Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 5
Sabtu, 12 Mei 2018
Add Comment
{إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) }
Hanya EngkaulahYangKami
sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
Qira’ah Sab'ah dan jumhur ulama membaca tasydid huruf ya yang ada pada
iyyaka. Sedangkan Amr ibnu Fayid membacanya dengan takhfif, yakni tanpa
tasydid disertai dengan kasrah, tetapi qiraah ini dinilai syadz lagi tidak
dipakai. karena iya artinya "cahaya matahari". Sebagian ulama membacanya
ayyaka, sebagian yang lainnya lagi membaca hayyaka dengan memakai ha sebagai
ganti hamzah, sebagaimana yang terdapat dalam ucapan seorang penyair:
فَهَيَّاكَ
وَالْأَمْرَ الَّذِي إِنْ تَرَاحَبَتْ ...
مَوَارِدُهُ ضَاقَتْ عَلَيْكَ مَصَادِرُهُ
Maka hati-hatilah kamu terhadap sebuah
urusan bila sumbernya makin meluas, maka akan sulitlah bagimu jalan
penyelesaiannya.
Lafaz nasta'inu dibaca fathah huruf nun yang ada pada
permulaannya menurut qiraah semua ulama, kecuali Yahya ibnu Sabit dan Al-A'masy;
karena keduanya membacanya kasrah, seperti yang dilakukan oleh Bani Asad, Bani
Rabi'ah, dan Bani Tamim.
Al-'ibadah menurut istilah bahasa berasal dari makna az-zullah,
artinya "mudah dan taat"; dikatakan tariqun mu'abbadun artinya "jalan
yang telah dimudahkan (telah diaspal)" dan ba'irun mu'abbadun artinya
"unta yang telah dijinakkan dan mudah dinaiki (tidak liar)". Sedangkan menurut
istilah syara' yaitu "suatu ungkapan yang menunjukkan suatu sikap sebagai hasil
dari himpunan kesempurnaan rasa cinta, tunduk, dan takut".
Mafid —yakni lafaz iyyaka— didahulukan dan diulangi untuk menunjukkan makna
perhatian dan pembatasan. Dengan kata lain, kami tidak menyembah kecuali hanya
kepada Engkau dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada Engkau. Pengertian
ini merupakan kesempurnaan dari ketaatan. Agama secara keseluruhan berpangkal
dari kedua makna ini, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf,
bahwa surat Al-Fatihah merupakan rahasia Al-Qur'an; sedangkan rahasia surat
Al-Fatihah terletak pada kedua kalimat ini, yakni iyyaka na'budu wa iyyaka
nasta'inu.
Lafaz iyyaka na'budu menunjukkan makna berlepas diri dari segala kemusyrikan,
sedangkan iyyaka nasta'inu menunjukkan makna berlepas diri dari upaya dan
kekuatan serta berserah diri kepada Allah Swt. sepenuhnya. Pengertian ini selain
dalam surat Al-Fatihah terdapat pula di dalam firman-Nya:
فَاعْبُدْهُ
وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَما رَبُّكَ بِغافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhan
kalian tidak lalai dari apa yang kalian kerjakan. (Hud: 123)
قُلْ
هُوَ الرَّحْمنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنا
Katakanlah.”Dialah Allah Yang Maha Penyayang, kami beriman kepada-Nya dan
kepada-Nyalah kami bertawakal." (Al-Mulk 29)
رَبُّ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ
وَكِيلًا
(Dialah) Tuhan masyrik dan magrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka
ambillah Dia sebagai pelindung. (Al-Muzzammil: 9)
Demikian pula ayat yang sedang kita bahas tafsirnya, yaitu:
{إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan. (Al-Fatihah: 5)
Pembicaraan berubah dari bentuk gaibah kepada bentuk muwajahah melalui huruf
kaf yang menunjukkan makna khitab (lawan bicara). Ungkapan ini lebih sesuai,
mengingat kedudukannya dalam keadaan memuji Allah Swt., maka seakan-akan orang
yang bersangkutan mendekat dan hadir di hadapan Allah Swt. Karena itu, ia
mengatakan:
{إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon
pertolongan. (Al-Fatihah: 5)
Pembahasan yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa permulaan surat
Al-Fatihah merupakan berita dari Allah Swt. yang memuji diri-Nya sendiri dengan
sifat-sifat-Nya yang terbaik, sekaligus sebagai petunjuk buat hamba-hamba-Nya
agar mereka memuji-Nya melalui kalimat-kalimat tersebut. Karena itu, tidaklah
sah salat seseorang yang tidak mengucapkan surat ini. sedangkan dia mampu
membacanya. Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui
Ubadah ibnus Samit yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَا
صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ»
Tidak ada salat (tidak sah salat) orang yang tidak membaca Fatihatul
Kitab.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadis Al-Ala ibnu Abdur Rahman
maula Al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«يقول
اللَّهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ
فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ إِذَا قَالَ
الْعَبْدُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ قَالَ اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي،
وَإِذَا قَالَ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ قَالَ اللَّهُ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي،
فَإِذَا قَالَ مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ قَالَ اللَّهُ مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا
قَالَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ
عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ اهْدِنَا الصِّراطَ الْمُسْتَقِيمَ.
صِراطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»
Allah Swt. berfirman, "Aku bagikan salat buat diri-Ku dan hamba-Ku
menjadi dua bagian; satu bagian untuk-Ku dan sebagian yang lain untuk hamba-Ku.
dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta." Apabila seorang hamba mengatakan, "Segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam," maka Allah berfirman, "Hamba-Ku telah
memuji-Ku." Apabila dia mengatakan, "Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang," Allah berfirman, "Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.”Apabila dia
mengatakan, "Yang menguasai hari pembalasan," Allah berfirman, "Hamba-Ku telah
mengagungkan-Ku.”Apabila dia mengatakan, "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan
hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan," maka Allah berfirman, "Ini
antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi kamba-Ku apa yang dia minta." Apabila dia
mengatakan, "Tunjukilah kami jalan yang lurus (yaitu) jalan orang-orang yang
telah: Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang
dimurkai dan bukan pula jalan) mereka yang sesat, maka Allah berfirman. Ini
untuk hamba-Ku, dan bagi hambaku apa yang dia minta.
Dahak mengatakan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa makna iyyaka na’budu ialah
"Engkaulah Yang kami Esakan. Hanya kepada Engkaulah kami takut dan berharap,
wahai Tuhan kami, bukan kepada selain Engkau"; Wa iyyaka nasta'inu maknanya "dan
hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan untuk taat kepada-Mu dalam semua
urusan kami".Qatadah mengatakan, makna iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu ialah "Allah
memerintahkan kepada kalian agar ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan memohon
pertolongan kepada-Nya dalam semua urusan kalian". Sesungguhnya lafaz iyyaka
na'budu didahulukan atas lafaz iyyaka nasta'inu tiada lain karena ibadah
kepada-Nya merupakan tujuan utama, sedangkan meminta tolong merupakan sarana
untuk melakukan ibadah, maka didahulukanlah hal yang lebih penting.
Apabila ada suatu pertanyaan, "Apakah makna nun dalam firman-Nya, 'Iyyaka
na'budu wa iyyaka nasta'inu?" Jika makna yang dimaksud untuk jamak, ternyata
yang berdoa hanya seorang; jika yang dimaksud sebagai ta'zim (menganggap diri
besar), maka tidak sesuai dengan konteksnya.
Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa makna yang dimaksud ialah
"menyampaikan berita tentang jenis dari hamba-hamba Allah, sedangkan orang yang
melakukan salat adalah salah seorang dari mereka; terlebih lagi jika dia berada
dalam salat jamaah atau menjadi imam mereka, berarti sebagai berita tentang
dirinya dan saudara-saudaranya yang mukmin bahwa mereka sedang melakukan ibadah
yang merupakan tujuan utama mereka diciptakan, dan dia menjadi perantara bagi
mereka untuk kebaikan".
Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan, boleh mengartikannya untuk
tujuan ta'zim, dengan pengertian bahwa seakan-akan dikatakan kepada hamba yang
bersangkutan, "Apabila kamu berada dalam ibadah, maka kamu adalah orang yang
mulia dan kedudukanmu tinggi." Dia mengatakan:
{إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon
pertolongan. (Al-Fatihah: 5)
Tetapi apabila kamu berada di luar ibadah, jangan sekali-kali kamu katakan
'kami', jangan pula kamu katakan 'kami telah melakukan', sekalipun kamu berada
di tengah-tengah seratus, seribu, bahkan sejuta orang, karena semuanya berhajat
dan membutuhkan Allah Swt. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa lafaz iyyaka na'budu mengandung
makna lebih lembut daripada iyyaka 'abadna dalam hal berendah diri, mengingat
lafaz kedua ini mengandung makna membesarkan diri karena dia menjadikan dirinya
sebagai orang yang ahli melakukan ibadah. Padahal tiada seorang pun yang mampu
beribadah kepada Allah Swt. dengan ibadah yang hakiki, tiada pula yang dapat
memuji-Nya dengan pujian yang layak buat-Nya.
