Al-Baqoroh Ayat 240-242
Selasa, 15 Mei 2018
Add Comment
{وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا
إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا
فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (240)
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (241)
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (242)
}
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di
antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya,
(yaitu) diberi nafkah hingga satu tahun lamanya dengan tidak disuruh pindah
(dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka
pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah
diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban
bagi orang-orang yang takwa. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian
ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kalian memahaminya.
Kebanyakan ulama mengatakan bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat sebelumnya,
yaitu firman-Nya:
{يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا}
menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah:
234)
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umayyah, telah
menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zura'i, dari Habib, dari Ibnu Abu Mulaikah
yang menceritakan bahwa Ibnuz Zubair pernah mengatakan bahwa ia pernah
mengatakan kepada Usman ibnu Affan mengenai firman-Nya: Dan orang-orang yang
akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri. (Al-Baqarah:
240) Bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat lainnya, maka mengapa engkau tetap
menulisnya atau mengapa tidak engkau tinggalkan? Khalifah Usman ibnu Affan
menjawab, "Hai anak saudaraku, aku tidak akan mengubah barang sedikit pun bagian
dari Al-Qur'an ini dari tempatnya."
Kemusykilan yang diutarakan oleh Ibnuz Zubair kepada Usman ibnu Aftan ialah
bilamana hukum ayat telah di-mansukh dengan ayat yang menyatakan beridah empat
bulan sepuluh hari, maka hikmah apakah yang terkandung dalam penetapan rasamnya,
padahal hukum-nya telah dihapuskan. Sedangkan keberadaan rasamnya sesudah
hukumnya telah di-mansukh memberikan pengertian bahwa hukum ayat yang
bersangkutan masih tetap ada? Maka Amirul Muminin menjawabnya, bahwa hal ini
merupakan perkara yang bersifat tauqifi. Aku menjumpainya ditetapkan dalam
mushaf sesudah itu (penasikhan), maka aku pun menetapkannya pula seperti apa
yang aku jumpai.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, dari
Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan
istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga
setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (Al-Baqarah:
240) Pada mulanya istri yang ditinggal mati suaminya berhak memperoleh nafkah
dan tempat tinggal selama satu tahun penuh, kemudian ayat ini di-mansukh oleh
ayat mawaris (waris-mewaris) yang di dalamnya dicantumkan bahwa si istri beroleh
seperempat atau seperdelapan dari harta peninggalan suaminya.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Abu Musa
Al-Asy'ari, Ibnuz Zubair, Mujahid, Ibrahim, Ata, Al-Hasan, Ikrimah, Qatadah,
Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, As-Saddi, Mu-qatil ibnu Hayyan, Ata Al-Khurrasani,
dan Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh.
Telah diriwayatkan melalui jalur Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa dahulu apabila seorang lelaki meninggal dunia dan meninggalkan
istrinya, maka si istri melakukan idahnya selama satu tahun di rumah si suami
dan menerima nafkah dari harta suaminya. Sesudah itu Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan
meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(beridah) empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234) Demikianlah idah
seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya; kecuali jika ia dalam keadaan
hamil, maka idahnya sampai batas ia melahirkan kandungannya. Allah Swt. telah
berfirman pula:
وَلَهُنَّ
الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كانَ لَكُمْ
وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
Para istri memperoleh seperempat harta yang kalian tinggalkan jika kalian
tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan. (An-Nisa: 12) Maka melalui
ayat ini dijelaskan hak waris istri dan ditinggalkanlah wasiat dan nafkah yang
telah disebutkan oleh ayat di atas (Al-Baqarah: 240).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan,
Ikrimah, Qatadah, Ad-Dahhsk, Ar-Rabi', dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa ayat ini
(Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh firman-Nya: selama empat bulan
sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234)
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab
bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh ayat yang ada di dalam
surat Al-Ahzab, yaitu firman-Nya:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ}
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan
yang beriman. (Al-Ahzab: 49), hingga akhir ayat.
Menurut kami, telah diriwayatkan pula dari Muqatil dan Qatadah bahwa ayat ini
(Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh ayat miras (pembagian waris
–ed).
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur,
telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari
Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: Dan orang-orang
yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri.
(Al-Baqarah: 240) Mujahid mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan wanita yang
menunggu masa idahnya di rumah keluarga suaminya, sebagai suatu kewajiban.
Kemudian Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan orang-orang yang akan
meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat
untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak
disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka
tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan
mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. (Al-Baqarah: 240) Allah
menjadikan kelengkapan satu tahun —yaitu tujuh bulan dua puluh hari— sebagai
wasiat (dari pihak suami). Untuk itu jika pihak istri setuju dengan wasiat
tersebut, ia boleh tinggal selama satu tahun (di rumah mendiang suaminya); jika
ia suka keluar, maka ia boleh keluar. Pengertian inilah yang tersitirkan dari
firman-Nya: dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika
mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari
yang meninggal). (Al-Baqarah: 240) Pada garis besarnya idah tetap diwajibkan
seperti apa adanya
Imam Bukhari menduga bahwa hal ini diriwayatkan dari Mujahid.
