Implementasi BMT Sebagai Bayt al-Māl
Kamis, 10 Mei 2018
Add Comment
BMT (Bayt al-Māl wa
at-Tamwīl) memiliki dua arti kata yang terpisah, diantaranya Bayt al-Māl dan Bayt at-Tamwīl. Dalam fungsinya pun BMT
memiliki dua fungsi, yaitu sebagai lembaga sosial dan lembaga keuangan. Hal ini
membuktikan bahwa BMT adalah lembaga keuangan yang melakukan kegiatan-kegiatan sosial
terhadap masyarakat yang membutuhkan demi terciptanya kesejahteraan bersama.
Sebagaimana fungsi dari BMT adalah bagian dari Bayt al-Māl,
sedangkan Bayt
al-Māl adalah
rumah harta berupa lembaga negara yang mengelola penerimaan dan pengeluaran
yang bersumber dari zakāh, kharaj,
jizyah, fa’i, ghanimah, kaffarat, wakāf dan lain sebagainya yang ditasyarufkan
untuk kepentingan umat pada zaman Nabi Muhammad saw. Maka setiap harta baik
berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang komoditas perdagangan dan harta
benda lainnya, dimana kaum muslimin berhak memilikinya sesuai hukum syara’ dan
tidak ditentukan individu pemiliknya, walaupun telah tertentu pihak yang
menerimanya tetap menjadi hak Bayt al-Māl, yakni sudah
dianggap sebagai pemasukan bagi Bayt al-Māl.
Namun menurut para ahli ekonomi Islam dan sarjana
ekonomi Islam sendiri telah memiliki penafsiran yang berbeda dalam mengartikan Bayt al-Māl
saat ini. Sedangkan menurut Muhammad
Ridwan, Bayt
al-Māl dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Bayt al-Māl
Khas
Bayt al-Māl khas
merupakan perbendaharaan kerajaan atau dana rahasia. Dana ini khusus untuk
pengeluaran pribadi raja dan keluarganya, dana pengawal raja serta hadiah bagi
tamu-tamu kerajaan.
b. Bayt al-Māl
Bayt al-Māl merupakan jenis bank
sentral untuk kerajaan. Namun pola operasionalnya sebatas kepentingan kerajaan
seperti mengatur keuangan kerajaan. Model baitul maal ini sistem pengelolaannya
sangat sentralistik. Pengelola tertinggi berada di tangan raja. Di bawah raja
terdapat gubernur yang membawahi wilayah provinsi masing-masing.
c. Bayt al-Māl
Al-Islamin
Bayt al-Māl al-Islamin
merupakan Bayt
al-Māl yang berfungsi secara luas untuk kepentingan
masyarakat, baik muslim maupun non-muslim. Fungsi-fungsi mencakup kesejahteraan
seluruh warga tanpa memandang jenis kelamin, ras dan bahkan agama. Bayt al-Māl
jenis ini bertempat di masjid-masjid utama kerajaan.
Pada perkembangan dana Bayt al-Māl saat ini berasal
dari zakāh, infaq, ṣadaqah, dan wakāf yang dikumpulkan, kemudian
dibagikan kepada umat yang membutuhkan melalui proses pendayagunaan dalam salah
satu programnya adalah pemberdayaan umat, sehingga memanfaatkan sumber dana
(ZISWaf) secara maksimum untuk mencapai kemaslahatan umat. Pemberdayaan adalah
upaya memperkuat posisi sosial dan ekonomi dengan tujuan mencapai penguatan
kemampuan umat melalui dana bantuan yang pada umumnya berupa kredit untuk usaha
produktif sehingga mustahiq sanggup meningkatkan pendapatannya dan juga
membayar kewajibannya (zakāh) dari
hasil usahanya atas kredit yang dipinjamnya.
Adapun motto yang dikembangkan oleh BMT ditunjukkan
untuk memupuk rasa kasih sayang dan pengentasan kemiskinan. Motto tersebut
berbunyi : “Meretas tali ukhuwah bil-marhamah (hubungan persaudaraan
penuh kasih sayang) antara agniya (kaum berpunya) dan fuqara
(kaum fakir miskin yang membutuhkan uluran bantuan”. Sedangkan unsur yang terkait dalam penghimpunan, penyaluran
dan pendayagunaa dana bayt al-māl adalah sebagai berikut
:
a. Zakāh
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakāh berasal dari bahasa Arab yang merupakan kata dasar dari zakāh, yang berarti berkah, tumbuh,
bersih dan baik. Jika zakāh ini dihubungkan dengan harta merupakan harta
yang dizakati akan tumbuh berkembang da bertambah karena suci dan berkah.
