Orang-orang Yang Tidak Berhak Menerima Zakat
Sabtu, 12 Mei 2018
Add Comment
1. Al-gāni
(orang kaya)
Orang kaya ialah orang yang tidak
membutuhkan orang lain (dalam hal menyangkut harta), yang
pendapatanya lebih banyak dari apa yang dibutuhkanya untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya. Hadits telah menerangkan tentang siapa yang termasuk orang kaya. Sebagai
mana hadits Rasulullah saw bersabda: Abdullah bin mas’ud berkata bahwa
Rasulullah saw Bersabda:
“Tidak
seorangpun yang meminta-minta sesuatu padahal ia kaya kecuali pada hari kiamat
ia datang dengan keadaan mukanya luka, terkoyak, dan terkelupas. Kemudian
rasulullah ditanya, wahai rasulullah, bagaimana seseorang dapat dikatakan
kaya?, rasulullah menjawab, ia mempunyai 50 dirham atau hitungan yang setara
dengan emas.” (HR. Al-khamsah).
Jadi barang siapa yang mempunyai 50
dirham perak atau 148,75 gram perak, karena 1gram dirham setara dengan 2,975
perak atau emas dalam hitungan yang setara, yang merupakan kelebihan (harta)
setelah memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal, serta nafakah bagi
istri, anak, dan pembantunya, maka dia dianggap kaya. Dalam kondisi seperti ini
dia tidak boleh menerima harta zakat. Imam Syafi’i berpendapat, standar kaya yang tidak boleh menerima zakat
adalah atas dasar kelayakan, yakni layak digolongkan sebagai orang kaya.
Abu
hanifah berpendapat, orang kaya adalah orang yang mempunyai harta satu nishab
atau lebih. Ini berdasarkan hadits Mu’adz:
فأَخْبِرْهُمْ
أَنَّ اللهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَدُ مِنْ أَغْنِيَا ئِهِمْ وَتُرَدُّ
عَلَى فُقَرَائِهِمْ. (اخرجه البخاري والنسائي)
Artinya: “Rasulullah
berpesan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat kepada mereka yang diambil
dari mereka yang kaya dan dibagikan kepada mereka yantg miskin.” (HR.
Bukhari dan Nasai).
Menurut Malik tidak ada standarnya yang
baku, dasarnya adalah Ijtihād.
Sebab perbedaan tersebut adalah apakah kaya yang dilarang menerima zakat itu
menurut arti syār’i
atau lugāwi?.
Bagi ulama yang mengartikan syār’i
berpendapat bahwa orang kaya yang dilarang menerima zakat adalah orang yang mempunyai
harta sampai batas nisāb.
Para
ulama berbeda pendapat tentang orang kaya yang berhak dan tidak berhak menerima
zakat, dan standar yang bagaimana yang melarang orang kaya untuk menerima zakat. Jumhur Ulāmā menetapkan
bahwa orang kaya tidak boleh menerima zakat, kecuali karena lima hal seperti
yang disebutkan dalam hadits:
عن أبي سعيد
ألخدري رضي الله عنه قل: رسول لله صلى
الله عليه وسلم: لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ أِلَّا لِخَمْسَةٍّ: لِعَامِلٍ عَلَيْهَا,أَوْ
رَجُلٍ أِسْتَرَ اهَا بِمَالِهِ, أَوْغَارِمٍ, أَوْغَازٍفِي سَبِيْلِ اللهِ, أَوْ
مِسْكِيْنٍ تُصَدِّقَ عَلَيْهَا مِنْهَا.
Artinya: Dari Abu sa’id Al-Khudri ia
berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sedekah
zakat tidak dihalalkan zakat untuk orang kaya kecuali dalam lima kondisi: 1. Ia sebagai amil (pemungut zakat), 2. ia membelinya (benda zakat) dengan
uangnya, 3. Ia banyak menanggung hutang, 4. Ia ikut berperang di jalan Allah,
5. Ia diberi hadiah oleh orang miskin yang mendapat harta zakat. ” (H.R Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majjah).
Ibnu Qasim
berpendapat bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada orang kaya walaupun bersetatus
sebagai pejuang di jalan Allah ataupun sebagai amil zakat. Ulama yang tidak
memperbolehkan amil yang kaya menerima zakat, berarti secara mutlak orang kaya
tidak boleh menerima harta zakat.
