Implementasi BMT Sebagai Bayt al-Māl



BMT (Bayt al-Māl wa at-Tamwīl) memiliki dua arti kata yang terpisah, diantaranya Bayt al-Māl dan Bayt at-Tamwīl. Dalam fungsinya pun BMT memiliki dua fungsi, yaitu sebagai lembaga sosial dan lembaga keuangan. Hal ini membuktikan bahwa BMT adalah lembaga keuangan yang melakukan kegiatan-kegiatan sosial terhadap masyarakat yang membutuhkan demi terciptanya kesejahteraan bersama.

Sebagaimana fungsi dari BMT adalah bagian dari Bayt al-Māl, sedangkan Bayt al-Māl adalah rumah harta berupa lembaga negara yang mengelola penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari zakāh, kharaj, jizyah, fa’i, ghanimah, kaffarat, wakāf dan lain sebagainya yang ditasyarufkan untuk kepentingan umat pada zaman Nabi Muhammad saw. Maka setiap harta baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang komoditas perdagangan dan harta benda lainnya, dimana kaum muslimin berhak memilikinya sesuai hukum syara’ dan tidak ditentukan individu pemiliknya, walaupun telah tertentu pihak yang menerimanya tetap menjadi hak Bayt al-Māl, yakni sudah dianggap sebagai pemasukan bagi Bayt al-Māl.

Namun menurut para ahli ekonomi Islam dan sarjana ekonomi Islam sendiri telah memiliki penafsiran yang berbeda dalam mengartikan Bayt al-Māl saat ini. Sedangkan  menurut Muhammad Ridwan, Bayt al-Māl dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

a.    Bayt al-Māl Khas
Bayt al-Māl khas merupakan perbendaharaan kerajaan atau dana rahasia. Dana ini khusus untuk pengeluaran pribadi raja dan keluarganya, dana pengawal raja serta hadiah bagi tamu-tamu kerajaan.

b.    Bayt al-Māl
Bayt al-Māl merupakan jenis bank sentral untuk kerajaan. Namun pola operasionalnya sebatas kepentingan kerajaan seperti mengatur keuangan kerajaan. Model baitul maal ini sistem pengelolaannya sangat sentralistik. Pengelola tertinggi berada di tangan raja. Di bawah raja terdapat gubernur yang membawahi wilayah provinsi masing-masing.

c.    Bayt al-Māl Al-Islamin
Bayt al-Māl al-Islamin merupakan Bayt al-Māl yang berfungsi secara luas untuk kepentingan masyarakat, baik muslim maupun non-muslim. Fungsi-fungsi mencakup kesejahteraan seluruh warga tanpa memandang jenis kelamin, ras dan bahkan agama. Bayt al-Māl jenis ini bertempat di masjid-masjid utama kerajaan.

Pada perkembangan dana Bayt al-Māl saat ini berasal dari zakāh, infaq, ṣadaqah, dan wakāf yang dikumpulkan, kemudian dibagikan kepada umat yang membutuhkan melalui proses pendayagunaan dalam salah satu programnya adalah pemberdayaan umat, sehingga memanfaatkan sumber dana (ZISWaf) secara maksimum untuk mencapai kemaslahatan umat. Pemberdayaan adalah upaya memperkuat posisi sosial dan ekonomi dengan tujuan mencapai penguatan kemampuan umat melalui dana bantuan yang pada umumnya berupa kredit untuk usaha produktif sehingga mustahiq sanggup meningkatkan pendapatannya dan juga membayar kewajibannya (zakāh) dari hasil usahanya atas kredit yang dipinjamnya.

Adapun motto yang dikembangkan oleh BMT ditunjukkan untuk memupuk rasa kasih sayang dan pengentasan kemiskinan. Motto tersebut berbunyi : “Meretas tali ukhuwah bil-marhamah (hubungan persaudaraan penuh kasih sayang) antara agniya (kaum berpunya) dan fuqara (kaum fakir miskin yang membutuhkan uluran bantuan”. Sedangkan unsur yang terkait dalam penghimpunan, penyaluran dan pendayagunaa dana bayt al-māl adalah sebagai berikut :
 
