Al-Baqoroh Ayat 2
Sabtu, 12 Mei 2018
Add Comment
{ذَلِكَ
الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) }
Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
Ibnu Juraij mengatakan, Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa makna zalikal
kitabu adalah "kitab ini", yakni Al-Qur'an ini. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Ikrimah. Sa'id ibnu Jabir,
As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Zaid ibnu Aslam, dan Ibnu Juraij. Mereka
mengatakan bahwa memang demikianlah maknanya, yakni zalika (itu) bermakna haza
(ini). Orang-orang Arab biasa menyilihgantikan isim-isim isyarah (kata
petunjuk), mereka menggunakan masing-masing darinya di tempat yang lain; hal ini
sudah dikenal di dalam pembicaraan (percakapan) mereka. Hal yang sama
diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari, dari Ma'mar ibnul Musanna, dari Abu
Ubaidah. Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa isyarat tersebut ditunjukkan kepada Alif lam
mim, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya yang lain:
لَا
فارِضٌ وَلا بِكْرٌ عَوانٌ بَيْنَ ذلِكَ
ذلِكُمْ
حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ
ذلِكُمُ
اللَّهُ
(Zat) yang demikian itulah Allah. (Yunus: 3)
Masih banyak lagi contoh isyarat memakai lafaz zalika dengan pengertian
seperti yang telah disebutkan. Sebagian kalangan ahli tafsir berpegang kepada apa yang diriwayatkan oleh
Al-Qurtubi dan lain-lainnya, bahwa isyarat tersebut ditujukan kepada Al-Qur'an
yang telah dijanjikan kepada Rasulullah Saw. akan diturunkan kepadanya, atau
isyarat ditujukan kepada kitab Taurat atau Injil atau hal yang semisal; semuanya
ada sepuluh pendapat. Akan tetapi, pendapat ini dinilai lemah oleh kebanyakan
ulama.Yang dimaksud dengan "Al-Kitab" di dalam ayat ini adalah Al-Qur'an. Orang
yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan lafaz zalikal kitabu adalah
isyarat kepada kitab Taurat dan Injil, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir
dan lain-lainnya, jauh sekali menyimpang dari kebenaran. tenggelam ke dalam
perselisihan dan memaksakan pendapat, padahal dia sendiri tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya.
Ar-raib artinya keraguan. As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu
Saleh, dari Ibnu Abbas dan dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud dan dari
sej'umlah orang-orang dari kalangan sahabat Rasulullah Saw., bahwa makna la
raibafihi ialah "tidak ada keraguan di dalamnya". Hal yang sama dikatakan pula
oleh Abud Darda, Ibnu Abbas. Mujahid. Sa'id ibnu Jabir, Abu Malik. Nafi' maula
Ibnu Umar, Ata, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi,
Qatadah, dan Ismail ibnu Khalid. Ibnu Abu Hatim mengatakan, "Aku tidak pernah mengetahui ada perselisihan
pendapat mengenai maknanya." Akan tetapi, adakalanya lafaz ar-raib dipakai untuk
pengertian "tuduhan", seperti makna yang ada pada perkataan Jamil, seorang
penyair:
بُثَيْنَةُ
قَالَتْ يَا جَمِيلُ أَرَبْتَنِي ... فَقُلْتُ
كِلَانَا يَا بُثَيْنُ مُرِيبُ
Busainah mengatakan, "Hai Jamil,
apakah engkau curiga kepadaku?' Maka kukatakan, "Kita semua, hai Busainah,
mencurigakan."
Adakalanya dipakai untuk pengertian "kebutuhan", seperti pengertian yang
terkandung di dalam ucapan seseorang dari mereka, yaitu:
قَضَيْنَا
مِنْ تِهَامَةَ كُلَّ رَيْبٍ ...
وَخَيْبَرَ
ثُمَّ أَجْمَعْنَا السُّيُوفَا
Kami telah menunaikan semua keperluan
dari Tihamah dan Khaibar, setelah itu kami himpun pedang-pedang (senjata
kami).
