Al-Baqoroh Ayat 106-107
Senin, 14 Mei 2018
Add Comment
{مَا
نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ
تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (106) أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ
اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ
وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ (107) }
Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami
jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya
atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Tidakkah kamu
mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah! Dan tiada bagi
kalian selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan tafsir
firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin," artinya ayat apa pun yang Kami
ganti. Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan tafsir ayat ini,
artinya "ayat apa pun yang kami hapuskan." Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna ayat ini,
yaitu: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan. (Al-Baqarah: 106) Arti nasakh
ialah 'ayat apa pun yang Kami tetapkan khat (tulisan)nya, sedangkan hukumnya
telah Kami ganti'. Mujahid mengetengahkan tafsir ini dari murid-murid Abdullah
ibnu Mas'ud r.a. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Abul
Aliyah dan Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi. Menurut Ad-Dahhak, makna ma nansakh min ayatin ialah ayat apa saja
yang Kami buat engkau lupa padanya. Menurut Ata, makna ma nansakh ialah apa saja dari Al-Qur'an yang Kami
tinggalkan. Menurut Abu Hatim, makna yang dimaksud ialah apa pun yang
ditinggalkan (oleh Allah) dan tidak diturunkan kepada Muhammad Saw.
As-Saddi mengatakan, makna ma nansakh ialah ayat apa pun yang dicabut
oleh Allah.
Menurut Ibnu Abu Hatim maksudnya adalah dicabut dan diangkat oleh Allah Swt.,
seperti firman-Nya:
«الشَّيْخُ
وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ»
Kakek-kakek dan nenek-nenek (laki-laki dan perempuan dewasa yang sudah
kawin) apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya sebagai suatu
kepastian.
"لَوْ
كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لَابْتَغَى لَهُمَا
ثَالِثًا".
Seandainya anak Adam mempunyai dua lembah yang penuh dengan emas, niscaya
dia menginginkan lembah lain yang ditambahkan kepada kedua lembah itu.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ma nansakh min ayatin ialah hukum ayat
apa saja yang Kami pindahkan ke yang lainnya dan Kami ubah serta Kami ganti
hukumnya. Misalnya, Kami ganti halal menjadi haram, haram menjadi halal, mubah
menjadi dilarang, dan dilarang menjadi mubah (boleh).
Hal ini hanya terjadi dalam masalah perintah, larangan, cegahan, mutlak,
larangan dan ibahah (perbolehan). Yang menyangkut masalah-masalah berita dan
kisah-kisah, tiada nasikh dan mansukh padanya.
Kata nasakh berasal dari naskhul kitab, yakni menukilnya dari
suatu salinan ke salinan yang lain. Demikian pula makna me-nasakh hukum
ke hukum yang lainnya, hanya makna yang dimaksud ialah memindahkan hukumnya dan
menukil suatu ibarat ke ibarat yang lainnya —yakni merevisinya— tanpa membedakan
apakah yang di-nasakh itu hukumnya atau khat (tulisan)nya saja, mengingat dua
keadaan tersebut tetap dinamakan nasakh.
Sehubungan dengan definisi nasakh, ulama ahli Usul berbeda-beda dalam
mengungkapkannya. Tetapi kesimpulan dari semua pendapat mereka saling berdekatan
(tidak jauh berbeda), mengingat makna nasakh menurut istilah syara' sudah
dimaklumi di kalangan ulama. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nasakh
artinya menghapuskan suatu hukum dengan dalil syar'i yang datang kemudian.
Termasuk ke dalam pengertian definisi ini me-nasakh hukum yang ringan dengan
hukum yang berat dan sebaliknya, juga nasakh yang tidak ada gantinya. Rincian
mengenai hukum-hukum nasakh, jenis-jenis serta syarat-syaratnya dibahas di dalam
kitab Usul Fiqh.