2. Keluarga Rasulullah
Zakat
diharamkan atas Bani Hasyim karena zakat adalah kotoran manusia. Mereka
diperbolehkan mengambil khumus dari Baitul
Maal untuk mencukupi
kebutuhan mereka. Yang termasuk Bani
Hasyim yaitu: Nabi dan kerabatnya. Mereka adalah keluarga ‘Abbas, keluarga
‘Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, dan keluarga al-Harits bin Abdil
Muththalib. Nabi Muhammad saw bersabda:
أِنَّ
الصَّدَقَةُ لاَتَنْبَغِي لِأَلِ مُحَّمَّدٍ, أِنّما هِي أَوْ سَاخْ النّاسِ
Artinya:
“Sesungguhnya sedekah itu tidak sesyogianya diterima oleh keluarga muhammad. Zakat itu adalah daki manusia” (HR.Muslim).
Dan
berselisih paham para Ulama tentang Bani Muthalib dalam boleh tidaknya menerima
harta zakat. Asy Syafi’y berpendapat bahwa Bani Muthalib tidak boleh mengambil
harta zakat, sama dengan Bani Hasyim, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh
Asy Syafi’i, Ahmad dan Al Bukhari dari Jubair ibn Muth’im :
فَمَاكَانَ
يَوْمُ خَيْبَرَ وَضَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلّم سَهْمَ ذَوِى
القُرْبَ فِى بَنِى هَاشِمِ وَبَنِىى المُطَّلِبِ وَتَرَكَ
بَنِى نَوْفَلَل
وَبِى عَبْدِ شَمْس, فَأَتَيْتُ أَنَ وَعُثْمَا نْ بْنِ عَفَّانَ رَسُوْلَ اللهُ صلى الله عليه وسلمى فَقَلْنَا يَا
رَسُوْلُ اللهِ هَاؤُلَاءِ بَنُوْهَاشِمِ لاَيُنْكِر فَضْلَهُمْ لِلْمَوْضِعِ الّذِىل وَضَعَكَ اللهُ بِهِ مِنْهُمْ فَمَا بَلُ أِخْوانِنَا
بَنِى مُطَأَعْطَيْتَهُمْ وَتَرَكْتَنَا وَقَر ابَتُنَا وَاحِدَةٌ ؟ وَقَالَ
النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم : أَنَ وَبَنُو المُطَلِّبِ لانَفْتَرِقُ فى جَاهِلِيَّةٍ
وَلاَأِسْلَامٍ, شَيْ ءٌ وَاحِدٌ وَشَبَّكَ بَيْن أَصَابِعِهِ
Artinya: “pada hari khaibar Rasulullah meletakan
bagian dzawilqurba pada bani Hasyim dan bani Muthalib, tidak memberikan kepada
bani Naufal dan bani Abdisy syams. Aku dan Ustman bin Affan pergi kepada
Rasulullah, kami berkata: ya Rasulullah kami tidak mengingkari keutamaan bani Hasyim,
tetapi mengapa engkau berikan pula kepada bani Muthalib, sedang kepada kami
tidak engkau berikan, padahal kekerabatan kami, satu. Mendengar itu Nabi
menjawab: Aku dan Bani Muthalib tidak dapat berpisah, baik di masa jahiliyyah
maupun di masa Islam. Bahwasanya zakat diharamkan
atas Bani Hasyim, yaitu dikarenakan sebuah pemuliaan terhadap mereka, karena
mereka adalah kerabat Nabi. Nasab
Nabi adalah nasab yang paling mulia sehingga tidak pantas
menerima zakat yang merupakan kotoran manusia,
karena zakat membersihkan pemiliknya dari kotoran (dosa).
وعن
عبد المطلب بن ربيعة بن الحارث رضي الله عنه قال:
رسول الله صلى الله عليه وسلم: أِنَّ الصَّدَقَةَل لَاتَنْبَغِيْ لِألِ مُحَمّدٍ
وَ أِنَّمَا هِيَ أَوْ سَاخُ النَّاسِ.
(رواه مسليم.)
Artinya: Dan dari
Abdul Muthalib bin Rabi’ah bin Al Harits ia berkata: Rasulullah bersabda:
“sungguh sedekah (zakat) itu tidak layak bagi keluarga Muhammad, karena zakat
itu adalah kotoran manusia.”(H.R. Muslim).
