Al-Baqoroh Ayat 78-79
Senin, 14 Mei 2018
Add Comment
{وَمِنْهُمْ
أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلا أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلا
يَظُنُّونَ (78) فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ
يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا فَوَيْلٌ
لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ (79)
}
Dan di antara mereka ada yang buta huruf,
tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka
hanya menduga-duga. Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis
Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya, "Ini dari Allah,"
(dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.
Maka kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka
sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang mereka
kerjakan.
Waminhum ummiyyuna, di antara ahli kitab itu ada yang buta huruf,
menurut Mujahid. Al-ummiyyun adalah bentuk jamak dari lafaz ummiy
yang artinya orang yang buta huruf. Demikian pula yang dikatakan oleh Abul
Aliyah, Ar-Rabi', Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, serta banyak ulama lainnya. Makna
ini jelas terdapat di dalam firman-Nya, "La ya'lamunal kitaba," yakni
mereka tidak mengetahui apa yang terkandung di dalam kitab Taurat. Sehubungan
dengan pengertian lafaz ini disebutkan dalam sifat-sifat Nabi Saw. bahwa beliau
adalah seorang yang ummiy. Dikatakan demikian karena beliau adalah orang
yang tidak dapat menulis (yakni buta huruf), seperti yang disebutkan oleh ayat
lainnya, yaitu firman-Nya:
{وَمَا
كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا
لارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ}
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur'an) sesuatu kitab pun dan
kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu
pernah membaca dan menulis), niscaya akan ragulah orang yang
mengingkari(mu). (Al-'Ankabut: 48)
Nabi Saw. pernah bersabda:
"إِنَّا
أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
وَهَكَذَا"
Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami tidak dapat menulis, dan
kami tidak dapat menghitung; satu bulan itu adalah segini, segini, dan
segini (yakni tiga puluh hari) Dengan kata lain dalam ibadah kami, kami tidak memerlukan tulisan dan
hitungan untuk menentukan waktu-waktunya. Dan Allah Swt. telah berfirman:
{هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ}
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara
mereka. (Al-Jumu'ah: 2)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa orang-orang Arab menisbatkan orang yang tidak
dapat menulis dan membaca kepada ibunya, karena disamakan dengan keadaan ibunya
yang tidak dapat menulis, tetapi bukan dinisbatkan kepada ayahnya. Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas suatu pendapat yang berbeda dengan
pendapat ini, yaitu sebuah riwayat yang diceritakan oleh Abu Kuraib. Dia
menceritakan, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id ibnu Bisyr ibnu
Imarah, dari Abu Rauq, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: Dan di antara mereka ada yang buta huruf. (Al-Baqarah: 78)
Bahwa orang-orang ummi adalah suatu kaum yang tidak percaya kepada rasul yang
diutus oleh Allah Swt., tidak pula kepada kitab yang telah diturunkan oleh
Allah. Kemudian mereka menulis suatu kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu
mereka katakan kepada orang-orang yang bodoh dari kalangan mereka bahwa kitab
tersebut dari sisi Allah. Ibnu Jarir memberikan komentarnya, telah diberitakan bahwa mereka
(orang-orang Yahudi tersebut) menulis sebuah kitab dengan tangan mereka. Tetapi
setelah itu mereka disebut sebagai orang-orang yang ummi karena keingkaran
mereka kepada kitab-kitab Allah dan rasul-rasul-Nya. Kemudian Ibnu Jarir
mengatakan pula bahwa takwil ini merupakan takwil yang berbeda dengan apa yang
dikenal di dalam percakapan orang-orang Arab dan bahasanya yang telah baku di
kalangan mereka. Demikian itu karena istilah ummi artinya ditujukan
kepada orang yang tidak dapat membaca dan menulis (yakni buta huruf).
