Al-Baqoroh Ayat 17-18
Minggu, 13 Mei 2018
Add Comment
{مَثَلُهُمْ
كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ
اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ (17) صُمٌّ بُكْمٌ
عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ (18) }
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang
menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan
cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak
dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta;
maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).
Dikatakan matsalun, mistlun, dan
matsilun artinya perumpamaan bentuk jamaknya adalah amsal, seperti
pengertian yang terdapat di dalam firman lainnya:
وَتِلْكَ
الْأَمْثالُ نَضْرِبُها لِلنَّاسِ وَما يَعْقِلُها إِلَّا
الْعالِمُونَ
Sebagai penjelasannya dapat dikatakan bahwa Allah Swt. menyerupakan perbuatan
mereka yang membeli kesesatan dengan keimanan —dan nasib mereka menjadi buta
setelah melihat— dengan keadaan orang yang menyalakan api. Akan tetapi, setelah
suasana di sekitarnya terang dan beroleh manfaat dari sinarnya, yaitu dapat
melihat semua yang ada di kanan dan kirinya, telah menyesuaikan diri dengannya;
di saat dalam keadaan demikian, tiba-tiba api tersebut padam. Maka ia berada
dalam kegelapan yang pekat, tidak dapat melihat, dan tidak beroleh petunjuk.
Selain itu keadaannya kini menjadi tuli tidak dapat mendengar, bisu tidak dapat
berbicara lagi, buta seandainya keadaannya terang karena tidak dapat melihat.
Karena itu, dia tidak dapat kembali kepada keadaan sebelumnya. Demikian pula
keadaan orang-orang munafik itu yang mengganti jalan petunjuk dengan kesesatan
dan lebih memilih kesesatan daripada hidayah.
Di dalam masal atau perumpamaan ini terkandung pengertian yang menunjukkan
bahwa pada awalnya mereka beriman, kemudian kafir, sebagaimana yang diceritakan
oleh Allah Swt dalam ayat lainnya.
Pendapat yang telah kami kemukakan ini diriwayatkan oleh Ar-Razi di dalam
kitab tafsirnya, dari As-Saddi. Selanjutnya Ar-Razi mengatakan, tasybih atau
perumpamaan dalam ayat ini sangat benar, karena mereka pada mulanya memperoleh
nur berkat keimanan mereka; kemudian pada akhirnya karena kemunafikan mereka,
maka batallah hal tersebut dan terjerumuslah mereka ke dalam kebimbangan yang
besar, mengingat tiada kebimbangan yang lebih besar daripada kebimbangan dalam
agama.
Ibnu Jarir menduga bahwa orang-orang yang disebut dalam perumpamaan ini
adalah mereka yang pernah tidak beriman di suatu waktu. Dia mengatakan demikian
dengan berdalilkan firman-Nya:
{وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ
بِمُؤْمِنِينَ}
Di antara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari
kemudian," padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
(Al-Baqarah: 8)
Akan tetapi, yang benar hal ini merupakan berita mengenai keadaan mereka di
saat munafik dan kafir. Pengertian ini tidak bertentangan dengan suatu kenyataan
bila mereka pernah beriman sebelum itu, tetapi iman dicabut dari mereka, dan
hati mereka dikunci mati. Barangkali Ibnu Jarir tidak menyadari ayat lainnya
yang membahas topik yang sama, yaitu firman-Nya:
{ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا
يَفْقَهُونَ}
Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman,
kemudian menjadi kafir (lagi), lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka
tidak dapat mengerti. (Al-Munafiqun: 3)
Karena itulah maka Ibnu Jarir menganalisis perumpamaan ini, bahwa mereka
beroleh penerangan dari kalimat iman yang mereka tampakkan (yakni di dunia),
kemudian hal selanjutnya yang menimpa mereka adalah kegelapan-kegelapan (yakni
kelak di hari kiamat). Ibnu Jarir mengatakan bahwa dalam perumpamaan dianggap
sah menggambarkan suatu jamaah seperti satu orang, sebagaimana pengertian yang
terdapat di dalam firman-Nya:
{رَأَيْتَهُمْ
يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ تَدُورُ أَعْيُنُهُمْ كَالَّذِي يُغْشَى عَلَيْهِ مِنَ
الْمَوْتِ}
Kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik
seperti orang yang pingsan karena akan mati. (Al-Ahzab: 19)
Yakni seperti orang yang sedang dalam keadaan sekarat menghadapi kematiannya.
Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:
{مَا
خَلْقُكُمْ وَلا بَعْثُكُمْ إِلا كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ}
Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kalian (dari dalam kubur) itu
melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja.
(Luqman: 28)
{مَثَلُ
الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ
يَحْمِلُ أَسْفَارًا}
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka
tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.
