Al-Baqoroh Ayat 14-15
Minggu, 13 Mei 2018
Add Comment
{وَإِذَا
لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ
قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ (14) اللَّهُ
يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (15)
}
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang
yang beriman, mereka mengatakan, "Kami telah beriman." Dan bila mereka
kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami
sependirian dengan kalian, kami hanyalah ber-olok-olok." Allah akan (membalas)
olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam
kesesatan.
Allah Swt. berfirman, "Apabila orang-orang munafik bersua dengan orang-orang
mukmin, mereka berkata, 'Kami beriman'." Mereka menampakkan kepada kaum mukmin
seakan-akan diri mereka beriman dan berpihak atau bersahabat dengan kaum mukmin.
Akan tetapi, sikap ini mereka maksudkan untuk mengelabui kaum mukmin dan
diplomasi mereka untuk melindungi diri agar dimasukkan ke dalam golongan
orang-orang mukmin dan mendapat bagian ganimah dan kebaikan yang diperoleh kaum
mukmin.
Bilamana mereka kembali bersama setan-setannya. Makna yang dimaksud ialah
bilamana mereka kembali dan pergi dengan setan-setan mereka tanpa ada orang
lain. Lafaz khalau mengandung makna insarafu, yakni kembali, karena ia
muta'addi dengan huruf ila untuk menunjukkan fi'il yang tidak
disebutkan dan yang disebutkan. Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa
ila di sini bermakna ma'a, yakni "apabila mereka berkumpul bersama
setan mereka tanpa ada orang lain". Akan tetapi, makna yang pertama lebih baik,
yaitu yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Jarir.
As-Saddi mengatakan dari Abu Malik, khalau artinya pergi menuju
setan-setan mereka. Syayatin artinya pemimpin dan pembesar atau kepala mereka
yang terdiri atas kalangan pendeta Yahudi, pemimpin-pemimpin kaum musyrik dan
kaum munafik. As-Saddi di dalam kitab Tafsir-nya mengatakan dari Abu Malik dan
dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud
serta dari sejumlah sahabat Rasulullah Saw., bahwa yang dimaksud dengan
setan-setan mereka dalam firman-Nya, "Wa iza khalau ila syayatinihim,"
ialah para pemimpin kekufuran mereka.
Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa makna ayat ialah apabila mereka
kembali kepada teman-temannya. Teman-teman mereka disebut setan-setan
mereka.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah
atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, "Dan apabila mereka
kembali kepada setan-setan mereka," yakni yang terdiri atas kalangan orang-orang
Yahudi, yaitu mereka yang menganjurkannya untuk berdusta dan menentang apa yang
dibawa oleh Rasulullah Saw.
Mujahid mengatakan bahwa makna syayatinihim ialah teman-teman mereka
dari kalangan orang-orang munafik dan orang-orang musyrik.
Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan syayatinihim ialah para
pemimpin dan para panglima mereka dalam kemusyrikan dan kejahatan. Hal yang
semisal dikatakan pula oleh Abu Malik, Abul Aliyah, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu
Anas.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa syayatin artinya segala sesuatu yang
membangkang. Adakalanya setan itu terdiri atas kalangan manusia dan jin,
sebagaimana dinyatakan di dalam firman-Nya:
وَكَذلِكَ
جَعَلْنا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَياطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي
بَعْضُهُمْ إِلى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk
menipu (manusia). (Al-An'am: 112)
Di dalam kitab Musnad disebutkan sebuah hadis dari Abu Zar, bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
"نَعُوذُ
بِاللَّهِ مِنْ شَيَاطِينِ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ". فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
وَلِلْإِنْسِ شَيَاطِينٌ؟ قَالَ: "نَعَمْ"
"Kami berlindung kepada Allah dari setan-setan manusia dan setan-setan
jin." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah manusia itu ada yang menjadi
setan?" Nabi Saw. menjawab, 'Ya."