Menurut kami kesahihan sanad riwayat ini, dari Ibnu Abbas, masih perlu
dipertimbangkan. Firman Allah Swt., "Illa amaniyya," menurut Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu
Abbas disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah omongan-omongan belaka. Menurut Ad-Dahhak —juga dari Ibnu Abbas— illa amaniyya artinya hanya
omongan yang keluar dari mulut mereka secara dusta. Sedangkan menurut Mujahid,
amaniyya artinya dusta. Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Mujahid sehubungan
dengan firman-Nya: Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui
Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka. (Al-Baqarah: 78)
Segolongan orang dari kalangan orang-orang Yahudi yang tidak mengetahui Al-Kitab
(Taurat) barang sedikit pun —dan mereka berbincang-bincang hanya dengan dugaan
belaka tanpa dasar dari Kitabullah— mengatakan bahwa omongan bohong tersebut
adalah dari Al-Kitab. Padahal apa yang mereka katakan itu hanyalah omongan dusta
belaka yang mereka duga-duga. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Al-Hasan
Al-Basri.
Abul Aliyah, Ar-Rabi', dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya, "Illa amaniyya,'" bahwa apa yang mereka katakan itu hanyalah
angan-angan belaka yang mereka harapkan dari Allah, padahal mereka sama sekali
tidak berhak untuk mendapatkannya. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna illa
amaniyya, bahwa mereka berangan-angan dan mengatakan, "Kami adalah ahli
kitab," padahal kenyataannya mereka bukan termasuk ahli kitab. Menurut Ibnu Jarir, pendapat yang lebih mirip kepada kebenaran ialah apa yang
telah dikemukakan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas tadi. Mujahid mengatakan, sesungguhnya orang-orang ummi itu ialah kaum yang
disebutkan ciri-cirinya oleh Allah Swt., bahwa mereka tidak sedikit pun memahami
kitab yang telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa, tetapi mereka
membuat-buat kedustaan dan kebatilan serta kedustaan dan kepalsuan. Dengan
demikian, berarti makna tamanni dalam ayat ini ialah membuat-buat kedustaan dan
kepalsuan. Termasuk ke dalam pengertian ini, ada sebuah riwayat yang bersumber
dari sahabat Usman ibnu Affan r.a. Disebutkan bahwa ia pernah mengatakan, "Aku
tidak pernah bersyair, tidak pernah pula membuat kebatilan, serta aku tidak
pernah membuat kedustaan."
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan makna illa amaniyya
—dibaca dengan tasydid dan takhfif ialah illa tilawatan—
hanyalah bacaan belaka. Berdasarkan pengertian ini, berarti istisna yang
ada bersifat munqati. Para pendukung pendapat ini memperkuat pen-apatnya
berdalil kepada firman Allah Swt. yang mengatakan, "Melainkan apabila ia
hendak membaca, maka setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap bacaannya
itu," hingga akhir ayat 52 surat Al-Hajj (menurut orang yang mengartikan
lamanna dengan makna tala, yakni membaca).
Seorang penyair bernama Ka'b ibnu Malik mengatakan:
تمنى
كتاب الله أول ليلة ...
وآخره لاقى حمام المقادر
Dia membaca Kitabullah di permulaan
malam, dan pada penghujungnya dia menemui batasan takdirnya (batas
umurnya).
Penyair lainnya mengatakan pula:
تمنى
كتاب الله آخر ليلة ...
تمنّى داود الكتاب على رسل
Dia membaca Kitabullah di akhir malam
harinya dengan bacaan yang perlahan seperti bacaan Nabi Daud.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu
Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan firman-Nya: mereka tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat) kecuali
dongengan-dongengan bohong belaka, dan mereka hanya menduga-duga.
(Al-Baqarah: 78) Artinya, mereka tidak mengetahui apa yang terkandung di dalam
Kitabullah (Taurat) dan mereka menemukan kenabianmu hanya dengan menduga-duga
saja. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Wa in hum illa
yazunnuna” dan mereka hanya berdusta belaka. Qatadah, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' mengatakan bahwa mereka menyangka terhadap
Allah dengan sangkaan yang tidak benar.