(Al-Jumu'ah: 5)
Sebagian ulama menakwilkannya, bahwa makna yang dimaksud ialah kisah mereka
sama dengan kisah orang-orang yang menyalakan api. Sedangkan menurut ulama
lainnya, orang yang menyalakan api itu adalah salah seorang dari mereka. Menurut
yang lainnya lagi, lafaz al-lazi dalam ayat ini mengandung makna al-lazina
(orang banyak), sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam perkataan
seorang penyair berikut:
وَإِنَّ الَّذِي حَانَتْ بِفَلْجٍ دِمَاؤُهُمْ ... هُمُ الْقَوْمُ كُلُّ الْقَوْمِ يَا أُمَّ
خَالِدِ
Sesungguhnya orang-orang yang telah
tiba masanya bagi mereka mengalirkan darahnya (berkurban) di Falaj adalah kaum
itu seluruhnya, hai Ummu Khalid!
Menurut kami, dalam ungkapan ini terjadi iltifat (pengalihan pembicaraan),
yaitu di tengah-tengah perumpamaan dari bentuk tunggal kepada bentuk jamak.
Sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:
{فَلَمَّا
أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا
يُبْصِرُونَ * صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ}
Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang
menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.
Mereka tuli, bisu, dan buta; maka tidaklah mereka akan kembali ke (jalan yang
benar). (Al-Baqarah: 17-18)
Ungkapan seperti ini lebih fasih dan lebih mengena susunannya.
Zahaballahu binurihim, Allah hilangkan dari mereka manfaat api yang
sedang mereka perlukan untuk penerangan; dan membiarkan hal yang membahayakan
diri mereka, yaitu bara dan asapnya.
Watarakahum fi zulumatin, dan Allah membiarkan mereka berada dalam
kegelapan (yakni keraguan, kekufuran, dan kemunafikan mereka).
La yubsirun, mereka tidak dapat melihat, yakni tidak mendapat petunjuk
untuk menempuh jalan kebaikan dan tidak pula mengetahuinya. Selain itu mereka summun, yakni tuli tidak dapat mendengar kebaikan;
bukmun, bisu tidak dapat mengucapkan hal-hal yang bermanfaat bagi diri
mereka; 'umyun, buta dalam kesesatan dan buta mata hatinya, sebagaimana
pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya:
{فَإِنَّهَا
لَا تَعْمَى الأبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي
الصُّدُورِ}
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah
hati yang di dalam dada. (Al-Hajj: 46)
Karena itu, mereka tidak dapat kembali ke jalan hidayah yang telah mereka
tukar dengan kesesatan.
Komentar para ahli tafsir ulama
salaf
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh,
dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari
sejumlah sahabat sehubungan dengan firman-Nya:
{فَلَمَّا
أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ}
Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya. (Al-Baqarah: 17)
As-Saddi menduga ada sejumlah orang yang telah masuk Islam di saat Nabi Saw.
tiba di Madinah, kemudian mereka munafik. Perumpamaan mengenai diri mereka sama
dengan seorang lelaki yang pada mulanya berada dalam kegelapan, lalu dia
menyalakan api. Ketika api menerangi sekelilingnya yang dipenuhi kotoran dan
onak duri, maka dia dapat melihat hingga dapat menghindar. Akan tetapi, ketika
ia dalam keadaan demikian, tiba-tiba apinya padam, hingga dia menghadapi situasi
yang tidak ia ketahui mana yang harus dia hindarkan dari bahaya yang ada di
depannya.
Yang demikian itulah perihal orang munafik, pada awalnya dia berada dalam
kegelapan kemusyrikan, lalu masuk Islam hingga mengetahui mana yang halal dan
mana yang haram, juga mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika ia
berada dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia kafir, akhirnya dia tidak lagi
mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, tidak pula mana yang baik dan
mana yang buruk'.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini. Cahaya
merupakan perumpamaan bagi iman mereka yang dahulu sering mereka bicarakan,
sedangkan kegelapan merupakan perumpamaan bagi kesesatan dan kekufuran mereka
yang dahulu mereka perbincangkan. Mereka adalah suatu kaum yang pada mulanya
berada dalam jalan petunjuk, kemudian hidayah dicabut dari mereka; sesudah itu
akhirnya mereka membangkang, tidak mau beriman lagi.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Falamma ada-at ma
haulahu" bahwa sinar api menunjukkan makna keadaan mereka di saat menghadap
kepada orang-orang mukmin dan jalan hidayah.
Ata Al-Khurrasani sehubungan dengan firman-Nya, "Masaluhum kamasalil lazis
tauqada naran," mengatakan bahwa hal ini merupakan perumpamaan orang munafik
yang kadangkala dia dapat melihat dan mengenai, tetapi setelah itu ia terkena
buta hati. Ibnu Abu Hatim mengatakan —dia telah meriwayatkan dari Ikri-mah, Al-Hasan,
As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas— hal yang semisal dengan apa yang dikatakan
oleh Ata Al-Khurrasani. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan firman-Nya, "Masaluhum
kamasalil lazis tauqada naran," mengatakan bahwa hal tersebut merupakan
gambaran tentang sifat orang-orang munafik yang kadangkala dapat melihat dan
mengenal, tetapi setelah itu ia terkena buta hati. Dia mengatakan pula
sehubungan dengan firman-Nya, "Masaluhum kamasalil lazis tauqada naran,"
hingga akhir ayat, bahwa hal tersebut merupakan tentang sifat orang-orang
munafik. Pada mulanya mereka beriman hingga iman menyinari kalbu mereka,
sebagaimana api menyinari mereka yang menyalakannya. Kemudian mereka kafir, maka
Allah menghilangkan cahaya apinya dan mencabut imannya sebagaimana Dia
menghilangkan cahaya api tersebut, hingga mereka tertinggal dalam keadaan yang
sangat gelap tanpa dapat melihat.