قَالَ
الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو شُبَيْلٍ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ وَاقِدٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ
الْفَضْلِ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ أَرْقَمَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ
أَبِيهِ، قَالَ: قَرَأَ رَجُلَانِ سُورَةً أَقْرَأَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عليه وسلم فكانا يقرآن بِهَا، فَقَامَا ذَاتَ لَيْلَةٍ يُصَلِّيَانِ،
فَلَمْ يَقْدِرَا مِنْهَا عَلَى حَرْفٍ فَأَصْبَحَا غَادِيَيْنِ عَلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّهَا مِمَّا نُسِخَ وَأُنْسِي،
فَالْهُوَا عَنْهَا".
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Subail (yaitu
Ubaidillah ibnu Abdur Rahman ibnu Waqid), telah menceritakan kepada kami ayahku,
telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Fadl, dari Sulaiman ibnu Arqam,
dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ada dua orang
lelaki membaca suatu surat yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw. kepada
keduanya, dan kedua lelaki itu selalu membaca surat tersebut dengan bacaan itu.
Maka di suatu malam keduanya berdiri mengerjakan salat, tetapi keduanya tidak
mampu membaca surat tersebut barang satu huruf pun. Lalu pada pagi harinya
keduanya datang menghadap Rasulullah Saw. dan menceritakan hal tersebut. Maka
Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya surat itu termasuk surat yang dinasakh
atau aku dijadikan lupa kepadanya. Karena itu, lupakanlah ia.
Az-Zuhri membacanya ma nansakh min ayatin au nunsiha. Akan tetapi,
Sulaiman ibnul Arqam orangnya daif. Tetapi Abu Bakar ibnul Ambari meriwayatkan hal yang semisal dari ayahnya,
dari Nasr ibnu Daud, dari Abu Ubaidillah, dari Abdullah ibnu Saleh, dari Lais,
dari Yunus dan Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif
secara marfu’. Riwayat ini diketengahkan oleh Al-Qurtubi. Firman Allah Swt, "Au nunsiha" (Kami jadikan manusia lupa kepadanya)
dibaca menurut dua segi bacaan, yaitu nansa-uha dan nunsiha. Orang
yang membaca nansa-uha artinya Kami menangguhkannya. Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai tafsir firman-Nya,
"Ma nansakh min ayatin au nansa-uha," ialah apa saja ayat yang Kami ganti
atau yang Kami tinggalkan tanpa menggantinya.
Mujahid meriwayatkan dari teman-teman (murid-murid) sahabat Ibnu Mas'ud r.a.
tentang makna au nansa-uha: Kami tetapkan khat-nya, sedangkan hukumnya
telah Kami ganti. Abdu ibnu Umair, Mujahid, dan Ata mengatakan bahwa au nansa-uha
artinya Kami akhirkan dan Kami tangguhkan hukumnya. Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa au nansa-uha artinya Kami akhirkan
hukumnya, tetapi tidak Kami nasakh. As-Saddi dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan
hal yang semisal. Ad-Dahhak mengatakan, ayat ini menerangkan bahwa di antara ayat-ayat
Al-Qur’an itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh (yakni ada yang merevisi dan
ada yang direvisi).
Menurut Abul Aliyah, au nansa-uha artinya ialah Kami mengakhirkan
(menangguhkan) hukumnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu
Ismail Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Khalaf, telah menceritakan
kepada kami Al-Khaffaf, dari Ismail (yak-ni Ibnu Aslam), dari Habib ibnu Abu
Sabit, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa pada
suatu hari Khalifah Umar r.a. berkhotbah kepada kami, lalu ia membacakan
firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin au nansa-uha," yakni atau Kami
tangguhkan hukumnya.
Adapun menurut bacaan au nunsiha, maka Abdur Razzaq telah meriwayatkan
dari Ma'mar, dari Qatadah, sehubungan dengan makna firman-Nya: Apa saja ayat
yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya.
