Delapan Asnaf Penerima Zakat
Rabu, 09 Mei 2018
Add Comment
Zakat
adalah alat yang pertama yang merupakan pungutan atau pajak wajib yang
dikumpulkan oleh negara Islam dari si kaya (muzaki) dan didistribusikan atau
dikeluarkan pada si miskin (mustahik).
Allah
SWT telah menetukan Mustahik zakat atau orang yang berhak menerima zakat kepada delapan golongan, yakni fakir, miskin,
‘amil (petugas zakat), muallāf
qulubuhum (orang yang baru masuk islam), riqāb
(budak yang menebus diri agar merdeka), gārim
(orang yang berhutang), fi sābilillāh
(orang yang berjihad di jalan allah) dan ibnu sābil
(orang yang dalam perjalanan). Ketentuan ini tersebut dalam surat At-Taubah
ayat: 60:
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ
قُلُوبُهُمْ وَفِي الرقاب وَالْغَارِمِينَ
وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang
berutang, untuk jalan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana. ”(QS.
At-Taubah : 60).
Berikut ini akan diuraikan bagaimana
batasan dari masing-masing mustahik zakat tersebut, dan bagaimana
pendistribusian dana zakat kepada masing-masing mustahik.
A. Fakir
Yang dimaksud dengan fakir ialah seseorang yang tidak memiliki harta serta kemampuan untuk mencari penghasilan yang halal untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian maupun tempat tinggalnya. Jika ia memiliki makanan untuk sehari-semalam dan pakaian yang memadai, maka ia bukan fakir tetapi miskin. Dan apabila ia memiliki sehelai gamis (baju panjang) tetapi tidak memiliki penutup kepala, sepatu dan celana, sedang nilai gamisnya itu tidak mencakup harga semua itu, sekadar yang layak bagi kaum fakir sesamanya maka ia disebut sebagai fakir. sebab dalam keadaan seperti itu, ia tidak cukup memiliki apa yang patut baginya dan tidak memiliki kemampuan untuknya. Jadi, untuk dapat dianggap sebagai fakir, tidak harus ia tidak memiliki sesuatu selain penutup auratnya saja. Sebab, persyaratan seperti ini adalah ekstrem. Disamping itu, pada umumnya, tidak ada orang seperti itu.
Demikian pula seseorang yang mempunyai kebiasaan meminta-minta, tetap dianggap fakir. Kebiasaanya itu tidak dapat dianggap sebagai penghasilan yang menegeluarkanya dari kelompok fakir yang berhak menerima zakat. Lain halnya apabila ia mempunyai kemampuan untuk berpenghasilan secara wajar. Dalam hal ini, kemampuannya itu membuatnya tidak tergolong dalam kelompok fakir.
Tetapi, apabila kemampuannya itu bergantung pada tersedianya suatu alat, sedangkan ia tidak memilikinya, maka ia tetap dianggap sebagai fakir. Boleh dibelikan alat tersebut untunknnya mendapatkan penghasilan dari uang zakat. Demikian pula apabila ia hanya mampu berpenghasilan dari suatu pekerjaan yang tidak layak bagi kedudukanya ataupun kehormatan orang seperti dia, maka tetap ia dianggap sebagai seorang fakir. Dan sekiranya ia seorang yang sedang menuntut ilmu, sedangkan upayanya untuk mencari nafkah dapat menghalanginya untuk menuntut ilmu, maka ia dianggap fakir, dan tidak dianggap memiliki kemampuan untuk berusaha. Tetapi seandainya ia seorang abid (orang yang banyak beribadat) sedangkan upayanya mencari nafkah menghalanginya dari tugas-tugas ibadat serta wirid-wiridnya, maka ia diharuskan tetap bekerja untuk mencukupi nafkahnya sebab yang demikian itu lebih penting. Sabda Nabi saw:
طَلَبُ
الحَلَالِ فَرِيْضَةٌ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ
Artinya: Mencari penghasilan
halal adalah fardhu (wajib) setelah ibadah yang fardhu.
