Al-Baqoroh 238-239
Selasa, 15 Mei 2018
Add Comment
{حَافِظُوا
عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (238)
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ
كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (239) }
Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah)
salat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. Jika kalian
dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan.
Kemudian apabila kalian telah aman, maka sebutlah Allah (salatlah), sebagaimana
Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian
ketahui.
Allah memerintahkan agar semua salat dipelihara dalam waktunya masing-masing,
dan memelihara batasannya serta menunaikannya di dalam waktunya masing-masing.
Seperti yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Mas'ud yang
menceritakan:
سَأَلْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْعَمَلِ أفضل؟ قال:
«الصلاة في وَقْتِهَا» . قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ» . قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ «بِرُّ الْوَالِدَيْنِ» ، قَالَ: حَدَّثَنِي
بِهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم ولو استزدته
لزادني.
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Amal apakah yang paling utama?"
Ia menjawab, "Mengerjakan salat pada waktunya." Aku berkata lagi,
"Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah." Aku
bertanya lagi, "Lalu apa lagi?" Beliau menjawab, "Berbakti kepada kedua orang
tua." Ibnu Mas'ud mengatakan, "Semua itu diceritakan oleh Rasulullah Saw.
kepadaku. Seandainya aku meminta keterangan yang lebih lanjut, niscaya beliau
akan menambahkannya."
Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا
يُونُسُ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ حَفْصِ بْنِ
عَاصِمٍ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ غَنَّامٍ، عَنْ جَدَّتِهِ أُمِّ أَبِيهِ الدُّنْيَا،
عَنْ جَدَّتِهِ أُمِّ فَرْوَة -وَكَانَتْ مِمَّنْ بَايَعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَذَكَرَ الْأَعْمَالَ، فَقَالَ: "إِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ
إِلَى اللَّهِ تعجيلُ الصَّلَاةِ لِأَوَّلِ وَقْتِهَا".
telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Lais,
dari Abdullah ibnu Umar ibnu Hafs ibnu Asim, dari Al-Qasim ibnu Ganam, dari
neneknya (yakni ibu ayahnya yang bernama Ad-Dunia), dari neneknya (yaitu Ummu
Farwah). Ummu Farwah termasuk salah seorang sahabat wanita yang ikut
ber-baiat kepada Rasulullah Saw. Bahwa ia pernah mendengar Rasulullah
Saw. menyebut tentang berbagai amal perbuatan. Beliau Saw. bersabda:
Sesungguhnya amal perbuatan yang paling disukai Allah ialah menyegerakan
salat pada awal waktunya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi, dan ia
mengatakan, "Kami tidak mengetahui hadis ini melainkan hanya melalui jalur
Al-Umari, sedangkan dia orangnya dinilai tidak kuat oleh kalangan ahli
hadis." Allah Swt. menyebutkan sccara khusus di antara semua salat, yaitu salat
wusta, dengan sebutan yang lebih kuat kedudukannya. Ulama Salaf dan
Khalaf berselisih pendapat mengenai makna yang dimaksud dari salat wusta ini,
salat apakah ia?
Menurut suatu pendapat, salat wusta itu adalah salat Subuh, seperti yang
diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta'-nya melalui Ali dan Ibnu
Abbas. Hasyim, Ibnu Ulayyah, Gundar, Ibnu Abu Add:, Abdul Wahhab, dan Syarik serta
lain-lainnya telah meriwayatkan dari Auf Al-A'rabi, dari Abu Raja Al-Utaridi
yang mengatakan bahwa ia pernah salat Subuh bermakmum kepada Ibnu Abbas, lalu
Ibnu Abbas membaca doa qunut seraya mengangkat kedua tangannya. Kemudian ia
berkata, "Inilah salat wusta yang diperintahkan kepada kita agar kita berdiri di
dalamnya seraya membaca doa qunut." Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dan
dia telah meriwayatkannya pula melalui Auf, dari Khallas ibnu Amr, dari Ibnu
Abbas dengan lafaz yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basvsyar, telah
menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Auf, dari
Abul Minhal, dari Abul Aliyah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia salat di masjid Basrah,
yaitu salat Subuh, lalu ia melakukan doa qunut sebelum rukuk. Sesudah itu ia
berkata, "Inilah salat wusta yang disebutkan oleh Allah di dalam Kitab
(Al-Qur'an)-Nya," lalu ia membacakan firman-Nya: Peliharalah semua salat(mu)
dan (peliharalah) salat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan
khusyuk. (Al-Baqarah: 238)
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa
Ad-Damigani, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan
kepada kami Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah yang mengatakan, "Aku pernah
salat di belakang Abdullah ibnu Qais di Basrah, yaitu salat Subuh. Lalu aku
bertanya kepada seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. yang berada
di sebelahku, 'Apakah salat wusta itu?' Ia menjawab, 'Salat wusta adalah salat
sekarang ini (yaitu Subuh)'."
Diriwayatkan melalui jalur lain, dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah, bahwa ia
pernah salat bersama sahabat Rasulullah Saw., yaitu salat Subuh. Ketika mereka
selesai dari salatnya, maka aku bertanya kepada mereka, "Manakah yang dimaksud
dengan salat wusta itu?" Mereka menjawab, "Salat yang baru saja kamu
kerjakan." Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Yasyar, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Asmah, dari Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari
Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan: Salat wusta adalah salat Subuh.
Asar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim melalui Ibnu Umar, Abu Umamah,
Anas, Abul Aliyah, Ubaid ibnu Umair, Ata, Mujahid, Jabir ibnu Zaid, Ikrimah, dan
Ar-Rabi' ibnu Anas. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had. Hal inilah yang
dinaskan oleh Imam Syafii rahimahullah seraya berdalilkan firman-Nya:
Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan membaca doa qunut.
(Al-Baqarah: 238) Doa qunut menurut Imam Syafii di dalam salat Subuh.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa salat ini dinamakan wusta karena
mengingat tidak dapat diqasar dan terletak di antara dua salat ruba'iyyah yang
dapat diqasar. Menurut pendapat lain, salat wusta adalah salat Magrib, karena
letak waktunya di antara dua salat jahriyyah di malam hari dan dua salat siang
yang sirri (perlahan bacaannya).
Menurut pendapat yang lain, salat wusta adalah salat Lohor. Abu Daud
At-Tayalisi di dalam kitab musnadnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Ibnu Abu Zi'b, dari Az-Zabarqan (yakni Ibnu Amr), dari Zahrah (yakni Ibnu
Ma'bad) yang menceritakan, "Ketika kami sedang berada di dalam majelis sahabat
Zaid ibnu Sabit, mereka (jamaah yang hadir) mengirimkan utusan kepada sahabat
Usamah untuk menanyakan kepadanya tentang salat wusta. Maka ia berkata:
'Salat wusta adalah salat Lohor, dahulu Rasulullah Saw. selalu mengerjakannya
di waktu hajir (panas matahari terik sekali)'."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far,
telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Abu
Hakim, bahwa ia pernah mendengar Az-Zabarqan menceritakan hadis berikut dari
Urwah ibnuz Zubair, dari Zaid ibnu Sabit yang menceritakan: Rasulullah Saw.
melakukan salat Lohor di waktu hajir (panas matahari sangat terik), tiada suatu
salat pun yang dirasakan amat berat oleh sahabat-sahabat Rasul Saw. selain dari
salat Lohor. Maka turunlah firman-Nya, "Peliharalah semua salat-(mu), dan
(peliharalah) salat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan
khusyuk" (Al-Baqarah: 238). Beliau mengatakan:
"إِنَّ
قَبْلَهَا صَلَاتَيْنِ وَبَعْدَهَا صَلَاتَيْنِ"
bahwa sebelum salat Lohor terdapat dua salat lain, dan sesudahnya terdapat
pula dua salat lainnya.