a.    Zakāh
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakāh berasal dari bahasa Arab yang merupakan kata dasar dari zakāh, yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Jika zakāh ini dihubungkan dengan harta merupakan harta yang dizakati akan tumbuh berkembang da bertambah karena suci dan berkah. Secara istilah menurut fikih, zakāh adalah sebutan nama bagi sejumlah harta tertentu yang diwajibkan dalam Al-Qur’an supaya dapat diserahkan kepada orang-orang yang berhak (mustahiq) oleh orang-orang yang wajib mengeluarkan zakāh (muzakki). Dan dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 82 kali mengenai zakāh, yang menunjukkan betapa sangat pentingnya zakāh ini dalam menyusun kehidupan yang humanis, harmonis dan sejahtera karena zakāh juga bertujuan mendekatkan diri pada Allah subhanahu wa ta’ala sebagai implementasi dari keyakinan terhadap Pencipta-Nya.
Dan zakāh merupakan alat bantuan sosial mandiri yang menjadi kewajiban moral bagi orang kaya untuk membantu mereka yang miskin dan terabaikan yang dalam hal ini tidak mampu dalam menolong dirinya sendiri meskipun dengan semua skema jaminan sosial yang ada, sehingga kemelaratan dan kemiskinan dapat terhapuskan dari masyarakat muslim.

b.    Infaq
Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Adapun pengertian infaq adalah mengeluarkan harta tertentu untuk dipergunakan dalam kepentingan yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di luar zakāh, yang sifatnya sukarela. Dan pada umumnya, infaq ini nominalnya bisa besar dan kecil tanpa adanya ketentuan. Sehingga terdapat bagian penting dalam infaq, yaitu bagian yang dibelanjakan dari harta atau kekayaan seseorang yang dikeluarkan untuk kemaslahatan umum atau membantu kaum yang lemah.

c.    Ṣadaqah
Ṣadaqah berasal dari kata ash-shidqu, yang berarti orang yang banyak benarnya dalam perkataan, bahkan diungkapkan bagi  orang yang sama sekali tidak berdusta. Dan ṣadaqah menurut syara’ adalah melakukan suatu kebajikan sesuai ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, baik yang bersifat materiil maupun non materiil dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.
Namun secara umum, kebaikan seseorang yang diberikan dalam bentuk sebagian harta yang dimilikinya kepada orang lain disebut juga ṣadaqah. Ṣadaqah terdiri dua jenis, yaitu wajib dan sunnah. Ṣadaqah wajib disebut zakāh yang sudah dijelaskan ketentuan kadar (persentase zakat), nishab (batas minimal harta yang dizakati), dan haul (ukuran waktu satu tahunnya). Sedangkan ṣadaqah sunnah berlaku untuk siapa saja yang mempunyai harta sekalipun tidak memiliki satu nisab dan ṣadaqah yang dikeluarkan sesuai kemampuannya.

d.    Wakāf
Wakāf menurut bahasa berasal dari wakhāfa yang berarti menahan, berhenti atau diam ditempat. Dalam kitab fiqh, wakāf didefinisikan “menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya serta secara substansi harta itu tetap (tidak berubah), dengan jalan memutuskan hak penguasaan terhadap harta itu sendiri dari orang yang berwakāf, dan ditujukan untuk penggunaan yang halal atau memanfaatkan hasilnya untuk tujuan kebaikan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Wakāf biasanya identik berbentuk barang, tanah, bangunan dan lainnya, yang memiliki sifat tetap (tidak bergerak), namun saat ini wakāf bisa berbentuk uang tunai. Wakāf uang tunai dinilai sebagai wakāf benda yang bergerak meskipun uang sebagai alat tukar. Pada hakikatnya substansi wakaf adalah segala sesuatu yang disedekahkan untuk taqarrub dan sabilillah, wakaf dalam bentuk apapun termasuk wakāf uang dibolehkan, asalkan tetap memenuhi syarat wakāf. Dan wakāf uang tunai ini termasuk wakāf produktif, yaitu pemberian dalam bentuk sesuatu yang dapat diusahakan atau di gulirkan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat.
Sehingga dana zakāh, infaq, ṣadaqah dan wakāf inilah yang menjadi bagian bayt al-māl, sebagaimana dana tersebut disalurkan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat sosial. Namun pada hakikatnya dana bayt al-māl tersebut harus dapat dikelola sesuai kebutuhan sosial dan dapat berupa bantuan pertolongan baik berupa uang maupun barang.
Terdapat juga beberapa bentuk jenis pengelolaan dana terkait dengan dana bayt al-māl melalui dana zakāh, infaq, ṣadaqah dan wakāf yang terkumpul dan didistribusikan, yaitu :
a. Konsumtif tradisional, yakni dana yang langsung diberikan secara langsung kepada mustahik, seperti : beras dan jagung, perbaikan rumah, dan lain-lain.
b. Konsumtif kreatif, yakni dana yang dirupakan dalam bentuk lain dengan harapan dapata bermanfaat lebih baik, seperti : beasiswa, peralatan sekolah dan pakaian anak-anak yatim.
c. Produktif tradisional, yakni dana yang diberikan dalam bentuk barang-barang yang dapat berkembang biak atau alat utama kerja, seperti : kambing, sapi, alat cukur rambut, dan mesin jahit.
d.  Produktif kreatif, yakni dana yang diberikan dalam bentuk modal kerja sehingga penerimanya dapat mengembangkan usahanya setahap lebih maju.