Telah
berkata Umar bin Khatab r.a, “usaha mencari nafkah walaupun dari sesuatu
yang syubhat, lebih baik dari pada meminta-minta.” Dan
seandainya keperluan hidupnya tercukupi oleh pemberian ayahnya atau orang lain
dari keluarganya yang wajib memberinya, maka ia tidak dianggap fakir. Jadi
diantara pihak yang dapat menerima zakat dari kuota fakir, yaitu orang-orang
yang memenuhi syarat membutuhkan. Maksudnya, tidak mempunyai pemasukan atau
harta, atau tidak mempunyai keluarga yang menanggung kebutuhannya. Orang-orang
tersebut adalah: anak yatim, anak pungut, janda, orang tua renta, jompo, orang
sakit, orang cacat jasmani, orang yang berpemasukan rendah, pelajar, para
pengagguran, tahanan, orang-orang yang kehilangan keluarga, dan tawanan.Orang fakir berhak mendapat zakat sesuai kebutuhan pokoknya selama setahun, karena zakat berulang setiap tahun, patokan kebutuhn pokok yang akan dipenuhi adalah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan pokok lainya dalam batas-batas kewajaran, tanpa berlebih-lebihan atau terlalu irit. Diberikan zakat kepadanya sekedar yang dapat mengeluarkanya dari kefakiran kepada kecukupan dan dari senantiasa berhajat untuk memperoleh keperluan terus-menerus dari orang lain.
B. Miskin
Miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan atau usaha tapi penghasilanya hanya mampu mencukupi sebagian kebutuhan hidup diri maupun keluarganya. Adakalanya ia memiliki seribu dirham sedangkan tergolong miskin, tetapi adakalanya ia hanya memiliki sebuah kapak dan tali sedangkan ia tergolong orang yang bercukupan. Gubuk yang dimilikinya serta pakaian yang menutupinya sekadar yang layak baginya, tidak mencabut sifat miskin darinya. Demikian pula parabot rumahnya. Yakni yang benar-benar diperlukan dan yang sekedar layak baginya. Juga kitab-kitab fikih yang dimilikinya. Semua itu tidak meniadakan sifat dirinya sebagai seorang miskin yang berhak memperoleh bagian dari zakat.
Adapun jika seseorang memiliki kitab-kitab hanya digunakan untuk menghibur diri saja, seperti kitab yang berisi syair-syair, kisah-kisah, dan sebagainya, yang tidak bermnanfaat bagi kehidupan akhirat, dan hanya digunakan didunia untuk bersenang-senang semata, maka hal seperti itu tidak termasuk persyaratan “kemiskinan” yang menimbulkan hak bagi seseorang untuk memperoleh bagian dari zakat. Dan apabila kitab-kitab yang dimilikinya untuk keperluan mengajar dan merupakan sumber penghasilan seseorang, seperti seorang guru atau pelatih yang dibayar, maka kitab-kitab dianggap sama seperti alat bagi para tukang yang mnecari penghasilan. Yakni seperti mesin jahit bagi seorang penjahit, ataupun alat-alat lainya yang digunakan oleh pekerja.
Bank dunia mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah USD 1 perhari dan kemiskinan menengah dibawah USD 2 per hari sesuai purchasing power parity masing-masing negara. Karena USD 2 di Indonesia yang dapat membeli dua liter beras akan berbeda dengan USD 2 di Amerika serikat yang hanya dapat membeli 1 botol air mineral. Paratas daya beli (purchasing power parity) dalam ilmu ekonomi adalah sebuah metode yang digunakan untuk menghitung sebuah alternatif nilai tukar antar mata uang dari dua negara.
Untuk kemiskinan yang dipakai di Indonesia, dengan metode yang disebutkan, nilainya sekitar USD 1,6 PPP (untuk keterbandingan tahun 2006). Batas garis kemiskinan di Indonesia jauh lebih layak dibandingkan ukuran nasional yang diaplikasikanya di Cina dan India dengan nilai di bawah 1 USD PPP. Dalam konteks ini batas garis kemiskinan dalam dollar yang digunakan oleh bank dunia dalam pengertian kurs di tiap negara, tetapi purchasing power parity. Dengan USD 1 dibelanjakan di Amerika, maka dihitung nilai setaranya dalam rupiah jika barang dan jasa itu diperoleh di Indonesia.