Makna ayat ialah bahwa kitab Al-Qur'an ini tidak ada keraguan di dalamnya, ia
diturunkan dari sisi Allah. Pengertiannya sama dengan makna firman Allah Swt. di
dalam surat As-Sajdah. yaitu:
الم
تَنْزِيلُ الْكِتابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعالَمِينَ
Alif lam mim. Turunnya Al-Qur'an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah)
dari Tuhan semesta alam. (As-Sajdah: 1-2)
Sebagian ulama mengatakan bahwa bentuk kalimat ayat ini merupakan kalimat
berita, tetapi makna yang dimaksud adalah kalimat nahi larangan). yakni:
"Janganlah kalian meragukannya!"
Di antara ulama ahli qiraah ada yang melakukan waqaf (menghentikan bacaan)
pada lafaz la raiba fihi kemudian melanjutkan bacaanya dari fihi hudal lil
munaqin. Melakukan waqaf pada firman-Nya, "Ia raiba fihi lebih utama karena
berdasarkan ayat yang telah kami sebut tadi, karena lafaz hudan menjadi sifat
Al-Qur'an (yakni kitab Al-Qur'an ini tidak diserukan lagi, di dalamnya
terkandung petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa). Makna ini lebih balig
(kuat) daripada fihi hudan (kitab Al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya,
petunjuk bagi mereka yang bertakwa). Lafaz hudan bila ditinjau dari segi bahasa dapat dianggap marfu' karena
menjadi na'at (sifat), dapat pula dianggap mansub karena menjadi hal (keterangan
keadaan). Hidayah ini dikhususkan bagi mereka yang bertakwa, seperti makna yang
terkandung di dalam firman-Nya:
قُلْ
هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدىً وَشِفاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذانِهِمْ
وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولئِكَ يُنادَوْنَ مِنْ مَكانٍ
بَعِيدٍ
Katakanlah, "Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang
yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada
sumbatan, sedangkan Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah
(seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”(Fushshilat:
44)
وَنُنَزِّلُ
مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ
الظَّالِمِينَ إِلَّا خَساراً
Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang zalim selain kerugian. (Al-Isra: 82)
Masih banyak ayat lainnya yang menunjukkan makna bahwa hanya orang-orang
mukminlah yang beroleh manfaat dari Al-Qur'an, karena diri orang mukmin itu
sendiri sudah merupakan petunjuk. Akan tetapi, yang beroleh petunjuk itu hanya
mereka yang bertakwa. sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفاءٌ لِما فِي
الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan
kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Yunus: 57)
As-Saddi meriwayatkan dari Malik, dari Abu Saleh. dari Ibnu Abbas; As-Saddi juga meriwayatkannya dari Murrah Al-Hamadani, dari Ibnu Mas'ud dan darisejumlah sahabat Rasulullah Saw. mengenai makna hudal lil muttaqin. Makna yang dimaksud ialah cahaya bagi orang-orang yang bertakwa. Abu Rauq meriwayatkan dari Dahhak, dari Ibnu Abbas mengenai hudal lil muttaqin. Ia mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang mukmin yang menjauhkan diri dari kemusyrikan terhadap Allah, dan mereka selalu beramal dengan taat kepada-Nya.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad maula Zaid
ibnu Sabit, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai makna
al-muttaqin. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang takut
terhadap siksaan Allah dalam meninggalkan hidayah yang mereka ketahui, dan
mereka mengharapkan rahmat-Nya dalam membenarkan apa yang didatangkan-Nya. Sufyan As-Sauri menceritakan dari seorang lelaki, dari Al -Hasan Al-Basri
mengenai firman-Nya, "lil muttaqin." Al-Hasan mengatakan bahwa mereka adalah
orang-orang yang memelihara diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan
menunaikan hal-hal yang telah difardukan-Nya.
Abu Bakar ibnu Iyasy mengatakan bahwa Al-A'masy pernah bertanya kepadanya
mengenai makna al-muttaqin. Maka dijawabnya, "Tanyakanlah masalah ini kepada
Al-Kalbi." Dia menanyakan kepada Al-Kalbi, dan Al-Kalbi menjawab bahwa mereka
adalah orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar. Kemudian Abu Bakar ibnu Iyasy
berkata lagi, "Ketika aku merujuk kepada Al-A'masy mengenai apa yang dikatakan
oleh Al-Kalbi, ternyata Al-Kalbi mempunyai pendapat yang sama denganku dan tidak
memprotesnya." Qatadah mengatakan bahwa muttaqin adalah orang-orang yang disebut di dalam
firman Allah Swt. pada ayat berikutnya:
الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat.
