Tafsir Al-Fatihah Ayat 4
Sabtu, 12 Mei 2018
Add Comment
{مَالِكِ
يَوْمِ الدِّينِ (4) }
Yang Menguasai hari
pembalasan.
Sebagian ulama qiraah membacanya مَلِك, sedangkan sebagian yang lain membacanya مَالِكِ; kedua-duanya sahih lagi mutawatir di kalangan
As-Sab'ah. Lafaz maliki dengan huruf lam di-kasrah-kan, ada yang membacanya
malki dan maliki. Sedangkan menurut bacaan Nafi', harakat kasrah
huruf kaf dibaca isyba' hingga menjadi malaki yaumid din (مَلَكِي يَوْمِ الدِّينِ). Kedua bacaan tersebut (malaki dan maliki) masing-masing mempunyai
pendukungnya tersendiri ditinjau dari segi maknanya; kedua bacaan tersebut sahih
lagi baik. Sedangkan Az-Zamakhsyari lebih menguatkan bacaan maliki, mengingat
bacaan inilah yang dipakai oleh ulama kedua Kota Suci (Mekah dan Madinah), dan
karena firman-Nya
لِمَنِ
الْمُلْكُ الْيَوْمَ
Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? (Al-Mu’min: 16)
قَوْلُهُ
الْحَقُّ وَلَهُ الْمُلْكُ
Dan benarlah perkataan-Nya dan di tangan kekuasaan-Nyalah segala sesuatu (Al-An'am: 75)
Telah diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia membaca malaka yaumidin
(مَلَكَ يوم الدين) atas dasar anggapan fi’il,
fa’il, dan maful, tetapi pendapat ini menyendiri lagi aneh sekali. Abu Bakar ibnu Abu Daud meriwayatkan —sehubungan dengan bacaan tersebut—
sesuatu yang garib (aneh), mengingat dia mengatakan bahwa telah menceritakan
kepada kami Abu Abdur Rahman Al-Azdi, telah menceritakan kepada kami Abdul
Wahhab ibnu Addi ib-aul Fadl. dari Abul Mutarrif, dari Ibnu Syihab yang telah
mendengar hadits bahwa Rasulullah Saw., Abu Bakar. Umar, dan Usman serta
Mu'awiyah dan anaknya —yaitu Yazid ibnu Mu'awiyah— membaca maaliki yaumid din.
Ibnu Syihab mengatakan bahwa orang yang mula-mula membaca maliki adalah Marwan
(Ibnul Hakam). Menurut kami, Marwan mengetahui kesahihan apa yang ia baca,
sedangkan hal ini tidak diketahui oleh Ibnu Syihab.
Telah diriwayarkan sebuah hadis melalui berbagai jalur periwayatan yang
diketengahkan oleh Ibnu Murdawaih, bahwa Rasulullah Saw. membacanya maliki
yaumid din. Lafaz malik diambil dari kata al-milku, seperti
makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
إِنَّا
نَحْنُ نَرِثُ الْأَرْضَ وَمَنْ عَلَيْها وَإِلَيْنا يُرْجَعُونَ
Sesungguhnya Kami memiliki bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya,
dan hanya kepada Kami-lah mereka dikembalikan. (Maryam: 40)
قُلْ
أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ
Katakanlah, "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai)
manusia. Pemilik manusia. (An-Nas: 1-2)
Sedangkan kalau maliki diambil dari kata al-mulku, sebagaimana
pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
لِمَنِ
الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْواحِدِ الْقَهَّارِ
قَوْلُهُ
الْحَقُّ وَلَهُ الْمُلْكُ
Benarlah perkataan-Nya. dan di tangan kekuasaan-Nyalah segala
kekuasaan. (Al-An'am: 73)
الْمُلْكُ
يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمنِ وَكانَ يَوْماً عَلَى الْكافِرِينَ
عَسِيراً
Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah.
Dan adalah (hari itu) suatu hari yang penuh dengan kesukaran bagi orang-orang
kafir. (Al-Furqan: 26)
Pengkhususan sebutan al-mulku (kerajaan) dengan yaumid din (hari pembalasan)
tidak bertentangan dengan makna lainnya, mengingat dalam pembahasan sebelumnya
telah diterangkan bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam, yang pengertiannya umum
mencakup di dunia dan akhirat. Di-mudaf-kan kepada lafaz yaumid din karena tiada
seorang pun pada hari itu yang mendakwakan sesuatu, dan tiada seorang pun yang
dapat angkat bicara kecuali dengan seizin Allah Swt, sebagaimana dinyatakan di
dalam firman-Nya:
يَوْمَ
يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ
لَهُ الرَّحْمنُ وَقالَ صَواباً
Pada hari ketika roh dan malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak
berkata-kata. kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang
Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. (An-Naba': 38)
وَخَشَعَتِ
الْأَصْواتُ لِلرَّحْمنِ فَلا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْساً
dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu
tidak mendengar kecuali bisikan saja. (Thaha: 108)
يَوْمَ
يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ
وَسَعِيدٌ
Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan
dengan izin-Nya. maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang
berbahagia. (Hud: 105)
Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa maliki yaumid din artinya
"tiada seorang pun bersama-Nya yang memiliki kekuasaan seperti halnya di saat
mereka (raja-raja) masih hidup di dunia pada hari pembalasan tersebut".