C. Amil Zakat
Yang dimaksud dengan amil zakat adalah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan zakat dari para wajib zakat, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi harta zakat tersebut kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh ijin darinya atau dipilih oleh intansi pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran atau penyuluhan kepada masyarakat tentang hukum zakat, menerangkan sifat-sifat pemilik harta yang terkena kewajiban membayar zakat dan mereka yang menjadi mustahik, mengalihkan, menyimpan dan menjaga serta menginvestasikan harta.
Lembaga-lembaga dan panitia-panitia pengurus zakat yang ada pada zaman sekarang ini adalah bentuk kontemporer bagi lembaga yang berwenang mengurus zakat yang ditetapkan dalam syari’at islam. Oleh karena itu, petugas zakat yang bekerja dilembaga tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.
Untuk dapat melaksakan tugas sebagai amil, seseorang harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ualama fikih, seperti muslim, mukalaf, adil, jujur, memahami hukum-hukum zakat seperti perhitunganya, pembagianya, dan mustahiknnya dan mempunyai kemampuan untuk memelihara harta zakat. Para amil zakat berhak mendapat bagian zakat dari kuota amil yang diberikan oleh pihak yang mengangkat mereka, dengan catatan bagian tersebut tidak melebihi dari upah yang pantas, walaupun mereka orang fakir. dengan penekanan supaya gaji para amil dan biaya adimistrasi itu tidak lebih dari seperdelapan zakat.
Para petugas zakat seharusnya mempunyai etika keislaman secara umum. Misalnya, penyantunan dan ramah kepada para wajib zakat dan selalu mendoakan mereka. Begitu juga kepada para mustahik, mereka mesti dapat menjelaskan kepentingan zakat dalam menciptakan solidaritas sosial. Selain itu, agar menyalurkan zakat sesegera mungkin kepada para mustahik zakat.
d. Muallāf
Muallāf (yang di jinakan hatinya) ialah, mereka yang ditarik simpatinya kepada Islam, atau mereka yang ingin dimanfaatkan hatinya dijalan Islam. Juga mereka yang perlu dikhawatirkan berbuat jahat terhadap orang Islam dan mereka yang diaharap akan membela agama Islam. Fuqāhā membagi muallāf kepada dua golongan.
- Yang masih kafir, Kafir yaitu kafir yang diharap akan beriman dengan di berikan pertolongan, sebagai mana yang dilakukan Nabi Muhammad Saw terhadap Shafwan Ibnu Ummmayah, yang dengan pertolongan Nabi Muhammad Saw Umayyah memeluk Islam. Nabi telah memberi kepada Shafwan sejumlah 100 ekor unta dari rampasan yang diperoleh Nabi dari peperangan Hunayin (Hawazin).
- Kafir yang ditakuti berbuat jahat, Kafir tersebut kepadanya diberikan hak muallāf untuk menolak kejahatannya. Kata Ibnu Abbas: “Ada segolongan manusia apabila mendapat pemberian dari Nabi, mereka memuji-muji Islam dan apabila tidak mendapatkan pemberian, mereka mencaci maki dan memburukan Islam”. Yang telah Islam, terbagi menjadi kepada 4 golongan:
- Yang masih lemah imannya, yang diharap dengan pemberian itu imannya menjadi teguh, seperti Uyayinah Ibn Hishn, sejumlah 100 ekor Unta dari rampasan peperangan Hawazim juga.
- Pemuka-pemuka yang mempunyai sahabat yang sebanding dengan dia yang masih kafir seperti Ady Ibn Halib seorang yang sangat kaya dan dermawan.
- Orang Islam yang berkediaman di perbatasan agar meraka tetap membela isi negeri dari serangan musuh
Muallāf pada zaman klasik, tidak diberikan untuk setiap mereka yang baru masuk Islam hanya diberikan kepada mereka yang dirasa imannya lemah dan perlu disokong imannya itu dengan pemberian. Sudah umum diketahui bahwa pada masa itu yang dinamakan muallāf, hanyalah orang yang diketahui. Ada menerima bagian ini saja. Kita sekarang menamai muallāf segala mereka yang baru masuk Islam tanpa melihat kepada lemah atau kuat Imannya.
