Al-Baqoroh Ayat 234
Selasa, 15 Mei 2018
Add Comment
{وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (234) }
Orang-orang yang meninggal dunia di antara
kalian dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan
dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis
idahnya, maka tiada dosa bagi kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kalian
perbuat.
Hal ini merupakan perintah dari Allah yang ditujukan kepada wanita-wanita
yang ditinggal mati oleh suami mereka, yaitu mereka harus melakukan idahnya
selama empat bulan sepuluh hari. Hukum ini mengenai pula pada istri-istri yang
telah digauli oleh suaminya, juga istri-istri yang belum sempat digauli
suaminya. Demikianlah menurut kesepakatan para ulama. Dalil yang dijadikan
sandaran bagi wanita yang masih belum digauli ialah makna umum yang terkandung
di dalam ayat ini. Hadis berikut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik
kitab sunnah dan dinilai sahih oleh Imam Turmuzi, yaitu: Bahwa Ibnu Mas'ud
pernah ditanya mengenai masalah seorang lelaki yang mengawini seorang wanita,
lalu si lelaki itu meninggal dunia sebelum sempat menggaulinya dan belum pula
memastikan jumlah maskawinnya kepada istrinya itu. Lalu mereka (yang bertanya)
itu bolak-balik kepada Ibnu Mas'ud berkali-kali menanyakan masalah ini. Pada
akhirnya Ibnu Mas'ud berkata, "Aku akan memutuskan masalah ini dengan rayu
(pendapat)ku sendiri. Jika jawaban ini benar, maka dari Allah; dan jika keliru,
maka dariku dan dari setan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari
jawaban ini. Si wanita mendapat maskawinnya dengan penuh —menurut riwayat yang
lain disebutkan mendapat mahar misilnya— tanpa ada pengurangan dan penggelapan,
dan diwajibkan atas diri si wanita melakukan idahnya, serta ia dapat mewaris
(dari peninggalan suaminya)." Lalu berdirilah Ma'qal ibnu Yasar Al-Asyja'i dan
mengatakan, "Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. memutuskan hal yang sama
terhadap Buru' binti Wasyiq." Mendengar hal itu hati Abdullah ibnu Mas'ud sangat
gembira.
Menurut riwayat yang lain disebutkan seperti berikut: Maka berdirilah
orang-orang lelaki dari Bani Asyja', lalu mereka mengatakan, "Kami menyaksikan
bahwa Rasulullah Saw. pernah memutuskan hal yang sama terhadap Buru' binti
Wasyiq."
Tiada yang dikecualikan dari masa idah tersebut kecuali wanita yang ditinggal
mati suaminya, sedangkan ia dalam keadaan mengandung. Maka sesungguhnya idah
yang harus dilakukannya ialah sampai ia melahirkan bayinya, sekalipun sesudah
kematian suaminya selang waktu yang sebentar ia melahirkan bayinya. Dikatakan
demikian karena mengingat keumuman makna firman-Nya yang mengatakan:
{وَأُولاتُ
الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ}
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya. (At-Talaq: 4)
Tersebutlah bahwa Ibnu Abbas berpendapat, "Wanita hamil yang ditinggal mati
suaminya diharuskan melakukan masa idahnya selama masa yang paling panjang di
antara kedua masa tersebut, yaitu antara masa melahirkan, atau empat bulan
sepuluh hari." Pendapatnya ini merupakan kesimpulan gabungan dari kedua ayat di
atas. Pendapat ini merupakan kesimpulan yang baik dan berdasarkan penalaran yang
kuat seandainya tidak ada apa yang telah ditetapkan oleh sunnah dalam hadis yang
menceritakan kasus Subai'ah Al-Aslamiyyah. Hadis ini diketengahkah di dalam
kitab Sahihain melalui berbagai jalur periwayatan.
Disebutkan bahwa suami Subai'ah (yaitu Sa'd ibnu Khaulah) meninggal dunia,
sedangkan Subai'ah dalam keadaan hamil darinya. Tidak lama kemudian setelah
kematian suaminya, Subai'ah melahirkan bayinya. Menurut riwayat yang lain,
Subai'ah melahirkan bayinya selang beberapa malam sesudah kematian suaminya.
Setelah Subai'ah bersih dari nifasnya, ia menghias diri untuk para pelamar. Maka
masuklah Abus Sanabil ibnu Ba'kak menemuinya, dan langsung berkata kepadanya,
"Mengapa engkau kulihat menghiasi dirimu, barangkali kamu mengharapkan kawin?
