Orang-orang Yang Tidak Berhak Menerima Zakat


1.    Al-gāni (orang kaya)
Orang kaya ialah orang yang tidak membutuhkan orang lain (dalam hal menyangkut harta), yang pendapatanya lebih banyak dari apa yang dibutuhkanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Hadits telah menerangkan tentang siapa yang termasuk orang kaya. Sebagai mana hadits Rasulullah saw bersabda: Abdullah bin mas’ud berkata bahwa Rasulullah saw Bersabda:

Tidak seorangpun yang meminta-minta sesuatu padahal ia kaya kecuali pada hari kiamat ia datang dengan keadaan mukanya luka, terkoyak, dan terkelupas. Kemudian rasulullah ditanya, wahai rasulullah, bagaimana seseorang dapat dikatakan kaya?, rasulullah menjawab, ia mempunyai 50 dirham atau hitungan yang setara dengan emas.” (HR. Al-khamsah).                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Jadi barang siapa yang mempunyai 50 dirham perak atau 148,75 gram perak, karena 1gram dirham setara dengan 2,975 perak atau emas dalam hitungan yang setara, yang merupakan kelebihan (harta) setelah memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal, serta nafakah bagi istri, anak, dan pembantunya, maka dia dianggap kaya. Dalam kondisi seperti ini dia tidak boleh menerima harta zakat. Imam Syafi’i berpendapat,  standar kaya yang tidak boleh menerima zakat adalah atas dasar kelayakan, yakni layak digolongkan sebagai orang kaya.
Abu hanifah berpendapat, orang kaya adalah orang yang mempunyai harta satu nishab atau lebih. Ini berdasarkan hadits Mu’adz:

فأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَدُ مِنْ أَغْنِيَا ئِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ. (اخرجه البخاري والنسائي)                                                        
  
Artinya: “Rasulullah berpesan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat kepada mereka yang diambil dari mereka yang kaya dan dibagikan kepada mereka yantg miskin.” (HR. Bukhari dan Nasai).
Menurut Malik tidak ada standarnya yang baku, dasarnya adalah Ijtihād. Sebab perbedaan tersebut adalah apakah kaya yang dilarang menerima zakat itu menurut arti syār’i atau lugāwi?. Bagi ulama yang mengartikan syār’i berpendapat bahwa orang kaya yang dilarang menerima zakat adalah orang yang mempunyai harta sampai batas nisāb.
Para ulama berbeda pendapat tentang orang kaya yang berhak dan tidak berhak menerima zakat, dan standar yang bagaimana yang melarang orang kaya  untuk menerima zakat. Jumhur Ulāmā menetapkan bahwa orang kaya tidak boleh menerima zakat, kecuali karena lima hal seperti yang disebutkan dalam hadits:

عن أبي سعيد ألخدري رضي الله عنه  قل: رسول لله صلى الله عليه وسلم: لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ  أِلَّا لِخَمْسَةٍّ: لِعَامِلٍ عَلَيْهَا,أَوْ رَجُلٍ أِسْتَرَ اهَا بِمَالِهِ, أَوْغَارِمٍ, أَوْغَازٍفِي سَبِيْلِ اللهِ, أَوْ مِسْكِيْنٍ تُصَدِّقَ عَلَيْهَا مِنْهَا.                                                      
                                       
Artinya: Dari Abu sa’id Al-Khudri ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sedekah zakat tidak dihalalkan zakat untuk orang kaya kecuali dalam lima kondisi: 1. Ia sebagai amil (pemungut zakat), 2. ia membelinya (benda zakat) dengan uangnya, 3. Ia banyak menanggung hutang, 4. Ia ikut berperang di jalan Allah, 5. Ia diberi hadiah oleh orang miskin yang mendapat harta zakat. ” (H.R Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majjah).
Ibnu Qasim berpendapat bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada orang kaya walaupun bersetatus sebagai pejuang di jalan Allah ataupun sebagai amil zakat. Ulama yang tidak memperbolehkan amil yang kaya menerima zakat, berarti secara mutlak orang kaya tidak boleh menerima harta zakat.

