Al-Baqoroh Ayat 3
Sabtu, 12 Mei 2018
Add Comment
الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ (3)
(yaitu) orang-orang yang beriman kepada yang
gaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada
mereka.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Al-Ala ibnu Musayyab ibnu Rafi, dari Abu
Ishaq, dari Abu Ahwas, dari Abdullah (Ibnu Mas'ud) yang pernah mengatakan bahwa
iman ialah percaya.
Ali Ibnu Abu Talhah dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang
mengatakan bahwa orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang percaya
(membenarkan). Ma'mar mengatakan dari Az-Zuhri bahwa iman ialah amal. Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa orang-orang yang
beriman ialah orang-orang yang takut (kepada Allah Swt.)Ibnu Jarir mengatakan, "Yang lebih utama bila mereka menggambarkan keimanan
terhadap masalah yang gaib secara ucapan, keyakinan, dan perbuatan; dan
adakalanya takut kepada Allah termasuk ke dalam pengertian iman yang intinya
ialah membenarkan ucapan dengan perbuatan. Iman adalah suatu istilah yang
mencakup pengertian iman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. Dan
pembenaran pengakuan dibuktikan dengan perbuatan" Menurut pendapat kami, iman secara makna lugawi (bahasa) berarti percaya
secara tulus. Akan tetapi, adakalanya di dalam Al-Qur'an digunakan untuk
pengertian tersebut, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:
يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ
Demikian pula yang dikatakan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf kepada ayah mereka, yang hal ini disitir oleh firman-Nya:
وَما
أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنا وَلَوْ كُنَّا صادِقِينَ
Demikian pula maknanya bila dibarengi amal perbuatan, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:
إِلَّا
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ
kecuali orang-orang yang percaya dan mengerjakan amal saleh. (At-Tin:
6)
Jika digunakan secara mutlak, maka iman yang dikehendaki oleh syara' ialah
yang mencakup tiga unsur, yaitu keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Demikian
menurut sebagian besar imam. Bahkan menurut riwayat Imam Syafii, Imam Ahmad ibnu
Hambal, dan Abu Ubaidah serta ulama lainnya, ijma' dengan pengertian seperti
berikut: Iman adalah ucapan dan perbuatan serta dapat bertambah dan berkurang.
Banyak hadis dan asar yang menerangkan pengertian ini, yang secara tersendiri
telah dikemukakan di dalam permulaan Syarah Bukhari. Di antara mereka ada yang menafsirkannya dengan makna "takut kepada Allah",
sebagaimana makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
إِنَّ
الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ
مَنْ
خَشِيَ الرَّحْمنَ بِالْغَيْبِ وَجاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ
Al-khasyyah atau takut kepada Allah merupakan kesimpulan dari iman dan ilmu, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
إِنَّما
يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبادِهِ الْعُلَماءُ
Sebagian ulama mengatakan bahwa mereka beriman kepada yang gaib (tidak
kelihatan) sebagaimana mereka beriman kepada yang kelihatan, dan keadaan mereka
tidaklah seperti yang disebut di dalam firman Allah Swt. mengenai perihal
orang-orang munafik, yaitu:
وَإِذا
لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قالُوا آمَنَّا وَإِذا خَلَوْا إِلى شَياطِينِهِمْ قالُوا
إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّما نَحْنُ مُسْتَهْزِؤُنَ
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang beriman, mereka mengatakan,
"Kami telah beriman. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka
mengatakan, "Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, kami hanya
berolok-olok." (Al-Baqarah: 14)
إِذا
جاءَكَ الْمُنافِقُونَ قالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ
يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنافِقِينَ
لَكاذِبُونَ
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, "Kami
mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah" Dan Allah mengetahui
bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya, dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar yang pendusta.
(Al-Munafiqun: 1) Berdasarkan pengertian ini berarti lafaz bil gaibi berkedudukan sebagai hal
(keterangan keadaan), yaitu sekalipun keadaan mereka tidak kelihatan oleh orang
banyak (yakni sendirian). Mengenai yang dimaksud dengan al-gaib dalam ayat ini, ungkapan ulama Salaf
mengenainya berbeda-beda, tetapi semuanya benar; mengingat bila disimpulkan dari
semuanya, maka yang tersimpul adalah makna yang dimaksud.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abu Aliyah
sehubungan dengan firman-Nya: Orang-orang yang beriman kepada yang gaib.
