Al-Baqoroh Ayat 237
Selasa, 15 Mei 2018
Add Comment
{وَإِنْ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ
فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي
بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلا تَنْسَوُا
الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (237)
}
Jika kalian menceraikan istri-istri kalian
sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah
menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kalian
tentukan itu, kecuali jika istri-istri kalian itu memaafkan atau dimaafkan oleh
orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kalian itu lebih dekat kepada
takwa. Dan janganlah kalian melupakan
keutamaan di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang
kalian kerjakan.
Ayat ini termasuk dalil yang menunjukkan kekhususan mut'ah (pemberian) yang
ditunjukkan oleh ayat sebelumnya, mengingat di dalam ayat ini yang diwajibkan
hanyalah separo dari mahar yang telah ditentukan, bilamana seorang suami
menceraikan istrinya sebelum menggaulinya. Karena sesungguhnya seandainya ada
kewajiban lain menyangkut masalah mut'ah ini, niscaya akan dijelaskan oleh Allah
Swt., terlebih lagi ayat ini mengiringi ayat sebelumnya yang kedudukannya
men-takhsis masalah mut'ah yang ada padanya.
Membayar separo maskawin dalam kondisi demikian merupakan hal yang telah
disepakati oleh seluruh ulama, tiada seorang pun yang berbeda pendapat dalam
masalah ini. Untuk itu manakala seorang lelaki telah menentukan jumlah maskawin
kepada wanita yang dinikahinya, kemudian si lelaki menceraikannya sebelum
menggaulinya, maka si lelaki diwajibkan membayar separo maskawin yang telah
ditentukannya itu.
Tetapi menurut ketiga orang imam (selain Imam Syafii, pent.), pihak suami
tetap diwajibkan membayar mahar secara penuh jika ia ber-khalwat dengannya,
sekalipun tidak menyetubuhinya. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii
di dalam qaul qadim-nya. Hal ini pulalah yang dijadikan pegangan dalam keputusan
oleh para Khalifah Ar-Rasyidun. Akan tetapi, Imam Syafii mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Juraij, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan
sehubungan dengan seorang lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu si lelaki
ber-khalwat dengannya tanpa menyetubuhinya, setelah itu si lelaki
menceraikannya, "Tiada yang berhak diperoleh istrinya selain separo maskawin."
Ibnu Abbas mengatakan demikian karena berdasarkan firman-Nya yang mengatakan:
Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan
mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah
seperdua dari mahar yang telah kalian tentukan itu. (Al-Baqarah: 237)
Imam Syafii mengatakan, "Pendapat inilah yang saya pegang karena memang
demikian makna lahiriah dari ayat yang bersangkutan." Imam Baihaqi berkata: Lais ibnu Abu Sulaim —sekalipun predikatnya tidak dapat
dijadikan hujah— telah mengatakan bahwa sesungguhnya kami telah meriwayatkannya
melalui Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, bahwa hal ini merupakan perkataan Ibnu
Abbas sendiri.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِلا
أَنْ يَعْفُونَ}
kecuali jika istri-istri kalian itu memaafkan. (Al-Baqarah: 237)
Yakni mereka memaafkan suaminya dan membebaskannya dari tanggungan yang harus
dibayarnya kepada mereka, maka tiada suatu pun yang harus dibayar oleh si
suami. As-Saddi meriwayatkan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: kecuali jika istri-istri kalian ilu memaafkan. (Al-Baqarah:
237) Bahwa makna yang dimaksud ialah 'kecuali jika si janda yang bersangkutan
memaafkan dan merelakan haknya'.
Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan dari Syuraih, Sa'id ibnul
Musayyab, Ikrimah, Mujahid, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Nafi', Qatadah, Jabir ibnu
Zaid, Ata Al-Khurrasani, Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Muqatil ibnu Hayyan, Ibnu Sirin,
Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi hal yang semisal.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, lain halnya dengan Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi,
ia berpendapat berbeda. Ia mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
terkecuali jika istri-istri kalian itu memaafkan. (Al-Baqarah: 237) Yang
dimaksud ialah para suami. Akan tetapi, pendapat ini bersifat syaz (menyendiri) dan tidak dapat
dijadikan sebagai pegangan.
*******************
Firman Allah Swt.:
{أَوْ
يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ}
atau orang yang memegang ikatan nikah memaafkan. (Al-Baqarah:
237)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diceritakan dari Ibnu Luhai'ah, telah
menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi
Saw. yang telah bersabda:
"وَلِيُّ
عُقْدَةِ النِّكَاحِ الزَّوْجُ".