Ibnu Abbas mengatakan, yaumid din adalah hari semua makhluk menjalani
hisab, yaitu hari kiamat; Allah membalas mereka sesuai dengan amal perbuatannya
masing-masing. Jika amal perbuatannya baik, balasannya baik; dan jika amal
perbuatannya buruk, maka balas-annya pun buruk, kecuali orang yang mendapat
ampunan dari Allah Swt. Hal yang sama dikatakan pula oleh selain Ibnu Abbas dari
kalangan para sahabat, para tabi'in, dan ulama Salaf; hal ini sudah jelas.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari sebagian mereka bahwa tafsir dari firman-Nya,
"Maliki yaumid din," ialah "Allah Mahakuasa untuk mengadakannya". Tetapi Ibnu
Jarir sendiri menilai pendapat ini daif (lemah). Akan tetapi, pada lahiriahnya
tidak ada pertentangan antara pendapat ini dengan pendapat lainnya yang telah
disebutkan terdahulu. Masing-masing orang yang berpendapat demikian dan yang
sebelumnya mengakui kebenaran pendapat lainnya serta tidak mengingkari
kebenarannya, hanya saja konteks ayat lebih sesuai bila diartikan dengan makna
pertama di atas tadi dibandingkan dengan pendapat yang sekarang ini, sebagaimana
yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{الْمُلْكُ
يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمَنِ وَكَانَ يَوْمًا عَلَى الْكَافِرِينَ
عَسِيرًا}
Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah.
Dan adalah (hari itu) suatu hari yang penuh dengan kesukaran bagi orang-orang
kafir. (Al-Furqan: 26)
Sedangkan pendapat kedua pengertiannya mirip dengan makna yang terkandung di
dalam firman-Nya:
{وَيَوْمَ
يَقُولُ كُنْ فَيَكُونُ}
Pada hari Dia mengatakan, "Jadilah!, lalu terjadilah. (Al-An'am: 73)
Pada hakikatnya raja yang sesungguhnya adalah Allah Swt., seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
هُوَ
اللَّهُ الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ
السَّلامُ
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja Yang Mahasuci, Yang
Mahasejahtera. (Al-Hasyr: 23)
Di dalam hadis Sahihain disebutkan melalui Abu Hurairah r.a. secara
marfu’:
«أَخْنَعُ
اسْمٍ عِنْدَ اللَّهِ رَجُلٌ تَسَمَّى بِمَلِكِ الْأَمْلَاكِ وَلَا مَالِكَ إِلَّا
اللَّهُ »
Nama yang paling rendah di sisi Allah ialah seorang yang menamakan dirinya
dengan panggilan Malikid Amlak. sedangkan tiada raja selain Allah.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula bahwa Rasulullah Saw. Bersabda
«يَقْبِضُ
اللَّهُ الْأَرْضَ وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِينِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ
أَيْنَ ملوك الْأَرْضِ؟
أَيْنَ الْجَبَّارُونَ؟ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ؟ »
Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya,
kemudian berfirman, "Aku-lah Raja. Sekarang mana raja-raja bumi, mana
orang-orang yang diktator, mana orang-orang yang angkuh?"
Di dalam Al-Qur'an disebutkan melalui firman-Nya:
لِمَنِ
الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْواحِدِ الْقَهَّارِ
Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Hanya kepunyaan Allah Yang Maha
Esa lagi Maha Mengalahkan. (Al-Mu’min: 16)
Adapun mengenai nama lainnya di dunia ini dengan memakai sebutan malik, yang
dimaksud adalah "nama majaz". bukan nama dalam arti yang sesungguhnya,
sebagaimana yang dimaksud di dalam firman-Nya:
إِنَّ
اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طالُوتَ مَلِكاً
وَكانَ
وَراءَهُمْ مَلِكٌ
إِذْ
جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِياءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكاً
ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan dijadikan-Nya kalian
sebagai raja-raja (orang-orang yang merdeka). (Al-Maidah: 20)
Di dalam sebuah hadis Sahihain disebutkan:
«مِثْلُ
الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ»
Ad-din artinya "pembalasan dan hisab", sebagaimana yang disebut di dalam firman lainnya, yaitu:
يَوْمَئِذٍ
يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ
أَإِنَّا
لَمَدِينُونَ
Makna yang dimaksud ialah mendapat balasan yang setimpal dan dihisab.
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
«الْكَيِّسُ
مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ»
Orang yang pandai ialah orang yang melakukan perhitungan terhadap dirinya
sendiri dan beramal untuk bekal sesudah mati.
Makna yang dimaksud ialah "hisablah dirimu sendiri", sebagaimana yang
dikatakan Khalifah Umar r.a.. yaitu: "Hisablah diri kalian sendiri sebelum
dihisab dan timbanglah amal perbuatan kalian sebelum ditimbang, dan
bersiap-siaplah (berbekallah) untuk menghadapi peradilan yang paling besar di
hadapan Tuhan yang tidak samar bagi-Nya semua amal perbuatan kalian," seperti
yang dinyatakan di dalam Firman-Nya:
يَوْمَئِذٍ
تُعْرَضُونَ لَا تَخْفى مِنْكُمْ خافِيَةٌ
Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Tuhan kalian). Tiada sesuatu pun
dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi-Nya). (Al-Haqqah: 18)
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Tafsir Al-Fatihah Ayat 4"
Posting Komentar