(Al-Baqarah: 106) Allah Swt. menjadikan Nabi-Nya lupa kepada apa yang
dikehendaki-Nya, dan Dia me-nasakh apa yang dikehendaki-Nya dari ayat-ayat
tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sawad ibnu Abdullah,
telah menceritakan kepada kami Khalid ibnul Haris, telah menceritakan kepada
kami Auf ibnul Hasan, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil
firman-Nya, "Au nunsiha," bahwa sesungguhnya Nabi kalian membaca suatu ayat
Al-Qur'an, kemudian beliau dibuat-Nya lupa.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Nufail, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnuz Zubair Al-Harrani, dari Al-Hajjaj (yakni
Al-Jazari), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, di antara wahyu yang diturunkan oleh
Nabi Saw. adalah wahyu yang diturunkan di malam hari, dan pada siang harinya
beliau lupa. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apa saja ayat yang Kami
nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih
baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106)
Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan, Abu Ja'far ibnu Nufail mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan Al-Hajjaj bukan Al-Hajjaj ibnu Artah, melainkan salah
seorang guru kami yang dinisbatkan kepada Al-Jazari. Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa makna au nunsiha ialah Kami menghapuskan
hukumnya dari kalian.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah
menceritakan kepada kami Hasyim, dari Ya’la ibnu Ata, dari Al-Qasim ibnu Rabi'ah
yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Sa'd ibnu Abu Waqqas membacakan ayat
ini seperti berikut: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya. (Al-Baqarah: 106) Yakni dengan bacaan
nunsiha. Maka ia berkata kepada Sa'd ibnu Abu Waqqas bahwa sesungguhnya
Sa'id ibnul Musayyab membacanya dengan bacaan au nansa-uha. Maka Sa'd
ibnu Abu Waqqas menjawab, "Sesungguhnya Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepada
Al-Musayyab, juga tidak kepada keluarga Al-Musayyab." Selanjutnya Sa'd ibnu Abu
Waqqas membacakan firman-Nya:
سَنُقْرِئُكَ
فَلا تَنْسى
Kami akan membacakan (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan
lupa. (Al-A’la: 6)
وَاذْكُرْ
رَبَّكَ إِذا نَسِيتَ
Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdur Razzaq ibnu Hasyim. Imam Hakim
mengetengahkannya di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Abu Hatim Ar-Razi,
dari Adam, dari Syu'bah, dari Ya’la ibnu Ata dengan lafaz yang sama, kemudian
Imam Hakim mengatakan dengan syarat Syaikhain (Imam Bukhari dan Imam Muslim),
tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Muhammad ibnu Ka'b,
Qatadah, dan Ikrimah hal yang semisal dengan perkataan Sa'id ibnul Musayyab
r.a.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah
menceritakan kepada kami Sufyan As-Sauri, dari Habib ibnu Abu Sab it, dari Sa'id
ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Umar r.a. pernah mengatakan, "Orang yang
paling adil di antara kami dan Ubay ialah orang yang paling ahli qiraat, tetapi
sesungguhnya kami benar-benar meninggalkan sebagian dari perkataan Ubay.
Demikian itu karena Ubay pernah mengatakan bahwa ia tidak akan meninggalkan
sesuatu pun yang pernah ia dengar dari Rasulullah Saw." Padahal Allah Swt. telah
berfirman: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. (Al-Baqarah: 106)
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah
menceritakan kepada kami Sufyan, dari Habib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu
Abbas, bahwa sahabat Umar pernah mengatakan, "Orang yang paling ahli qiraat di
antara kami adalah Ubay, sedangkan orang yang paling ahli dalam masalah
peradilan di antara kami adalah Ali. Tetapi sesungguhnya kami benar-benar
meninggalkan sebagian dari perkataan Ubay. Demikian itu karena dia pernah
mengatakan bahwa dia tidak akan meninggalkan sesuatu pun dari apa yang pernah
dia dengar dari Rasulullah Saw. 'Padahal Allah Swt. telah berfirman: Apa
saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya
(Al-Baqarah: 106)
****************
Adapun firman Allah Swt.:
{نَأْتِ
بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا}
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. (Al-Baqarah: 106)
Yakni dalam hal hukum bila dikaitkan dengan masalah kaum Mukallafin, seperti
yang telah dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: Kami datangkan yang lebih baik daripadanya. (Al-Baqarah: 106)
Maksudnya, yang lebih baik manfaatnya buat kalian dan lebih ringan bagi
kalian.
