Al-Baqoroh Ayat 236
Selasa, 15 Mei 2018
Add Comment
{لَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ
تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى
الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ (236)
}
Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kalian,
jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan
mereka dan sebelum kalian menentukan maharnya. Dan hendaklah kalian berikan
suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya
dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang
patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan.
Allah Swt. memperbolehkan menalak istri sesudah melakukan akad nikah
dengannya dan sebelum menggaulinya. Ibnu Abbas, Tawus, Ibrahim, dan Al-Hasan Al-Basri mengatakan, yang dimaksud
dengan istilah al-massu ialah nikah. Bahkan boleh menceraikannya sebelum
menggaulinya, dan sebelum menetapkan besarnya maskawin jika dia menyerahkan hal
tersebut, sekalipun dalam perceraian itu menyakitkan hatinya. Karena itulah
Allah Swt. memerintahkan kepada pihak suami agar memberinya mut'ah, yaitu
pemberian untuk menghibur hatinya. Pemberian mut'ah tersebut disesuaikan dengan
keadaan kemampuan ekonomi pihak suami; bagi yang kaya disesuaikan dengan
kekayaannya, dan bagi yang tidak mampu disesuaikan dengan kemampuannya.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ismail ibnu Umayyah, dari Ikrimah. dari
Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mut'ah talak yang jumlahnya paling besar ialah
berupa seorang pelayan (budak), sedangkan yang lebih rendah dari itu berupa uang
perak, dan yang lebih rendah lagi dari semuanya adalah berupa pakaian.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yaitu apabila si lelaki
yang bersangkutan dari kalangan orang yang mampu, hendaklah ia memberinya mut'ah
berupa seorang pelayan atau yang seimbang dengannya. Jika dia orang yang tidak
mampu, hendaklah dia memberi mut'ah dengan tiga setel pakaian. Asy-Sya'bi mengatakan bahwa mut'ah yang pertengahan ialah berupa baju kurung,
kerudung, milhafah, dan jilbab. Ia mengatakan bahwa dahulu Syuraih memberikan
mut'ah-nya sejumlah lima ratus (dirham).
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub
ibnu Sirin yang mengatakan bahwa ia pernah memberi mut'ah berupa seorang
pelayan, atau nafkah atau pakaian. Ia mengatakan, Al-Hasan ibnu Ali pernah
memberi mut'ah-nya sejumlah sepuluh ribu (dirham). Menurut suatu riwayat, wanita
yang diceraikannya mengatakan, "Harta yang sedikit dari kekasih yang
menceraikannya."
Imam Abu Hanifah berpendapat, apabila suami istri bersengketa mengenai jumlah
mut'ah, maka hal yang diwajibkan atas pihak suami bagi pihak istri adalah separo
mahar misil-nya. Imam Syafii di dalam qaul jadid-nya mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh
dipaksa membayar jumlah tertentu dari mut'ah, kecuali bila mut'ah yang
dibayarnya itu jauh di bawah standar yang dinamakan mut'ah. Imam Syafii
mengatakan, hal yang paling ia sukai dalam jumlah minimal mut'ah ialah pakaian
yang cukup untuk dikenakan si wanita dalam salatnya.
Di dalam qaul qadim-nya Imam Syafii mengatakan bahwa ia tidak mengetahui
kadar tertentu dalam masalah mut'ah kecuali ia menganggap baik berupa uang yang
jumlahnya tiga puluh dirham, seperti apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu Umar
r.a. Para ulama berselisih pendapat pula mengenai mut'ah ini, apakah mut'ah
diwajibkan bagi setiap wanita yang ditalak, atau mut'ah itu hanya wajib
diberikan kepada istri yang diceraikan sebelum digauli lagi belum ditentukan
jumlah maskawinnya? Di kalangan ulama banyak pendapat yang menanggapinya.
Pendapat pertama mengatakan bahwa mut'ah wajib diberikan kepada setiap wanita
yang diceraikan, mengingat keumuman makna firman-Nya:
{وَلِلْمُطَلَّقَاتِ
مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ}
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya)
mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang
takwa. (Al-Baqarah: 241)
Juga karena firman-Nya:
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْواجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَياةَ
الدُّنْيا وَزِينَتَها فَتَعالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَراحاً
جَمِيلًا
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, "Jika kamu sekalian mengingini
kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepada kalian
mut'ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik.” (Al-Ahzab: 28)
Sedangkan mereka telah menerima maskawinnya yang telah disebutkan, dan mereka
pun telah digauli. Hal ini merupakan pendapat Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah,
Al-Hasan Al-Basri, dan pendapat ini merupakan salah satu dari pendapat Imam
Syafii. Akan tetapi, dari kalangan mereka ada yang memilih pendapat dalam qaul
jadid merupakan pendapat yang benar.