2.    Keluarga Rasulullah
Zakat diharamkan atas Bani Hasyim karena zakat adalah kotoran manusia. Mereka diperbolehkan mengambil khumus dari Baitul Maal untuk mencukupi kebutuhan mereka. Yang termasuk  Bani Hasyim yaitu: Nabi dan kerabatnya. Mereka adalah keluarga ‘Abbas, keluarga ‘Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, dan keluarga al-Harits bin Abdil Muththalib. Nabi Muhammad saw bersabda:

أِنَّ الصَّدَقَةُ لاَتَنْبَغِي لِأَلِ مُحَّمَّدٍ, أِنّما هِي أَوْ سَاخْ النّاسِ

Artinya: Sesungguhnya sedekah itu tidak sesyogianya diterima oleh keluarga muhammad. Zakat itu adalah daki  manusia” (HR.Muslim).
Dan berselisih paham para Ulama tentang Bani Muthalib dalam boleh tidaknya menerima harta zakat. Asy Syafi’y berpendapat bahwa Bani Muthalib tidak boleh mengambil harta zakat, sama dengan Bani Hasyim, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Asy Syafi’i, Ahmad dan Al Bukhari dari Jubair ibn Muth’im :

فَمَاكَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ وَضَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلّم سَهْمَ   ذَوِى القُرْبَ  فِى  بَنِى  هَاشِمِ وَبَنِىى    المُطَّلِبِ     وَتَرَكَ    بَنِى   نَوْفَلَل  وَبِى  عَبْدِ   شَمْس,  فَأَتَيْتُ   أَنَ   وَعُثْمَا نْ بْنِ عَفَّانَ رَسُوْلَ  اللهُ صلى الله عليه وسلمى فَقَلْنَا يَا رَسُوْلُ اللهِ هَاؤُلَاءِ بَنُوْهَاشِمِ لاَيُنْكِر فَضْلَهُمْ لِلْمَوْضِعِ  الّذِىل  وَضَعَكَ  اللهُ بِهِ مِنْهُمْ فَمَا بَلُ أِخْوانِنَا بَنِى مُطَأَعْطَيْتَهُمْ وَتَرَكْتَنَا وَقَر ابَتُنَا وَاحِدَةٌ ؟ وَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم : أَنَ وَبَنُو المُطَلِّبِ لانَفْتَرِقُ فى جَاهِلِيَّةٍ وَلاَأِسْلَامٍ, شَيْ ءٌ وَاحِدٌ وَشَبَّكَ بَيْن أَصَابِعِهِ                                                        
                                                                       

Artinya: “pada hari khaibar Rasulullah meletakan bagian dzawilqurba pada bani Hasyim dan bani Muthalib, tidak memberikan kepada bani Naufal dan bani Abdisy syams. Aku dan Ustman bin Affan pergi kepada Rasulullah, kami berkata: ya Rasulullah kami tidak mengingkari keutamaan bani Hasyim, tetapi mengapa engkau berikan pula kepada bani Muthalib, sedang kepada kami tidak engkau berikan, padahal kekerabatan kami, satu. Mendengar itu Nabi menjawab: Aku dan Bani Muthalib tidak dapat berpisah, baik di masa jahiliyyah maupun di masa Islam. Bahwasanya zakat diharamkan atas Bani Hasyim, yaitu dikarenakan sebuah pemuliaan terhadap mereka, karena mereka adalah kerabat Nabi.  Nasab Nabi  adalah nasab  yang paling mulia sehingga tidak pantas menerima zakat yang merupakan kotoran manusia,  karena zakat membersihkan pemiliknya dari kotoran (dosa).

      
وعن عبد المطلب بن ربيعة بن الحارث رضي الله عنه قال:  رسول الله صلى الله عليه وسلم: أِنَّ الصَّدَقَةَل لَاتَنْبَغِيْ لِألِ مُحَمّدٍ وَ أِنَّمَا  هِيَ أَوْ سَاخُ النَّاسِ. (رواه مسليم.)

Artinya: Dan dari Abdul Muthalib bin Rabi’ah bin Al Harits ia berkata: Rasulullah bersabda: “sungguh sedekah (zakat) itu tidak layak bagi keluarga Muhammad, karena zakat itu adalah kotoran manusia.”(H.R. Muslim).

