Al-Baqoroh Ayat 7
Minggu, 13 Mei 2018
Add Comment
{خَتَمَ
اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ
وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (7) }
Allah telah mengunci mati hati dan
pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang
amat berat.
Khatamallahu, menurut As-Saddi maknanya ialah "Allah mengunci mati."
Menurut Qatadah, ayat ini bermakna "setan telah menguasai mereka, mengingat
mereka taat kepada keinginan setan, maka Allah mengunci mati kalbu dan
pendengaran mereka, dan pada penglihatan mereka terdapat penutup. Mereka tidak
dapat melihat jalan hidayah, tidak dapat mendengarnya, tidak dapat memahaminya,
dan tidak dapat memikirkannya". Ibnu Juraij mengatakan bahwa Mujahid pernah mengatakan sehubungan dengan
makna khatamallahu 'ala qulubihim, bahwa makna at-tab'u ialah dosa-dosa
telah melekat di hati dan meliputinya dari semua sisinya hingga menutupinya
dengan rapat. Istilah menutup inilah yang dinamakan, yakni dilak.
Menurut Ibnu Juraij sendiri, yang terkunci mati ialah kalbu dan
pendengarannya. Selanjutnya Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku
Abdullah ibnu Kasir, bahwa ia pernah mendengar Mujahid berkata, "Istilah
ar-ran (kotoran) lebih ringan daripada istilah at-tab'u (tertutup
rapat), sedangkan at-tab'u lebih ringan daripada al-iqfal (terkunci), dan
al-iqfal lebih berat daripada kesemuanya." Al-A'masy mengatakan bahwa Mujahid pernah berisyarat memperagakan kepadaku
dengan tangannya tentang pengertian ini. Dia mengatakan, "Mereka berpendapat
bahwa kalbu seseorang itu semisal dengan ini, yakni telapak tangannya. Apabila
seseorang hamba melakukan suatu dosa, maka sebagian darinya tergenggam seraya
menggenggamkan jari manisnya. Apabila dia berbuat dosa lagi, maka tergenggam
pula yang lainnya seraya menggenggamkan jari yang lainnya, hingga semua jari
jemari telapak tangannya tergenggam." Kemudian dia mengatakan, "Maka tertutup
rapatlah kalbunya oleh dosa-dosa tersebut." Mujahid mengatakan pula, "Mereka
memandang bahwa hal tersebutlah yang dinamakan kotoran dosa yang menutupi."
Ibnu Jarir meriwayatkan hal yang sama dari Kuraib, dari Waki', dari
Al-A'masy, dari Mujahid.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian ulama mengatakan bahwa sesungguhnya
makna firman-Nya: Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka.
(Al-Baqarah: 7) merupakan berita dari Allah Swt. tentang sifat takabur
orang-orang kafir dan berpalingnya mereka dari perkara hak yang disampaikan
kepada mereka, yakni mereka tidak mau mendengarkannya. Perihalnya sama dengan
perkataan seseorang, "Sesungguhnya si Fulan tuli, tidak mau mendengar perkataan
ini," yakni bila dia tidak mau mendengarkannya dan merasa tinggi diri, tidak mau
memahaminya karena takabur. Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat ini tidak benar, karena sesungguhnya
Allah Swt. telah memberitahukan bahwa Dialah yang mengunci mati kalbu dan
pendengaran mereka.
Az-Zamakhsyari mengulas dengan pembahasan panjang lebar dalam menyanggah apa
yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir tadi, dan Az-Zamakhsyari menakwilkan makna ayat
dari lima hipotesis, tetapi semuanya itu lemah sekali. Menurut kami, tiada yang
mendorongnya berbuat demikian melainkan hanya aliran mu'tazilah yang dianutnya.
Alasan yang dikemukakannya ialah bahwa makna "mengunci mati hati mereka dan
membuatnya menolak untuk menerima perkara yang disampaikan kepadanya" merupakan
suatu hal yang buruk (jahat) menurut Az-Zamakhsyari, dan Allah Swt. Maha Tinggi
dari perbuatan tersebut; demikianlah keyakinannya.
Akan tetapi, seandainya dia memahami firman Allah Swt. yang mengatakan:
فَلَمَّا
زاغُوا أَزاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
وَنُقَلِّبُ
أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصارَهُمْ كَما لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ
وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيانِهِمْ يَعْمَهُونَ
Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti
mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada permulaannya, dan Kami
biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (Al-An'am:
110)
Masih banyak ayat serupa lainnya yang menunjukkan bahwa sesungguhnya Allah
Swt. mengunci mati kalbu orang-orang kafir dan menghalang-halangi antara mereka
dan hidayah, hanyalah sebagai balasan yang setimpal atas perbuatan mereka yang
terus-menerus tenggelam di dalam kebatilan dan mereka tidak mau mengikuti
perkara yang hak. Hal ini merupakan keadilan dari Allah Swt. sebagai sikap yang
baik, bukan yang buruk. Seandainya Az-Zamakhsyari menyadari hal ini, niscaya dia
tidak akan mengeluarkan pendapatnya itu.