Pendapat kedua mengatakan bahwa mut'ah wajib diberikan kepada seorang wanita
apabila diceraikan sebelum digauli, sekalipun maskawinnya telah ditentukan,
karena firman-Nya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِناتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَما لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ
تَعْتَدُّونَها فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَراحاً جَمِيلً
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan
yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka
sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagi kalian yang kalian minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan
cara yang sebaik-baiknya. (Al-Ahzab: 49)
Syu'bah dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa'id ibnul
Musayyab yang mengatakan bahwa ayat ini telah dimansukh oleh ayat yang ada di
dalam surat Al-Baqarah (ayat 236). Imam Bukhari meriwayatkan di dalam kitab Sahih-nya dari Sahl ibnu Sa'd dan
Abu Usaid, bahwa keduanya pernah menceritakan hadis berikut:
تَزَوَّجَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أميمة بنت شرحبيل، فَلَمَّا
أُدْخِلَتْ عَلَيْهِ، بَسَطَ يَدَهُ إِلَيْهَا، فَكَأَنَّهَا كَرِهَتْ ذَلِكَ،
فَأَمَرَ أَبَا أَسِيدٍ أَنْ يُجَهِّزَهَا وَيَكْسُوَهَا
ثَوْبَيْنِ رازِقِيَّين.
Rasulullah Saw. pernah mengawini Umaimah binti Syurahbil, ketika Umaimah
dimasukkan ke dalam rumah Nabi Saw. dan Nabi Saw. mengulurkan tangannya kepada
Umaimah, maka seakan-akan Umaimah tidak suka dengan perkawinan ini. Lalu Nabi
Saw. memerintahkan kepada Abu Usaid agar memberinya perlengkapan dan pakaian,
yaitu berupa dua setel pakaian berwarna biru (sebagai mut'ah-nya).
Pendapat ketiga mengatakan bahwa mut'ah hanya diberikan kepada wanita yang
diceraikan dalam keadaan belum digauli dan belum ditentukan maharnya. Untuk itu
apabila si suami pernah menggaulinya, maka suami diwajibkan membayar mahar
misil-nya, bilamana si istri menyerahkan masalah tersebut. Jika pihak suami
telah menentukan jumlah maskawinnya, lalu ia menceraikannya sebelum
menggaulinya, maka wajib diberikan kepadanya separo dari maskawin yang telah
ditentukan itu. Apabila si suami telah menggaulinya (serta telah menentukan
mahamya), maka seluruh mahar harus diberikan kepada si istri sebagai ganti dari
mut'ah.
Sesungguhnya wanita yang berhak menerima mut'ah hanyalah wanita yang belum
ditentukan maskawinnya, juga belum digauli oleh suaminya. Pengertian inilah yang
ditunjukkan oleh ayat di atas, yaitu yang mewajibkan pemberian mut'ah kepadanya
atas tanggungan pihak suami yang menceraikannya. Demikianlah menurut pendapat
Ibnu Umar dan Mujahid.
Tetapi di kalangan ulama ada yang menyunatkan pemberian mut'ah kepada setiap
wanita yang diceraikan selain wanita mufawwidah (yang memasrahkan jumlah
maskawinnya), lalu ia diceraikan sebelum digauli. Hal ini jelas tidak diingkari,
dan berdasarkan pengertian ini pula ditakwilkan ayat takhyir yang ada di dalam
surat Al-Ahzab. Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{وَلِلْمُطَلَّقَاتِ
مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ}
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya)
mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang
takwa. (Al-Baqarah: 241)
Tetapi di antara ulama ada yang mengatakan bahwa pemberian mut'ah disunatkan
secara mutlak. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir
ibnu Syihab Al-Qazwaini, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id ibnu
Sabiq, telah menceritakan kepada kami Amr (yakni Ibnu Abu Qais), dari Abu Ishaq,
dari Asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa mereka menanyakan kepadanya tentang
mut'ah, apakah ada batasannya? Maka ia membacakan firman-Nya: Orang yang
mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula). (Al-Baqarah: 236)
Asy-Sya'bi mengatakan bahwa ia belum pernah melihat seseorang yang melakukan
batasan dalam mut'ah. Demi Allah, seandainya mut'ah adalah hal yang wajib,
niscaya para kadi menetapkan batasan untuknya.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 236"
Posting Komentar