Kedua hadis ini menunjukkan haramnya zakat bagi mereka. Hadits yang kedua menunjukkan bahwa sebabnya adalah zakat merupakan kotoran manusia, karena zakat yang dikeluarkan membersihkan pemiliknya dari kotoran (dosa). Suatu pembersih tentu saja bercampur dengan kotoran yang dibersihkannya. Dalil bahwa zakat membersihkan pemiliknya dari kotoran adalah firman Allah pada Surat At- Taubat: ayat 103.
Adapun tentang keluarga Abu Lahab, ada perbedaan pendapat tentangnya. Asy-Syaukani berkata, “Keluarga Abu Lahab tidak termasuk dalam hukum ini, berdasarkan apa yang dikatakan (bahwa tidak ada seorang pun dari mereka yang masuk Islam pada masa hidup Nabi). Namun hal ini terbantah dengan apa yang disebutkan dalam Jami’ul Ushul bahwa dua putra Abu Lahab yang bernama ‘Utbah dan Mu’attib masuk Islam pada Fathu Makkah. Rasulullah pun bergembira dengan keislaman keduanya. Keduanya juga ikut Perang yaitu di Hunain dan Thaif.1 Menurut ahli nasab, keduanya memiliki keturunan.”

3.    Orang kafir
Kata Ibnu Mundzir : telah sepakat segala ahli ilmu bahwa orang kafir tidak diberikan harta zakat kecuali jika ia muallaf. Menurut Madzhab Maliki dan Hambali zakat tidak boleh diberikan kepada orang kafir, apapun alasanya; berdasarkan hadits Mu’adz r.a terdahulu,

خُذْهَا مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَرُدُّهَا فِى فُقَرَائِهِمْ
Artinya: Ambillah zakat dari orang-orang kaya dari mereka (muslim) dan berikan kepada orang-orang fakir (muslim).”

Mu’adz diperintahkan untuk memberikan zakat kepada orang-orang fakir diantara mereka (orang-orang muslim) yang diambilkan dari orang-orang kaya, yaitu orang-orang muslim oleh karena itu, zakat tidak boleh dibayarkan kepada selain orang-orang muslim. Adapun pemberian selain zakat mal, misalnya zakat fitrāh, kāfārāt, dan nāżār, maka tidak syah lagi bahwa pemberianya terhadap orang muslim dianggap lebih utama. Karena memberikan bentuk-bentuk pemberian itu kepada mereka berarti membantu mereka untuk melakukan ketaatan kepada Allah swt. Maka menurut pendapat Abu Hanifah dan Muhammad pemberian semacam itu boleh diberikan kepada orang kafir żimmī. Berdasarkan firman Allah swt. Qs. Al-Baqarah:

اِنْ تُبْدُوْا الَّصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّ هِيَ وَأِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الفُقَرَاءَ فَهُوَخَيْرٌ لَكُمْ مِّنْ سَيِّأَتِكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ

Artinya: jika kamu menapakkan sedekahmu, itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikanya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka meneyembunyikanya itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu. (QS 2:271)

4.    Setiap Orang Yang Wajib Dinafkahi Oleh Muzaki

a.     Kerabat yang dinafkahinya
Apabila kerabat itu termasuk kerabat yang jauh, yang tidak wajib bagi orang yang berzakat memberi nafkah kepadanya, seperti saudara-saudara lelaki, maupun perempuan, paman-paman dan bibi-bibi dari pihak ibu maupun ayah berikut anak-anak mereka, dan lain-lanya. maka tidak berdosa memberi kepadanya zakat kerabat, bahkan merekalah yang lebih patut diberi dari pada orang lain. apakah yang memberikan kerabatnya sendiri secara langsung atau orang lain dari orang yang berzakat, penguasa atau wakilnya, yaitu kantor pembagian zakat; dan sama saja apakah dia diberi dari bagian fakir dan miskin atau dari bagian lain. Adapun kerabat yang benar-benar dekat, seperti kedua orang tua, anak-anak, saudara laki-laki, saudara perempuan, paman maupun bibi dan seterusnya, para fuqaha sepakat menetapkan bahwa tidak boleh memberikan zakat kepadanya.
Apabila kerabat itu termasuk orang yang berhak menerima zakat, seperti petugas zakat, atau dalam memerdekakan budak belian, atau orang yang berutang atau orang yang dalam membela agama allah, maka bagi kerabat boleh memberikan zakat kepadanya, dan tidak berdosa, karena dalam kondisi demikian dia berhak menerima zakat dengan sifat yang tidak ada pengaruh apa-apa terhadap hubungan kekeluargaan. Dan tidaklah wajib kepada kerabat, dengan nama kekeluargaan, untuk membayar utangnya, atau memikul biaya perangnya di jalan Allah.