Kedua hadis ini menunjukkan haramnya
zakat bagi mereka. Hadits yang kedua menunjukkan bahwa sebabnya adalah zakat
merupakan kotoran manusia, karena zakat yang dikeluarkan membersihkan
pemiliknya dari kotoran (dosa). Suatu pembersih tentu saja bercampur dengan
kotoran yang dibersihkannya. Dalil bahwa zakat membersihkan pemiliknya dari
kotoran adalah firman Allah pada Surat At- Taubat: ayat 103.
Adapun tentang keluarga Abu Lahab, ada
perbedaan pendapat tentangnya. Asy-Syaukani berkata, “Keluarga Abu Lahab tidak
termasuk dalam hukum ini, berdasarkan apa yang dikatakan (bahwa tidak ada
seorang pun dari mereka yang masuk Islam pada masa hidup Nabi). Namun hal ini
terbantah dengan apa yang disebutkan dalam Jami’ul Ushul bahwa dua putra Abu
Lahab yang bernama ‘Utbah dan Mu’attib masuk Islam pada Fathu Makkah.
Rasulullah pun bergembira dengan keislaman keduanya. Keduanya juga ikut Perang
yaitu di Hunain dan Thaif.1 Menurut ahli nasab, keduanya memiliki keturunan.”
3. Orang kafir
Kata
Ibnu Mundzir : telah sepakat segala ahli ilmu bahwa orang kafir tidak diberikan
harta zakat kecuali jika ia muallaf. Menurut Madzhab Maliki dan Hambali
zakat tidak boleh diberikan kepada orang kafir, apapun alasanya; berdasarkan
hadits Mu’adz r.a terdahulu,
خُذْهَا مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ
وَرُدُّهَا فِى فُقَرَائِهِمْ
Artinya:
“Ambillah zakat dari
orang-orang kaya dari mereka (muslim) dan
berikan kepada orang-orang fakir (muslim).”
Mu’adz
diperintahkan untuk memberikan zakat kepada orang-orang fakir diantara mereka
(orang-orang muslim) yang diambilkan dari orang-orang kaya, yaitu orang-orang
muslim oleh karena itu, zakat tidak boleh dibayarkan kepada selain orang-orang
muslim. Adapun pemberian selain zakat mal, misalnya zakat fitrāh, kāfārāt,
dan nāżār,
maka tidak syah lagi bahwa pemberianya terhadap
orang muslim dianggap lebih utama. Karena memberikan bentuk-bentuk pemberian
itu kepada mereka berarti membantu mereka untuk melakukan ketaatan kepada Allah
swt. Maka menurut pendapat Abu Hanifah dan Muhammad pemberian semacam itu boleh
diberikan kepada orang kafir żimmī.
Berdasarkan firman Allah swt. Qs. Al-Baqarah:
اِنْ
تُبْدُوْا الَّصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّ هِيَ وَأِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا
الفُقَرَاءَ فَهُوَخَيْرٌ لَكُمْ مِّنْ سَيِّأَتِكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ
Artinya: jika
kamu menapakkan sedekahmu, itu adalah baik sekali. Dan jika kamu
menyembunyikanya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka
meneyembunyikanya itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu
sebagian kesalahan-kesalahanmu. (QS 2:271)
4. Setiap Orang Yang Wajib Dinafkahi Oleh
Muzaki
a. Kerabat yang dinafkahinya
Apabila
kerabat itu termasuk kerabat yang jauh, yang tidak wajib bagi orang yang
berzakat memberi nafkah kepadanya, seperti saudara-saudara lelaki, maupun
perempuan, paman-paman dan bibi-bibi dari pihak ibu maupun ayah berikut
anak-anak mereka, dan lain-lanya. maka tidak berdosa memberi kepadanya zakat
kerabat, bahkan merekalah yang lebih patut diberi dari pada orang lain. apakah
yang memberikan kerabatnya sendiri secara langsung atau orang lain dari orang
yang berzakat, penguasa atau wakilnya, yaitu kantor pembagian zakat; dan sama
saja apakah dia diberi dari bagian fakir dan miskin atau dari bagian lain.
Adapun kerabat yang benar-benar dekat, seperti kedua orang tua, anak-anak,
saudara laki-laki, saudara perempuan, paman maupun bibi dan seterusnya, para
fuqaha sepakat menetapkan bahwa tidak boleh memberikan zakat kepadanya.