********
Firman Allah Swt.:
{فَوَيْلٌ
لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ
عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا}
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab
dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya, "Ini dari Allah," (dengan
maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.
(Al-Baqarah: 79)
Mereka yang disebut dalam ayat ini adalah segolongan lain dari kalangan
orang-orang Yahudi. Mereka adalah orang-orang yang menyerukan kepada kesesatan
dengan cara pemalsuan dan berdusta kepada Allah, serta memakan harta orang lain
dengan cara yang batil. Al-wail artinya kebinasaan dan kehancuran, kalimat ini sudah dikenal
di dalam bahasa Arab. Menurut Sufyan As-Sauri, dari Ziad ibnu Fayyad yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Iyad mengatakan, "Al-wail adalah nanah
yang berada di dasar neraka Jahannam." Menurut Ata ibnu Yasar, al-wail artinya
nama sebuah lembah di dalam neraka Jahannam; seandainya sebuah gunung besar
dilemparkan ke dalamnya, niscaya akan meleleh.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، أَخْبَرَنَا
ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ دَرَّاج، عَنْ أَبِي
الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "وَيْلٌ وَادٍ فِي جَهَنَّمَ، يَهْوِي فِيهِ
الْكَافِرُ أَرْبَعِينَ خَرِيفًا قَبْلَ أَنْ يَبْلُغَ قَعْرَهُ".
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul
A’la, telah menceritakan kepada kami ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr
ibnul Haris, dari Darij, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a., dari
Rasulullah Saw. yang pernah bersabda: Wail adalah sebuah lembah di dalam
neraka Jahannam, orang kafir dicampakkan ke dalamnya selama empat puluh tahun
sebelum mencapai dasarnya.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Abdur Rahman ibnu Humaid,
dari Al-Hasan ibnu Musa, dari Ibnu Luhai'ah, dari Darij dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib, kami tidak mengenalnya kecuali
hanya melalui hadis Ibnu Luhai'ah. Menurut kami, hadis ini —seperti yang Anda lihat— tidak hanya diketengahkan
oleh Ibnu Luhai'ah, dan ternyata musibahnya menimpa orang-orang sesudahnya,
mengingat penilaian marfu' hadis ini merupakan hal yang munkar (diingkari).
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, telah
menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdus Salam, telah menceritakan kepada
kami Saleh Al-Qusyairi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Jarir, dari
Hammad ibnu Salamah, dari Abdul Himid ibnu Ja'far, dari Kinanah Al-Adawi, dari
Usman ibnu Affan ra dari Rasulullah Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya:
Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan
mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang mereka
kerjakan. (Al-Baqarah: 79); Rasulullah Saw. bersabda:
الْوَيْلُ
جَبَلٌ فِي النَّارِ
Al-Wail adalah nama sebuah bukit di dalam neraka.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan tingkah laku orang-orang Yahudi, karena
mereka berani mengubah isi kitab Taurat dengan menambahkan ke dalamnya apa yang
mereka sukai dan menghapus apa yang tidak mereka sukai, serta mereka menghapus
nama Nabi Muhammad Saw. dari kitab Taurat. Maka Allah murka terhadap mereka,
mengingat merekalah penyebab dari terhapusnya sebagian kitab Taurat. Untuk itu
Allah Swt. berfirman: Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka karena apa
yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka
karena apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 79)
Hadis ini pun dinilai garib, bahkan sangat garib.
Disebutkan dari Ibnu Abbas, bahwa al-wail artinya penderitaan azab.