b.   Istri
Seorang suami wajib menafkahi istrinya secara mutlak, baik istrinya miskin maupun kaya. Haram baginya memberikan zakatnya kepada istrinya untuk memenuhi kebutuhannya yang seharusnya dipenuhi dengan nafkahnya. Karena akan bermakna menggugurkan kewajiban memberikan nafkah kepadanya, ini tidak boleh. Ibu mundzir berkata: “para ahli ilmu telah bersepakat bahwa seorang suami tidak boleh memberi zakat kepada istrinya, karena nafkah istrinya itu wajib kepadanya, sehingga si istri tidak perlu lagi mengambil zakat, karena suami tidak dibenarkan menyerahkan zakat kepada istrinya.” Dan karena hubungan istri dengan suaminya itu seolah-olah dirinya sendiri atau bagian dari dirinya sendiri, sebagai mana firman Allah swt:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْ وَاجًا

Artinya: dan diantara tand–tanda kekuasaaNya ialah, dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri.”

Adapun jika si istri kaya, sedang hartanya wajib dizakati, ia disunatkan memberi zakat kepada suaminya, jika suaminya fakir. dan disunatkan pula dia menafkahkanya kepada anak-anaknya, jika mereka fakir. karena memberi nafkah kepada suami dan anak-anak bukan kewajiban ibu dan istri.
Menurut riwayat Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Zainab istri Abdulah bin Mas’ud, ia berkata: “Rasulullah saw. Telah bersabda: “bersedekahlah kamu sekalian wahai para wanita, walaupun dari perhiasanmu. “Zainab berkata: “aku kembali pada Abdullah, lalu aku berkata kepadanya: “engkau adalah seorang laki-laki ringan yang mempunyai tangan (kiasan dari keadaan fakir), dan sesungguhnya Rasululah saw telah menyuruh kami untuk bersedekah, datanglah kepadanya dan tanyakanlah, apabila hal itu diperbolehkanya kepadaku; kalau tidak akan aku berikan sedekah itu pada orang selain kamu. Dari Zainab, berkata Abdullah: “pergilah kamu sendiri!” Zainab berkata: kemudian aku berangkat, ternyata ada seorang wanita dari golongan anshar di pintu rumah rasulullah saw. Yang keperluannya sama dengan keperluanku. Wanita itu merasa berat bertemu dengan Rasulullah saw. Kemudian keluarlah menyongsong kami bilal, lalu kami berkata kepadanya: datanglah anda kepada Rasulullah saw. Lalu ceritakanlah bahwa ada dua orang wanita di pintu yang menanyakan kepadamu: apakah sedekah keduanya dianggap sah bila diberikan kepada suaminya, dan anak-anak yatim yang dipelihara keduanya?. Kemudian Bilal masuk lalu menayakan kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw berkata: “siapa mereka berdua itu?” Bilal menjawab: “wanita dari anshar beserta Zainab.”Rasulullah berkata “Zainab yang mana?” Bilal berkata: “Zainab istri Abdullah. Rasulullah saw bersabda: “mereka mendapatkan dua pahala, pahala kerabat dan pahala sedekah.” (Hadis Riwayat Imam Akhmad dan Bukhari Muslim).
Imam Syaukani berkata: “bisa dijadikan alasan dengan hadis ini, bahwa diperbolehkan bagi seorang wanita untuk menyerahkan zakat, pada suaminya. Pendapat ini dinyatakan pula oleh Imam Tsauri, Syafi’i, dan dua sahabat Imam Abu Hanifah serta salah satu riwayat dari Imam Malik dan Imam Ahmad. Dinyatakan pula oleh Imam Hadi, Nasir dan Muayyid Billahi: “ini semua dianggap menyempurnakan dalil, setelah diketahui bahwa sedekah, itu adalah sedekah wajib.