Sebagaimana penghimpunan dana ZISWaf yang terkumpul, selanjutnya akan dilakukan penyaluran dan pendayagunaan dana melalui program-program yang berkualitas dan bermanfaat seperti program pemberdayaan ekonomi umat agar dana bayt al-māl tersebut bermakna konsumtif dan produktif. Program pemberdayaan ekonomi tersebut akan disalurkan melalui 8 asnaf dan kaum dhuafa (fakir miskin, yatim piatu dan anak jalanan). Sehingga program pendayagunaan dikembangkan melalui bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial dan pembangunan sarana ibadah.
Dengan melakukan kinerja implementasi pengelolaan dana bayt al-māl pun harus memiliki tiga prinsip untuk tercapainya tujuan yaitu diantaranya adalah :

a.    Amanah
Sifat amanah merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap amil. Hal ini disebabkan setelah menyerahkan zakatnya para muzakki tidak ingin sedikit pun mengambil dananya lagi. Kondisi ini menuntut dimilikinya sifat amanah dari para amil. Tanpa adanya sifat ini, semua sistem yang di bangun bisa terancam hancur seperti hancurnya perekonomian bangsa ini, yang lebih disebabkan rendahnya moral (moral hazard) para pelaku ekonomi. Dan apalagi berhubungan dengan dana yang dikelola organisasi pengelola ZISWaf adalah dana sukarela dan secara esensial adalah milik mustahiq.

b.    Profesional
Memiliki sifat amanah saja belum cukup. Sifat amanah harus diimbangi dengan profesionalitas pengelolaannya. Untuk menjadi profesional, salah satu caranya adalah bahwa pengelolanya harus terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kerja, bekerja purna waktu dan digaji secara layak sehingga segenap potensi untuk mengelola dana ZISWaf secara baik dapat dicurahkan. Amil yang profesional tidak mencari tambahan penghasilan sehingga dapat mengganggu pekerjaannya selaku amil. Dan hanya dengan profesionalitas yang tinggi, maka pengelolaan dana ZISWaf akan memberikan manfaat yang optimal, efektif dan efesien.

c.    Transparan
Dengan adanya transparan pada pengelolaan ZISWaf, maka akan tercipta suatu sistem kontrol yang baik karena pengontrolan itu tidak hanya melibatkan pihak internal organisasi saja, tetapi juga melibatkan pihak eksternal seperti para muzakki dan masyarakat luas. Transparansi dapat meminimalisir rasa curiga dan ketidakpercayaan masyarakat.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Fungsi BMT Sebagai Bayt al-Māl
Dalam perkembangannya, BMT masih berbadan hukum koperasi. Dan dalam operasionalnya BMT maupun Bayt al-Māl-nya masih banyak yang harus diperbaiki dan harus segera dicarikan solusinya terutama pada implementasi pengelolaan dana ZISWaf. Sedangkan menurut Abdul Manan mengemukakan beberapa masalah yang menjadi penyebab penghambat kegiatan operasional dalam mengembangkan BMT, yaitu : kurangnya SDM yang terdidik dan profesional, banyaknya SDM yang berjiwa entrepreneurship, tingkat kepercayaan umat Islam yang masih rendah, kurangnya perangkat pendukung (jaringan informasi dan tekonologi), pertanggungjawaban atas gejala sosial dan ekonomi di masyarakat.

Adapun kemudahan dan kesulitan dalam mengelola dana-dana bayt al-māl, dapat dilihat dari fungsi organisasi pengelola bayt al-māl yang terbagi menjadi dua yakni sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary) dan fungsi pemberdayaan (empowering). Dalam peran sebagai perantara keuangan, maka amil berperan menghubungkan antara pihak muzakki (pemberi) dengan mustahiq (penerima), dimana amil harus menerapkan asas kepercayaan (trust) sebagai syarat mutlak yang harus dibangun. Dan sebagai perantara, amil harus mampu mengelola keuangan dengan baik dan benar, karena harus ada pemisah antara dana sumber keuangan dan pengalokasian yang tepat  pada sasarannya, akan menguatkan posisi amil tersebut.