Al-Qurtubi mengatakan, para ulama sepakat bahwa Allah Swt. menyifati diri-Nya
berlaku mengunci mati dan mengelak kalbu orang-orang kafir sebagai balasan yang
setimpal atas kekufuran mereka, sebagaimana yang disebutkan di dalam
firman-Nya:
بَلْ
طَبَعَ اللَّهُ عَلَيْها بِكُفْرِهِمْ
Sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya.
(An-Nisa: 155)
Selanjutnya Al-Qurtubi menyebutkan hadis yang menceritakan tentang
berbolak-baliknya hati, yaitu:
"وَيَا
مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى دِينِكَ"
Wahai Tuhan yang membolak-balikkan kalbu, tetapkanlah kalbu kami dalam
agama-Mu.
Ia mengetengahkan hadis Huzaifah yang terdapat di dalam kitab Sahih, bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"تُعْرَضُ
الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا
نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ
بَيْضَاءُ، حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ: عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَاءِ
فَلَا تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ، وَالْآخَرُ
أَسْوَدُ مُرْبَادٌّ كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ
مُنْكَرًا"
Berbagai macam fitnah (dosa) ditampilkan pada kalbu bagaikan tikar yang
dianyam sehelai demi sehelai. Hati siapa yang melakukannya, maka dosa itu
membuat suatu noktah hitam padanya; dan hati siapa yang mengingkarinya, maka
terukirlah padanya suatu sepuhan yang putih. Hingga hati manusia itu ada dua
macam, yaitu ada yang putih semisal warna yang jernih; hati yang ini tidak akan
tertimpa bahaya oleh suatu dosa pun selagi masih ada langit dan bumi. Sedangkan
hati yang lainnya tampak hitam kelam seperti tembikar yang hangus terbakar, ia
tidak mengenal perkara yang makruf dan tidak ingkar terhadap perkara yang
mungkar... hingga akhir hadis.
Ibnu Jarir mengatakan, "Menurut kami, yang benar sehubungan dengan masalah
ini adalah sebuah hadis sahih yang bermakna semisal dari Rasulullah Saw., yaitu
sebuah hadis yang diceritakan kepada kami oleh Muhammad ibnu Basysyar; dia
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Isa, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Ajlan, dari Al-Qa'qa', dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a.
yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
إِنَّ
الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا كَانَتْ نُكْتة سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ فَإِنْ
تَابَ ونزعَ وَاسْتَعْتَبَ صُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ زَادَ زَادَتْ حَتَّى تَعْلُوَ
قَلْبَهُ، فَذَلِكَ الرَّانُ الَّذِي قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {كَلا بَلْ رَانَ
عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}
Sesungguhnya orang mukmin itu apabila berbuat suatu dosa, maka hal itu
merupakan noktah hitam pada hatinya. Tetapi jika dia bertobat dan kapok serta
menyesali, maka tersepuhlah hatinya (menjadi bersih kembali). Tetapi apabila
dosanya bertambah, maka bertambah pulalah noktah hitam itu hingga
(lama-kelamaan) menutupi hatinya, yang demikian itulah yang dimaksudkan dengan
istilah ar-ran di dalam firman-Nya, "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya
apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi mereka." (Al-Muthaffifin:
14)
Hadis ini dari segi yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi dan Imam
Nasai, dari Qutaibah, Lais ibnu Sa'd dan Ibnu Majah, dari Hisyam ibnu Ammar,
dari Hatim ibnu Ismail dan Al-Walid ibnu Muslim, semuanya berasal dari Muhammad
ibnu Ajlan dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
berpredikat hasan sahih.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, "Rasulullah Saw. telah memberitakan bahwa
dosa-dosa itu apabila berturut-turut membuat noktah hitam pada hati maka ia akan
menutup hati. Apabila telah tertutup, maka saat itulah dilakukan penguncian oleh
Allah Swt. dan dilak. Setelah itu tiada jalan bagi iman untuk menembusnya dan
tiada jalan keluar bagi kekufuran untuk meninggalkannya."
Pengertian inilah yang dimaksud oleh istilah penguncian dan pengelakan yang
dinyatakan di dalam firman-Nya: Allah telah mengunci mati hati dan
pendengaran mereka. (Al-Baqarah: 7)
Pengertian ini diserupakan dengan penguncian dan pengelakan hal yang dapat
diinderawi dengan mata, yakni diserupakan dengan wadah dan botol yang tidak
dapat diambil isinya kecuali dengan membuka dan memutar tutupnya. Dengan kata
lain, demikian pula iman; tidak dapat sampai ke dalam kalbu orang-orang yang
disifati oleh Allah Swt. hati dan pendengaran mereka telah dikunci mati, kecuali
setelah membuka dan melepaskan penutup yang menguncinya.