Imam Abu Daud meriwayatkannya pula di dalam kitab sunannya melalui hadis
Syu'bah dengan lafaz yang sama. Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abu Da’b, dari Az-Zabarqan, bahwa segolongan
orang-orang Quraisy dijumpai oleh Zaid ibnu Sabit ketika mereka sedang
berkumpul. Lalu mereka mengutus dua orang budak kepada Zaid ibnu Sabit untuk
menanyakan kepadanya tentang apa yang dimaksud dengan salat wusta. Maka Zaid
ibnu Sabit menjawab, bahwa salat wusta adalah salat Asar. Mereka kurang puas,
lalu berdirilah dua orang lelaki dari kalangan mereka. Kemudian keduanya
menanyakan hal tersebut kepada Zaid, maka Zaid ibnu Sabit menjawab bahwa salat
wusta itu adalah salat Lohor. Kemudian keduanya berangkat menuju sahabat Usamah
ibnu Zaid, lalu keduanya menanyakan hal tersebut kepadanya, dan ia menjawab
bahwa salat wusta adalah salat Lohor. Sesungguhnya Nabi Saw. selalu mengerjakan
salat Lohornya di waktu hajir, maka orang-orang yang bermakmum di belakangnya
hanya terdiri atas satu atau dua saf saja, karena saat itu orang-orang sedang
dalam istirahat siang harinya dan di antara mereka ada yang sibuk dengan urusan
dagangnya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Peliharalah semua salal(mu) dan
(peliharalah) salat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan
khusyuk. (Al-Baqarah: 238); Maka Rasulullah Saw. bersabda:
«لَيَنْتَهِيَنَّ
رِجَالٌ أَوْ لَأُحَرِّقَنَّ بُيُوتَهُمْ»
Hendaklah kaum lelaki benar-benar berhenti (dari meninggalkan salat jamaah
Lohor) atau aku benar-benar akan membakar rumah mereka.
Az-Zabarqan adalah Ibnu Amr ibnu Umayyah Ad-Dimri, ia belum pernah menjumpai
masa seorang sahabat pun. Hal yang benar ialah apa yang telah disebutkan sebelum ini, yaitu riwayatnya
yang dari Zuhrah ibnu Ma'bad dan Urwah ibnuz Zubair.
Syu'bah, Hammam meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari
Ibnu Umar, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, "Salat wusta adalah salat
Lohor." Abu Daud At-Tayalisi dan lain-lainnya meriwayatkan dari Syu'bah, telah
menceritakan kepadaku Sulaiman ibnu Umar (salah seorang anak Umar ibnul Khattab
r.a.) yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Abdur Rahman ibnu Aban ibnu
Usman menceritakan asar berikut dari ayahnya, dari Zaid ibnu Sabit yang
mengatakan, "Salat wusta adalah salat Lohor."
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Zakaria ibnu Yahya ibnu Abu Zai-dah, dari Abdus
Samad, dari Syu'bah, dari Umar ibnu Sulaiman, dari Zaid ibnu Sabit di dalam
hadis marfu'-nya yang mengatakan: Salat wusta adalah salat Lohor. Di antara orang-orang yang meriwayatkan darinya (Zaid ibnu Sabit), bahwa
salat wusta itu adalah salat Lohor ialah Ibnu Umar, Abu Sa'id, dan Siti Aisyah,
sekalipun masih diperselisihkan keabsahannya dari mereka. Pendapat inilah yang
dikatakan oleh Urwah ibnuz Zubair dan Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had, serta
salah satu riwayat dari Imam Abu Hanifah.
Menurut pendapat yang lain, salat wusta itu adalah salat Asar. Imam Turmuzi
dan Imam Bagawi mengatakan bahwa hal inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ulama
dari kalangan sahabat dan lain-lainnya. Al-Qadi Al-Mawardi mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh
jumhur ulama dari kalangan tabi'in.
Al-Hafiz Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat inilah yang
dikatakan oleh kebanyakan ahli asar. Abu Muhammad ibnu Atiyyah di dalam
tafsirnya mengatakan, hal inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama.
Al-Hafiz Abu Muhammad Abdul Mumin ibnu Khalaf Ad-Dimyati di dalam kitabnya
yang berjudul Kasyful Gita fi Tabyini Salatil Wusta (Menyingkap Tabir
Rahasia Salat Wusta) mengatakan, telah di-naskan bahwa yang dimaksud dengan
salat wusta adalah salat Asar. Ia meriwayatkannya dari Umar, Ali, Ibnu Mas'ud,
Abu Ayyub, Abdullah ibnu Amr, Samurah ibnu Jundub, Abu Hurairah, Abu Sa'id,
Hafsah, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Siti Aisyah,
menurut pendapat yang sahih dari mereka.
Ubaidah, Ibrahim An-Nakha'i, Razin, Zur ibnu Hubaisy, Sa'id ibnu Jubair, Ibnu
Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Al-Kalbi, Muqatil, Ubaid ibnu Maryam dan
lain-lainnya mengatakan bahwa pendapat inilah yang dianut oleh mazhab Imam Ahmad
ibnu Hambal. Al-Qadi Al-Mawardi dan Imam Syafii mengatakan bahwa Ibnul Munzir pernah
mengatakan, "Pendapat inilah yang sahih dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan
Muhammad, dipilih oleh Ibnu Habib Al-Maliki."
Dalil yang memperkuat pendapat ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah
menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami
Al-A'masy, dari Muslim, dari Syittir ibnu Syakl, dari Ali yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam Perang Ahzab:
"شَغَلُونَا
عَنِ الصَّلَاةِ الْوُسْطَى، صَلَاةِ الْعَصْرِ، مَلَأَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
وَبُيُوتَهُمْ نَارًا". ثُمَّ صَلَّاهَا بَيْنَ الْعِشَاءَيْنِ: الْمَغْرِبِ
وَالْعِشَاءِ
Mereka menyibukkan kami dari salat wusta, yaitu salat Asar. Semoga Allah
memenuhi hati dan rumah mereka dengan api. Kemudian Rasulullah Saw.
mengerjakannya di antara salat Magrib dan Isya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Abu Mu'awiyah dan
Muhammad ibnu Hazm yang tuna netra, sedangkan Imam Nasai meriwayatkannya dari
jalur Isa ibnu Yunus. Keduanya meriwayatkan hadis ini dari Al-A'masy, dari
Muslim ibnu Sabih, dari Abud Duha, dari Syittir ibnu Syakl ibnu Humaid, dari Ali
ibnu Abu Talib, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui jalur Syu'bah, dari Al-Hakam ibnu
Uyaynah, dari Yahya ibnul Jazzar, dari Ali ibnu Abu Talib. Syaikhain, Abu Daud, Turmuzi, dan Imam Nasai serta bukan hanya seorang dari
kalangan pemilik kitab musnad, sunah, dan sahih telah mengetengahkannya melalui
berbagai jalur yang amat panjang bila dikemukakan, melalui Ubaidah As-Salmani,
dari Ali dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkannya pula melalui jalur Al-Hasan
Al-Basri, dari Ali dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan, "Belum
pernah dikenal bahwa Al-Hasan Al-Basri pernah mendengar dari Ali." Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan,
telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Asim,
dari Zur yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Ubaidah, "Tanyakanlah
kepada sahabat Ali tentang makna salat wusta." Lalu Ubaidah menanyakan hal ini
kepadanya. Maka Ali menjawab, "Dahulu kami menganggapnya salat fajar yakni salat
Subuh, hingga aku mendengar dari Rasulullah Saw. yar.g telah bersabda dalam
Perang Ahzab:
"شَغَلُونَا
عَنِ الصَّلَاةِ الْوُسْطَى صَلَاةِ الْعَصْرِ، مَلَأَ اللَّهُ قُبُورَهُمْ
وَأَجْوَافَهُمْ -أَوْ بُيُوتَهُمْ -نَارًا"
'Mereka menyibukkan kami dari salat wusta, yaitu salat Asar. Semoga Allah
memenuhi kubur mereka dan perut mereka atau rumah mereka dengan api'."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Bandar, dari Ibnu Mahdi
dengan lafaz yang sama.