Ata mengatakan, Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat di atas me-mansukh
pengertian harus beridah di rumah keluarganya. Untuk itu si istri boleh beridah
di mana pun menurut apa yang dikehendakinya. Pengertian inilah yang tersitir
dari firman-Nya: dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
(Al-Baqarah: 240)
Ata mengatakan, jika si istri suka, ia boleh beridah di rumah suaminya dan
tinggal sesuai dengan hak wasiat yang diperolehnya; jika ia suka, boleh keluar
(untuk melakukan idahnya di rumahnya sendiri), karena Allah Swt. telah
berfirman: maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka.
(Al-Baqarah: 240)
Ata mengatakan lagi bahwa sesudah itu turunlah ayat miras
(waris-mewaris), maka di-mansukh-lah ayat memberi tempat tinggal. Untuk itu si
istri boleh beridah di mana pun yang disukainya, tetapi tidak berhak mendapat
tempat tinggal lagi.
Kemudian Imam Bukhari menyandarkan kepada Ibnu Abbas suatu riwayat yang sama
dengan pendapat yang disandarkan kepada Mujahid dan Ata yang mengatakan bahwa
ayat ini tidak menunjukkan wajib beridah selama satu tahun. Pendapat ini sama
dengan apa yang dikatakan oleh jumhur ulama, dan sama sekali tidak di-mansukh
oleh ayat yang menyatakan beridah selama empat bulan sepuluh hari. Melainkan
ayat ini menunjukkan bahwa hal tersebut menyangkut masalah anjuran berwasiat
buat para istri yang akan ditinggal mati oleh suami-suaminya, yaitu memberikan
kesempatan kepada mereka untuk tinggal di rumah suami-suami mereka sesudah
suami-suami mereka meninggal dunia selama satu tahun, jika mereka mau
menerimanya. Karena itulah maka disebutkan di dalam firman-Nya: hendaklah
berwasiat untuk istri-istrinya. (Al-Baqarah: 240) Yakni Allah mensyariatkan
kepada kalian untuk membuat wasiat buat mereka.
Perihalnya sama dengan makna yang ada di dalam firman lainnya, yaitu:
{يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ}
Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak
kalian. (An-Nisa: 11), hingga akhir ayat.
Dan Firman-Nya:
{وَصِيَّةً
مِنَ اللَّهِ}
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari
Allah. (An-Nisa: 12)
Menurut pendapat yang lain, lafaz wasiyyatan di-nasab-kan karena
mengandung pengertian, "Maka hendaklah kalian berwasiat buat mereka dengan
sebenar-benarnya." Sedangkan yang lainnya membacanya rafa' (wasiyyatun)
dengan pengertian, "Telah ditetapkan atas kalian berwasiat," pendapat inilah
yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Tiada yang melarang mereka (para istri) untuk melakukan hal tersebut, karena
ada firman-Nya yang mengatakan:
{غَيْرَ
إِخْرَاجٍ}
dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (Al-Baqarah: 240)
Jika ia telah menyelesaikan masa idahnya yang empat bulan sepuluh hari, atau
telah melahirkan kandungannya, lalu ia memilih keluar dari rumah mendiang
suaminya serta pindah darinya, maka ia tidak dilarang untuk melakukannya, karena
firman Allah Swt.:
{فَإِنْ
خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ
مَعْرُوفٍ}
Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian
(wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf
terhadap diri mereka. (Al-Baqarah: 240)
Pendapat ini cukup terarah dan sesuai dengan makna ayat secara lahiriahnya.
Pendapat ini ternyata dipilih oleh sejumlah ulama, antara lain Imam Abul Abbas
ibnu Taimiyah. Tetapi ulama lainnya membantah pendapat tersebut, di antaranya
adalah Abu Umar ibnu Abdul Barr.
Pendapat Ata dan para pengikutnya yang menyatakan bahwa hal tersebut
di-mansukh oleh ayat miras, jika mereka bermaksud tidak lebih dari empat
bulan sepuluh hari, maka hal ini bukan merupakan suatu masalah. Akan tetapi,
jika mereka bermaksud bahwa memberi tempat tinggal selama empat bulan sepuluh
hari bukan merupakan suatu kewajiban yang dibebankan kepada peninggalan mayat,
maka hal inilah yang menjadi topik perbedaan pendapat di kalangan para imam.
Imam Syafii sehubungan dengan masalah ini mempunyai dua pendapat.