Pendapat Ibnu Jarir serupa dengan riwayat Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu
Abbas, sehubungan dengan firman-Nya: Perumpamaan mereka adalah seperti orang
yang menyalakan api. (Al-Baqarah: 17) Disebutkan bahwa hal ini merupakan
suatu perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan orang-orang
munafik. Yaitu pada mulanya mereka merasa bangga dengan Islam, maka kaum muslim
mau mengadakan pernikahan dengan mereka, saling mewaris dan saling membagi harta
fai. Tetapi di kala mereka mati, Allah mencabut kebanggaan itu dari mereka
sebagaimana cayaha api yang dihilangkan dari orang yang memerlukannya.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah
sehubungan dengan firman-Nya, "Masaluhum kamasalil lazis tauqada naran" bahwa
sesungguhnya cahaya api itu adalah cahaya api yang dinyalakannya. Tetapi bila
api itu padam, maka lenyaplah cahayanya. Demikian pula keadaan orang munafik,
manakala dia mengucapkan kalimat Ikhlas —yaitu la ilaha illallah (tidak ada
Tuhan selain Allah)— ia berada dalam cahaya yang terang; tetapi jika ia ragu,
maka terjerumuslah ia ke dalam kegelapan. Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Zaha-ballahu
binurihim." Cahaya api mereka merupakan perumpamaan bagi iman mereka yang
selalu mereka bicarakan.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah mengenai firman-Nya:
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah
api itu menerangi sekelilingnya. (Al-Baqarah: 17) Yang dimaksud dengan api
ialah perumpamaan kalimah la ilaha illal-lah (tidak ada Tuhan selain Allah). Api
itu menerangi mereka hingga mereka dapat makan dan minum, dianggap beriman di
dunia, melakukan pernikahan, serta darah mereka terpelihara. Tetapi di kala
mereka mati, Allah menghilangkan cahaya mereka dan membiarkan mereka berada
dalam keadaan yang sangat gelap, tidak dapat melihat.
Sa'id meriyawatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa orang
munafik yang mengucapkan kalimah la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain
Allah) memperoleh cahaya dalam kehidupan di dunia. Untuk itu, mereka dapat
menikah dengan kaum muslim melalui kalimah tersebut dan berperang bersama kaum
muslim, dapat waris-mewaris dengan mereka, dan darah serta hartanya terlindungi.
Tetapi di saat ia mati, kalimah tersebut ia cabut karena di dalam hatinya tidak
ada pangkalnya; pada amal perbuatannya pun tidak ada hakikat kenyataan. Maka
pada ayat selanjutnya disebutkan: dan Allah membiarkan mereka dalam kegelapan
tidak dapat melihat. (Al-Baqarah: 17)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya, "Watarakahum fi zulumatil la yubsirun" yakni Allah
meninggalkan mereka dalam kegelapan (maksudnya dalam azab) bila mereka mati.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari
Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya,
"Watarakahum fi zulumatin," yakni mereka dapat melihat perkara hak dengan
mata hatinya, dan mengatakannya hingga mereka dapat keluar dari kegelapan
kekufuran. Akan tetapi, sesudah itu mereka memadamkannya melalui kekufuran dan
kemunafikan mereka, akhirnya Allah membiarkan mereka dalam kegelapan kekufuran,
hingga tidak dapat melihat hidayah dan tidak dapat berjalan lurus dalam perkara
yang hak.
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan berikut sanadnya mengenai
firman-Nya, "Watarakahum fi zulumatin," bahwa kegelapan tersebut
merupakan perumpamaan bagi kemunafikan mereka.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa watarakahum fi zulumatin la
yubsirun artinya hal tersebut terjadi ketika orang munafik mati. Maka amal
perbuatan jahatnya merupakan kegelapan baginya, hingga dia tidak dapat menemukan
suatu amal baik pun yang sesuai dengan kalimah la ilaha illallah.
Summun bukmun 'umyun, As-Saddi meriwayatkan berikut sanadnya
sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa mereka bisu, buta serta tuli.
Ali Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
summun bukmun 'umyun, bahwa mereka tidak dapat mendengar petunjuk, tidak dapat
melihatnya, dan tidak dapat mem-haminya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul
Aliyah dan Qatadah ibnu Di'amah.
Fahum la yarji'una, menurut Ibnu Abbas mereka tidak dapat kembali ke
jalan hidayah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas.
As-Saddi meriwayatkan berikut sanadnya sehubungan dengan makna firman-Nya,
"Summun bukmun 'umyun fahum la yarji'una," yakni mereka tidak dapat
kembali kepada Islam. Sedangkan menurut Qatadah, mereka tidak dapat kembali itu
maksudnya tidak dapat bertobat dan tidak pula mereka ingat.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 17-18"
Posting Komentar