Perlu diketahui bahwa waqaf yang sempurna (menghentikan bacaan secara total)
pada firman-Nya:
خَتَمَ
اللَّهُ عَلى قُلُوبِهِمْ وَعَلى سَمْعِهِمْ
وَعَلى
أَبْصارِهِمْ غِشاوَةٌ
Menandakan masing-masing sebagai jumlah yang sempurna. Dengan kata lain,
penguncian dilakukan terhadap hati dan pendengaran, sedangkan penutupan terjadi
pada penglihatan. Sebagaimana yang dikatakan As-Saddi di dalam kitab Tafsir-nya,
dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani,
dari Ibnu Mas'ud r.a. dan dari sejumlah sahabat Rasulullah Saw. sehubungan
dengan firman-Nya: Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka.
(Al-Baqarah: 7)
As-Saddi mengatakan, "Karena itu, mereka (orang-orang kafir) tidak dapat
berpikir dan tidak dapat pula mendengarnya." Disebutkan pula, "Dan penglihatan
mereka ditutup," makna yang dimaksud ialah pada penglihatan mereka ada
penutupnya hingga mereka tidak dapat melihat perkara yang hak.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Sa'd, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepadaku pamanku (Al-Husain
ibnul Hasan), dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ibnu Abbas, bahwa Allah telah
mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka, sedangkan penutup terdapat pada
penglihatan mereka. Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami
Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain (yakni Abu Daud), telah
menceritakan kepadaku Hajjaj (yakni Ibnu Muhammad Al-A'war), telah menceritakan
kepadaku Ibnu Juraij yang pernah mengatakan bahwa penguncian terjadi pada hati
dan penglihatan, sedangkan penutupan terjadi pada penglihatan.
Allah Swt. telah berfirman:
فَإِنْ
يَشَإِ اللَّهُ يَخْتِمْ عَلى قَلْبِكَ
وَخَتَمَ
عَلى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلى بَصَرِهِ غِشاوَةً
Dan Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan
atas penglihatannya. (Al-Jatsiyah: 23)
Ibnu Jarir mengatakan lafaz gisyawah pada firman-Nya, "Wa'ala
absarihim gisyawatan" (Al-Baqarah: 7), barangkali yang me-nasab-kannya
adalah fi'il yang tidak disebutkan. Bentuk lengkapnya ialah wa-ja'ala 'ala
absarihim gisyawatan (Dan Dia menjadikan pada penglihatan mereka penutup).
Barangkali nasab-nya itu karena mengikut kepada mahall i'rab dari lafaz wa
'ala sam'ihim, sebagaimana i'rab ittiba' pada firman-Nya:
وَحُورٌ
عِينٌ
Dan (mereka dikelilingi oleh) bidadari-bidadari yang bermata jeli.
(Al-Waqi'ah: 22)
Demikian pula pada perkataan seorang penyair, yaitu:
عَلَفْتُهَا
تِبْنًا وَمَاءً بَارِدًا ... حَتَّى شَتَتْ
هَمَّالَةً عيناها
وَرَأَيْتُ
زَوْجَكِ فِي الْوَغَى ... مُتَقَلِّدًا سَيْفًا
وَرُمْحًا
Aku beri dia makan makanan ternak dan
kuberi dia minum air yang sejuk, hingga terhapuslah belek pada kedua matanya,
dan aku lihat suamimu berada dalam pertempuran menyandang pedang dan memanggul
tombak.
Bentuk lengkapnya ialah wasaqaituha ma-an baridan dan mu'taqilan
bumhan.
Setelah disebutkan sifat orang-orang mukmin dalam permulaan surat melalui
empat ayat yang mengawalinya, kemudian diperkenalkan pula keadaan orang-orang
kafir melalui dua ayat berikutnya, maka Allah Swt. mulai menjelaskan keadaan
orang-orang munafik. Orang-orang munafik adalah mereka yang menampakkan
lahiriahnya seakan-akan beriman, sedangkan di dalam batin mereka memendam
kekufuran. Mengingat perkara mereka membingungkan kebanyakan orang, maka Allah
Swt. mengetengahkan perihal mereka dalam pembahasan yang cukup panjang dengan
menyebutkan sifat dan ciri khas yang beraneka ragam, tetapi masing-masing ragam
dan bentuk tersebut merupakan ciri khas kemunafikan tersendiri. Sebagaimana
Allah pun menyebutkan perihal mereka dalam surat Baraah (surat At-Taubah), surat
Munafiqun, dan surat An-Nur serta surat-surat lainnya, untuk memperkenalkan
keadaan dan sepak terjang mereka agar dihindari dan jangan sampai orang yang
belum mengetahuinya terjerumus ke dalamnya.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 7"
Posting Komentar