Mereka yang berpendapat wajib memberi tempat tinggal di rumah suami
berdalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab
Muwatta'-nya dari Sa'd ibnu Ishaq ibnu Ka'b ibnu Ujrah, dari bibinya (yaitu
Zainab binti Ka'b ibnu Ujrah). Disebutkan bahwa Fari'ah binti Malik ibnu Sinan
(yaitu saudara perempuan Abu Sa'id Al-Khudri r.a.) pernah menceritakan kepadanya
(Zainab binti Ka'b ibnu Ujrah) bahwa ia pernah datang menghadap Rasulullah Saw.
untuk meminta izin agar diperkenankan kembali ke rumah keluarganya di kalangan
orang-orang Bani Khudrah. Karena sesungguhnya suaminya telah berangkat untuk
mencari budak-budaknya yang minggat (melarikan diri). Tetapi ketika ia sampai di
Tarful Qadum, ia dapat menyusul mereka, hanya saja mereka membunuhnya. Fari'ah
melanjutkan kisahnya, "Aku meminta kepada Rasulullah Saw. untuk kembali ke rumah
keluargaku, karena sesungguhnya suamiku tidak meninggalkan diriku di dalam
rumahnya sendiri, tiada pula nafkah buatku. Maka Rasulullah Saw. hanya menjawab,
'Ya.' Lalu aku pergi. Tetapi ketika aku sampai di Hujrah, Rasulullah Saw.
memanggilku, atau memerintahkan seseorang untuk memanggilku. Setelah aku datang,
beliau Saw. bertanya, 'Apa yang tadi kamu katakan?' Maka aku mengulangi
lagi kepadanya kisah mengenai nasib yang menimpa suamiku, lalu beliau Saw.
bersabda:
«امْكُثِي
فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ»
'Diamlah di dalam rumahmu hingga masa idahmu habis.' Maka aku
melakukan idah di dalam rumah suamiku selama empat bulan sepuluh hari. Ketika
Khalifah Usman ibnu Affan mengutus seseorang untuk menanyakan kasus yang sama,
maka aku ceritakan hal itu kepadanya, dan ia mengikutinya serta memutuskan
perkara dengan keputusan yang sama."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam
Nasai melalui hadis Malik dengan lafaz yang sama. Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula melalui jalur Sa'd ibnu
Ishaq dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan
sahih.
*******************
Firman Allah Swt:
{وَلِلْمُطَلَّقَاتِ
مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ}
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya)
mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang
bertakwa. (Al-Baqarah: 241)
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ketika firman-Nya
diturunkan, yaitu: Mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236) Maka seorang lelaki
berkata, "Jika aku menghendaki untuk berbuat kebajikan, niscaya aku akan
melakukannya. Jika aku suka tidak melakukannya, niscaya aku tidak akan
melakukannya." Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini: Kepada wanita-wanita yang
diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf,
sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241)
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang-orang dari kalangan ulama yang mengatakan
bahwa wajib diberikan mut'ah kepada setiap wanita yang diceraikan, baik ia
wanita yang memasrahkan jumlah maskawinnya atau telah mendapat ketentuan jumlah
maharnya ataupun diceraikan sebelum digauli atau telah digauli. Pendapat inilah
yang dikatakan oleh Imam Syafii. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh Sa'id
ibnu Jubair dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, dan dipilih oleh Ibnu
Jarir.
Sedangkan menurut pendapat orang-orang yang tidak mewajibkan mut'ah secara
mutlak, pengertian umum ayat ini di-takhsis oleh firman lainnya, yaitu:
{لَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ
تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى
الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى
الْمُحْسِنِينَ}
Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan
istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka dan sebelum kalian
menentukan maharnya. Dan hendaklah kalian berikan suatu mut'ah (pemberian)
kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin
menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian
itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
(Al-Baqarah: 236)
Golongan yang pertama membantah pendapat ini, bahwa ayat di atas termasuk ke
dalam pengertian menuturkan sebagian dari rincian yang umum. Karena itu, tidak
ada takhsis menurut pendapat yang terkenal lagi banyak pendukungnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ}
Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat-Nya
(hukum-hukum-Nya). (Al-Baqarah: 242)
Yakni mengenai halal dan haram-Nya serta fardu dan batasan-batasan-Nya dalam
semua yang diperintahkan-Nya kepada kalian dan semua yang dilarang-Nya kepada
kalian. Dia menerangkan dan menjelaskannya serta menafsirkannya. Dia tidak akan
membiarkan hal yang bermakna global kepada kalian di saat kalian
memerlukannya.
{لَعَلَّكُمْ
تَعْقِلُونَ}
supaya kalian memahaminya. (Al-Baqarah: 242)
Maksudnya, agar kalian memahami dan memikirkannya.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 240-242"
Posting Komentar