Ibadah merupakan suatu kedudukan yang besar, seorang hamba menjadi terhormat
karena mengingat dirinya sedang berhubungan dengan Allah Swt. Salah seorang
penyair mengatakan:
لَا
تَدْعُنِي إِلَّا بِيَا عَبْدَهَا ...
فَإِنَّهُ أَشْرَفُ أَسْمَائِي
Jangan kamu panggil aku melainkan
dengan julukan 'hai ham-baNya', karena sesungguhnya nama ini merupakan namaku
yang terhormat.
Allah Swt. menamakan Rasul-Nya dengan sebutan 'hamba-Nya' dalam tempat yang
paling mulia, yaitu di dalam firman-Nya:
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلى عَبْدِهِ الْكِتابَ
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran)
kepada hamba-Nya. (Al-Kahfi: 1)
وَأَنَّهُ
لَمَّا قامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ
سُبْحانَ
الَّذِي أَسْرى بِعَبْدِهِ لَيْلًا
Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam.
(Al-Isra: 1)
Dalam ayat-ayat tersebut Allah Swt. menamakannya dengan sebutan "hamba" di
saat Dia menurunkan wahyu kepadanya, di saat dia berdiri dalam doanya, dan di
saat dilakukan isra kepadanya. Kemudian Allah memberikan petunjuk kepadanya agar
mengerjakan ibadah di saat-saat dia mengalami kesempitan dada karena orang-orang
yang menentangnya mendustakannya, sebagaimana yang dinyatakan di dalam
firman-Nya:
وَلَقَدْ
نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِما يَقُولُونَ. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ
وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ. وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ
الْيَقِينُ
Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan
apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah
kamu di antara orang-orang yang bersujud (salat), dan sembahlah Tuhanmu sampai
datang kepadamu yang diyakini (ajal). (Al-Hijr. 97-99)
Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya meriwayatkan dari sebagian ulama bahwa
kedudukan ubudiyyah lebih mulia daripada kedudukan risalah, mengingat keadaan
ibadah timbul dari makhluk, ditujukan kepada Tuhan Yang Mahahak. Sedangkan
kedudukan risalah datang dari Tuhan Yang Mahahak ditujukan kepada makhluk.
Ar-Razi mengatakan pula, "Dikatakan demikian karena Allah-lah Yang memegang
semua kemaslahatan hamba-Nya, sedangkan Rasul memegang kemaslahatan-kemaslahatan
umatnya. Akan tetapi, pendapat ini keliru dan pengarahannya lemah, tidak ada
hasilnya." Dalam hal ini Ar-Razi tidak menyebutkan penilaiannya terhadap
kelemahan yang terkandung di dalamnya, tidak pula mengemukakan sanggahannya.
Sebagian ulama sufi mengatakan bahwa ibadah itu adakalanya untuk menghasilkan
pahala atau untuk menolak siksa. Mereka mengatakan bahwa pendapat ini pun kurang
tepat, mengingat tujuannya ialah untuk mengerjakan hal yang menghasilkan pahala.
Bila dikatakan tujuan ibadah ialah untuk memuliakan tugas-tugas yang ditetapkan
oleh Allah Swt., pendapat ini pun menurut mereka (para ulama) dinilai lemah,
bahkan pendapat yang benar ialah yang mengartikan "hendaknya seseorang beribadah
kepada Allah untuk menyembah Zat-Nya Yang Mahasuci lagi Mahasempurna". Mereka
beralasan bahwa karena itu seseorang yang salat mengucapkan niat salatnya, "Aku
salat karena Allah." Seandainya salat diniatkan untuk mendapat pahala dan
menolak siksaan, maka batallah salatnya.
Akan tetapi, pendapat mereka itu dibantah pula oleh ulama lain yang
mengatakan bahwa keadaan ibadah yang dilakukan karena Allah Swt. bukan berarti
pelakunya tidak boleh meminta pahala atau mohon terhindar dari azab melalui
salatnya itu. Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh seorang Badui:
أَمَا
إِنِّي لَا أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلَا دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ إِنَّمَا أَسْأَلُ
اللَّهَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِهِ مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ»
"Adapun aku. sesungguhnya aku tidak dapat melakukan dialek-mu, tidak pula
dialek Mu'az; tetapi aku hanya memohon surga kepada Allah, dan aku berlindung
kepada-Nya dari neraka." Maka Nabi Saw. menjawab, "Kami pun meminta hal yang
sama."
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 5"
Posting Komentar