Al-baqoroh Ayat 26-27
Minggu, 13 Mei 2018
Add Comment
{إِنَّ
اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا
فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ
وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلا
يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلا
الْفَاسِقِينَ (26) الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ
وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ
أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (27) }
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat
perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang
yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka,
tetapi mereka yang kafir mengatakan, "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk
perumpamaan?'' Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan
dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak
ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang
yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa
yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat
kerusakan di muka bumi. Mereka itu-lah orang-orang yang rugi.
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu
Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah
sahabat, bahwa ketika Allah membuat kedua perumpamaan ini bagi orang-orang
munafik, yakni firman-Nya:
{مَثَلُهُمْ
كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا}
{أَوْ
كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ}
Yakni semuanya terdiri atas tiga ayat. Maka orang-orang munafik berkata bahwa
Allah Maha Tinggi lagi Mahaagung untuk membuat perumpamaan-perumpamaan ini. Maka
Allah menurunkan ayat ini (yakni Al-Baqarah ayat 26-27) sampai dengan
firman-Nya:
{هُمُ
الْخَاسِرُونَ}
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah; ketika Allah menyebutkan
laba-laba dan lalat dalam perumpamaan yang dibuat-Nya, maka orang-orang musyrik
berkata, "Apa hubungannya laba-laba dan lalat disebutkan?" Lalu Allah menurunkan
firman-Nya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk
atau yang lebih rendah dari itu. (Al-Baqarah: 26)
Sa'id meriwayatkan dari Qatadah, bahwa sesungguhnya Allah tiada segan —demi
perkara yang hak— untuk menyebutkan sesuatu hal, baik yang kecil maupun yang
besar. Sesungguhnya ketika Allah menyebutkan di dalam Kitab-Nya mengenai lalat
dan laba-laba, lalu orang-orang yang sesat mengatakan, "Apakah yang dimaksud
oleh Allah menyebut hal ini?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya
Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari
itu. (Al-Baqarah: 26)
Menurut kami, dalam riwayat pertama —dari Qatadah— mengandung isyarat bahwa
ayat ini termasuk ayat Makkiyyah, tetapi sebenarnya tidaklah demikian (yakni
Madaniyyah). Bahkan riwayat Sa'id yang dari Qatadah lebih mendekati kepada
kebenaran. Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid semisal dengan riwayat kedua yang dari
Qatadah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Al-Hasan dan Ismail
ibnu Abu Khalid hal yang semisal dengan perkataan As-Saddi dan Qatadah.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan
ayat ini, bahwa hal ini merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk
menggambarkan dunia, yaitu nyamuk tetap hidup selagi dalam keadaan lapar; tetapi
bila telah gemuk (kekenyangan), maka ia mati. Demikian pula perumpamaan kaum
yang dibuatkan perumpamaannya oleh Allah di dalam Al-Qur'an dengan perumpamaan
ini. Dengan kata lain, bila mereka kekenyangan karena berlimpah ruah dengan
harta duniawi, maka pada saat itulah Allah mengazab mereka. Kemudian Ar-Rabi'
ibnu Anas membacakan firman-Nya:
{فَلَمَّا
نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ
شَيْءٍ}
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada
mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, hingga
akhir ayat. (Al-An'am: 44)
Demikian riwayat Ibnu Jarir. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu
Abu Hatim melalui hadis Abu Ja'far, dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul
Aliyah. Demikian perbedaan pendapat di kalangan mereka mengenai Asbabun Nuzul ayat
ini, sedangkan Ibnu Jarir sendiri memilih riwayat yang dikemukakan oleh
As-Saddi; mengingat riwayatnya lebih menyentuh surat, maka lebih cocok.
Makna ayat, Allah memberitakan bahwa Dia tidak merasa malu —yakni tidak segan
atau tidak takut— untuk membuat perumpamaan apa pun, baik perumpamaan yang kecil
ataupun yang besar. Huruf ma pada lafaz masalan ma menunjukkan makna taqlil
(sedikit atau terkecil), dan lafaz ba'udah di-nasab-kan sebagai badal.
Perihal makna ma di sini sama dengan ucapan seseorang la-adriban-na
darban ma, artinya aku benar-benar akan memukul dengan suatu pukulan.
Pengertiannya dapat diartikan dengan pukulan yang paling ringan. Atau huruf
ma di sini dianggap sebagai ma nakirah mausufah, yakni huruf
ma diartikan dengan penjelasan lafaz ba'udah (nyamuk).