Hadis mengenai Perang Ahzab dan kaum musyrik yang membuat Rasulullah Saw. dan
para sahabatnya sibuk hingga tidak dapat mengerjakan salat Asar pada hari itu
diriwayatkan oleh banyak perawi dari para sahabat yang bila disebutkan akan
panjang sekali. Hal yang dimaksud dalam pembahasan ini hanyalah menerangkan
tentang pendapat orang yang mengatakan bahwa salat wusta itu adalah salat Asar
dengan berdalilkan hadis ini.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis Ibnu Mas'ud dan Al-Barra ibnu
Azib r.a.
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah
menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammam, dari
Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"صَلَاةُ
الْوُسْطَى: صَلَاةُ الْعَصْرِ"
Salat wusta adalah salat Asar.
Telah menceritakan kepada kami Bahz dan Affan; keduanya mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari
Al-Hasan, dari Samurah, bahwa Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya:
Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta. (Al-Baqarah:
238) Lalu beliau Saw. menyebutkan keterangannya kepada kami sebagai salat
Asar.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far dan Rauh; keduanya
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Al-Hasan,
dari Samurah ibnu Jundub, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda sehubungan dengan
salat wusta: Ia adalah salat Asar,
Ibnu Ja'far mengatakan bahwa Nabi Saw. bersabda demikian karena ditanya
mengenai maksud salat wusta. Imam Turmuzi meriwayatkan pula hadis ini melalui hadis Sa'id ibnu Abu Arubah,
dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis
ini berpredikat hasan sahih. Imam Turmuzi pernah mendengar hadis lainnya
(mengenai masalah yang sama) dari Sa'id ibnu Abu Arubah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mani', telah
menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Ata, dari At-Taimi, dari Abu Saleh,
dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Salat wusta adalah
salat Asar.
Jalur yang lain —dan bahkan hadis yang lain— diriwayatkan oleh Ibnu Jarir,
bahwa Al-Musanna telah menceritakan kepadanya, telah menceritakan kepada kami
Sulaiman ibnu Ahmad Al-Jarasyi Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami
Al-Walid ibnu Muslim yang pernah mengatakan, telah menceritakan kepadanya
Sadaqah ibnu Khalid, telah menceritakan kepadanya Khalid ibnu Dihqan, dari
Khalid ibnu Sailan, dari Kahil ibnu Harmalah yang pernah menceritakan bahwa Abu
Hurairah pernah ditanya mengenai makna salat wusta. Maka ia menjawab, "Kami
pernah berselisih pendapat mengenainya sebagaimana kalian berbeda pendapat
mengenainya. Saat itu kami berada di halaman rumah Rasulullah Saw. dan di
kalangan kami terdapat seorang lelaki yang saleh, yaitu Abu Hasyim ibnu Atabah
ibnu Rabi'ah ibnu Abdu Syams. Ia berkata, 'Akulah yang akan memberitahukannya
kepada kalian.' Lalu ia meminta izin untuk menemui Rasulullah Saw. Setelah
diberi izin, ia masuk menemuinya. Kemudian ia keluar menemui kami, lalu berkata,
'Beliau telah bersabda kepada kami bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah
salat Asar'." Ditinjau dari segi sanad ini predikat hadis garib jiddan.
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir yang mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu
Ahmad, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam, dari Muslim maula Abu Jubair,
telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Yazid Ad-Dimasyqi yang menceritakan
asar berikut: Ketika aku sedang duduk di majelis Abdul Aziz ibnu Marwan, maka
Abdul Aziz ibnu Marwan berkata, "Hai Fulan, berangkatlah kepada si anu dan
tanyakanlah 'apa saja yang pernah ia dengar dari Rasulullah Saw. tentang salat
wusta'." Maka seorang lelaki dari hadirin yang ada di majelis berkata, "Abu
Bakar dan Umar pernah mengutusku, ketika itu aku masih kecil untuk menanyakan
kepada beliau Saw. tentang salat wusta. Maka beliau Saw. memegang jari kecilku,
lalu bersabda, 'Ini adalah salat Subuh,' lalu memegang jari sesudahnya
dan bersabda, 'Ini salat Lohor.' Lalu memegang jari jempolku dan
bersabda, 'Ini salat Magrib,' lalu beliau memegang jari sesudahnya (yakni
jari telunjukku) dan bersabda, 'Ini salat Isya.' Kemudian beliau Saw.
bersabda, 'Jarimu yang manakah yang belum terpegang?' Aku menjawab, 'Jari
tengah.' Dan beliau saw. bersabda, 'Salat apakah yang belum disebutkan?' Aku
menjawab, 'Salat Asar.' Maka beliau bersabda, 'Salat wusta adalah
salat Asar'."
Akan tetapi, hadis ini pun berpredikat garib (aneh).
Hadis lainnya, Imam Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku
Muhammad ibnu Auf At-Ta-i, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail
ibnu Iyasy, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Abu
Damdam ibnu Zar'ah, dari Syuraih ibnu Ubaid, dari Abu Malik Al-Asy'ari yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salat wusta adalah salat
Asar.
Sanad hadis ini tidak mengandung cela.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Abu Hatim ibnu Hibban yang mengatakan di
dalam kitab sahihnya bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya ibnu
Zuhair, telah menceritakan kepada kami Al-Jarrah ibnu Makhlad, telah
menceritakan kepada kami Amr ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Hammam
ibnu Mauriq Al-Ajali, dari Abul Ahwas, dari Abdullah yang telah menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salat wusta adalah salat Asar.
Dan sesungguhnya Imam Turmuzi meriwayatkan melalui hadis Muhammad ibnu Talhah
ibnu Musarrif, dari Zubaid Al-Yami, dari Mur-rah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salat wusta adalah
salat Asar.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Imam Muslim
mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya melalui jalur Muhammad ibnu
Talhah yang lafaznya seperti berikut: Mereka telah menyibukkan kita dari
salat wusta, yaitu salat Asar.
Semua dalil dalam masalah ini tidak mengandung suatu takwil pun (karena sudah
jelas), dan hal ini diperkuat dengan adanya perintah yang menganjurkan untuk
memelihara salat wusta. Dalil lainnya ialah sabda Nabi Saw. di dalam sebuah
hadis sahih melalui riwayat Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
«مَنْ
فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْعَصْرِ فَكَأَنَّمَا وَتِرَ أَهْلَهُ
وَمَالَهُ»
Barang siapa yang meninggalkan salat Asarnya, maka seakan-akan ia seperti
orang yang kehilangan keluarga dan harta bendanya.