- Orang yang diperlukan untuk menarik zakat dari mereka yang tidak mau mengeluarkannya tanpa perantaranya peran tersebut.
Ulama-ulama Hanafiyah berpendapat: Bahwa bagian muallāf, tidak ada lagi, karena agama Allah sudah sangat kuat. Uyainah Ibn Hashn, Al Aqra Ibnu Habist dan Abbas Ibnu Murdas semua mereka mendapat jaminan dari Abu Bakar akan terus mendapat bagian muallāf. Akan tetapi ketika surat yang mereka dapat dari Abu Bakar diperlihatkan kepada Umar, beliau menyobek surat itu. Beliau berkata: “Nabi Muhammad Saw memberikan kepada kamu bagian ini untuk menjinakan hatikamu. Sekarang Islam telah memuliakan Allah dan tidak merasa perlu lagi kepada kamu. Jika kamu tetap dalam Islam kami terima kamu, dan jika tidak, maka diantara kami dan diantara kamu adalah pedang.” Maka mereka itu kembali kepada Abu Bakar lalu berkata: “Apakah engkau yang menjadi Khalifah, ataukah Umar? Engkau memberikan kepada kami surat, dia menyobeknya. Abu Bakar menjawab: Jika dia mau”.
e. Hamba yang disuruh menebus dirinya (Riqāb Mukātāb).
Riqāb Mukātāb, adalah mereka yang masih dalam perbudakan yang hendak melepaskan dirinya dari ikatan perbudakan atau budak yang telah dijanjikan oleh tuanya akan dilepaskan jika ia dapat membayar sejumlah uang tertentu. Jika memang benar-benar memiliki perjanjian demikian dengan majikan maka mereka perlu diberi bagian zakat untuk membantu mereka meraih status merdeka, meskipun sebelum jatuh tempo dan meskipun mereka mampu menghidupi diri, dengan syarat ia muslim dan tidak memiliki dana yang cukup untuk pembebasan dirinya. Mengingat praktek perbudakan sekarang ini telah terhapus dimuka bumi, maka kuota zakat mereka dialihkan ke golongan mustahik lain menurut mayoritas ulama fiqih (jumhur). Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa golongan ini masih ada, yaitu para tentara muslim yang menjadi tawanan.
f. Orang yang berutang (Gārimīn).
Orang berutang yang berhak menerima kuota zakat golongan ini ialah:
1) Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
2) Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan.
3) Utang itu melilit pelakunya.
4) Si pengutang sudah tidak sanggup lagi melunasi hutangnya.
5) Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan kepada si pengutang.
6) Orang-orang yang berutang untuk kepentingan sosial, seperti yang berutang untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya diyat (denda kriminal) atau biaya barang-barang yang dirusak. Orang seperti ini berhak menerima zakat, walaupun mereka orang kaya yang mampu melunasi utangnya.
7) Orang-orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, dimana yang menjamin dan yang dijamin keduanya berada dalam kesulitan keuangan.
8) Orang yang berutang untuk pembayaran diyat (denda) karena pembunuhan tidak sengaja, apabila keluarganya (aqilāh) benar-benar tidak mampu untuk membayar denda tersebut, begitu pula kas negara.