Pendapat ini dipegang teguh oleh Imam Maaziri. Ia memperkuatnya dengan ucapan dua wanita tadi (apakah sah bagiku). Ulama lain memahami hadis ini dengan pemahaman bahwa sedekah itu adalah sedekah sunat. Dengan alasan ucapan Nabi (walaupun dari perhiasanmu). Mereka mengartikan makna (apakah itu sah bagiku), yaitu dari pemeliharaanya terhadap siksa neraka; seolah-olah wanita tersebut takut, jika seandainya memberi sedekah kepada suami, tidak mencapai sasaran, yaitu mendapat pahala dan terjauh dari siksa.    

5.    Orang yang berfisik kuat
Hadis telah mengharamkan orang kaya menerima zakat, juga bagi orang yang sehat dan berfisik kuat.
Sesungguhnya diharamkannya zakat bagi orang yang zakat bagi orang yang sehat dan berfisik kuat, karena ia masih mampu berkerja untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, tanpa harus menunggu dan menggantungkan harapanya pada sedekah. Apabila ia kuat dan tidak memiliki pekerjaan, maka hal ini dapat dikecualikan, dan ia patut ditolong dari harta zakat sampai ia mendapatkan pekerjaan yang layak. Dalam hadits lain dikemukakan: “tidak ada bagian dalam zakat  buat orang kuat yang mampu bekerja.”
Ulama Hanafi berbeda pendapat dalam masalah itu. Mereka berkata: “boleh menyerahkan zakat kepada orang yang memiliki kurang dari nisab zakat, walaupun sehat dan mempunyai pekerjaan, karena ia termasuk orang fakir, dan fakir itu adalah salah satu sasaran zakat; dan karena inti dari kebutuhan itu tidak ditangguhkan kepadanya, akibatnya hukum itu berputar pada dalil penerimaan zakat, yaitu tiadanya nisab padanya.  
Ibnu Humam berkata: “menurut Ulama yang jumlahnya lebih dari satu, bahwa zakat itu tidak boleh diberikan pada orang yang mempunyai pekerjaan, berdasarkan apa yang telah kita sebutkan terdahulu dari ucapan Nabi: “tidaklah halal sedekah itu buat orang kaya dan orang yang sehat dan kuat.” Dan juga ucapan Nabi pada dua orang laki-laki yang gemuk, kedua-duanya meminta zakat kepada Nabi,: “Adapun anda berdua tidak berhak menerima zakat, tetapi jika anda menghendakinya aku akan memberinya.”
Dikemukakan, bahwa hadis yang kedua maksudnya adalah diharamkannya meminta-minta, berdasarkan ucapan Nabi: “apabila anda berdua menghendakinya aku akan memberinya.”  Apabila memberi zakat buat mereka itu haram, tentu Nabi tidak akan melakukanya. Hadits yang berbunyi: “apabila anda berdua menghendakinya, aku akan memeberinya, dan tidak ada bagian didalam zakat, buat orang kaya dan orang yang mempunyai pekerjaan.” Menurut pendapat Abu Ubaid Nabi mengatakan hal itu kepada mereka berdua, karena Nabi tidak mengetahui setiap orang yang kuat itu, mempunyai pekerjaan yang akan memenuhi kebutuhan hidupnya. Karenanya Nabi memberika kepada mereka berdua, setelah Nabi memberi nasihat dan memberi petunjuk kepada mereka, bahwa orang kaya dan orang yang mempunyai pekerjaan, adalah tidak berhak menerima zakat. Nabi saw telah menjadikan sifat kaya dan kuat itu, dua hal yang sebanding, walaupun orang yang kuat itu tidak mempunyai pekerjaan, tetapi keadaan mereka dalam hal yang ini adalah sama, kecuali apabila orang kuat itu sudah berusaha bersungguh-sungguh untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, tapi tetap tidak mendapatkanya. Maka apabila keadaanya seperti demikian, ia berhak menerima bagian dari harta zakat. Berdasarkan firman allah swt.


وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

“dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. 51:19).

0 Response to "Orang-orang Yang Tidak Berhak Menerima Zakat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

pasang