Di dalam kitab sahih pula dari hadis Al-Auza'i, dari Yahya ibnu Abu Kasir,
dari Abu Qilabah, dari Abu Kasir, dari Abul Mujahir, dari Buraidah ibnul Hasib,
dari Nabi Saw., disebutkan seperti berikut, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
«بَكِّرُوا
بِالصَّلَاةِ فِي يَوْمِ الْغَيْمِ، فَإِنَّهُ مَنْ تَرَكَ صَلَاةَ الْعَصْرِ،
فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ»
Bersegeralah dalam melakukan salat (yakni di awal waktunya) pada hari yang
berawan; karena sesungguhnya barang siapa yang meninggalkan salat Asar, niscaya
amal perbuatannya dihapuskan.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ، أَخْبَرَنَا ابْنُ
لَهِيعَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ هُبَيْرَةَ، عَنْ أَبِي تَمِيمٍ، عَنْ أَبِي
بَصْرَةَ الْغِفَارِيِّ قَالَ: صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَادٍ مِنْ أَوْدِيَتِهِمْ، يُقَالُ لَهُ: المخَمَّص
صَلَاةَ الْعَصْرِ، فَقَالَ: "إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ صَلَاةَ الْعَصْرِ عُرِضَت
عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ فَضَيَّعُوهَا، أَلَا وَمَنْ صَلَّاهَا ضُعِّف
لَهُ أَجْرُهُ مَرَّتَيْنِ، أَلَا وَلَا صَلَاةَ بَعْدَهَا حَتَّى تَرَوُا
الشَّاهِدَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abdullah ibnu Hubairah, dari Abu
Tamim, dari Abu Nadrah Al-Gifari yang menceritakan hadis berikut: Kami salat
dengan Rasulullah Saw. di sebuah lembah milik mereka yang dikenal dengan nama
Al-Hamis, yaitu salat Asar. Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya salat ini
pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, lalu mereka
menyia-nyiakannya. Ingatlah, barang siapa yang mengerjakannya, maka
dilipatgandakan pahalanya menjadi dua kali lipat. Ingatlah, tiada salat (sunat)
sesudahnya sebelum kalian melihat asy-syahid (matahari tenggelam dan malam
hari mulai gelap).
Kemudian Imam Ahmad mengatakan bahwa dia meriwayatkannya pula dari Yahya ibnu
Ishaq, dari Al-Lais, dari Jubair ibnu Na'im, dari Abdullah ibnu Hubairah dengan
lafaz yang sama. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dan Imam Nasai secara
bersamaan, dari Qutaibah, dari Al-Lais.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis Muhammad ibnu Ishaq, telah
menceritakan kepadaku Yazid ibnu Abu Habib; keduanya menerima hadis ini dari
Jubair ibnu Na'im Al-Hadrami, dari Abdullah ibnu Hubairah As-Siba-i dengan lafaz
yang sama.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad adalah seperti berikut:
حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ، أَخْبَرَنِي مَالِكٌ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنِ الْقَعْقَاعِ
بْنِ حَكِيمٍ، عَنْ أَبِي يُونُسَ مَوْلَى عَائِشَةَ قَالَ: أَمَرَتْنِي عَائِشَةُ
أَنْ أَكْتُبَ لَهَا مُصْحَفًا، قَالَتْ: إِذَا بَلَغْتَ هَذِهِ الْآيَةَ:
{حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى} فَآذِنِّي. فَلَمَّا
بَلَغْتُهَا آذَنْتُهَا، فَأَمْلَتْ عَلَيَّ: "حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ
وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَصَلَاةِ الْعَصْرِ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ"
قَالَتْ: سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepadaku Malik, dari
Zaid ibnu Aslam, dari Al-Qa'qa ibnu Hakim, dari Abu Yunus maula Aisyah yang
menceritakan hadis berikut: Siti Aisyah pernah memerintahkan kepadaku agar
menuliskan buatnya sebuah mushaf. Ia berkata, "Apabila tulisanmu sampai pada
ayat berikut, yaitu firman-Nya, 'Peliharalah semua salat kalian dan
(peliharalah) salat wusta' (Al-Baqarah: 238), maka beri tahukanlah aku."
Ketika tulisanku sampai pada ayat ini, maka kuberi tahu dia. Lalu ia mengimlakan
kepadaku yang bunyinya menjadi seperti berikut, "Peliharalah semua salat
kalian dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah untuk
Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk." Lalu Siti Aisyah-berkata bahwa ia
mendengarnya dari Rasulullah Saw. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Yahya ibnu Yahya, dari
Malik dengan lafaz yang sama.
قَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ، حَدَّثَنَا
حَمَّادٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كَانَ فِي مُصْحَفِ
عَائِشَةَ: "حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَهِيَ صَلَاةُ
الْعَصْرِ".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah
menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, telah menceritakan ke-pada kami Hammad, dari
Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa di dalam mushaf Siti
Aisyah disebutkan seperti berikut: Peliharalah semua salat (kalian) dan
(peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar.
Hal yang sama diriwayatkan pula melalui jalur Al-Hasan Al-Basri, seperti
berikut: Bahwa Rasulullah Saw. membacanya seperti itu (yakni memakai
tafsirnya). Imam Malik meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, dari Amr ibnu Rafi' yang
mengatakan, "Dahulu aku pernah menuliskan sebuah mushaf untuk Siti Hafsah, istri
Nabi SAW. Lalu ia berkata, 'Apabila tulisanmu sampai kepada firman-Nya:
Peliharalah semua salat{mu) dan (peliharalah) salat wusta. (Al-Baqarah:
238) maka beri tahukanlah aku.' Ketika tulisanku sampai kepadanya, aku beri tahu
dia, dan ia mengirimkan kepadaku ayat tersebut yang bunyinya seperti berikut:
'Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar,
dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk'."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar. Ia
mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Ja'far (yaitu Muhammad ibnu Ali dan
Nafi' maula Ibnu Umar), bahwa Amr ibnu Rafi' menceritakan hadis ini dengan lafaz
yang semisal. Akan tetapi, di dalam riwayat ini ditambahkan bahwa Siti Hafsah
berkata, "Seperti yang aku hafalkan dari Nabi Saw."
Jalur lain dari Hafsah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr,
dari Abdullah ibnu Yazid Al-Azdi, dari Salim ibnu Abdullah, bahwa Siti Hafsah
memerintahkan seseorang untuk menuliskan sebuah mushaf buatnya, lalu ia
berpesan, "Jika kamu sampai pada ayat berikut, yaitu firman-Nya: 'Peliharalah
semua salat{mu) dan (peliharalah) salat wusta' (Al-Baqarah: 238). maka beri
tahukanlah aku." Ketika si penulis sampai pada ayat tersebut, ia
memberitahukannya kepada Siti Hafsah. Lalu Siti Hafsah memerintahkan kepadanya
agar mencatat apa yang diucapkannya, yaitu: Peliharalah semua salat(mu) dan
(peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar.
Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan
kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah
menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Nafi', bahwa Siti Hafsah pernah
memerintahkan kepada salah seorang maula (pelayan)nya untuk menuliskan sebuah
mushaf untuknya. Ia berpesan kepada maulanya, "Apabila tulisanmu sampai kepada
ayat ini, yaitu firman-Nya: 'Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah)
salat wusta' (Al-Baqarah: 238). janganlah kamu tulis, karena aku yang akan
mengimlakannya kepadamu seperti apa yang pernah kudengar Rasulullah Saw.
membacakannya." Setelah Nafi' sampai kepada ayat ini, maka Hafsah memerintahkan
kepadanya untuk menulisnya seperti berikut:
«حَافِظُوا
عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَصَلَاةِ الْعَصْرِ وَقُومُوا لِلَّهِ
قَانِتِينَ»
Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat
Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.