Abul Aliyah mengatakan, "Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan," maka
kami tidak mengamalkannya, "atau Kami menangguhkannya," yakni Kami
tangguhkan oleh pihak Kami, maka Kami akan mendatangkannya atau Kami datangkan
yang sebanding dengannya. As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami datangkan
yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106)
Yaitu Kami datangkan yang lebih baik daripada apa yang telah Kami nasakh-kan
itu, atau Kami datangkan yang sebanding dengan apa yang Kami tinggalkan itu.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami datangkan yang
lebih balk daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106) Yang
dimaksud ialah ayat yang di dalamnya terkandung keringanan atau rukhsah
(kemurahan) atau perintah atau larangan.
****************
Firman Allah Swt:
{أَلَمْ
تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ* أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ
لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ
وَلا نَصِيرٍ}
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha-kuasa atas segala
sesuatu? Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah
kepunyaan Allah! Dan tiada bagi kalian selain Allah seorang pelindung maupun
seorang penolong. (Al-Baqarah: 106-107)
Melalui ayat ini Allah Swt. memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya bahwa
Dialah yang mengatur semua makhluk menurut apa yang Dia kehendaki, Dialah yang
menciptakan dan yang memerintah, Dialah yang mengatur, Dialah yang menciptakan
mereka menurut apa yang dikehendaki-Nya, Dia membahagiakan siapa yang
dikehendaki-Nya, Dia mencelakakan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia menyehatkan
siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang membuat sakit siapa yang dikehendaki-Nya,
Dia memberi taufik siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang menghinakan siapa yang
dikehendaki-Nya.
Allah-lah yang mengatur hukum pada hamba-hamba-Nya menurut apa yang
dikehendaki-Nya. Untuk itu Dia menghalalkan apa yang dikehendaki-Nya dan
mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya, Dia membolehkan apa yang dikehendaki-Nya
dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya. Dialah yang mengatur hukum menurut
apa yang dikehendaki-Nya, tiada yang dapat menolak ketetapan-Nya, dan tiada yang
menanyakan apa yang diperbuat-Nya, sedangkan merekalah yang akan dimintai
pertanggungjawaban oleh-Nya. Dia menguji hamba-hamba-Nya dan ketaatan mereka
kepada rasul-rasul-Nya melalui hukum nasakh.
Untuk itu, Dia memerintahkan sesuatu karena di dalamnya terkandung
kemaslahatan yang hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya, kemudian Dia
melarangnya karena suatu penyebab yang hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya.
Taat yang sesungguhnya ialah mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, mengikuti
rasul-rasul-Nya dalam membenarkan apa yang diberitakan oleh mereka, dan
mengerjakan apa yang diperintahkan mereka serta menjauhi apa yang dilarang oleh
mereka.