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa huruf ma di sini
adalah ma mausulah (kata penghubung), sedangkan lafaz ba'udah
di-i'rab-kan sesuai dengan kedudukannya. Selanjutnya Ibnu Jarir
mengatakan bahwa hal seperti ini terjadi dalam percakapan orang-orang Arab,
yakni mereka biasa meng-i'rab-kan silah dari huruf ma dan
man sesuai dengan kedudukan i'rab keduanya. Mengingat keduanya adakalanya
berupa ma'rifat, adakalanya pula berupa nakirah. Sebagai contohnya ialah apa
yang dikatakan oleh Hasan ibnu Sabit dalam salah satu bait syairnya, yaitu:
وَكَفَى
بِنَا فَضْلا عَلَى مَنْ غَيْرِنَا ... حُب
النَّبِيِّ
مُحَمَّدٍ إيَّانَا
Cukuplah keutamaan bagi kami yang
berada di atas selain kami hanya berkat Nabi Muhammad yang keturunannya
tergabung kepada kami.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa lafaz ba'udah dapat di-nasab-kan
karena membuang harakat jar-nya. Bentuk kalimat secara utuh menjadi
seperti berikut: Innallaha la yastahyi ay-yadriba masalam ma baina ba'udatin
ila mafauqaha, yakni sesungguhnya Allah tiada segan untuk membuat
perumpamaan apa pun mulai dari seekor nyamuk hingga yang lebih dari itu
kecilnya. Pendapat inilah yang dipilih oleh Al-Kisai dan Al-Farra.
Ad-Dahhak dan Ibrahim ibnu Ablah membaca lafaz ba'udah dengan bacaan
rafa' (ba'udatun). Ibnu Jinni memberikan komentarnya bahwa dengan demikian
berarti lafaz ba'udatun berkedudukan sebagai silah-nya ma,
sedangkan damir yang kembali kepada ma dibuang. Perihalnya sama dengan
i'rab yang terdapat di dalam firman-Nya:
{تَمَامًا
عَلَى الَّذِي أَحْسَنَ}
Untuk menyempurnakan (nikmat Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan.
(Al-An'am: 154)
Bentuk Lengkapnya ialah 'alal lazi huwa ahsanu.
Imam Sibawaih telah meriwayatkan kalimat yang mengatakan ma anal lazi
qailun laka syai-an (Aku bukanlah orang yang pernah mengatakan sesuatu
mengenai dirimu). bentuk Lengkapnya ialah bil lazi huwa qailun laka
syaian.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَمَا
فَوْقَهَا}
atau yang lebih rendah dari itu. (Al-Baqarah: 26)
Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat. Pendapat pertama
mengatakan, yang dimaksud ialah lebih kecil dan lebih rendah darinya. Perihalnya
sama dengan seorang lelaki jika disifati dengan karakter yang tercela, yakni
kikir. Lalu ada pendengar yang menjawabnya, "Memang benar, dia lebih rendah dari
apa yang digambarkannya." Demikian pendapat Al-Kisai dan Abu Ubaid. Ar-Razi dan
kebanyakan ulama ahli tahqiq mengatakan bahwa di dalam hadis disebutkan:
"لَوْ
أَنَّ الدُّنْيَا تَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا
مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ"
Seandainya dunia ini berbobot di sisi Allah sama dengan sayap nyamuk,
niscaya dia tidak akan memberi minum seteguk air pun darinya kepada orang
kafir.
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa makna fama fauqaha ialah yang
lebih besar dari (nyamuk) itu, atas dasar kriteria bahwa tiada sesuatu pun yang
lebih rendah dan lebih kecil daripada nyamuk. Ini adalah pendapat Qatadah ibnu
Di'amah dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadis riwayat Imam Muslim melalui Siti
Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَا
مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا
دَرَجَةٌ وَمُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ"
Tiada seorang muslim pun yang tertusuk oleh sebuah duri hingga yang lebih
darinya melainkan dicatatkan baginya karena musibah tersebut suatu derajat
(pahala), dan dihapuskan darinya karena musibah itu suatu dosa.