Nafi' mengatakan bahwa ia membaca mushaf tersebut, dan ternyata ia menjumpai
adanya huruf wawu. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ibnu Abbas dan Ubaid ibnu
Umair, bahwa keduanya membaca ayat ini dengan bacaan tersebut (yakni memakai
wasalatil asri).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Ubaidah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Amr, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, dari Amr ibnu Rafi' maula Urnar
yang menceritakan bahwa di dalam mushaf Siti Hafsah terdapat: Peliharalah
semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah
untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.
Menurut analisis dari orang-orang yang menentang pendapat ini, lafaz salatil
'asri di-'ataf-kan kepada salatil wusta dengan memakai wawu 'ataf. Hal ini
menunjukkan makna mugayarah (perbedaaan antara ma'tuf dan ma'tuf 'alaih). Maka
demikian itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah selain
salat Asar.
Akan tetapi, sanggahan tersebut dapat dibantah dengan berbagai alasan, antara
lain ialah 'jika hal ini diriwayatkan dengan anggapan bahwa ia merupakan kalimat
berita, maka hadis Ali lebih sahih dan lebih jelas darinya'. Hal ini dapat
diinterpretasikan bahwa wawu yang ada merupakan huruf zaidah (tambahan), seperti
yang terdapat di dalam firman-Nya:
وَكَذلِكَ
نُفَصِّلُ الْآياتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ
Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur'an, supaya jelas jalan
orang-orang yang berdosa. (Al-An'am: 55)
وَكَذلِكَ
نُرِي إِبْراهِيمَ مَلَكُوتَ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ
الْمُوقِنِينَ
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan
(Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang yang
yakin. (Al-An'am: 75)
Atau huruf wawu pada ayat untuk tujuan 'ataf sifat kepada sifat yang lain,
bukan zat kepada zat. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
وَلكِنْ
رَسُولَ اللَّهِ وَخاتَمَ النَّبِيِّينَ
tetapi dia adalah Rasulullah dan penulup nabi-nabi. (Al-Ahzab: 40)
سَبِّحِ
اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدى
وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعى
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan dan
menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan
memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan. (Al-A'la: 1-4)
Ayat-ayat lainnya yang serupa cukup banyak. Sehubungan dengan hal ini seorang
penyair mengatakan:
إِلَى الْمَلِكِ الْقَرْمِ وَابْنِ الْهُمَامِ ... وَلَيْثِ الْكَتِيبَةِ فِي الْمُزْدَحَمِ ...
Kepada raja yang agung yaitu anak
orang yang berkuasa, harimau dalam barisan perang bila perang
berkobar.
Abu Daud Al-Iyadi mengatakan dalam salah satu bait syairnya:
سَلَّطَ الْمَوْتَ وَالْمَنُونَ عَلَيْهِمْ ...
فَلَهُمْ فِي صَدَى الْمَقَابِرِ هَامُ
Semoga maut dan ajal menguasai mereka,
maka tempat mereka hanyalah kuburan.
Al-maut yang juga berarti al-manun; keduanya mempunyai makna
yang sama, yaitu maut. Addi ibnu Zaid Al-Ibadi mengatakan:
فَقَدَّمْتُ الْأَدِيمَ لِرَاهِشِيهِ ...
فَأَلْفَى قَوْلَهَا كَذِبًا وَمَيْنَا
Ia memotong kulit itu untuk kedua sisi
pelananya, maka ia menjumpai ucapannya hanya dusta dan main-main.
Al-main dan al-kazib artinya sama, yakni dusta. Imam Sibawaih
—Syekh ilmu Nahwu— menaskan bahwa seseorang diperbolehkan mengatakan, "Aku
bersua dengan saudaramu yang juga temanmu." Dengan demikian, berarti pengertian
teman adalah saudara juga, yakni keduanya adalah orang yang sama.
Jika diriwayatkan bacaan wasalatil 'asri adalah Al-Qur'an, maka
riwayat mengenainya tidak mutawatir dan hanya dibuktikan melalui hadis ahad yang
tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan Al-Qur'an. Karena itulah maka
bacaan tersebut tidak ditetapkan oleh Amirul Muminin Usman ibnu Affan di dalam
mushafnya. Tiada seorang ahli qurra pun yang membacanya dari kalangan mereka
yang qiraahnya dapat dijadikan sebagai hujah, baik dari kalangan qurra
sab'ah maupun dari lainnya.
Kemudian ada suatu riwayat yang menunjukkan bahwa qiraah tersebut di-mansukh,
yang dimaksud ialah qiraah yang terdapat di dalam hadis di atas (yakni lafaz
wa salatil 'asri). Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Rahawaih,
telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, dari Fudail ibnu Marzuq. dari
Syaqiq ibnu Uqbah, dari Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan bahwa pada mulanya
diturunkan ayat berikut: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat
Asar. Maka kami membacakannya kepada Rasulullah Saw. selama apa yang
dikehendaki oleh Allah. Kemudian Allah Swt. menasakhnya dengan menurunkan
firman-Nya: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta.
(Al-Baqarah: 238) Lalu ada seorang lelaki yang dikenal dengan nama Zahir yang
saat itu ada bersama Syaqiq. Ia bertanya, "Apakah salat wusta itu adalah salat
Asar?" Syaqiq menjawab, "Sesungguhnya aku telah menceritakan kepadamu bagaimana
pada mulanya ayat ini diturunkan dan bagaimana pada akhirnya Allah Swt.
menasakhnya."
Imam Muslim mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Al-Asyja'i, dari
As-Sauri, dari Al-Aswad, dari Syaqiq. Menurut kami, Syaqiq ini tidak pernah hadisnya diriwayatkan oleh Imam Muslim
kecuali hanya hadis yang satu ini. Berdasarkan hal ini berarti tilawah. ini —yakni tilawah yang terakhir—
menasakh lafaz yang ada di dalam riwayat Siti Aisyah dan Siti Hafsah, juga
maknanya, sekalipun huruf wawu yang ada menunjukkan makna mugayarah. Jika bukan
menunjukkan makna mugayarah, berarti yang di-mansukh hanyalah lafazhya saja.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Magrib.
Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ibnu Abbas, tetapi di dalam
sanadnya masih perlu dipertimbangkan kesahihannya. Karena sesungguhnya Ibnu Abu
Hatim meriwayatkannya dari ayahnya, dari Abul Jamahir, dari Sa'id ibnu Basyir,
dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari pamannya, dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas mengatakan bahwa salat wusta adalah salat Magrib, dan pendapat ini
diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Qubaisah ibnu Zuaib. Qatadah
meriwayatkan demikian, menurut riwayat yang bersumber darinya, sekalipun ada
perbedaan pendapat.
Sebagian dari mereka yang berpendapat demikian mengemukakan alasannya bahwa
salat Magrib dinamakan salat wusta karena bilangan rakaatnya pertengahan antara
salat ruba'iyyah dan salat Sunaiyyah, atau karena bilangan rakaatnya ganjil di
antara salat-salat fardu lainnya, juga karena hadis-hadis yang menerangkan
tentang keutamaannya. Menurut pendapat lain, salat wusta adalah salat Isya. Pendapat ini dipilih
oleh Ali ibnu Ahmad Al-Wahidi di dalam kitab tafsirnya yang terkenal itu.
Menurut pendapat yang lainnya, salat wusta adalah salah satu dari salat fardu
yang lima waktu tanpa ada penentuan, dan sesungguhnya salat wusta ini disamarkan
di antara salat lima waktu; perihalnya sama dengan lailatul qadar yang
disamarkan dalam tahun, bulan, dan bilangan puluhannya. Pendapat ini
diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih Al-Qadi, dan Nafi' maula Ibnu
Umar serta Ar-Rabi' ibnu Khaisam. Pendapat ini dinukil pula dari Zaid ibnu
Sabit, lalu dipilih oleh Imamul Haramain —yaitu Al-Juwaini— di dalam kitab
nihayahnya.