(Al-Baqarah: 3)
Sedangkan Ibnu Jarir berpendapat bahwa makna ayat mencakup semua yang telah
dikatakan oleh pendapat-pendapat di atas. Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadis melalui riwayat
Abu Uqail (yaitu Abdullah ibnu Uqail), dari Abdullah ibnu Yazid, dari Rabi'ah
ibnu Yazid dan Atiyyah ibnu Qais, dari Atiyyah As-Saddi yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَا
يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ
بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ»
Seorang hamba masih belum mencapai golongan orang-orang bertakwa sebelum
dia meninggalkan hal-hal yang tidak mengapa karena menghindari hal-hal yang
mengandung apa-apa (dosa).
Menurut Imam Turmuzi, hadis ini berpredikat hasan garib.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Imran, dari Ishaq ibnu Sulaiman —yakni Ar-Razi—, dari Al-Mugirah ibnu Muslim,
dari Maimun Abu Hamzah yang menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat
Abu Wa'il, masuklah seorang lelaki yang dikenal dengan julukan Abu Arif, salah
seorang murid Mu'az. Syaqiq ibnu Salamah berkata kepadanya, "Hai Abu Arif,
tidakkah engkau menceritakan kepada kami apa yang telah dikatakan oleh Mu'az
ibnu Jabal?" Ia menjawab, "Tentu saja, aku pernah mendengarnya mengatakan bahwa
kelak di hari kiamat umat manusia ditahan dalam suatu tempat. kemudian ada suara
yang menyerukan, 'Di manakah orang-orang yang bertakwa?' Lalu mereka
(orang-orang yang bertakwa) bangkit berdiri di bawah naungan Tuhan Yang Maha
Pemurah; Allah menampakkan diri kepada mereka dan tidak menutup diri-Nya. Aku
bertanya, 'Siapakah orang-orang yang bertakwa itu?' Mu'az menjawab, 'Mereka
adalah kaum yang menghindarkan diri dari kemusyrikan dan penyembahan berhala,
dan mereka mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Swt. semata,' lalu mereka
masuk ke dalam surga."
Al-huda menunjukkan makna hal yang mantap di dalam kalbu berupa iman. Tiada
yang mampu menciptakannya di dalam kalbu hamba-hamba Allah selain Allah Swt.
sendiri, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
إِنَّكَ
لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu
kasihi. (Al-Qashash: 56)
لَيْسَ
عَلَيْكَ هُداهُمْ
مَنْ
يُضْلِلِ اللَّهُ فَلا هادِيَ لَهُ
Barang siapa yang Allah sesatkan. maka baginya tak ada orang yang akan
memberi petunjuk (Al-A'raf: 186)
مَنْ
يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا
مُرْشِداً
Barang siapa diberi petujuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat
petunjuk dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan
mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberinya petunjuk kepadanya.
(Al-Isra: 97)
Masih banyak ayat lainnya yang menunjukkan makna yang sama. Lafaz Al-huda
adakalanya dimaksudkan sebagai keterangan dan penjelasan mengenai perkara yang
hak, penunjukan dan bimbingan kepadanya, sebagaimana makna yang terkandung di
dalam firman-Nya:
وَإِنَّكَ
لَتَهْدِي إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ
إِنَّما
أَنْتَ مُنْذِرٌ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هادٍ
Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap
kaum ada orang yang memberi petunjuk. (Ar-Ra'd: 7)
وَأَمَّا
ثَمُودُ فَهَدَيْناهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمى عَلَى الْهُدى
Dan adapun kaum Samud. maka mereka Kami beri petunjuk. tetapi mereka lebih
menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu. (Fushshilat: 17)
وَهَدَيْناهُ
النَّجْدَيْنِ
Sebagian orang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan an-naj-dain ialah jalan
kebaikan dan jalan keburukan: penafsiran ini lebih kuat daripada yang
lainnya. At-taqwa makna asalnya ialah mencegah diri dari hal-hal yang tidak disukai,
mengingat bentuk asalnya adalah qawa yang berasal dari al-wiqayah (pencegahan).