Secara istilah menurut fikih, zakāh adalah sebutan nama bagi sejumlah
harta tertentu yang diwajibkan dalam Al-Qur’an supaya dapat diserahkan kepada
orang-orang yang berhak (mustahiq)
oleh orang-orang yang wajib mengeluarkan zakāh (muzakki). Dan dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 82 kali mengenai zakāh,
yang menunjukkan betapa sangat pentingnya zakāh ini dalam menyusun
kehidupan yang humanis, harmonis dan sejahtera karena zakāh juga
bertujuan mendekatkan diri pada Allah subhanahu wa ta’ala sebagai implementasi
dari keyakinan terhadap Pencipta-Nya.
Dan zakāh merupakan alat bantuan sosial
mandiri yang menjadi kewajiban moral bagi orang kaya untuk membantu mereka yang
miskin dan terabaikan yang dalam hal ini tidak mampu dalam menolong dirinya
sendiri meskipun dengan semua skema jaminan sosial yang ada, sehingga
kemelaratan dan kemiskinan dapat terhapuskan dari masyarakat muslim.
b. Infaq
Infaq
berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk
kepentingan sesuatu. Adapun pengertian infaq adalah mengeluarkan harta tertentu
untuk dipergunakan dalam kepentingan yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa
ta’ala di luar zakāh, yang sifatnya sukarela. Dan pada umumnya, infaq
ini nominalnya bisa besar dan kecil tanpa adanya ketentuan. Sehingga terdapat
bagian penting dalam infaq, yaitu bagian yang dibelanjakan dari harta
atau kekayaan seseorang yang dikeluarkan untuk kemaslahatan umum atau membantu
kaum yang lemah.
c. Ṣadaqah
Ṣadaqah
berasal dari kata ash-shidqu, yang
berarti orang yang banyak benarnya dalam perkataan, bahkan diungkapkan
bagi orang yang sama sekali tidak
berdusta. Dan ṣadaqah menurut syara’ adalah melakukan suatu kebajikan
sesuai ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, baik yang bersifat materiil maupun non
materiil dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.
Namun secara umum, kebaikan seseorang yang diberikan
dalam bentuk sebagian harta yang dimilikinya kepada orang lain disebut juga ṣadaqah. Ṣadaqah terdiri dua jenis,
yaitu wajib dan sunnah. Ṣadaqah wajib
disebut zakāh yang sudah dijelaskan
ketentuan kadar (persentase zakat), nishab (batas minimal harta yang dizakati), dan haul (ukuran waktu satu tahunnya).
Sedangkan ṣadaqah sunnah berlaku
untuk siapa saja yang mempunyai harta sekalipun tidak memiliki satu nisab dan ṣadaqah yang dikeluarkan sesuai
kemampuannya.
d. Wakāf
Wakāf menurut bahasa
berasal dari wakhāfa yang berarti
menahan, berhenti atau diam ditempat. Dalam kitab fiqh, wakāf
didefinisikan “menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya serta secara
substansi harta itu tetap (tidak berubah), dengan jalan memutuskan hak
penguasaan terhadap harta itu sendiri dari orang yang berwakāf, dan ditujukan
untuk penggunaan yang halal atau memanfaatkan hasilnya untuk tujuan kebaikan
dengan niat mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Wakāf biasanya
identik berbentuk barang, tanah, bangunan dan lainnya, yang memiliki sifat
tetap (tidak bergerak), namun saat ini wakāf bisa berbentuk uang tunai. Wakāf
uang tunai dinilai sebagai wakāf benda yang bergerak meskipun uang
sebagai alat tukar. Pada hakikatnya substansi wakaf adalah segala sesuatu yang
disedekahkan untuk taqarrub dan sabilillah, wakaf dalam bentuk apapun
termasuk wakāf uang dibolehkan, asalkan tetap memenuhi syarat wakāf.
Dan wakāf uang tunai ini termasuk wakāf produktif, yaitu
pemberian dalam bentuk sesuatu yang dapat diusahakan atau di gulirkan untuk
kebaikan dan kemaslahatan umat.
Sehingga dana zakāh, infaq, ṣadaqah dan wakāf
inilah yang menjadi bagian bayt al-māl, sebagaimana dana
tersebut disalurkan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat sosial. Namun
pada hakikatnya dana bayt al-māl tersebut harus dapat
dikelola sesuai kebutuhan sosial dan dapat berupa bantuan pertolongan baik
berupa uang maupun barang.