(Al-Baqarah: 3) Menurut Abul Aliyah, makna yang dimaksud ialah "mereka beriman
kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari
kemudian, surga dan neraka-Nya, bersua dengan-Nya; juga beriman kepada kehidupan
sesudah mati dan hari berbangkit". Semua itu merupakan hal yang gaib (tidak
kelihatan). Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah ibnu Di'amah. As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, keduanya menerimanya
dari Ibnu Abbas. As-Saddi juga meriwayatkannya dari Murrah Al-Hamadani, dari
Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat Nabi Saw., bahwa gaib ialah
hal-hal yang tidak kelihatan oleh hamba-hamba Allah, seperti masalah surga,
neraka, dan semua hal yang disebutkan di dalam Al-Qur'an. Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari
Ikrimah atau dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa makna gaib ialah
hal-hal yang didatangkan oleh Allah. Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Asim, dari Zurr yang mengatakan bahwa
al-Gaib artinya Al-Qur'an. Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa orang yang beriman kepada Allah berarti
beriman kepada yang gaib (tidak kelihatan).
Ismail ibnu Abu Khalid mengatakan bahwa mereka yang beriman kepada yang gaib
ialah mereka yang beriman sesudah masa Islam (masa Nabi dan para sahabat). Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa orang-orang yang beriman kepada yang gaib
ialah yang beriman kepada takdir. Semua saling berdekatan dalam hal pengertian, mengingat pada garis besarnya
semua itu kembali kepada makna gaib yang harus diimani. Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah,
dari Al-A'masy, dari Imarah ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Yazid yang
mengatakan, "Ketika kami berada di hadapan sahabat Abdullah, ibnu Mas'ud duduk
bersamanya. Lalu kami menceritakan perihal sahabat-sahabat Nabi Saw. dan semua
amal perbuatan mereka yang mendahului kami. Maka Abdullah ibnu Mas'ud berkata,
'Sesungguhnya perkara Muhammad Saw. adalah jelas bagi orang yang melihatnya.
Demi Tuhan yang tidak ada Tuhan selain Dia, tidak ada seorang pun yang memiliki
iman lebih afdal da-ripada iman tanpa melihat'," kemudian dia membacakan
firman-Nya:
الم،
ذلِكَ الْكِتابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدىً لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ
بِالْغَيْبِ- إِلَى قَوْلِهِ- الْمُفْلِحُونَ
Alif lam mim. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk
bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib
—sampai dengan firman-Nya— orang-orang yang beruntung. (Al-Baqarah:
1-5)
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, Ibnu Murdawaih, dan Imam Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak-nya melalui berbagai jalur dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama. Imam Hakim mengatakan, asar ini berpredikat sahih dengan syarat Syaikhain, sedangkan keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Hadis semisal diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dia menyebutkan bahwa:
حَدَّثَنَا
أَبُو الْمُغِيرَةِ، أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي أُسَيْدُ بْنُ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ، عَنْ خَالِدِ بْنِ دُرَيك، عَنِ ابْنِ مُحَيريز، قَالَ: قُلْتُ
لِأَبِي جُمُعَةَ: حَدِّثْنَا حَدِيثًا سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: نَعَمْ، أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا جَيِّدًا:
تَغَدَّيْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَنَا
أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ أَحَدٌ
خَيْرٌ مِنَّا؟ أَسْلَمْنَا مَعَكَ وَجَاهَدْنَا مَعَكَ. قَالَ: "نَعَمْ"، قَوْمٌ
مِنْ بَعْدِكُمْ يُؤْمِنُونَ بِي وَلَمْ يَرَوْنِي"
telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepadaku
Al-Auza'i, telah menceritakan kepadaku Asad ibnu Abdur Rahman, dari Khalid ibnu
Duraik, dari Ibnu Muhairiz yang mengatakan bahwa ia pernah berkata kepada Abu
Jum'ah, "Ceritakanlah kepada kami sebuah hadis yang engkau dengar dari
Rasulullah Saw." Abu Jum'ah menjawab, "Ya, aku akan menceritakan kepadamu suatu
hadis yang baik," yaitu: Kami makan siang bersama Rasulullah Saw. Di antara kami
terdapat Abu Ubaidah ibnul Jarrah. Ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ada
seseorang yang lebih baik daripada kami? Kami masuk Islam di tanganmu dan kami
berjihad bersamamu." Rasulullah Saw. menjawab, "Ya, suatu kaum dari kalangan
orang-orang sesudah kalian; mereka beriman kepadaku, padahal mereka tidak
melihatku."