Di dalam ayat ini terkandung makna bantahan yang keras dan penjelasan yang
terang kepada kekufuran orang-orang Yahudi dan kepalsuan keraguan mereka yang
menduga bahwa nasakh merupakan hal yang mustahil, baik menurut rasio mereka
maupun menurut apa yang didugakan oleh sebagian dari kalangan mereka yang bodoh
lagi ingkar, atau menurut dalil naqli seperti yang dibuat-buat oleh sebagian
yang lain dari kalangan mereka untuk mendustakannya.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan bahwa takwil ayat ini
adalah seperti berikut:
Tidakkah kamu mengetahui, hai Muhammad, bahwa sesungguhnya milik-Ku-lah semua
kerajaan langit dan kerajaan bumi serta kekuasaan keduanya, bukan milik
selain-Ku. Aku mengatur hukum pada keduanya dan semua yang ada pada keduanya
menurut apa yang Aku kehendaki. Dan Aku memerintahkan pada keduanya serta pada
semua yang ada pada keduanya menurut apa yang Aku kehendaki. Aku melarang semua
yang Aku kehendaki. Aku me-nasakh dan mengganti sebagian dari hukum-hukum-Ku
yang telah Aku tetapkan terhadap hamba-hamba-Ku menurut apa yang aku kehendaki
di saat Aku menghendakinya. Aku menetapkan pada keduanya semua yang Aku
kehendaki.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, sekalipun berita ini ditujukan sebagai
khitab kepada Nabi Saw. oleh Allah Swt. sebagai penghormatan dari-Nya buat Nabi
Saw., tetapi sekaligus sebagai bantahan yang mendustakan orang-orang Yahudi
karena mereka mengingkari adanya pe-nasakh-an kitab Taurat serta ingkar kepada
kenabian Nabi Isa a.s. dan Nabi Muhammad Saw. Mereka melakukan demikian karena
kedua rasul ini datang dengan membawa kitab yang diturunkan dari sisi Allah yang
di dalamnya terkandung hal-hal yang diturunkan oleh Allah untuk mengubah
sebagian dari hukum-hukum Taurat.
Maka Allah memberitahukan kepada mereka bahwa milik Dialah semua kerajaan
langit dan bumi serta kekuasaan yang ada pada keduanya. Semua makhluk adalah
penduduk dari kerajaan-Nya yang harus taat kepada-Nya. Mereka harus patuh dan
taat kepada perintah dan larangan-Nya, dan Allah berhak memerintah mereka dengan
apa yang dikehendaki-Nya, serta melarang mereka dengan apa yang dikehendaki-Nya.
Dia me-nasakh apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya.
Dia berhak mengadakan apa yang dikehendaki-Nya, baik berupa ketetapan, perintah,
ataupun larangan-Nya.
Menurut pendapat kami, hal yang mendorong orang-orang Yahudi
mengungkit-ungkit masalah nasakh tiada lain hanyalah kekufuran dan keingkaran
mereka. Karena sesungguhnya menurut rasio tiada sesuatu hal pun yang mencegah
adanya pe-nasakh-an dalam hukum-hukum Allah Swt., sebab Dia memutuskan hukum
menurut apa yang dikehendaki-Nya, sebagaimana Dia berbuat menurut apa yang
dikehendaki-Nya. Padahal masalah nasakh itu sesungguhnya telah terjadi di dalam
kitab-kitab Allah yang terdahulu dan syariat-syariat-Nya sebelum Al-Qur'an.
Misalnya dalam syariat Nabi Adam Allah menghalalkan meni-kahkan anak-anak
lelakinya dengan anak-anak perempuannya. Kemudian setelah populasi manusia
bertambah banyak, maka hal tersebut diharamkan. Dalam syariat Nabi Nuh, sesudah
dia keluar dari perahunya ia dihalalkan memakan daging semua hewan; kemudian
di-mansukh, dan yang dihalalkan hanya sebagiannya saja.
Di masa lalu —dalam syariat Nabi Ya'qub— kaum Bani Israil diperbolehkan
menikahi dua orang perempuan yang bersaudara (kakak dan adiknya), kemudian di
dalam kitab Taurat hal tersebut diharamkan, demikian pula pada syariat-syariat
sesudahnya.
Allah Swt pernah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk menyembelih
anak laki-lakinya (yaitu Nabi Ismail), kemudian hal itu di-mansukh sebelum Nabi
Ibrahim melakukannya. Allah memerintahkan agar membunuh semua Bani Israil yang
pernah menyembah anak lembu, kemudian hukuman tersebut di-nasakh agar mereka
tidak habis karena dihukum mati. Masih banyak hal lainnya yang sangat panjang
kisahnya bila dikemukakan; mereka mengakui adanya pe-nasakh-m tersebut, tetapi
mereka berpaling dan tidak mau mengakuinya. Bantahan yang mereka kemukakan
terhadap dalil-dalil tersebut tujuan utamanya ialah untuk mengelak dari
kenyataan itu sendiri.