g. Fisābilillāh
Yang dimaksud dengan mustahik fisābilillāh adalah para pejuang yang suka rela berjihad dan berjuang menghalau musuh. Mereka diberi bagian zakat meskipun mereka kaya, guna membantu perjuangan mereka. Termasuk dalam hal itu untuk membeli dan menyiapkan segala perbekalan dan hal-hal yang dibutuhkan pejuang di medan perang, seperti peralatan perang dan persenjataan, sebab semua itu untuk kepentingan peperangan. Atas dasar ini, mujāhid (orang yang berjuang dijalan Allah) halal menerima bagian zakat, meskipun ia kaya. Sebagaimana yang terlansir dalam hadits shahih dari sabda Nabi saw:
عن أبي
سعيدىالخدري رضي الله عنه قل: رسول الله صلى الله عليه وسلم : لاَتَحِلُّ الصَّدَقَةَ لِغَنِيٍّ
أِلا لِخَمْسَةٍ :لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْرَجُلٍ أِشْتَرَاهَا بِمَالِهِ, أَوْ
غَارِمٍ, أَوْ غَازٍ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ, أَوْ مِسْكِيْن تُصَدَّقَ عَلَيْهِ
مِنْهَا فَأَهْدَى مِنْهَا لِغَنِيّ (رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه)
Artinya: Dari
Abu Sa’id Al Khudri ia berkata: Rasulullah bersabda: “sedekah (zakat) tidak
halal bagi orang kaya kecuali dalam lima kondisi: 1. Ia sebagai amil (pemungut
zakat), 2. Ia membelinya (benda zakat) dengan uangnya, 3. Ia banyak menanggung
hutang, 4. Ia ikut berperang dijalan Allah, 5. Ia diberi hadiah oleh orang
miskin yang mendapat harta zakat.” (H.R. Ahmad, Abu daud, dan Ibnu majah.)
Bagian zakat fisābilillāh ini di peruntukan bagi para pejuang sukarelawan yang tidak memiliki gaji dari negara, meskipun mereka orang-orang kaya. Adapun alokasi yang paling tepat untuk mendistribusikan bagian fisābilillāh pada masa sekarang ini adalah untuk usaha mengembalikan hukum islam dan menjaganya dari sentimen orang-orang kafir, dan ini lebih penting dari jihad. Alokasi lainya adalah untuk kegiatan dakwah Islamiyyah dan mempertahankanya dengan pena maupun lisan jika kekuatan pedang sudah tidak dimungkinkan lagi untuk digunakan
h. Ibnu sābil
Orang yang berada dalam perjalanan (ibnu sābil) adalah orang asing yang tidak memiliki biaya untuk kembali ke tanah airnya. Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1) Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negri tempat tinggalnya. Jika masih di lingkungan negri tempat tinggalnya, lalu ia dalam keadaan yang membutuhkan, maka ia dianggap sebagai fakir atau miskin.
2) Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syari’ah islam, sehingga pemberian zakat itu tidak menjadi bantuan untuk membuat maksiat.
3) Tidak mempunyai biaya untuk kembali kenegrinya, meskipun di negrinya sebagai orang kaya. Jika ia mempunyai piutang yang belum jatuh tempo,atau pada orang lain yang tidak diketahui keberadaanya, atau pada seseorang yang dalam kesulitan keuangan, atau pada orang yang mengikari utangnya, maka semua itu tidak menghalanginya untuk berhak menerima zakat.
Ibnu sābil berhak mendapatkan zakat untuk menutupi kebutuhannya ditempat yang asing agar ia sampai kenegaranya, meskipun dinegaranya tergolong orang kaya. Hal ini jika tidak ada orang yang dapat meminjaminya, jika ada orang yang meminjaminya uang maka ia wajib meminjam.
Pengaruh Pembagian Zakat Kepada Delapan Asnaf Bagi Individu dan Masyarakat
Bila di renungkan dengan cermat pengaruh zakat yang di salurkan kepada delapan asnaf tersebut akan melihat i’jāz al-illāh (mu’jizat ketuhanan) dalam pengaruh zakat yaitu :
a. Tārbiyāh Ruḥiyāh yaitu penguatan iman, ketaatan dan syukur kepada Allah serta membebaskan diri dari penghambaan terhadap harta dan kekuasaanya.
b. Realisasi keadilan sosial, yang mana zakat merealisasikan solidaritas dan tākāful antar manusia, mendekatkan perbedaan antar kelas dan memperkuat perasaan cinta dan kasih sayang, sehingga akan muncul masyarakat utama.
c. Pertumbuhan ekonomi, yang mana zakat mencegah akan adanya penimbunan dan penyimpanan harta yang berlebihan, ikut berperan dalam mengobati masalah kemiskinan, inflasi pengangguran dan ketidak adilan distribusi pendapatan.