Menurut jalur yang lain, diketengahkan oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam
kitab Tafsir-nya, yaitu:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
مَسْعُودٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ
صَالِحٍ، عَنْ صَالِحِ بْنِ جُبَيْر، قَالَ: قَدِمَ عَلَيْنَا أَبُو جُمُعَةَ
الْأَنْصَارِيُّ، صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِبَيْتِ الْمَقْدِسِ، لِيُصَلِّيَ فِيهِ، وَمَعَنَا يَوْمَئِذٍ رَجَاءُ بْنُ
حَيْوَةَ، فَلَمَّا انْصَرَفَ (9) خَرَجْنَا نُشَيِّعُهُ، فَلَمَّا أَرَادَ
الِانْصِرَافَ قَالَ: إِنَّ لَكُمْ جَائِزَةً وَحَقًّا؛ أُحَدِّثُكُمْ بِحَدِيثٍ
سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قُلْنَا:
هَاتِ رَحِمَكَ اللَّهُ قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَنَا مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ عَاشِرُ عَشَرَةٍ، فَقُلْنَا:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ مِنْ قَوْمٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَّا؟ آمَنَّا بك
واتبعناك، قال: "مَا
يَمْنَعُكُمْ مِنْ ذَلِكَ وَرَسُولُ اللَّهِ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ يَأْتِيكُمْ
بِالْوَحْيِ مِنَ السَّمَاءِ، بَلْ قَوْمٌ مِنْ بَعْدِكُمْ يَأْتِيهِمْ كِتَابٌ
بَيْنَ لَوْحَيْنِ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَعْمَلُونَ بِمَا فِيهِ، أُولَئِكَ أَعْظَمُ
مِنْكُمْ أَجْرًا" مَرَّتَيْنِ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan
kepada kami Ismail, dari Abdullah ibnu Mas'ud; telah menceritakan kepada kami
Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Saleh, dari
Saleh ibnu Jubair yang menceritakan bahwa datang kepada kami Abu Jum'ah
Al-Ansari —seorang sahabat Rasulullah Saw.— di Baitul Maqdis untuk melakukan
salat. Ketika itu bersama kami terdapat Raja ibnu Haywah r.a. Setelah dia
selesai salat, kami keluar mengantarkannya. Tetapi ketika dia hendak pergi, dia
berkata, "Sesungguhnya kalian berhak mendapat balasan dan hak, aku akan
menceritakan sebuah hadis kepada kalian yang aku dengar langsung dari Rasulullah
Saw." Kami menjawab, "Ceritakanlah, semoga Allah merahmatimu." Abu Jum'ah
bercerita: Ketika kami bersama Rasulullah Saw., di antara kami terdapat Mu'az
ibnu Jabal yang merupakan orang kesepuluh dari kami semua yang berjumlah sepuluh
orang. Kemudian kami bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ada suatu kaum yang
beroleh pahala lebih besar daripada kami? Kami beriman kepada Allah dan
mengikutimu." Nabi Saw. menjawab, "Tiada yang menghalangi kalian dari hal
tersebut, karena Rasulullah berada di antara kalian menyampaikan wahyu yang
turun dari langit kepada kalian, bahkan kaum sesudah kalian. Datang kepada
mereka kitab (Al-Qur'an) yang telah terhimpun di antara kedua sampulnya, lalu
mereka beriman kepadanya dan mengamalkan apa yang dikandungnya, mereka lebih
besar pahalanya daripada kalian." Ucapan ini diulanginya sebanyak dua
kali.
Kemudian Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui hadis Damrah
ibnu Rabi'ah, dari Marzuq ibnu Nafi', dari Saleh ibnu Jubair, dari Abu Jum'ah
hal yang semisal dengan hadis ini.
Hadis ini mengandung dalil yang menunjukkan amal yang berdasarkan rasa cinta,
di mana para ahli hadis berselisih pendapat tentangnya, sebagaimana yang telah
ditetapkan pada permulaan Syarah Bukhari, karena Nabi Saw. ternyata memuji
mereka yang datang sesudahnya, mengingat mereka beriman tanpa melihat. Beliau
Saw. menyebutkan bahwa mereka memiliki pahala yang lebih besar bila ditinjau
dari segi itu saja tetapi tidak mutlak.