Melalui ayat ini Allah memberitakan bahwa Dia tidak pernah menganggap remeh
sesuatu pun untuk dijadikan sebagai misal (perumpamaan), sekalipun sesuatu itu
hina lagi kecil seperti nyamuk; sebagaimana Dia tidak segan-segan menciptakan
makhluk yang kecil itu, Dia tidak segan-segan pula membuat perumpamaan dengan
makhluk kecil itu, sebagaimana membuat perumpamaan memakai lalat dan laba-laba,
seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:
{يَا
أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ
مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ
يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ
وَالْمَطْلُوبُ}
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah oleh kalian
perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kalian seru selain Allah sekali-kali
tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk
menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka
dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amal lemahlah yang menyembah dan amal
lemah (pulalah) yang disembah. (Al-Hajj': 73)
{مَثَلُ
الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ
اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ
كَانُوا يَعْلَمُونَ}
Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah
adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling
lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (Al-Ankabut: 41)
Allah Swt. telah berfirman:
{أَلَمْ
تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ
أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ * تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ
بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ * وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ
مِنْ فَوْقِ الأرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ * يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا
بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ
اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ}
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat
yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh, dan cabangnya (menjulang) ke
langit; pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.
Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu
ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah
dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak)
sedikit pun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang
teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan
orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (Ibrahim:
24-27)
{ضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلا عَبْدًا مَمْلُوكًا لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang
tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun. (An-Nahl: 75)
Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَهُوَ
كَلٌّ عَلَى مَوْلاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ [هَلْ يَسْتَوِي
هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ] }
Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: Dua orang lelaki, yang seorang bisu
tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke
mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu
kebajikan. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan?
(An-Nahl: 76)
Sama halnya dengan firman-Nya:
{ضَرَبَ
لَكُمْ مَثَلا مِنْ أَنْفُسِكُمْ هَلْ لَكُمْ مِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ
شُرَكَاءَ فِي مَا رَزَقْنَاكُمْ}
Dia membuat perumpamaan untuk kalian dari diri kalian sendiri. Apakah ada
di antara hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kanan kalian, sekutu bagi
kalian dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepada kalian.
(Ar-Rum: 28)
Allah Swt. telah berfirman:
{ضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلا رَجُلا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ [وَرَجُلا سَلَمًا لِرَجُلٍ]
}
Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki
oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan. (Az-Zumar:
29)
{وَتِلْكَ
الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلا
الْعَالِمُونَ}
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (Al-Ankabut 43)
Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak perumpamaan. Sebagian ulama Salaf
mengatakan, "Apabila aku mendengar perumpamaan di dalam Al-Qur'an, lalu aku
tidak memahaminya, maka aku menangisi diriku sendiri, karena Allah Swt. telah
berfirman: 'Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan
tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (Al-Ankabut: 43)
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah
tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari
itu. (Al-Baqarah: 26) Maksudnya, semua perumpamaan —baik yang kecil maupun
yang besar— orang-orang mukmin beriman kepadanya dan mereka mengetahui bahwa hal
itu merupakan perkara hak dari Tuhan mereka, dan melaluinya Allah memberi
petunjuk kepada mereka.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Adapun orang-orang
yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan
mereka. (Al-Baqarah: 26) Menurutnya, mereka mengetahui dengan yakin bahwa
perumpamaan tersebut adalah Kalamullah Yang Maha Pemurah dan datang dari
sisi-Nya. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan serta
Ar-Rabi' ibnu Anas.
Abul Aliyah mengatakan, makna firman-Nya, "Adapun orang-orang yang beriman,
maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka." Yang dimaksud
ialah perumpamaan ini. Tetapi mereka yang kafir mengatakan, "Apakah maksud
Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? (Al-Baqarah: 26) Perihalnya sama
dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
{وَمَا
جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلا مَلائِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلا
فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا وَلا يَرْتَابَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُونَ وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ
وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلا كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ
مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلا
هُوَ}
Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan
tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi
orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan
supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi
Al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang
di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan), "Apakah yang
dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah
Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu
melainkan Dia sendiri. (Al-Muddatstsir: 31)
Demikian pula dalam ayat ini (yakni Al-Baqarah: 26):
{يُضِلُّ
بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلا
الْفَاسِقِينَ}
Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan
perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang
disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (Al-Baqarah: 26)
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini, dari Abu Malik dan
dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud dan dari
sejumlah sahabat, yang dimaksud dengan pe-gertian yudillu bihi kasiran
adalah orang-orang munafik, sedangkan pengertian yahdi bihi kasiran
adalah orang-orang mukmin. Dengan demikian, berarti makin bertambahlah kesesatan
orang-orang munafik tersebut di samping kesesatan mereka yang telah ada; karena
mereka mendustakan apa yang mereka ketahui sebagai perkara yang hak dan yakin,
yaitu mendustakan perumpamaan yang telah dibuat oleh Allah untuk menggambarkan
keadaan mereka sendiri. Ketika perumpamaan itu ternyata sesuai dengan keadaan
mereka, sedangkan mereka tidak mau percaya, maka hal itulah yang dimaksud dengan
penyesatan Allah terhadap mereka melalui perumpamaan ini. Melalui perumpamaan
ini Allah memberi petunjuk kepada banyak orang dari kalangan ahli iman dan
mereka yang mempercayainya. Maka Allah menambahkan petunjuk kepada mereka di
samping petunjuk yang telah ada pada diri mereka, dan bertambah pula iman mereka
karena mereka percaya kepada apa yang mereka ketahui sebagai perkara yang hak
dan yakin. Mengingat apa yang dibuat oleh Allah sebagai perumpamaan ternyata
sesuai dengan kenyataan dan mereka mengakui kebenarannya, maka hal inilah yang
dimaksud sebagai hidayah dari Allah buat mereka melalui perumpamaan
tersebut.