Terdapat juga beberapa bentuk jenis pengelolaan dana
terkait dengan dana bayt al-māl melalui dana zakāh,
infaq, ṣadaqah dan wakāf yang terkumpul dan didistribusikan, yaitu :
a. Konsumtif
tradisional, yakni dana yang langsung diberikan
secara langsung kepada mustahik, seperti : beras dan jagung, perbaikan rumah,
dan lain-lain.
b. Konsumtif
kreatif, yakni dana yang dirupakan dalam bentuk lain dengan
harapan dapata bermanfaat lebih baik, seperti : beasiswa, peralatan sekolah dan
pakaian anak-anak yatim.
c. Produktif
tradisional, yakni dana yang diberikan dalam bentuk
barang-barang yang dapat berkembang biak atau alat utama kerja, seperti :
kambing, sapi, alat cukur rambut, dan mesin jahit.
d. Produktif
kreatif, yakni dana yang diberikan dalam bentuk modal kerja
sehingga penerimanya dapat mengembangkan usahanya setahap lebih maju.
Sebagaimana penghimpunan dana ZISWaf yang terkumpul,
selanjutnya akan dilakukan penyaluran dan pendayagunaan dana melalui program-program
yang berkualitas dan bermanfaat seperti program pemberdayaan ekonomi umat agar
dana bayt al-māl
tersebut bermakna konsumtif dan produktif. Program pemberdayaan ekonomi
tersebut akan disalurkan melalui 8 asnaf
dan kaum dhuafa (fakir miskin, yatim
piatu dan anak jalanan). Sehingga program pendayagunaan dikembangkan melalui
bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial dan pembangunan sarana ibadah.
Dengan melakukan kinerja implementasi pengelolaan
dana bayt al-māl
pun harus memiliki tiga prinsip untuk tercapainya tujuan yaitu diantaranya
adalah :
a. Amanah
Sifat amanah merupakan
syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap amil. Hal ini disebabkan setelah
menyerahkan zakatnya para muzakki tidak ingin sedikit pun mengambil dananya
lagi. Kondisi ini menuntut dimilikinya sifat amanah dari para amil. Tanpa
adanya sifat ini, semua sistem yang di bangun bisa terancam hancur seperti
hancurnya perekonomian bangsa ini, yang lebih disebabkan rendahnya moral (moral
hazard) para pelaku ekonomi. Dan apalagi berhubungan dengan dana yang
dikelola organisasi pengelola ZISWaf adalah dana sukarela dan secara esensial
adalah milik mustahiq.
b. Profesional
Memiliki sifat amanah
saja belum cukup. Sifat amanah harus diimbangi dengan profesionalitas pengelolaannya.
Untuk menjadi profesional, salah satu caranya adalah bahwa pengelolanya harus
terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kerja, bekerja purna waktu dan
digaji secara layak sehingga segenap potensi untuk mengelola dana ZISWaf secara
baik dapat dicurahkan. Amil yang profesional tidak mencari tambahan penghasilan
sehingga dapat mengganggu pekerjaannya selaku amil. Dan hanya dengan
profesionalitas yang tinggi, maka pengelolaan dana ZISWaf akan memberikan
manfaat yang optimal, efektif dan efesien.
c. Transparan
Dengan adanya
transparan pada pengelolaan ZISWaf, maka akan tercipta suatu sistem kontrol
yang baik karena pengontrolan itu tidak hanya melibatkan pihak internal
organisasi saja, tetapi juga melibatkan pihak eksternal seperti para muzakki
dan masyarakat luas. Transparansi dapat meminimalisir rasa curiga dan
ketidakpercayaan masyarakat.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi
Fungsi BMT Sebagai Bayt al-Māl
Dalam
perkembangannya, BMT masih berbadan hukum koperasi. Dan dalam operasionalnya BMT
maupun Bayt
al-Māl-nya masih banyak
yang harus diperbaiki dan harus segera dicarikan solusinya terutama pada
implementasi pengelolaan dana ZISWaf. Sedangkan menurut Abdul Manan
mengemukakan beberapa masalah yang menjadi penyebab penghambat kegiatan
operasional dalam mengembangkan BMT, yaitu : kurangnya SDM yang terdidik dan
profesional, banyaknya SDM yang berjiwa entrepreneurship,
tingkat kepercayaan umat Islam yang masih rendah, kurangnya perangkat pendukung
(jaringan informasi dan tekonologi), pertanggungjawaban atas gejala sosial dan
ekonomi di masyarakat.
Adapun kemudahan
dan kesulitan dalam mengelola dana-dana bayt al-māl, dapat dilihat dari fungsi organisasi pengelola bayt al-māl yang terbagi menjadi dua yakni sebagai
lembaga perantara keuangan (financial
intermediary) dan fungsi pemberdayaan (empowering).
Dalam peran sebagai perantara keuangan, maka amil berperan menghubungkan antara pihak muzakki (pemberi) dengan mustahiq
(penerima), dimana amil harus menerapkan asas kepercayaan (trust) sebagai syarat mutlak yang harus dibangun. Dan sebagai
perantara, amil harus mampu mengelola keuangan dengan baik dan benar, karena
harus ada pemisah antara dana sumber keuangan dan pengalokasian yang tepat pada sasarannya, akan menguatkan posisi amil
tersebut.