Menurut pendapat lain, salat wusta itu adalah semua salat lima waktu.
Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ibnu Umar. Akan tetapi,
kesahihan dari riwayat ini pun masih perlu dipertimbangkan. Yang mengherankan,
pendapat ini dipilih oleh Syekh Abu Amr ibnu Abdul Bar An-Numairi, seorang imam
di negeri seberang laut. Sesungguhnya hal ini merupakan salah satu dosa besar,
mengingat ia memilihnya, padahal ia memiliki wawasan luas lagi hafal semuanya,
selagi ia tidak dapat menegakkan hujah yang memperkuat pendapatnya, baik dari
Al-Qur'an atau sunnah atau asar.
Menurut pendapat yang lain, salat wusta itu adalah salat Isya dan salat
Subuh. Menurut pendapat yang lainnya lagi adalah salat berjamaah. Pendapat lain
mengatakan salat Jumat, ada yang berpendapat salat Khauf, yang lain mengatakan
salat Idul Fitri, dan yang lainnya lagi mengatakan salat Idul Adha. Menurut
pendapat yang lain yaitu salat witir, ada pula yang mengatakannya salat duha.
Sementara ulama lainnya hanya bersikap abstain, mengingat menurut mereka
dalilnya bersimpang siur dan tidak jelas mana yang lebih kuat di antaranya.
Sedangkan ijma' belum pernah ada kesepakatan mengenainya dalam satu pendapat,
bahkan perbedaan pendapat masih tetap ada sejak zaman sahabat hingga masa
sekarang.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Basysyar dan
Ibnu Musanna; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah yang mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Qatadah menceritakan asar berikut dari Sa'id ibnul Musayyab yang
pernah bercerita bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw. berselisih pendapat
tentang salat wusta seperti ini, lalu ia merangkumkan jari jemari kedua
tangannya menjadi satu.
Semua pendapat mengenai salat wusta ini dinilai lemah bila dibandingkan
dengan pendapat sebelumnya. Sesungguhnya pokok pangkal perselisihan ini terpusat
pada salat Subuh dan salat Asar. Sunnah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan
salat wusta ialah salat Asar, maka hal ini dapat dijadikan pegangan.
قَدْ
رَوَى الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي حَاتِمٍ
الرَّازِيُّ فِي كِتَابِ "فَضَائِلِ الشَّافِعِيِّ" رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا
أَبِي، سَمِعْتُ حَرْمَلَةَ بْنَ يَحْيَى التُّجِيبِيَّ يَقُولُ: قَالَ
الشَّافِعِيُّ: كُلُّ
مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلَافَ
قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ، فَحَدِيثُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَوْلَى، وَلَا تُقَلِّدُونِي.
Imam Abu Muhammad (yaitu Abdur Rahman ibnu Abu Hatim Ar-Razi) telah
mengatakan di dalam kitab Fadhail Asy-Syafii, telah menceritakan kepada
kami ayahku yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Harmalah ibnu Yahya
Al-Lakhami mengatakan bahwa Imam Syafii pernah berkata, "Semua pendapatku, lalu ada hadis Nabi Saw. yang sahih
berbeda dengan pendapatku, maka hadis Nabi adalah lebih utama untuk diikuti dan
janganlah kalian mengikutiku." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ar-Rabi', Az-Za'farani, dan Ahmad ibnu
Hambal, dari Imam Syafii.
Musa Abul Walid ibnu Abul Jarud meriwayatkan dari Imam Syafii yang
mengatakan,
إِذَا
صَحَّ الْحَدِيثُ وَقُلْتُ قَوْلًا فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْ قَوْلِي وَقَائِلٌ
بِذَلِكَ.
"Apabila ada hadis sahih, sedangkan aku
mempunyai pendapat lain, maka aku mencabut kembali pendapatku dan merujuk kepada
hadis sahih tersebut."
Demikianlah keutamaan dan ketulusan yang dimiliki oleh Imam Syafii. Jejaknya
itu ternyata diikuti pula oleh saudara-saudaranya dari kalangan para imam
rahimahumullah. Berangkat dari pengertian tersebut, maka Al-Qadi Al-Mawardi memutuskan bahwa
mazhab Imam Syafii mengatakan bahwa salat wusta adalah salat Asar, sekalipun
dalam qaul jadid-nya Imam Syafii menaskan bahwa salat wusta adalah salat Subuh,
mengingat hadis-hadis yang sahih menyatakan bahwa salat wusta adalah salat
Asar. Pendapatnya ini ternyata didukung oleh sejumlah ahli hadis dari kalangan
mazhab Imam Syafii sendiri.
Akan tetapi, dari kalangan ahli fiqih mazhab Syafii ada yang menolak bahwa
salat wusta sebagai salat Asar, dan mereka bersikeras bahwa yang dimaksud dengan
salat wusta adalah salat Subuh saja.
Al-Mawardi mengatakan bahwa di antara mereka ada yang meriwayatkan masalah
ini dua pendapat. Untuk lebih jelasnya, rincian mengenai masalah ini antara
sanggahan dan bantahan terdapat di dalam kitab lain yang telah kami tulis khusus
untuk masalah tersebut.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَقُومُوا
لِلَّهِ قَانِتِينَ}
Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah:
238)
Yakni khusyuk, rendah diri, dan tenang berada di hadapan-Nya. Perintah ini
mengharuskan tidak boleh berbicara dalam salat, karena berbicara dalam salat
bertentangan dengan hal tersebut. Karena itulah Rasulullah Saw. tidak menjawab
salam yang diucapkan oleh Ibnu Mas'ud kepadanya ketika beliau sedang salat.
Setelah beliau Saw. selesai dari salatnya, barulah beliau bersabda:
«إِنَّ
فِي الصَّلَاةِ لَشُغْلًا»
Sesungguhnya di dalam salat benar-benar ada kesibukan.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan bahwa Nabi Saw. bersabda kepada
Mu'awiyah ibnu Hakam As-Sulami ketika berbicara dalam salatnya:
«إِنَّ
هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا
هِيَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَذِكْرُ اللَّهِ»
Sesungguhnya salat ini tidak layak dilakukan padanya sesuatu pun dari
pembicaraan manusia, melainkan salat itu adalah tasbih, takbir, dan
zikrullah.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu
Sa'id, dari Ismail, telah menceritakan kepadaku Al-Haris ibnu Syubail, dari Abu
Amr Asy-Syaibani, dari Zaid ibnu Arqam yang menceritakan bahwa di zaman Nabi
Saw. seorang lelaki biasa berbicara dengan temannya untuk suatu keperluan di
dalam salat, hingga turunlah firman-Nya: Berdirilah untuk Allah (dalam
salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238) Kemudian kami diperintahkan agar
diam. Hadis ini diriwayatkan oleh Jamaah selain Ibnu Majah melalui berbagai
jalur, dari Ismail.
Akan tetapi, hadis ini dianggap sebagai suatu hal yang musykil oleh sebagian
ulama, karena telah terbukti di kalangan mereka bahwa pengharaman berbicara
dalam salat terjadi di Mekah sebelum hijrah ke Madinah, tetapi sesudah hijrah ke
negeri Habsyah. Seperti yang ditunjukkan oleh makna yang terkandung di dalam
hadis Ibnu Mas'ud yang terdapat di dalam kitab sahih.