Apabila
kerabat itu termasuk orang yang berhak menerima zakat, seperti petugas zakat,
atau dalam memerdekakan budak belian, atau orang yang berutang atau orang yang
dalam membela agama allah, maka bagi kerabat boleh memberikan zakat kepadanya,
dan tidak berdosa, karena dalam kondisi demikian dia berhak menerima zakat
dengan sifat yang tidak ada pengaruh apa-apa terhadap hubungan kekeluargaan.
Dan tidaklah wajib kepada kerabat, dengan nama kekeluargaan, untuk membayar
utangnya, atau memikul biaya perangnya di jalan Allah.
b. Istri
Seorang
suami wajib menafkahi istrinya secara mutlak, baik istrinya miskin maupun kaya.
Haram baginya memberikan zakatnya kepada istrinya untuk memenuhi kebutuhannya
yang seharusnya dipenuhi dengan nafkahnya. Karena akan bermakna menggugurkan
kewajiban memberikan nafkah kepadanya, ini tidak boleh. Ibu mundzir berkata:
“para ahli ilmu telah bersepakat bahwa seorang suami tidak boleh memberi zakat
kepada istrinya, karena nafkah istrinya itu wajib kepadanya, sehingga si istri
tidak perlu lagi mengambil zakat, karena suami tidak dibenarkan menyerahkan
zakat kepada istrinya.” Dan karena hubungan istri dengan suaminya itu
seolah-olah dirinya sendiri atau bagian dari dirinya sendiri, sebagai mana
firman Allah swt:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ
خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْ وَاجًا
Artinya:
“dan diantara tand–tanda
kekuasaaNya ialah, dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri.”
Adapun jika si istri kaya, sedang hartanya
wajib dizakati, ia disunatkan memberi zakat kepada suaminya, jika suaminya
fakir. dan disunatkan pula dia menafkahkanya kepada anak-anaknya, jika mereka
fakir. karena memberi nafkah kepada suami dan anak-anak bukan kewajiban ibu dan
istri.
Menurut riwayat Imam Ahmad, Bukhari dan
Muslim dari Zainab istri
Abdulah bin Mas’ud, ia berkata: “Rasulullah saw. Telah bersabda: “bersedekahlah
kamu sekalian wahai para wanita, walaupun dari perhiasanmu. “Zainab berkata:
“aku kembali pada Abdullah, lalu aku berkata kepadanya: “engkau adalah seorang
laki-laki ringan yang mempunyai tangan (kiasan dari keadaan fakir), dan
sesungguhnya Rasululah saw telah menyuruh kami untuk bersedekah, datanglah
kepadanya dan tanyakanlah, apabila hal itu diperbolehkanya kepadaku; kalau
tidak akan aku berikan sedekah itu pada orang selain kamu. Dari Zainab, berkata
Abdullah: “pergilah kamu sendiri!” Zainab berkata: kemudian aku berangkat,
ternyata ada seorang wanita dari golongan anshar di pintu rumah rasulullah saw.
Yang keperluannya sama dengan keperluanku. Wanita itu merasa berat bertemu
dengan Rasulullah saw. Kemudian keluarlah menyongsong kami bilal, lalu kami
berkata kepadanya: datanglah anda kepada Rasulullah saw. Lalu ceritakanlah bahwa ada dua
orang wanita di pintu yang menanyakan kepadamu: apakah sedekah keduanya
dianggap sah bila diberikan kepada suaminya, dan anak-anak yatim yang dipelihara
keduanya?. Kemudian Bilal
masuk lalu menayakan kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw berkata: “siapa mereka berdua itu?” Bilal menjawab: “wanita dari anshar beserta
Zainab.”Rasulullah berkata “Zainab yang mana?” Bilal berkata: “Zainab istri Abdullah.
Rasulullah saw bersabda: “mereka mendapatkan dua pahala, pahala kerabat dan
pahala sedekah.” (Hadis Riwayat Imam Akhmad dan Bukhari Muslim).
Imam Syaukani berkata: “bisa dijadikan
alasan dengan hadis ini, bahwa diperbolehkan bagi seorang wanita untuk
menyerahkan zakat, pada suaminya. Pendapat ini dinyatakan pula oleh Imam Tsauri, Syafi’i, dan dua sahabat Imam Abu Hanifah serta salah satu riwayat dari Imam Malik dan Imam Ahmad. Dinyatakan
pula oleh Imam Hadi, Nasir dan Muayyid Billahi: “ini semua dianggap
menyempurnakan dalil, setelah diketahui bahwa sedekah, itu adalah sedekah
wajib.