Qalu inna ma'akum, mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami bersama
kalian." Menurut Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari
Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa maknanya ialah
"sesungguhnya kami sependirian dengan kalian". Innama nahnu mustahziun,
sesungguhnya kami hanya mengajak mereka dan mempermainkan mereka.
Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas. Mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami
hanya mengolok-olok dan mengejek teman-teman Muhammad." Hal yang sama dikatakan
pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Qatadah. Sebagai bantahan dari Allah Swt. terhadap perbuatan orang-orang munafik itu,
maka Allah Swt. berfirman: Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan
membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. (Al-Baqarah:
15)
Ibnu Jarir mengatakan, Allah Swt. memberhahukan bahwa Dialah yang akan
melakukan pembalasan terhadap orang-orang munafik itu kelak di hari kiamat,
seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
يَوْمَ
يَقُولُ الْمُنافِقُونَ وَالْمُنافِقاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونا نَقْتَبِسْ
مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَراءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُوراً فَضُرِبَ
بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بابٌ باطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ
الْعَذابُ
Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata
kepada orang-orang yang beriman, "Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil
sebagian dari cahaya kalian." Dikatakan (kepada mereka), "Kembalilah kalian ke
belakang dan carilah sendiri cahaya (untuk kalian)." Lalu diadakan di antara
mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di
sebelah luarnya dari situ ada siksa. (Al-Hadid: 13)
Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:
وَلا
يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّما نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ
إِنَّما نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدادُوا إِثْماً
Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian
tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami
memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka.
(Ali Imran: 178)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal ini dan yang serupa dengannya merupakan
ejekan, penghinaan, makar, dan tipu muslihat Allah Swt. terhadap orang-orang
munafik dan orang-orang musyrik, menurut orang yang menakwilkan ayat ini dengan
pengertian tersebut. Ibnu Jarir mengatakan pula, bahwa ulama lainnya mengatakan bahwa ejekan Allah
terhadap mereka berupa celaan dan penghinaan Allah terhadap mereka karena mereka
telah berbuat durhaka dan kafir kepada-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan pula, "Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa ungkapan
seperti ini dan yang semisal merupakan ungkapan pembalikan." Perihalnya sama
dengan ucapan seseorang terhadap orang yang menipunya bila ternyata ia dapat
membalikkan tipuan lawannya, "Justru akulah yang telah menipumu (bukan kamu yang
menipuku)." Akan tetapi, dalam hakikatnya Allah tidak melakukan tipuan;
melainkan Dia mengatakan hal tersebut hanya semata-mata menggambarkan tentang
akibat dari apa yang diperbuat mereka. Para ulama yang berpendapat seperti ini
mengatakan bahwa hal yang sama terdapat pula di dalam firman-Nya:
وَمَكَرُوا
وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْماكِرِينَ
Orang-orang kafir itu membuat tipu daya dan Allah membalas tipu daya
mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (Ali Imran: 54)
{اللَّهُ
يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ}
Allah akan (membalas) olok-olokan mereka. (Al-Baqarah: 15)
Hal tersebut merupakan jawaban semata, karena sesungguhnya Allah tidak
melakukan makar dan tidak pula ejekan. Dengan kata lain, makna yang dimaksud
ialah bahwa makar dan tipu daya mereka itu justru menimpa diri mereka sendiri
(barang siapa menggali lubang, dia sendiri yang akan terjerumus ke
dalamnya).
Ulama lainnya mengatakan bahwa firman-Nya: Sesungguhnya kami hanyalah
berolok-olok. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka. (Al-Baqarah:
14-15)
يُخادِعُونَ
اللَّهَ وَهُوَ خادِعُهُمْ
Mereka (orang-orang munafik) menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan
mereka. (An-Nisa: 142)
فَيَسْخَرُونَ
مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ
Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas
penghinaan mereka. (At-Taubah: 79)
ونَسُوا
اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ
Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.