Hal yang sama disebutkan pula di dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh
Al-Hasan ibnu Arafah Al-Abdi:
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ الْحِمْصِيُّ، عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ قَيْسٍ
التَّمِيمِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّ الْخَلْقِ
أَعْجَبُ إِلَيْكُمْ إِيمَانًا؟ ". قَالُوا: الْمَلَائِكَةُ. قَالَ: "وَمَا لَهُمْ
لَا يُؤْمِنُونَ وَهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ؟ ". قَالُوا: فَالنَّبِيُّونَ. قَالَ:
"وَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ وَالْوَحْيُ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ؟ ". قَالُوا:
فَنَحْنُ. قَالَ: "وَمَا لَكَمَ لَا تُؤْمِنُونَ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟ ".
قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَلَا إِنَّ
أَعْجَبَ الْخَلْقِ إِلَيَّ إِيمَانًا لَقَوْمٌ يَكُونُونَ مِنْ بَعْدِكُمْ يَجدونَ
صُحُفًا فِيهَا كِتَابٌ يُؤْمِنُونَ بِمَا فِيهَا"
telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Iyasy Al-Himsi, dari Al-Mugirah
ibnu Qais At-Tamimi, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Makhluk apakah yang
paling kalian kagumi imannya?" Mereka (para sahabat) menjawab, "Para
malaikat." Nabi Saw. bersabda, "Mana mungkin mereka tidak beriman, sedangkan
mereka berada di dekat Tuhannya?" Mereka berkata, "Para nabi.'"'' Rasulullah
Saw. bersabda, "Mana mungkin mereka tidak beriman, sedangkan wahyu diturunkan
kepada mereka?" Mereka berkata, "Kalau begitu kami.'"' Nabi Saw. bersabda,
"Mana mungkin kalian tidak beriman, sedangkan aku berada di antara
kalian?''' Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Ingatlah, sesungguhnya makhluk
yang paling kukagumi keimanannya ialah suatu kaum yang datang sesudah kalian,
mereka menjumpai lembaran-lembaran yang di dalamnya tertuliskan Al-Kitab
(Al-Qur'an), lalu mereka beriman kepada semua yang terkandung di
dalamnya."
Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa hadis Al-Mugirah ibnu Qais Al-Basri
berpredikat munkar.
Menurut pendapat kami diriwayatkan pula oleh Abu Ya’la di dalam kitab
Musnad-nya dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya serta Imam Hakim di
dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Muhammad ibnu Humaid —hanya di sini ada
kedaifan— dari Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar r.a., dari Nabi Saw.
hadis yang semisal atau semakna dengannya. Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini
sahih sanadnya, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Hadis yang semisal telah diriwayatkan melalui Anas ibnu Malik secara marfu'. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad Al-Musnadi, telah menceritakan
kepada kami Ishaq ibnu Idris, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Ja'far
ibnu Mahmud ibnu Salamah Al-Ansari, telah menceritakan kepadaku Ja'far ibnu
Mahmud, dari kakeknya —Badilah bin Aslam— yang menceritakan, "Aku salat Lohor
atau Asar di masjid Bani Harisah, ketika itu kami menghadap ke arah masjid Eliya
(Yerussalem). Ketika kami baru salat dua rakaat, tiba-tiba datang seseorang yang
menyampaikan berita kepada kami bahwa Rasulullah Saw. telah menghadap ke arah
Baitul Haram. Maka berubahlah posisi kami, kaum wanita menjadi berada di depan
kaum laki-laki, sedangkan kaum laki-laki berada di belakang kaum wanita,
kemudian kami melanjutkan salat dua rakaat yang tersisa dalam keadaan menghadap
ke arah Baitul Haram (kiblat)." Ibrahim mengatakan bahwa ia mendapat berita dari
kaum laki-laki dari kalangan Bani Harisah bahwa ketika sampai berita tersebut
kepada Rasulullah Saw., beliau bersabda:
«أُولَئِكَ
قَوْمٌ آمَنُوا بِالْغَيْبِ»
Mereka adalah kaum yang beriman kepada yang gaib.Hadis ini berpredikat garib bila ditinjau dari segi ini.