Disebutkan, "Kami dahulu biasa mengucapkan salam kepada Nabi Saw. sebelum
kami hijrah ke negeri Habsyah, sedangkan beliau dalam salatnya. Maka beliau Saw.
selalu menjawab salam kami." Ibnu Mas'ud melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ia
tiba (dari Habsyah), lalu ia mengucapkan salam kepadanya, tetapi ternyata beliau
tidak menjawab salamnya. Maka hati Ibnu Mas'ud dipenuhi oleh berbagai macam
perasaan yang mengkhawatirkan. Tetapi setelah beliau Saw. bersalam, beliau
bersabda:
وَعَلَيْكَ
السَّلَامُ، أَيُّهَا الْمُسَلِّمُ، وَرَحْمَةُ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ، عَزَّ
وَجَلَّ، يُحْدِثُ مِنْ أَمْرِهِ مَا يَشَاءُ فَإِذَا كُنْتُمْ فِي الصَّلَاةِ
فَاقْنُتُوا وَلَا تَكَلَّمُوا"
Sesungguhnya aku tidak menjawab kamu tiada lain karena aku sedang dalam
salat, dan sesungguhnya Allah memperbarui perintah-Nya menurut apa yang
dikehendaki-Nya; dan sesungguhnya di antara perintah yang diperbarui-Nya ialah
janganlah kalian berbicara di dalam salat.
Sesungguhnya sahabat Ibnu Mas'ud termasuk salah seorang yang masuk Islam
paling dahulu, ia ikut hijrah ke negeri Habsyah dan datang kembali dari Habsyah
ke Mekah bersama orang-orang yang datang, lalu ia hijrah ke Madinah. Ayat ini,
yaitu firman-Nya: Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.
(Al-Baqarah: 238) adalah Madiniyah, tanpa ada yang memperselisihkannya. Maka ada
orang-orang yang berpendapat bahwa sesungguhnya Zaid ibnu Arqan bermaksud dengan
ucapannya yang mengatakan bahwa 'seorang lelaki berbicara kepada saudaranya
tentang keperluannya di dalam salat' hanyalah menceritakan tentang jenis
pembicaraan. Ia mengambil kesimpulan dalil dari ayat ini untuk mengharamkan hal
tersebut sesuai dengan apa yang dipahaminya dari ayat ini.
Ulama lainnya berpendapat, sesungguhnya ia bermaksud bahwa hal tersebut
(berbicara dalam salat) telah terjadi pula sesudah hijrah ke Madinah. Dengan
demikian, berarti hal tersebut telah diperbolehkan sebanyak dua kali dan
diharamkan sebanyak dua kali pula, seperti pendapat yang dipilih oleh segolongan
orang dari kalangan teman-teman kami dan lain-lainnya. Akan tetapi, pendapat
pertama lebih kuat.
قَالَ
الْحَافِظُ أَبُو يَعْلَى: حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ بْنُ يَحْيَى، عَنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: كُنَّا
يُسَلِّمُ بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الصَّلَاةِ، فَمَرَرْتُ بِرَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ،
فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهُ نَزَلَ فيَّ شَيْءٌ، فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ: "وَعَلَيْكَ السَّلَامُ،
أَيُّهَا الْمُسَلِّمُ، وَرَحْمَةُ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ،
يُحْدِثُ مِنْ أَمْرِهِ مَا يَشَاءُ فَإِذَا كُنْتُمْ فِي الصَّلَاةِ فَاقْنُتُوا
وَلَا تَكَلَّمُوا"
Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul
Walid, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Yahya, dari Al-Musayyab, dari
Ibnu Mas'ud yang menceritakan hadis berikut: Kami biasa mengucapkan salam antara
sebagian kami kepada sebagian yang lain di dalam salat. Lalu aku bersua dengan
Rasulullah Saw., dan aku mengucapkan salam kepadanya, ternyata beliau tidak
menjawab salamku, hingga timbullah dugaan dalam diriku bahwa telah turun sesuatu
mengenai diriku. Setelah Nabi Saw. Menyelesaikan salatnya, beliau bersabda,
"Wa'alaikas salam warahmatulldhi, hai orang muslim. Sesungguhnya Allah Swt.
memperbarui perintah-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Maka apabila kalian
berada di dalam salat, bersikap khusyuklah kalian dan janganlah kalian
berbicara.”
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ
خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا
عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ}
Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan
atau berkendaraan. Kemudian apabila kalian telah aman, maka sebutlah Allah,
sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian
ketahui. (Al-Baqarah: 239)
Sesudah Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar memelihara semua
salat dan menegakkan batasan-batasannya serta mempertegas perintah ini dengan
ungkapan yang mengukuhkan, lalu Allah Swt. menyebutkan suatu keadaan yang
biasanya menyibukkan seseorang dari mengerjakan salat dengan cara yang sempurna,
yaitu keadaan perang dan kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran. Untuk itu
Allah Swt. berfirman:
{فَإِنْ
خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا}
Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan
atau berkendaraan. (Al-Baqarah: 239)
Yakni salatlah kalian dalam keadaan bagaimanapun, baik kalian sedang berjalan
ataupun berkendaraan. Dengan kata lain, baik menghadap ke arah kiblat ataupun
tidak. Demikianlah seperti yang diriwaya-kan oleh Imam Malik dari Nafi', bahwa
Ibnu Umar apabila ditanya mengenai salat khauf, maka ia menggambarkannya, lalu
berkata, "Dan jika keadaan takut lebih mencekam dari keadaan lainnya, maka
mereka salat sambil berjalan kaki atau berkendaraan, baik menghadap ke arah
kiblat ataupun tidak menghadap kepadanya."
Selanjutnya Nafi' mengatakan, ia merasa yakin bahwa tidak sekali-kali Ibnu
Umar menyebutkan demikian melainkan hanya dari Nabi Saw. semata-mata. Hadis ini
diriwayatkan oleh Imam Bukhari pula, sedangkan apa yang disebutkan menurut lafaz
Imam Muslim.
Imam Bukhari meriwayatkan pula dari jalur yang lain, yaitu dari Ibnu Juraij,
dari Musa ibnii Uqbah, dari Nafi, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. hal yang
semisal atau mirip dengannya. Imam Muslim meriwayatkan pula dari Ibnu Umar yang telah mengatakan: Apabila
rasa takut (bahaya) lebih mencekam dari itu, maka salatlah kamu —baik sedang
berkendaraan ataupun berdiri— dengan memakai isyarat yang sesungguhnya.
Di dalam hadis Abdullah ibnu Unais Al-Juhani disebutkan bahwa tatkala Nabi
Saw. mengutusnya untuk membunuh Khalid ibnu Sufyan Al-Huzali, ketika itu Khalid
berada di arah Arafah atau Arafat. Setelah Abdullah ibnu Unais berhadapan
dengannya, maka tibalah waktu salat Asar. Abdullah ibnu Unais melanjutkan
kisahnya, ""Maka aku merasa khawatir bila kesempatan ini digunakan oleh musuh,
lalu aku salat dengan memakai isyarat," hingga akhir hadis yang cukup panjang.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Abu Daud dengan sanad yang
jayyid (baik).
Salat dengan cara demikian merupakan salah satu rukhsah (keringanan)
dari Allah buat hamba-hamba-Nya. Dengan demikian, maka terlepaslah dari mereka
belenggu dan beban yang memberatkan mereka.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula melalui jalur Syahib, dari Bisyr, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu
'hendaklah orang yang berkendaraan salat di atas kendaraannya dan orang yang
berjalan kaki salat sambil berjalan kaki'.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Al-Hasan,
Mujahid, Makhul, As-Saddi, Al-Hakam, Malik, Al-Auza'i, As-Sauri, dan Al-Hasan
ibnu Saleh. Di dalam riwayat ini ditambahkan, hendaklah ia salat dengan cara
memakai isyarat dengan kepalanya ke arah mana pun kendaraannya menghadap.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Gassan, telah menceritakan kepada kami Daud (yakni Ibnu
Ulayyah), dari Mutarrif, dari Atiyyah, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan,
"Apabila pedang saling beradu, hendaklah seseorang salat dengan isyarat
kepalanya menghadap ke arah mana pun menurut mukanya menghadap." Yang demikian
itu adalah makna firman-Nya: sambil berjalan kaki atau berkendaraan.