Pendapat ini dipegang teguh oleh Imam Maaziri. Ia memperkuatnya dengan ucapan dua wanita
tadi (apakah sah bagiku). Ulama lain memahami hadis ini dengan pemahaman bahwa
sedekah itu adalah sedekah sunat. Dengan alasan ucapan Nabi (walaupun dari
perhiasanmu). Mereka mengartikan makna (apakah itu sah bagiku), yaitu dari
pemeliharaanya terhadap siksa neraka; seolah-olah wanita tersebut takut, jika
seandainya memberi sedekah kepada suami, tidak mencapai sasaran, yaitu mendapat
pahala dan terjauh dari siksa.
5. Orang yang berfisik kuat
Hadis
telah mengharamkan orang kaya menerima zakat, juga bagi orang yang sehat dan
berfisik kuat.
Sesungguhnya diharamkannya zakat bagi
orang yang zakat bagi orang yang sehat dan berfisik kuat, karena ia masih mampu
berkerja untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, tanpa harus menunggu dan
menggantungkan harapanya pada sedekah. Apabila ia kuat dan tidak memiliki
pekerjaan, maka hal ini dapat dikecualikan, dan ia patut ditolong dari harta
zakat sampai ia mendapatkan pekerjaan yang layak. Dalam hadits lain dikemukakan:
“tidak ada bagian dalam zakat buat orang
kuat yang mampu bekerja.”
Ulama Hanafi berbeda pendapat dalam
masalah itu. Mereka berkata: “boleh menyerahkan zakat kepada orang yang
memiliki kurang dari nisab zakat, walaupun sehat dan mempunyai pekerjaan, karena
ia termasuk orang fakir, dan fakir itu adalah salah satu sasaran zakat; dan
karena inti dari kebutuhan itu tidak ditangguhkan kepadanya, akibatnya hukum
itu berputar pada dalil penerimaan zakat, yaitu tiadanya nisab padanya.
Ibnu
Humam berkata: “menurut Ulama yang jumlahnya lebih dari satu, bahwa zakat itu
tidak boleh diberikan pada orang yang mempunyai pekerjaan, berdasarkan apa yang
telah kita sebutkan terdahulu dari ucapan Nabi: “tidaklah halal sedekah itu
buat orang kaya dan orang yang sehat dan kuat.” Dan juga ucapan Nabi pada dua
orang laki-laki yang gemuk, kedua-duanya meminta zakat kepada Nabi,: “Adapun
anda berdua tidak berhak menerima zakat, tetapi jika anda menghendakinya aku
akan memberinya.”
Dikemukakan,
bahwa hadis yang kedua maksudnya adalah diharamkannya meminta-minta,
berdasarkan ucapan Nabi: “apabila anda berdua menghendakinya aku akan
memberinya.” Apabila memberi zakat buat
mereka itu haram, tentu Nabi tidak akan melakukanya. Hadits yang berbunyi:
“apabila anda berdua menghendakinya, aku akan memeberinya, dan tidak ada bagian
didalam zakat, buat orang kaya dan orang yang mempunyai pekerjaan.” Menurut
pendapat Abu Ubaid Nabi mengatakan hal itu kepada mereka berdua, karena Nabi
tidak mengetahui setiap orang yang kuat itu, mempunyai pekerjaan yang akan
memenuhi kebutuhan hidupnya. Karenanya Nabi memberika kepada mereka berdua,
setelah Nabi memberi nasihat dan memberi petunjuk kepada mereka, bahwa orang
kaya dan orang yang mempunyai pekerjaan, adalah tidak berhak menerima zakat.
Nabi saw telah menjadikan sifat kaya dan kuat itu, dua hal yang sebanding,
walaupun orang yang kuat itu tidak mempunyai pekerjaan, tetapi keadaan mereka
dalam hal yang ini adalah sama, kecuali apabila orang kuat itu sudah berusaha
bersungguh-sungguh untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, tapi tetap tidak
mendapatkanya. Maka apabila keadaanya seperti demikian, ia berhak menerima
bagian dari harta zakat. Berdasarkan firman allah swt.
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“dan pada harta-harta mereka ada hak
untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
(QS. 51:19).
0 Response to "Orang-orang Yang Tidak Berhak Menerima Zakat"
Posting Komentar