Orang yang menguasai ikatan nikah adalah suami.
Demikian pula menurut sanad yang diketengahkan oleh Ibnu Murdawaih melalui
hadis Abdullah ibnu Luhai'ah dengan lafaz yang sama. Ibnu Jarir telah menyandarkannya pula dari Ibnu Luhai'ah, dari Amr ibnu
Syu'aib, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda demikian. Lalu Ibnu Jarir
mengetengahkan hadis ini, tetapi ia tidak menyebutkan dari ayah Amr, dari
kakeknya.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Yunus
ibnu Habib, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan kepada
kami Jabir (yakni Ibnu Abu Hazim), dari Isa (yakni Ibnu Asim) yang mengatakan
bahwa ia pernah mendengar Syuraih mengatakan, "Ali ibnu Abu Talib pernah
bertanya kepadaku tentang makna orang yang memegang ikatan nikah. Maka aku
menjawabnya, bahwa dia adalah wali si pengantin wanita. Maka Ali mengatakan,
'Bukan, bahkan dia adalah suami'."
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa di dalam suatu riwayat dari Ibnu Abbas,
Jubair ibnu Mut'im, Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih di dalam salah satu
pendapatnya, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Asy-Sya'bi. Ikrimah, Nafi', Muhammad
ibnu Sirin, Ad-Dahhak, Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi, Jabir ibnu Zaid, Abul
Mijlaz, Ar-Rabi' ibnu Anas, has ibnu Mu'awiyah, Makhul, dan Muqatil ibnu Hayyan,
disebutkan bahwa dia (orang yang di tangannya ikatan nikah) adalah suami.
Menurut kami, pendapat ini pula yang dikatakan oleh Imam Syafii dalam salah
satu qaul jadid-nya, mazhab Imam Abu Hanifah dan semua temannya, As-Sauri, Ibnu
Syabramah, dan Al-Auza'i. Ibnu Jarir memilih pendapat ini. Alasan pendapat ini yang mengatakan bahwa orang yang di tangannya terpegang
ikatan nikah secara hakiki adalah suami, karena sesungguhnya hanya di tangan
suamilah terpegang ikatan nikah, kepastian, pembatalan, dan pengrusakannya.
Perihalnya sama saja, ia tidak boleh memberikan sesuatu pun dari harta anak yang
berada dalam perwaliannya kepada orang lain, begitu pula dalam masalah mas-kawin
ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa pendapat yang kedua mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Maryam,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepada
kami Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna orang yang di
tangannya terdapat ikatan nikah. Ibnu Abbas mengatakan, dia adalah ayahnya atau
saudara laki-lakinya atau orang yang si wanita tidak boleh kawin melainkan
dengan seizinnya.
Telah diriwayatkan dari Alqamah, Al-Hasan, Ata, Tawus, Az-Zuhri, Rabi'ah,
Zaid ibnu Aslam, Ibrahim An-Nakha'i, Ikrimah di dalam salah satu pendapatnya dan
Muhammad ibnu Sirin menurut salah satu pendapatnya, bahwa dia adalah wali. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Malik dan pendapat Imam Syafii dalam qaul
qadim-nya. Alasannya ialah karena walilah yang mengizinkan mempelai lelaki boleh
mengawininya, maka pihak walilah yang berkuasa menentukannya; berbeda halnya
dengan harta lain milik si mempelai wanita (maka pihak wali tidak berhak
ber-tasarruf padanya).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnur Rabi'
Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari
Ikrimah yang mengatakan bahwa Allah telah mengizinkan untuk memberi maaf, bahkan
menganjurkannya. Karena itu, wanita yang memaafkan, tindakannya itu
diperbolehkan. Apabila ternyata dia kikir dan tidak mau memaafkan, maka pihak
walinyalah yang boleh memaafkan. Hal ini jelas menunjukkan keabsahan tindakan
pemaafan si wali, sekalipun pihak mempelai wanita bersikap keras.
Riwayat ini diketengahkan melalui Syuraih, tetapi sikapnya itu diprotes oleh
Asy-Sya'bi. Akhirnya Syuraih mencabut kembali pendapatnya dan cenderung
mengatakan bahwa dia adalah suami, dan tersebutlah bahwa Asy-Sya'bi melakukan
mubahalah terhadapnya (Syuraih) untuk memperkuat pendapatnya ini.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَأَنْ
تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}
dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Baqarah: 237)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian kalangan mufassirin mengatakan bahwa
ayat ini ditujukan kepada kaum lelaki dan kaum wanita. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Wahb, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Juraij menceritakan asar
berikut dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Baqarah: 237) Ibnu
Abbas mengatakan bahwa yang paling dekat kepada takwa di antara kedua belah
pihak (suami istri) adalah orang yang memaafkan. Hal yang sama telah
diriwayatkan pula dari Asy-Sya'bi dan lain-lainnya.