d. Zakat mempunyai pengaruh yang besar dalam merealisasikan penghormatan politik dengan mempersiapkan kekuatan aqidah bagi para pejuang (mujāhidin) dan infaq kepada tawanan mereka serta pembiayaan kekuatan materi untuk berjihad. Begitu juga zakat berpengaruh kepada kegiatan dakwah kepada Allah swt. Dengan ḥikmah dan mau’iẓah ḥāsānah serta menolong umat Islam yang teraniaya dan tertindas.
e. Pemeliharaan pribadi dimana zakat memenuhi kebutuhan pokok penerima zakat, menjaga agama, aqal, jiwa, kehormatan, dan hartanya. Peran ini berpengaruh atas ketenangan rumah tangga dari segi terpenuhinya semua pokok kebutuhanya.
f. Pemeliharaan masyarakat, dimana zakat ikut andil dalam mewujudkan masyarakat yang utama, saling mnyempurnakan, solid, kuat, terhormat dan merdeka.
Dari pribadi yang aman dan dari masyarakat yang utama menjadikan pememrintah yang mampu untuk menjaga kebutuhan kebutuhan pokok bagi rakyatnya, yaitu aqidah, jiwa, aqal, kehormatan, agama dan harta.
Hukum Distribusi Zakat Kepada Delapan Asnaf
Pada saat pembagian hasil zakat kepada delapan asnaf yang terdapat pertanyaan yaitu berapa besar yang diberikan kepada masing-masing delapan asnaf, apakah hasil zakat harus diberikan kepada delapan asnaf dengan porsi yang sama, dan adakah hukum syar’i yang harus diikuti oleh pemimpin dan wakilnya dalam pembagian zakat.
Tidak ada satu pendapat yang disepakati dalam masalah ini. Proses penentuan, penghitungan dan pendistribusian hasil zakat berbeda-beda dari zaman ke zaman dan dari kondisi yang satu kekondisi yang lain. Oleh karena itu pemimpin dan wakilnya harus menggunakan pendapatnya dalam pembagian zakat tersebut dengan tetap berada dalam koridor nilai syārā’ ilmu, wawasan, dan musyāwārāh ah-lul hil wāl’aqād. Namun terdapat hukum umum yang bisa membantu proses pembagian zakat, diantaranya yang terpenting adalah:
a. Beriltizam dengan prioritas keislaman, dimana prioritas diberikan untuk memenuhi hal-hal yang ḍārurāh kemudian yang ḥājiyāt. Karena itu mereka yang tidak mampu sekali didahulukan dari mereka yang tidak mampu atau dibawah kecukupan. Mereka yang ada didalam negri diaman zakat itu diperoleh lebih diprioritaskan dari pada mereka yang didaerah tau negara lain jika kebutuhanya sama.
b. Dan mereka yang dalam kebutuhan untuk menjaga jiwanya lebih diprioritaskan dari mereka yang membutuhkan untuk penjagaan kehormatan begitu seterusnya.
c. Tidak ada perhatian berlebih pada salah satu penerima zakat saja tanpa menyentuh penerima zakat yang lain padahal semua membutuhkan zakat. Tidak boleh mengarahkan semua hasil zakat untuk kaum fakir miskin dan meninggalkan penerima zakat yang lain atau mengarahkan semua hasil zakat kepada jihād fisābilillāh pada saat penerima yang lain memerlukanya.
d. Harta hasil zakat tidak diarahkan kepada non muslim yang kafir atau untuk menautkan hati mereka kecuali umat Islam cukup atau terpenuhi.
e. Bijaksana dan adil dalam pembiayaan penarikan dan pembagian zakat, tidak berlebihan dan tidak terlalu sedikit.
f. Mengambil sebab dalam mencari mereka yang berhak menerima zakat sehingga harta zakat tersebut tidak jauh ketangan mereka yang tidak berhak atau tidak pada tempatnya.
0 Response to "Delapan Asnaf Penerima Zakat"
Posting Komentar