(At-Taubah: 67)
Demikian pula ayat-ayat lainnya yang semakna, semuanya merupakan berita dari
Allah Swt. bahwa Dia pasti akan memberikan balasan terhadap mereka dengan balas
memperolok-olokkan dan menyiksa mereka dengan siksaan tipuan, sebagaimana tipuan
yang telah mereka lakukan. Kemudian berita mengenai balasan Allah dan
siksaan-Nya kepada mereka diungkapkan dengan gaya bahasa yang sama dengan
perbuatan mereka yang menyebabkan mereka berhak mendapat siksaan-Nya, hanya dari
segi lafaznya saja, tetapi maknanya berbeda. Perihalnya sama dengan makna yang
terdapat di dalam firman-Nya:
وَجَزاءُ
سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُها فَمَنْ عَفا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى
اللَّهِ
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang
siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.
(Asy-Syura: 40)
{فَمَنِ
اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ}
Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia
seimbang dengan serangannya terhadap kalian. (Al-Baqarah: 194)
Makna pertama mengandung pengertian perbuatan aniaya, sedangkan makna yang
kedua mengandung pengertian keadilan. Lafaz yang dipakai pada keduanya sama,
tetapi makna yang dimaksud berbeda; berdasarkan pengertian inilah semua makna
yang sejenis di dalam Al-Qur'an diartikan dengan pengertian seperti ini.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, sesungguhnya makna yang
dimaksud ialah bahwa Allah memberitakan perihal orang-orang munafik; apabila
mereka berkumpul dengan pemimpin-pemimpinnya, mereka mengatakan, "Sesungguhnya
kami sependirian dengan kalian dalam mendustakan Muhammad dan apa yang
didatangkannya. Sesungguhnya kata-kata yang kami ucapkan dan sikap yang kami
perlihatkan kepada mereka hanyalah mengolok-olokkan mereka." Maka Allah Swt.
memberitahukan bahwa Dia membalas mengolok-olok mereka. Untuk itu, Allah
menampakkan kepada mereka sebagian dari hukum-hukum-Nya di dunia, yaitu darah
mereka terpelihara, begitu pula harta benda mereka, padahal hal itu kebalikan
dari apa yang akan terjadi pada diri mereka kelak di hari kemudian di sisi-Nya,
yaitu azab dan siksaan.
Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan alasan dukungannya terhadap pendapat ini,
mengingat tipu daya, makar, dan olok-olokan secara main-main dan tidak ada
gunanya merupakan hal yang mustahil akan dilakukan oleh Allah Swt. menurut
kesepakatan semua. Bila hal tersebut diartikan sebagai pembalasan dan
ganjaran-ganjaran yang setimpal secara adil, dapatlah dimengerti. Ibnu Jarir mengatakan, ada sebuah riwayat yang sependapat dengan apa yang
telah kami katakan, diketengahkan dari sahabat Ibnu Abbas. Di dalam riwayat ini
disebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada
kami Abu Usman, telah menceritakan kepada kami Bisyr, dari Abu Rauq, dari
Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Allahu yastahzi-u
bihim," artinya Allah memperolok-olok mereka sebagai pembalasan-Nya terhadap
tindakan mereka.
{وَيَمُدُّهُمْ
فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ}
Menurut As-Saddi, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat Nabi Saw., yamudduhum artinya Allah membiarkan mereka.
Mujahid mengatakan bahwa makna yamudduhum ialah menambahkan kepada mereka, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
أَيَحْسَبُونَ
أَنَّما نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مالٍ وَبَنِينَ نُسارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْراتِ
بَلْ لَا يَشْعُرُونَ
Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada
mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan kepada mereka!
Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar. (Al-Mu’minun: 55-56)
Dan firman Allah Swt.:
سَنَسْتَدْرِجُهُمْ
مِنْ حَيْثُ لا يَعْلَمُونَ
Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah
kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui. (Al-A'raf: 182)
Sebagian ulama mengatakan bahwa setiap kali mereka melakukan dosa yang baru,
maka Allah memberikan kepada mereka nikmat yang baru. Tetapi pada hakikatnya hal
itu merupakan azab, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam ayat
lain:
فَلَمَّا
نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنا عَلَيْهِمْ أَبْوابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذا
فَرِحُوا بِما أُوتُوا أَخَذْناهُمْ بَغْتَةً فَإِذا هُمْ مُبْلِسُونَ. فَقُطِعَ
دابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُوا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعالَمِينَ
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada
mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga
apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami
siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus
asa. Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (Al-An'am: 44-45)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna yang benar ialah Kami menambahkan kepada
mereka, dengan pengertian membiarkan dan memperturutkan mereka di dalam
kesombongan dan pembangkangannya, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam
ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَنُقَلِّبُ
أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصارَهُمْ كَما لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ
وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيانِهِمْ يَعْمَهُونَ
Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti
mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada permulaannya, dan Kami
biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (Al-An'am:
110)
At-tugyan artinya melampaui batas dalam suatu hal, sebagaimana
pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
إِنَّا
لَمَّا طَغَى الْماءُ حَمَلْناكُمْ فِي الْجارِيَةِ
Sesungguhnya Kami tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa
(nenek moyang) kalian ke dalam bahtera. (Al-Haqqah: 11)
Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa fi tugyanihim ya'mahun
artinya di dalam kekufurannya mereka terombang-ambing. Hal yang sama ditafsirkan
pula oleh As-Saddi berikut sanadnya dari para sahabat. Hal yang sama dikatakan
oleh Abul Aliyah, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Mujahid, Abu Malik, dan Abdur
Rahman ibnu Zaid, bahwa mereka terombang-ambing di dalam kekufuran dan
kesesatan.
Ibnu Jarir mengatakan lafaz al-'amah artinya sesat, dikatakan 'cmiha fulanun,
ya'mahu, 'amahan, dan 'amuhan artinya si Fulan telah tersesat. Ibnu Jarir
mengatakan, makna fi tugyanihim ya'mahun artinya ialah di dalam kekufuran dan
kesesatan yang menggelimangi dan menutupi diri mereka karena perbuatan kotor dan
najis, mereka terombang-ambing dalam kebingungan dan kesesatan; mereka tidak
akan dapat menemukan jalan keluar, karena Allah Swt telah mengun-ci mati hati
mereka dan mengelaknya serta membutakan pandangan hati mereka dari jalan
hidayah, hingga tertutup pandangan mereka, ti-dak dapat melihat petunjuk, tidak
dapat pula mengetahui jalannya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa al-'ama (buta) khusus bagi buta mata,
sedangkan al-'amah khusus bagi buta hati; tetapi adakalanya lafaz al-'ama
dipakai untuk pengertian buta hati, seperti yang terdapat di dalam
firman-Nya:
فَإِنَّها
لَا تَعْمَى الْأَبْصارُ وَلكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي
الصُّدُورِ
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah
hati yang di dalam dada. (Al-Hajj: 46)
Dikatakan 'amihar rajulu (عَمِهَ الرَّجُلُ) artinya lelaki itu pergi
tanpa mengetahui tujuan. Bentuk mudari'-nya ya'mahu (يَعْمَهُ)
, bentuk isim fa'il-nya 'amihun (عَمِهٌ)
dan 'amihun (عَامِهٌ); bentuk jamaknya 'amahun
(عُمَّهٌ), sedangkan bentuk masdarnya
ialah 'amuhan (عُمُوهًا) . Dikatakan zahabat ibiluhul
'amha-u (ذَهَبَتْ إِبِلُهُ الْعَمْهَاءُ) jika untanya tidak diketahui
ke mana perginya.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 14-15"
Posting Komentar