{وَيُقِيمُونَ
الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ 3}
dan mereka mendirikan salat serta menqfkahkan
sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 3)
Ibnu Abbas mengatakan, makna "mereka mendirikan salat" ialah "mereka
mendirikan fardu-fardu salat (yakni rukun-rukunnya)". Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan mendirikan salat
ialah menyempurnakan rukuk, sujud, bacaan Al-Qur'an, khusyuk, dan menghadap
sepenuh jiwa dan raganya dalam salat Qatadah mengatakan bahwa mendirikan salat
artinya memelihara waktu-waktunya, wudu, rukuk, dan sujud. Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa mendirikan salat artinya memelihara
waktu-waktunya, menyempurnakan wudu, sujud, bacaan Al-Qur'an, bacaan tasyahud,
dan salawat buat Nabi Saw. di dalam salat Ali ibnu Abu Talhah dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
makna yang dimaksud dengan "menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan
kepada mereka" ialah "mereka tunaikan zakat harta benda dengan benar".
As-Sadi mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbis. juga dari
Murrah (Al-Hamadani), dari Ibnu Mas'ud r.a., dari sejumlah sahabat Rasulullah
Saw., bahwa makna "menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada
mereka" ialah "nafkah seorang lelaki kepada keluarganya". Hal ini dipahami
sebelum diturunkannya ayat mengenai zakat. Juwaibir mengatakan dari Dahhak, "Pada mulanya nafkah merupakan kurban yang
mereka jadikan sebagai amal taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt. sesuai
dengan kemampuan ekonomi masing-masing, yakni kaya dan miskin, hingga turunlah
ayat-ayat yang memfardukan zakat. Ayat-ayat tersebut berjumlah tujuh ayat dalam
surat Baraah (At-Taubah), di dalamnya disebut masalah zakat. Ayat-ayat tersebut
berkedudukan menasikh secara pasti terhadap pengertian lain."
Qatadah mengatakan bahwa "menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan
kepada mereka" artinya nafkahkanlah sebagian dari apa yang telah Allah berikan
kepada kalian, karena harta benda itu merupakan titipan dan pinjaman di
tanganmu, hai manusia; dalam waktu yang dekat kamu pasti meninggalkannya. Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini bermakna umum,
mencakup zakat dan nafkah. Dia mengatakan bahwa takwil yang paling utama dan
paling berhak dikemukakan sesuai dengan sifat dari kaum yang dimaksud ialah
"hendaklah mereka menunaikan semua kewajiban yang berada pada harta benda
mereka, baik berupa zakat ataupun memberi nafkah orang-orang yang harus ia jamin
dari kalangan keluarga, anak-anak, dan lain-lainnya dari kalangan orang-orang
yang wajib ia nafkahi karena hubungan kekerabatan atau pemilikan atau faktor
lainnya". Karena Allah Swt. menyifati dan memuji mereka dengan sebutan tersebut,
setiap nafkah dan zakat adalah perbuatan yang terpuji dan para pelakunya
mendapat pujian.
Menurut kami, Allah Swt. sering kali menggandengkan antara salat dengan
memberi nafkah, karena salat adalah hak Allah dan seba-gai penyembahan
kepada-Nya. Di dalam salat terkandung makna menauhidkan (mengesakan) Allah,
memuji, mengagungkan, menyanjung-Nya, dan berdoa serta bertawakal kepada-Nya.
Sedangkan di dalam infak (membelanjakan harta) terkandung pengertian perbuatan
kebajikan kepada sesama makhluk, yaitu dengan mengulurkan bantuan kepada mereka.
Orang-orang yang harus diprioritaskan dalam masalah nafkah ini adalah kaum
kerabat dan keluarga serta budak-budak yang dimiliki, setelah itu barulah orang
lain.
Setiap nafkah wajib dan zakat fardu termasuk ke dalam pengertian firman Allah
Swt.:
{وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ}
Dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada
mereka. (Al-Baqarah: 3)
Karena itu, di dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis melalui
Ibnu Umar r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«بُنِيَ
الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصَوْمِ
رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ»
Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu kesaksian bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat,
menunaikan zakat, puasa bulan Ramadan, dan berhaji ke Baitullah. Hadis-hadis yang menerangkan hal ini cukup banyak. Makna asal lafaz "salat" menurut istilah bahasa ialah doa, sebagaimana yang
dikatakan oleh Al-A'sya dalam salah satu syairnya:
لَهَا
حَارِسٌ لَا يَبْرَحُ الدَّهْرَ بَيْتَهَا ...
