مَنْ يَشاءُ مِنْ عِبادِهِ فَباؤُ بِغَضَبٍ
عَلى غَضَبٍ وَلِلْكافِرِينَ عَذابٌ مُهِينٌ
Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan
kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah
menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara
hamba-hamba-Nya. Karena itu, mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan.
Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan. (Al-Baqarah: 90)
Di dalam surat Al-Maidah Allah Swt. berfirman:
قُلْ
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ
اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنازِيرَ وَعَبَدَ
الطَّاغُوتَ أُولئِكَ شَرٌّ مَكاناً وَأَضَلُّ عَنْ سَواءِ
السَّبِيلِ
Katakanlah, "Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang-orang
yang lebih buruk pembalasannya daripada (orang-orang fasik) itu di sisi Allah,
yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang
dijadikan kera dan babi, dan (orang yang) menyembah tagut?" Mereka ini lebih
buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Maidah:
60)
لُعِنَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرائِيلَ عَلى لِسانِ داوُدَ وَعِيسَى ابْنِ
مَرْيَمَ ذلِكَ بِما عَصَوْا وَكانُوا يَعْتَدُونَ كانُوا لَا يَتَناهَوْنَ عَنْ
مُنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كانُوا يَفْعَلُونَ
Telah dilaknai orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan
Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu
melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar
yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat
itu. (Al-Maidah: 78-79)
Di dalam kitab Sirah (sejarah) disebutkan oleh Zaid ibnu Amr ibnu Nufail,
ketika dia bersama segolongan teman-temannya berangkat menuju negeri Syam dalam
rangka mencari agama yang hanif (agama Nabi Ibrahim a.s.). Setelah mereka sampai
di negeri Syam, orang-orang Yahudi berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu tidak
akan mampu masuk agama kami sebelum kamu mengambil bagianmu dari murka Allah."
Maka Amr menjawab, "Aku justru sedang mencari jalan agar terhindar dari murka
Allah." Orang-orang Nasrani berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu tidak akan
mampu masuk agama kami sebelum kamu mengambil bagianmu dari murka Allah." Maka
Amr ibnu Nufail menjawab, "Aku tidak mampu."
Amr ibnu Nufail tetap pada fitrahnya dan menjauhi penyembahan kepada berhala
dan menjauhi agama kaum musyrik, tidak mau masuk, baik ke dalam agama Yahudi
maupun agama Nasrani. Sedangkan teman-temannya masuk agama Nasrani karena mereka
menganggap agama Nasrani lebih dekat kepada agama hanif daripada agama Yahudi
pada saat itu. Di antara mereka adalah Waraqah ibnu Naufal, hingga dia mendapat
petunjuk dari Allah melalui Nabi-Nya, yaitu di saat Allah mengutusnya dan dia
beriman kepada wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya. Semoga Allah
melimpahkan rida kepadanya.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 7"
Posting Komentar