Mujahid, An-Nakha'i, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan
As-Sauri mengatakan bahwa hal yang utama dalam masalah ini ialah hendaknya pihak
wanita memaafkan separo mas kawinnya, atau pihak lelaki melengkapkan maskawin
secara penuh buat pihak wanita. Karena itulah dalam firman selanjutnya
disebutkan: Dan janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian.
(Al-Baqarah: 237) Yang dimaksud dengan al-fadl ialah kebajikan, menurut
Sa'id.
Ad-Dahhak, Qatadah, As-Saddi, dan Abu Wail mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan al-fadl ialah hal yang bajik, yakni janganlah kamu melupakan
kebajikan, melainkan amalkanlah di antara sesama kalian. Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إسحاق،
حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ الْوَصَّافِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُبَيْدٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "ليأتينَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ عَضُوض، يَعَضّ
الْمُؤْمِنُ عَلَى مَا فِي يَدَيْهِ وَيَنْسَى الْفَضْلَ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ
تَعَالَى: {وَلا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ} شِرَارٌ يُبَايِعُونَ كُلَّ
مُضْطَرٍّ، وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
بَيْعِ الْمُضْطَرِّ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَر، فَإِنْ كَانَ عِنْدَكَ خَيْرٌ فعُدْ
بِهِ عَلَى أَخِيكَ، وَلَا تَزِدْهُ هَلَاكًا إِلَى هَلَاكِهِ، فَإِنَّ الْمُسْلِمَ
أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحْزُنه وَلَا يَحْرِمُهُ"
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah
menceritakan kepada kami Musa ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Uqbah
ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Walid Ar-Rassafi, dari Abdullah ibnu
Ubaid, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Sesungguhnya benar-benar akan datang atas manusia suatu zaman yang kikir akan
kebajikan, seorang mukmin menggigit (kikir) apa yang ada pada kedua tangannya
(harta bendanya) dan melupakan kebajikan. Padahal Allah Swt. telah
berfirman, "Janganlah kalian melupakan keutamaan (kebajikan) di antara
kalian" (Al-Baqarah: 237). Mereka adalah orang-orang yang jahat, mereka
melakukan jual beli dengan semua orang yang terpaksa. Rasulullah Saw.
sendiri melarang melakukan jual beli terpaksa dan jual beli yang mengandung
unsur tipuan. Sebagai jalan keluarnya ialah apabila kamu memiliki kebaikan, maka
ulurkanlah tanganmu untuk menolong saudaramu. Janganlah kamu menambahkan
kepadanya kebinasaan di atas kebinasaan yang dideritanya, karena sesungguhnya
seorang muslim itu adalah saudara muslim yang lain; ia tidak boleh membuatnya
susah, tidak boleh pula membuatnya sengsara.
Sufyan meriwayatkan dari Abu Harun yang mengatakan bahwa ia pernah melihat
Aun ibnu Abdullah berada di dalam majelis Al-Qurazi, dan Aun berbicara kepada
kami, sedangkan janggutnya basah karena air matanya. Ia berkata, "Aku pernah
bergaul dengan orang-orang kaya dan ternyata diriku adalah orang yang paling
banyak mengalami kesusahan ketika aku melihat mereka berpakaian yang baik-baik
dan penuh dengan bebauan yang wangi serta menaiki kendaraan yang paling baik.
Tetapi ketika aku bergaul dengan kaum fakir miskin, maka hatiku menjadi tenang
bersama mereka."
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا
تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ}
dan janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian.
(Al-Baqarah: 237)
Apabila seseorang kedatangan orang yang meminta-minta, sedangkan ia tidak
memiliki sesuatu pun yang akan diberikan kepadanya, maka hendaklah ia berdoa
untuknya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ
اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ}
Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kalian kerjakan.
(Al-Baqarah: 237)
Yakni tiada sesuatu pun dari urusan kalian dan sepak terjang kalian yang
samar bagi Allah Swt. Kelak Dia akan membalas semua orang sesuai dengan amal
perbuatan yang telah dikerjakannya.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 237"
Posting Komentar