وَإِنْ ذبحت صلّى عليها وزمزم
Si wanita itu mempunyai penjaga yang
selamanya tidak pernah meninggalkan rumahnya; dan jika dia menyembelih kurban,
maka si penjaga itu berdoa untuknya dengan suara yang kurang
dipahami.
Al-A'sya pernah mengatakan pula:
وَقَابَلَهَا
الرِّيحُ فِي دَنِّهَا ... وَصَلَّى عَلَى
دَنِّهَا وَارْتَسَمَ
Angin menerpanya, sedangkan dia berada
di dalam kemahnya, lalu ia berdoa di dalam kemahnya dan pergi.
Kadua bait tersebut diketengahkan oleh Ibnu Jarir sebagai syahid 'bukti' yang
menunjukkan makna tersebut (berdoa), dan Al-A'sya mengatakan pula dalam syairnya
yang lain, yaitu:
تَقُولُ
بِنْتِي وَقَدْ قَرَّبْتُ مُرْتَحِلًا ... يَا
رَبِّ جَنِّبْ أَبِي الْأَوْصَابَ وَالْوَجَعَا
عَلَيْكِ
مِثْلُ الَّذِي صَلَّيْتِ فَاغْتَمِضِي ...
نَوْمًا فَإِنَّ لِجَنْبِ الْمَرْءِ مُضْطَجَعًا
Anak perempuanku mengatakan di saat
waktu keberangkatannya telah dekat, "Wahai Tuhanku, jauhkanlah segala musibah
dan penyakit dari ayahku.'"' (Ayahnya menjawab), "Semoga engkau mendapatkan pula
hal yang semisal dengan apa yang kamu doakan. Maka tidurlah dengan nyenyak,
karena sesungguhnya setiap orang memerlukan istirahat."
Penyair bermaksud "semoga engkau pun memperoleh seperti apa yang kamu doakan
buatku". Makna ini sudah jelas. Kemudian lafaz "salat" menurut istilah syara'
dipakai untuk makna "perbuatan yang mengandung rukuk, sujud, pekerjaan-pekerjaan
tertentu, dan dilakukan dalam waktu-waktu yang khusus berikut persyaratan,
sifat-sifat-nya, serta jenis-jenisnya yang telah terkenal".
Menurut Ibnu Jarir, salat dinamakan dengan sebutan demikian karena pelakunya
berupaya memperoleh pahala Allah melalui amalnya bersamaan dengan permintaan
hal-hal yang diperlakukannya kepada Tuhannya. Menurut pendapat lain, lafaz
"salat" berasal dari nama kedua urat yang digerakkan dalam salat di saat rukuk
dan sujud; urat ini memanjang dari punggung sampai kepada tulang punggung yang
paling bawah. Termasuk ke dalam pengertian lafaz ini musalli dinamakan pula
terhadap juara kedua dalam perlombaan balap kuda, tetapi pendapat ini masih
perlu dipertimbangkan kebenarannya. Menurut pendapat lain, lafaz "salat" berasal dari as-sala yang artinya
menetapi sesuatu (memasukinya), seperti makna yang terkandung di dalam
firman-Nya:
لا
يَصْلاها أي لا يَلْزَمُهَا وَيَدُومُ فِيهَا إِلَّا الْأَشْقَى
Makna yang dimaksud ialah "tiada yang menetapi dan hingga kekal di dalamnya kecuali orang yang paling celaka." Menurut pendapat lain ia berasal dari tasliyah, yakni memanggang kayu di atas api dengan maksud untuk meluruskannya, sebagaimana orang yang salat menegakkan kebengkokannya dengan salat-nya, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
إِنَّ
الصَّلاةَ تَنْهى عَنِ الْفَحْشاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ
أَكْبَرُ
Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar
(keutamaannya daripada ibadah lainnya). (Al-'Ankabut: 45)
Menganggap isytiqaq (bentuk asal) salat dari doa adalah pendapat yang
paling sahih, sedangkan pembahasan mengenai zakat akan dikemukakan nanti pada
bagian tersendiri.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 3"
Posting Komentar