Firman Allah Swt., "Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali
orang-orang yang fasik" (Al-Baqarah: 26). Menurut As-Saddi, mereka adalah
orang-orang munafik. Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Wama yudillu
bihi illal fasiqin" bahwa mereka adalah ahli kemunafikan. Hal yang sama
dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ibnu Juraij mengatakan dari Mujahid, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya,
"Wama yudillu bihi illal fasiqin.'"' Ibnu Abbas mengatakan, "Orang-orang
kafir mengetahui adanya Allah, tetapi mereka mengingkari-Nya." Qatadah
mengatakan sehubungan makna firman-Nya, "Wama yudillu bihi illal
fasiqin," bahwa mereka pada mulanya fasik, kemudian Allah menyesatkan mereka
di samping kefasikannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ishaq
ibnu Sulaiman, dari Abu Sinan, dari Amr ibnu Murrah, dari Mus'ab ibnu Sa'd, dari
Sa'd, yang dimaksud dengan kebanyakan orang dalam firman-Nya, "Yudillu bihi
kasiran," adalah orang-orang Khawarij. Syu'bah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Mus'ab ibnu Sa'd yang
menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada ayahnya tentang makna firman-Nya:
(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu
teguh. (Al-Baqarah: 27), sampai akhir ayat. Ayahnya menjawab bahwa mereka
adalah golongan Haruriyyah (Khawarij).
Sanad riwayat ini sekalipun sahih dari Sa'd ibnu Abu Waqqas r.a., tetapi
merupakan tafsir dari makna, bukan berarti makna yang dimaksud oleh ayat
me-nas-kan orang-orang Khawarij yang memberontak terhadap Khalifah Ali di
Nahrawan; karena sesungguhnya mereka masih belum ada pada saat ayat diturunkan,
melainkan mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sifat-sifatnya
digambarkan oleh Al-Qur'an.
Mereka dinamakan Khawarij karena membangkang, tidak mau taat kepada imam dan
tidak mau menegakkan syariat Islam. Sedangkan pengertian fasik menurut istilah
bahasa ialah sama dengannya, yaitu membangkang dan tidak mau taat. Orang-orang
Arab mengatakan, "Fasaqatir ratbah" bila buah kurma terkelupas dari
kulitnya. Karena itu, tikus dinamakan fuwaisiqah karena ia keluar dari liangnya
untuk mengadakan pengrusakan. Di dalam hadis Sahihain dari Siti Aisyah r.a.
dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"خَمْسُ
فَوَاسَقَ يُقتلن فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْغُرَابُ، وَالْحِدَأَةُ،
وَالْعَقْرَبُ، وَالْفَأْرَةُ، وَالْكَلْبُ العقور"
Lima jenis binatang perusak yang boleh dibunuh —baik di tanah halal maupun
di tanah haram— yaitu burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus, dan
anjing gila.