Dan mengenai penghimpunan dana ZISWaf, BMT masih kesulitan dalam melakukannya karena dihadapkannya beberapa kendala yang masih ada, sebagai berikut :
a.    Pertama, BMT adalah lembaga baru yang keberadaannya masih terus dipertanyakan sampai sekarang termasuk oleh komunitas muslimnya sendiri, sehingga setiap program kerja yang digulirkannya ke tengah masyarakat sebaik apapun program itu, termasuk mengenai pengelolaan ZISWaf tidak serta merta diterima tanpa reserve. Semua mesti melalui proses ujian terlebih dahulu dan ini akan memakan waktu relatif lama. Fakta menunjukkan, sebagian elemen masyarakat kita masih memiliki anggapan bahwa BMT dan lembaga keuangan konvensional hakikatnya sama dan ia sebatas konversi ‘bahasa’ dari istilah bunga menjadi bagi hasil.
b.    Kedua, sebagian besar pengelola BMT belum memahami dengan baik filosofi dari zakāh, infaq, ṣadaqah dan wakāf berikut dengan hikmah persyariatannya, landasan hukumnya, jenis dan takarannya, serta bagaimana menjelaskan secara lugas kepada kelompok sasaran yang sebagian besar masih awam. Ini yang menjadi sebab sehingga mereka sering kehilangan nyali ketika harus melakukan sosialisasi penghimpunan ZISWaf oleh bayt al-māl yang masih dikelolanya dengan semi-profesional.
c.    Ketiga, sebagian besar umat Islam Indonesia yang hidupnya masih di daerah marjinal (pedesaan) sampai sekarang masih kukuh memegangi pendapat yang mengenai zakāh adalah urusan pribadi seorang muslim dengan Allah-nya yang pembayarannya tidak dapat diatur oleh pihak manapun termasuk juga BMT, karena hal itu dianggap berbelit-belit dan dapat melahirkan sikap pamer (riya) dari pemberi zakāh.
d.   Keempat, terdapat Undang-Undang no. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakāh dengan keadaannya yang masih perlu disempurnakan dan belum maksimal disosialisasikan, sehingga masih banyak elemen masyarakat yang bukan saja belum memahami isinya tetapi juga belum mengetahui keberadaannya.

Menurut Ahmad Hasan Ridwan juga terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kurang optimalnya pencapaian tujuan BMT, antara lain adalah:
a.    Human resourse, yaitu belum memadainya sumber daya manusia yang terdidik dan profesional.
b.    Management, yaitu menyangkut sumber daya manusia dan kemampuan mengembangkan budaya jiwa wirausaha (entrepreneurship) yang relative masih lemah.
c.    Financial, yaitu permodalan yang masih kecil dan terbatas.
d.   Trustment, yaitu kepercayaan rendah (untrust) umat Islam menjadikan stereotip terhadap bank syariah masih tinggi, walaupun di pihak lain bank konvensional sedang mengalami polemic, yang semestinya menjadi peluang terhadap eksistensi BMT.
e.    Accountability, yaitu eksistensi BMT dimaknai sebagai gejala sosial dan ekonomi di tengah persaingan lembaga-lembaga ekonomi lainnya, belum mampu menjadikan BMT sebagai lembaga yang memiliki infrastruktur yang kokoh dan tangguh.
f.     Limited links, yaitu pengembangan jaringan yang masih terbatas dan belum mampu menyejajarkan diri dengan lembaga keuangan konvensional yang memiliki jaringan yang lebih luas dan kurangnya jaringan tersebut menghambat perkembangan antara BMT.

Saat ini pun masih banyak kendala yang terjadi dalam penghimpunan dan pendayagunaan dana bayt al-māl, yang dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan para pengurus lembaga amilnya. Ada beberapa faktor lain yang menjadi penyebab masih rendahnya penghimpunan dana bayt al-māl, diantaranya :
a.    Belum tersedianya database muzakki yang terpadu di setiap daerah.
b.   Masih rendahnya pelaksanaan program motivasi dan kesadaran dalam berzakat, infaq, shadaqah dan wakaf.
c.    Pola dan program kampanye pengerahan dana bayt al-māl masih langka ditempuh oleh organisasi amil.
d. Masih relatif rendah kemampuan dan keterampilan lembaga amil dalam pengerahan dan pendayagunaan dana bayt al-māl.
e. Tidak seluruh organisasi amil berprofesional serta menerapkan pelaporan yang transparan dan terbuka.



0 Response to "Implementasi BMT Sebagai Bayt al-Māl"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

pasang