Al-Khalil ibnu Ahmad mengatakan, al-wail adalah kejahatan yang sangat
keras. Menurut Imam Sibawaih, al-wail ditujukan kepada orang yang
terjerumus ke dalam kebinasaan, sedangkan lafaz waihun ditujukan kepada
orang yang hampir terjerumus ke dalam kebinasaan. Al-Asmu'i mengatakan, al-wail artinya ungkapan penderitaan, sedangkan
al-waih ungkapan belas kasihan. Tetapi selain Al-Asmu'i mengatakan bahwa al-wail
artinya kesedihan. Imam Khalil mengatakan sehubungan dengan makna wail, waih,
waisy, waih, waik, dan waib; bahwa di antara mereka ada orang yang membedakan
makna masing-masing. Sebagian ahli nahwu mengatakan, sesungguhnya lafaz al-wail
boleh dijadikan mubtada, sedangkan ia sendiri adalah isim nakirah; hal ini tiada
lain karena di dalamnya terkandung makna doa. Di antara ahli nahwu ada yang
memperbolehkannya dibaca nasab dengan makna al-zimhum wailan, yakni
semoga kecelakaan tetap atas diri mereka; tetapi menurut kami tidak ada seorang
pun yang membacanya demikian (nasab).
Diriwayatkan oleh Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a., sehubungan dengan tafsir
firman-Nya: Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis
oleh tangan mereka sendiri. (Al-Baqarah: 79) Menurut Ibnu Abbas, mereka
adalah para rahib Yahudi. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id, dari Qatadah,
bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi. Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Alqamah yang mengatakan
bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas r.a. tentang makna firman-Nya:
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan
tangan mereka sendiri. (Al-Baqarah: 79) Ibnu Abbas r.a. mengatakan, ayat ini
diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik dan ahli kitab. As-Saddi pernah mengatakan bahwa dahulu segolongan orang-orang Yahudi menulis
sebuah kitab dari kalangan mereka sendiri, lalu mereka menjualnya kepada
orang-orang Arab dan menceritakan kepada mereka bahwa kitab tersebut dari Allah;
mereka mempertukarkannya dengan harga yang sedikit.
Az-Zuhri meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Ubaidullah ibnu Abdullah,
dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Hai kaum
muslim, mengapa kalian bertanya kepada ahli kitab tentang sesuatu, sedangkan
Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya mengandung kisah-kisah dari Allah.
Kalian membacanya sebagai berita hangat yang tak kunjung pudar. Di dalamnya
Allah menceritakan kepada kalian bahwa sesungguhnya kaum ahli kitab telah
mengubah dan mengganti Kitabullah yang ada pada mereka, lalu mereka menulis
sebuah kitab dengan tangan mereka sendiri, kemudian mereka katakan, "Ini dari
sisi Allah," dengan tujuan untuk menukarnya dengan harga yang sedikit. Bukankah
ilmu yang telah sampai kepada kalian mencegah kalian untuk bertanya-tanya kepada
mereka? Tidak, demi Allah, kami belum pernah melihat seseorang dari kalangan
mereka menanyakan kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian. Asar ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui berbagai jalur dari Az-Zuhri. Al-Hasan Al-Basri mengatakan, yang dimaksud dengan harga yang sedikit ialah
dunia berikut segala isinya.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَوَيْلٌ
لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا
يَكْسِبُونَ}
Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh
tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang
mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 79)
Artinya, kecelakaan bagi mereka karena apa yang mereka tulis dengan tangan
mereka sendiri berupa kedustaan, kebohongan, serta kepalsuan; dan kecelakaan
bagi mereka karena apa yang biasa mereka makan, yaitu riba. Seperti yang
dikatakan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas r.a., sehubungan dengan firman-Nya,
"Fawailul lahum" bahwa azab menimpa mereka yang menulis kedustaan
tersebut dengan tangan mereka. Wawailul lahum mimma yaksibun, dan kecelakaan yang besarlah bagi
mereka disebabkan apa yang mereka upayakan, yakni apa yang biasa dimakan oleh
orang-orang yang rendah dan yang sama dengannya.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 78-79"
Posting Komentar