Makna fasik mencakup orang kafir dan orang durhaka, tetapi kefasikan orang
kafir lebih kuat dan lebih parah. Makna yang dimaksud dengan istilah 'fasik'
dalam ayat ini ialah orang kafir. Sebagai dalilnya ialah karena mereka disifati
dalam ayat berikutnya dengan sifat berikut, yaitu:
{الَّذِينَ
يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ
اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ أُولَئِكَ هُمُ
الْخَاسِرُونَ}
Orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh,
dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk
menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang
yang merugi. (Al-Baqarah: 27)
Sifat-sifat tersebut merupakan ciri khas orang-orang kafir yang berbeda
dengan sifat-sifat orang mukmin, sebagaimana dijelaskan di dalam ayat
lainnya:
{أَفَمَنْ
يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنزلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى
إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ * الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ
وَلا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ * وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ
أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ
الْحِسَابِ}
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal
saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji
Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa
yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan
takut kepada hisab yang buruk. (Ar-Ra'd: 19-21)
Seterusnya hingga sampai pada firman-Nya:
{وَالَّذِينَ
يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ
اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ
وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ}
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan
memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan
kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka
tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Ar-Ra'd: 25)
Ahli tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan makna perjanjian yang
digambarkan, bahwa orang-orang fasik tersebut telah merusaknya. Sebagian dari
kalangan ahli tafsir mengatakan, perjanjian tersebut adalah wasiat Allah kepada
makhluk-Nya, perintah-Nya kepada mereka agar taat kepada apa-apa yang
diperintahkan-Nya, dan larangan-Nya kepada mereka agar jangan berbuat durhaka
dengan mengerjakan hal-hal yang telah dilarang-Nya. Semua itu disebutkan di
dalam kitab-kitab-Nya, juga disampaikan kepada mereka melalui lisan
Rasul-rasul-Nya. Pelanggaran yang mereka lakukan ialah karena tidak mengamalkan
hal tersebut.
Ahli tafsir lain mengatakan bahkan ayat ini berkenaan dengan orang-orang
kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang munafik. Sedangkan yang dimaksud
dengan perjanjian Allah yang dirusak oleh mereka ialah perjanjian yang diambil
oleh Allah atas diri mereka di dalam kitab Taurat, yaitu harus mengamalkan
kandungan Taurat dan mengikuti Nabi Muhammad bila telah diutus dan percaya
kepada kitab yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya. Mereka merusak hal
tersebut dengan menentangnya sesudah mereka mengetahui hakikatnya, mengingkari
serta menyembunyikan pengetahuan mengenai hal tersebut dari orang-orang, padahal
Allah telah memberikan janji kepada mereka bahwa mereka harus menjelaskan kepada
orang-orang dan tidak boleh menyembunyikannya. Selanjutnya Allah memberitakan
bahwa ternyata mereka menyembunyikan hal tersebut di belakang punggungnya dan
menukarnya dengan harga yang sedikit. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu
Jarir, hal ini merupakan pendapat Muqatil ibnu Hayyan.
Ahli tafsir lainnya mengatakan, yang dimaksud oleh ayat ini ialah semua orang
kafir, orang musyrik, dan orang munafik. Sedangkan janji Allah kepada mereka
yang berkaitan dengan masalah menauhidkan (mengesakan)-Nya ialah segala sesuatu
yang telah diciptakan bagi mereka berupa dalil-dalil (tanda-tanda) yang semuanya
menunjukkan kepada sifat Rububiyyah Allah Swt. Janji Allah kepada mereka yang
menyangkut masalah perintah dan larangan-Nya ialah semua hal yang dijadikan
hujah oleh para rasul, yaitu berupa mukjizat-mukjizat yang tiada seorang manusia
pun selain mereka dapat membuat hal yang semisal dengannya. Mukjizat-mukjizat
tersebut menyaksikan akan kebenaran kerasulan mereka.
Mereka mengatakan bahwa pengrusakan janji yang dilakukan oleh mereka ialah
karena mereka tidak mau mengakui hal-hal yang telah jelas kebenarannya di mata
mereka melalui dalil-dalilnya, dan mereka mendustakan para rasul serta
kitab-kitab, padahal mereka mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepada para
rasul itu adalah perkara yang hak. Hal yang semisal diriwayatkan pula dari Muqatil ibnu Hayyan, pendapat ini
cukup baik; dan Az-Zamakhsyari memihak kepada pendapat tersebut.
Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa jika ada yang mengatakan, "Apakah yang
dimaksud dengan janji Allah?" Jawabannya, "Hal itu merupakan sesuatu yang telah
dipancangkan di dalam akal mereka berupa hujah yang menunjukkan ajaran tauhid.