Dan mengenai
penghimpunan dana ZISWaf, BMT masih kesulitan dalam melakukannya karena
dihadapkannya beberapa kendala yang masih ada, sebagai berikut :
a.
Pertama, BMT adalah lembaga baru yang keberadaannya
masih terus dipertanyakan sampai sekarang termasuk oleh komunitas muslimnya
sendiri, sehingga setiap program kerja yang digulirkannya ke tengah masyarakat
sebaik apapun program itu, termasuk mengenai pengelolaan ZISWaf tidak serta
merta diterima tanpa reserve. Semua mesti melalui proses ujian terlebih dahulu
dan ini akan memakan waktu relatif lama. Fakta menunjukkan, sebagian elemen
masyarakat kita masih memiliki anggapan bahwa BMT dan lembaga keuangan konvensional
hakikatnya sama dan ia sebatas konversi ‘bahasa’ dari istilah bunga menjadi
bagi hasil.
b.
Kedua,
sebagian besar pengelola BMT belum memahami
dengan baik filosofi dari zakāh, infaq, ṣadaqah dan wakāf berikut
dengan hikmah persyariatannya, landasan hukumnya, jenis dan takarannya, serta
bagaimana menjelaskan secara lugas kepada kelompok sasaran yang sebagian besar
masih awam. Ini yang menjadi sebab sehingga mereka sering kehilangan nyali
ketika harus melakukan sosialisasi penghimpunan ZISWaf oleh bayt al-māl yang masih dikelolanya dengan
semi-profesional.
c.
Ketiga, sebagian besar umat Islam Indonesia yang
hidupnya masih di daerah marjinal (pedesaan) sampai sekarang masih kukuh memegangi
pendapat yang mengenai zakāh adalah urusan pribadi seorang muslim dengan
Allah-nya yang pembayarannya tidak dapat diatur oleh pihak manapun termasuk
juga BMT, karena hal itu dianggap berbelit-belit dan dapat melahirkan sikap
pamer (riya) dari pemberi zakāh.
d.
Keempat, terdapat Undang-Undang no. 38 tahun 1999
tentang pengelolaan zakāh dengan keadaannya yang masih perlu
disempurnakan dan belum maksimal disosialisasikan, sehingga masih banyak elemen
masyarakat yang bukan saja belum memahami isinya tetapi juga belum mengetahui
keberadaannya.
Menurut Ahmad Hasan Ridwan juga terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi kurang optimalnya pencapaian tujuan BMT, antara lain
adalah:
a. Human resourse,
yaitu belum memadainya sumber daya manusia yang terdidik dan profesional.
b. Management,
yaitu menyangkut sumber daya manusia dan kemampuan mengembangkan budaya jiwa
wirausaha (entrepreneurship) yang relative masih lemah.
c. Financial,
yaitu permodalan yang masih kecil dan terbatas.
d. Trustment,
yaitu kepercayaan rendah (untrust)
umat Islam menjadikan stereotip terhadap bank syariah masih tinggi, walaupun di
pihak lain bank konvensional sedang mengalami polemic, yang semestinya menjadi
peluang terhadap eksistensi BMT.
e. Accountability,
yaitu eksistensi BMT dimaknai sebagai gejala sosial dan ekonomi di tengah
persaingan lembaga-lembaga ekonomi lainnya, belum mampu menjadikan BMT sebagai
lembaga yang memiliki infrastruktur yang kokoh dan tangguh.
f. Limited links,
yaitu pengembangan jaringan yang masih terbatas dan belum mampu menyejajarkan
diri dengan lembaga keuangan konvensional yang memiliki jaringan yang lebih
luas dan kurangnya jaringan tersebut menghambat perkembangan antara BMT.
Saat ini pun masih banyak kendala yang terjadi dalam
penghimpunan dan pendayagunaan dana bayt al-māl, yang dipengaruhi
oleh rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan para pengurus lembaga
amilnya. Ada beberapa faktor lain yang menjadi penyebab masih rendahnya
penghimpunan dana bayt al-māl, diantaranya :
a. Belum
tersedianya database muzakki yang
terpadu di setiap daerah.
b. Masih
rendahnya pelaksanaan program motivasi dan kesadaran dalam berzakat, infaq,
shadaqah dan wakaf.
c. Pola
dan program kampanye pengerahan dana bayt al-māl masih langka
ditempuh oleh organisasi amil.
d. Masih
relatif rendah kemampuan dan keterampilan lembaga amil dalam pengerahan dan
pendayagunaan dana bayt al-māl.
e. Tidak
seluruh organisasi amil berprofesional serta menerapkan pelaporan yang
transparan dan terbuka.
0 Response to "Implementasi BMT Sebagai Bayt al-Māl"
Posting Komentar