An-Nabigah (salah seorang penyair Jahiliah terkenal) mengatakan:
سَقَطَ النَّصِيفُ وَلَمْ تُرِدْ إِسْقَاطَهُ ... فَتَنَاوَلَتْهُ وَاتَّقَتْنَا بِالْيَدِ
Penutup kepalanya terjatuh, padahal dia tidak bermaksud
menjatuhkannya.
maka
dia
memungutnya
seraya menutupi wajahnya —menghindar dari pandangan kami— dengan tangannya.
فَأَلْقَتْ قِنَاعًا دُونَهُ الشَّمْسُ وَاتَّقَتْ ... بِأَحْسَنِ مَوْصُولَيْنِ كَفٌّ
وَمِعْصَمُ
Dia menanggalkan penutup kepala yang
melindunginya dari sengatan sinar matahari, kemudian ia menghindarkan (wajahnya
dari sinar matahari) dengan dua persendiannya yang tercantik, yaitu telapak
tangan dan lengannya.
Menurut suatu riwayat, Umar ibnul Khattab r.a. pernah bertanya kepada Ubay
ibnu Ka'b tentang makna takwa. maka Ubay ibnu Ka'b balik bertanya, "Pernahkah
engkau menempuh jalan yang beronak duri?" Umar menjawab, "Ya, pernah." Ubay ibnu
Ka'b bertanya lagi, "Kemudian apa yang kamu lakukan?" Umar menjawab, "Aku
bertahan dan berusaha sekuat tenaga untuk melampauinya." Ubay ibnu Ka'b berkata,
"Itulah yang namanya takwa." Pengertian ini disimpulkan oleh Ibnul Mu'taz
melalui bait-bait syairnya, yaitu:
خَلِّ الذُّنُوبَ صَغِيرَهَا ...
وَكَبِيرَهَا ذَاكَ التُّقَى
وَاصْنَعْ كماش فوق أرض ... الشَّوْكِ
يَحْذَرُ مَا يَرَى
لَا تَحْقِرَنَّ صَغِيرَةً ... إِنَّ
الْجِبَالَ مِنَ الْحَصَى
Lepaskanlah semua dosa, baik yang
kecil maupun yang besar, itulah namanya takwa. Berlakulah seperti orang yang
berjalan di atas jalan yang beronak duri. selalu waspada menghindari duri-duri
yang dilihamya. Dan jangan sekali-kali kamu meremehkan sesesuatu yang kecil
(dosa kecil). sesungguhnya bukit itu terdiri atas batu-batu kerikil yang
kecil-kecil.
يُرِيدُ الْمَرْءُ أَنْ يُؤْتَى مُنَاهُ ... وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا مَا
أَرَادَا
يَقُولُ الْمَرْءُ فَائِدَتِي وَمَالِي ... وَتَقْوَى اللَّهِ أَفْضَلُ مَا
اسْتَفَادَا
Manusia selalu mengharapkan agar semua
yang didambakannya dapat tercapai, tetapi Allah menolak kecuali apa yang Dia
kehendaki. Seseorang mengatakan.”Keuntunganku dan hartaku" padahal
takwa kepada Allah merupakan keuntungan yang paling utama.
Di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan dari Abu Umamah r.a. yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَا
اسْتَفَادَ الْمَرْءُ بَعْدَ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرًا مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ،
إِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ، وَإِنْ أَقْسَمَ
عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ، وَإِنَّ غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ فِي نَفْسِهَا
وَمَالِهِ"
Tiada keuntungan yang paling baik bagi seseorang sesudah takwa kepada
Allah selain dari istri yang saleh; jika dia memandangnya, membuat dia bahagia;
dan jika dia memerintahnya, ia taat; jika melakukan giliran terhadapnya, maka ia
berbakti; dan jika dia tidak ada di tempat, meninggalkannya, maka ia memelihara
diri dan harta suaminya.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 2"
Posting Komentar