(Al-Baqarah: 239)
Telah diriwayatkan hal yang sama dari Al-Hasan, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair,
Ata, Atiyyah, Al-Hakam, Hammad, dan Qatadah. Imam Ahmad berpendapat menurut nas yang telah ditetapkannya, bahwa salat
khauf dalam kondisi tertentu adakalanya dikerjakan hanya dengan satu rakaat,
yaitu di saat kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Berdasarkan pengertian inilah diinterpretasikan hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Nasai, Imam Ibnu Majah, dan Ibnu Jarir melalui
hadis Abu Uwanah Al-Waddah, dari Abdullah Al-Yasykuri —Imam Muslim, Imam Nasai,
dan Ayyub ibnu Aiz menambahkan— bahwa keduanya meriwayatkan hadis ini dari
Bukair ibnul Akhnas Al-Kufi, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan:
Allah telah memfardukan salat atas kalian melalui lisan Nabi kalian sebanyak
empat rakaat bila kalian berada di tempat tinggal dan dua rakaat bila kalian
sedang bepergian, dan dalam keadaan khauf satu rakaat.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Ad-Dahhak, dan
lain-lainnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi,dari Syu'bah yang mengatakan bahwa ia pernah
bertanya kepada Al-Hakam, Hammad, dan Qatadah tentang salat di .saat pedang
sedang beradu. Maka mereka menjawab, "Satu rakaat saja."
Hal yang sama diriwayatkan oleh As-Sauri dari mereka.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Amr
As-Sukuni, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul Walid, telah
menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah menceritakan kepada kami Yazid
Al-Faqir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa salat khauf adalah satu
rakaat.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Ibnu Jarir.
Imam Bukhari di dalam Bab "Salat di Saat Mengepung Benteng Musuh dan Bersua
dengan Musuh" dan Al-Auza'i mengatakan, "Apabila kemenangan telah di ambang
pintu, sedangkan mereka tidak mampu mengerjakan salat, hendaklah mereka salat
dengan isyarat, yakni masing-masing dari pasukan salat untuk dirinya sendiri.
Jika mereka tidak juga mampu mengerjakan salat dengan isyarat, hendaklah mereka
mengakhirkan salat hingga perang berhenti dan aman dari serangan musuh, barulah
mereka mengerjakan salat sebanyak dua rakaat saja. Apabila situasi tidak
mengizinkan mereka salat dua rakaat, maka salat cukup dilakukan hanya dengan
satu rakaat dan dua kali sujud. Jika mereka tidak mampu mengerjakannya, karena
takbir saja tidak cukup untuk mereka, maka hendaklah mereka akhirkan salatnya
hingga situasi aman."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Makhul.
Anas ibnu Malik mengatakan bahwa ia ikut dalam serangan menjebolkan Benteng
Tustur. Serangan ini dilakukan di saat fajar mulai terang, lalu berkobarlah
pertempuran sengit, hingga mereka tidak mampu mengerjakan salat (Subuhnya). Kami
tidak salat kecuali setelah matahari meninggi, lalu kami salat bersama Abu Musa
dan kami peroleh kemenangan. Anas mengatakan, "Salat tersebut bagiku lebih baik
daripada dunia dan seisinya." Demikianlah menurut lafaz yang ada pada Imam
Bukhari.
Kemudian Ibnu Jarir memperkuat pendapatnya itu dengan dalil hadis yang
menceritakan Nabi Saw. mengakhirkan salat Asar pada hari Perang Khandaq karena
uzur sedang menjalani perang, dan beliau baru melaksanakan salatnya itu setelah
matahari tenggelam. Ketika Nabi Saw. mempersiapkan mereka untuk menyerang Bani
Quraizah, maka beliau berpesan kepada sahabat-sahabatnya:
"لَا
يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمُ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي
قُرَيْظَةَ"
Jangan sekali-kali seseorang dari kalian salat Asar melainkan nanti di
tempat Bani Quraizah.
Akan tetapi, sebagian orang ada yang menjumpai waktu salat di tengah jalan,
lalu mereka mengerjakannya, dan mereka mengatakan, "Tidak sekali-kali Rasulullah
Saw. memerintahkan demikian kepada kami melainkan beliau menghendaki agar kami
tiba dengan cepat." Di antara mereka ada yang menjumpai waktu salat, tetapi
mereka tidak mengerjakannya hingga matahari tenggelam di tempat Bani Quraizah
(karena patuh kepada makna lahiriah perintah Rasul Saw.). Tetapi Nabi Saw. tidak
mencela salah satu pihak pun di antara dua kelompok sahabatnya itu. Hal inilah
yang menjadi dasar pegangan pilihan Imam Bukhari terhadap pendapat ini,
sedangkan jumhur ulama berpendapat sebaliknya. Mereka mengemukakan alasannya
bahwa salat khauf menurut gambaran yang disebutkan di dalam surat An-Nisa dan
diterangkan oleh banyak hadis masih belum disyariatkan di waktu Perang Khandaq.
Sesungguhnya salat khauf itu hanyalah disyariatkan setelah masa itu, hal ini
secara jelas disebutkan di dalam hadis Abu Sa'id dan lain-lainnya.
Adapun Makhul, Al-Auza'i, dan Imam Bukhari menjawab bantahan itu, bila salat
khauf memang disyariatkan sesudah Perang Khandaq, kenyataan ini tidaklah
bertentangan dengan hal tersebut, mengingat hal ini merupakan keadaan yang
jarang terjadi lagi bersifat khusus. Oleh karena itu, sehubungan dengan masalah
ini diperbolehkan hal seperti apa yang kami katakan. Sebagai dalilnya ialah
perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat di masa pemerintahan Khalifah Umar,
yaitu dalam penaklukan kota Tustur yang terkenal itu, dan tiada seorang ulama
pun yang membantahnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا
أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ}
Kemudian apabila kalian telah aman, maka sebutlah Allah. (Al-Baqarah:
239)
Artinya, dirikanlah salat kalian seperti yang diperintahkan kepada kalian.
Untuk itu sempurnakanlah rukuk, sujud, qiyam, duduk, khusyuk, dan bangunnya.
{كَمَا
عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ}
sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian
ketahui. (Al-Baqarah: 239)
Yakni sebagaimana Dia telah melimpahkan nikmat dan memberi petunjuk iman
serta mengajarkan kepada kalian hal-hal yang bermanfaat di dunia dan akhirat.
Maka kalian harus membalas-Nya dengan bersyukur dan berzikir menyebut-Nya. Makna
ayat ini sama dengan ayat lain yang juga setelah menyebut masalah salat khauf,
yaitu firman-Nya:
فَإِذَا
اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كانَتْ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ كِتاباً مَوْقُوتاً
Kemudian apabila kalian telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah fardu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman. (An-Nisa: 103)
Hadis-hadis yang menerangkan perihal salat khauf dan cara-caranya akan
diketengahkan nanti dalam tafsir surat An-Nisa yaitu pada firman-Nya:
وَإِذا
كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu
hendak mendirikan salat bersama-sama mereka. (An-Nisa: 102)
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh 238-239"
Posting Komentar