Di dalam kitab-kitab mereka sudah dikenal adanya berita gembira mengenai
kedatangan Nabi Muhammad Saw., juga perintah untuk mengikutinya. Kenyataan ini
mengharuskan mereka mengikuti Nabi Saw. dan bahwa tiada lagi suatu amal pun yang
dapat diterima kecuali dengan mengamalkan syariatnya, tanpa memandang kepada
suatu pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya syariat-syariat yang terdahulu
sudah berakhir sampai dengan masa Nabi Saw. diangkat menjadi utusan Allah. Maka
hal ini bukan dinamakan nasakh karena berdasarkan kepada firman-Nya yang
mengatakan:
ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيامَ إِلَى اللَّيْلِ
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)
Menurut pendapat lainnya apa yang disebut oleh ayat ini bersifat mutlak, dan
bahwa syariat Nabi Muhammad Saw. telah me-nasakh-nya. Berdasarkan interpretasi mana pun pada garis besamya diwajibkan mengikuti
syariat Nabi Muhammad Saw., tiada pilihan lain, mengingat dia datang membawa
Kitabullah yang paling akhir dan yang baru diturunkan oleh Allah Swt. Melalui
ayat surat Al-Baqarah ini Allah Swt. menjelaskan boleh adanya nasakh sebagai
bantahan terhadap orang-orang Yahudi —semoga laknat Allah menimpa mereka—
mengingat Allah Swt. telah berfirman: Tidakkah kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu! Tidakkah kamu mengetahui bahwa
kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah! (Al-Baqarah: 106-107),
hingga akhir ayat.
Karena semua kerajaan ini adalah milik Allah tanpa ada yang me-nyaingi-Nya,
maka Dia berhak mengatur hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya. Seperti yang
disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
أَلا
لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. (Al-A'raf:
54)
Telah ditetapkan di dalam surat Ali Imran dalam salah satu ayatnya yang
menceritakan perihal kaum ahli kitab, bahwa di dalamnya terdapat nasakh. Yaitu
pada firman-Nya:
كُلُّ
الطَّعامِ كانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرائِيلُ عَلى
نَفْسِهِ
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil, melainkan makanan yang
diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri. (Ali Imran: 93),
hingga akhir ayat.
Adapun penafsirannya akan disebutkan pada tempatnya nanti.
Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa nasakh dalam hukum-hukum Allah itu
ada, mengingat di dalamnya terkandung hikmah yang agung; dan mereka semua
mengatakan bahwa nasakh itu ada. Akan tetapi, mengenai pendapat Abu Muslim Al-Asbahani —seorang ulama tafsir—
yang mengatakan bahwa tiada suatu nasakh-pun di dalam Al-Qur'an, pendapatnya itu
lemah, tidak dapat diterima lagi tak diindahkan; karena ternyata dia memaksakan
diri dalam membantah kenyataan nasakh yang ada, antara lain dalam masalah idah
empat bulan sepuluh hari yang sebelumnya adalah satu tahun. Dia tidak
mengemukakan jawaban yang dapat diterima dalam masalah ini. Juga dalam masalah
pengalihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah, dia tidak menjawab sepatah kata
pun. Masalah lainnya yang dia tidak dapat menjawabnya ialah di-nasakh-Nya
perintah bersabar bagi seorang muslim dalam menghadapi sepuluh orang musyrik,
hingga menjadi dua orang musyrik saja. Contoh lainnya ialah wajib bersedekah
sebelum bermunajat (berbicara) dengan Rasul Saw., dan lain sebagainya.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 106-107"
Posting Komentar