Jadi, seakan-akan Allah telah memerintahkan dan mewasiatkan kepada mereka dan
mengikatkan hal itu kepada mereka sebagai janji." Pengertian inilah yang
terkandung di dalam firman-Nya:
{وَأَشْهَدَهُمْ
عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى}
Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman),
"Bukankah Aku ini Tuhan kalian!" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan
kami)." (Al-A'raf: 172)
Yaitu ketika Allah mengambil janji terhadap diri mereka dari kitab-kitab yang
diturunkan kepada mereka. Perihalnya sama dengan makna yang ada di dalam
firman-Nya:
{وَأَوْفُوا
بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ}
Dan penuhilah janji kalian kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada
kalian. (Al-Baqarah: 40)
Ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa janji yang disebutkan oleh Allah Swt.
ialah janji yang diambil oleh Allah terhadap mereka di saat Allah mengeluarkan
mereka dari sulbi Adam. Hal ini digambarkan melalui firman-Nya:
{وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ
عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى [شَهِدْنَا]
}
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Al-A'raf: 172)
Sedangkan yang dimaksud dengan pengrusakan mereka terhadap janji tersebut
ialah karena mereka tidak memenuhinya. Demikian pula menurut riwayat dari
Muqatil ibnu Hayyan; semua pendapat di atas diketengahkan oleh Ibnu Jarir di
dalam kitab tafsirnya.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah
sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang melanggar
perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang
diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan
di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 27)
Menurutnya ada enam pekerti orang-orang munafik. Apabila mereka mengalami
kemenangan atas semua orang, maka mereka menampakkan keenam pekerti tersebut,
yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila berjanji, ingkar akan janjinya; apabila
dipercaya, khianat; mereka melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu
teguh, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah agar dihubungkan, dan suka
menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Tetapi jika mereka dalam keadaan kalah, mereka hanya menampakkan ketiga
pekerti saja, yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila berjanji, ingkar; dan
apabila dipercaya, khianat.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas. As-Saddi di dalam kitab
tafsirnya mengatakan berikut sanadnya sehubungan dengan makna firman-Nya:
(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu
teguh. (Al-Baqarah: 27) Disebutkan bahwa hal yang dimaksud ialah perjanjian
yang diberikan kepada mereka di dalam Al-Qur'an, lalu mereka mengakuinya,
kemudian kafir dan merusaknya.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَيَقْطَعُونَ
مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ}
dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk
menghubungkannya. (Al-Baqarah: 27)
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah silaturahmi dan hubungan
kekerabatan, seperti yang ditafsirkan oleh Qatadah dalam firman-Nya:
{فَهَلْ
عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ وَتُقَطِّعُوا
أَرْحَامَكُمْ}
Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di
muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan (Muhammad: 22)
Pendapatnya itu didukung oleh Ibnu Jarir dan dinilainya kuat.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud lebih umum dari itu, yakni
mencakup semua hal yang diperintahkan oleh Allah menghubungkan dan
mengerjakannya, kemudian mereka memutuskan dan meninggalkannya. Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka
itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 27) bahwa hal itu terjadi di
akhirat. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman Allah
Swt:
{أُولَئِكَ
لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ}
Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman
yang buruk (Jahannam). (Ar-Ra'd: 25)
Menurut Dahhak, dari Ibnu Abbas, segala sesuatu yang dinisbatkan oleh Allah
kepada selain pemeluk Islam berupa suatu sebutan, misalnya merugi; maka
sesungguhnya yang dimaksud hanyalah kekufuran. Sedangkan hal serupa yang
dinisbatkan kepada pemeluk Islam, makna yang dimaksud hanyalah dosa.
Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Ulaika humul
khasirun" bahwa lafaz al-khasirun adalah bentuk jamak dari lafaz khasirun;
mereka adalah orang-orang yang mengurangi bagian keberuntungan mereka dari
rahmat Allah karena perbuatan maksiat mereka. Perihalnya sama dengan seorang
lelaki yang mengalami kerugian dalam perniagaan, misalnya sebagian modalnya
amblas karena rugi dalam jual beli. Demikian pula halnya orang munafik dan orang
kafir, keduanya beroleh kerugian karena terhalang tidak mendapat rahmat Allah
yang diciptakan-Nya buat hamba-hamba-Nya di hari kiamat, padahal saat itu yang
paling mereka perlukan adalah rahmat Allah Swt. Termasuk ke dalam pengertian
lafaz ini bila dikatakan khasirar rajulu (lelaki itu mengalami kerugian),
bentuk masdar-nya adalah khusran, khusranan, dan khisaran, sebagaimana dikatakan
Jarir ibnu Atiyyah:
إِنَّ
سَلِيطًا فِي الخَسَارِ إنَّه ... أولادُ قَومٍ
خُلقُوا أقِنَّه
Sesungguhnya si Sulait, kerugian yang
dialaminya ialah karena ia dari anak-anak suatu kaum yang sejak lahir
ditakdirkan menjadi hamba sahaya.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-baqoroh Ayat 26-27"
Posting Komentar