Demi Allah, kamu tidak boleh kawin sebelum kamu melewati masa empat bulan
sepuluh hari." Subai'ah mengatakan, "Setelah Abus Sanabil berkata demikian
kepadaku, maka kupakai pakaianku pada petang harinya, lalu aku datang kepada
Rasulullah Saw. dan menanyakan kepadanya masalah tersebut. Maka beliau Saw.
memberikan jawabannya kepadaku, bahwa diriku telah halal untuk kawin lagi
setelah aku melahirkan bayiku, dan beliau Saw. memerintahkan kepadaku untuk
kawin jika aku suka."
Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, sesungguhnya menurut suatu riwayat
disebutkan bahwa Ibnu Abbas meralat pendapatnya, lalu merujuk kepada hadis
Subai'ah. Dikatakan demikian karena Ibnu Abbas sendiri membantah pendapat
tersebut dengan berdalilkan hadis Subai'ah. Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa hal ini dibenarkan dengan adanya
suatu riwayat darinya yang mengatakan bahwa semua temannya menekuni hadis
Subai'ah, sama halnya dengan pendapat semua ahlul ilmi.
Dikecualikan dari makna ayat ini bilamana si istri adalah seorang budak
wanita, karena sesungguhnya idah seorang budak wanita adalah separo dari idah
wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari, seperti yang dikatakan oleh jumhur
ulama. Dikatakan demikian karena hukuman had yang di jalani oleh budak wanita
adalah separo dari hukuman had yang di jalani oleh seorang wanita merdeka. Maka
demikian pula dalam masalah idah, yaitu separo dari idah wanita merdeka.
Tetapi di kalangan ulama —seperti Muhammad ibnu Sirin dan sebagian kalangan
mazhab Zahiri— dikatakan bahwa dalam masalah idah ini sama saja antara wanita
merdeka dan budak wanita, mengingat keumuman makna ayat ini. Juga karena masalah
idah merupakan masalah yang menyangkut pembawaan yang tidak mengenal adanya
perbedaan antara seorang wanita dengan wanita lainnya.
Sa'id ibnul Musayyab dan Abul Aliyah serta selain keduanya mengatakan bahwa
hikmah penentuan idah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat
bulan sepuluh hari, karena barangkali rahimnya telah terisi oleh kandungan.
Untuk itu apabila si wanita yang bersangkutan menunggu dalam idahnya selama masa
itu, bila ternyata kandungannya telah terisikan, niscaya akan tampak.
Di dalam hadis Ibnu Mas'ud yang ada pada kitab sahihain dan kitab lainnya
disebutkan seperti berikut:
«إِنَّ
خَلْقَ أَحَدِكُمْ يُجْمَعُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً،
ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ،
ثُمَّ يُبْعَثُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ»
Sesungguhnya penciptaan seseorang di antara kalian dihimpun di dalam perut
ibunya selama empat puluh hari berupa nutfah, lalu menjadi ‘alaqah dalam masa
yang sama (empat puluh hari), kemudian beralih menjadi segumpal daging dalam
masa yang sama, kemudian diutus kepadanya malaikat, lalu malaikat itu meniupkan
roh ke dalam tubuhnya.
Ketiga empat puluh hari ini sama bilangannya dengan empat bulan, adapun
sepuluh hari yang sesudahnya merupakan masa cadangan karena adakalanya bilangan
sebagian bulan itu ada yang kurang genap. Sesudah peniupan roh ke dalam janin,
maka janin mulai bergerak menunjukkan tanda kehidupan.
Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah yang pernah bertanya kepada
Sa'id ibnul Musayyab, "Untuk apakah yang sepuluh hari itu?" Sa'id ibnul Musayyab
menjawab, "Di masa itu dilakukan tiupan roh ke dalam tubuh janin."
Ar-Rabi' ibnu Anas pernah mengatakan, "Aku pernah bertanya kepada Abul
Aliyah, 'Mengapa sepuluh hari ini ditambahkan kepada empat bulan?' Abul Aliyah
menjawab, 'Karena digunakan untuk peniupan roh ke dalam tubuh janin'." Kedua
asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Berangkat dari asar ini Imam Ahmad berpendapat di dalam suatu riwayat yang
bersumber darinya, bahwa idah seorang ummul walad (budak perempuan yang
mempunyai anak dari hasil tuannya) sama dengan idah wanita merdeka dalam masalah
ini, karena ia telah berubah status menjadi firasy (hamparan atau pendamping
suaminya), sama halnya dengan wanita merdeka. Juga karena berdasarkan sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: dari Yazid ibnu Harun, dari Sa'id ibnu
Abu Arubah, dari Qatadah, dari Raja ibnu Haywah, dari Qubaisah ibnu Zuaib, dari
Amr ibnul As yang mengatakan: Janganlah kalian mengaburkan sunnah Nabi kita
kepada kita; idah ummul walad apabila ditinggal mati oleh tuannya ialah empat
bulan sepuluh hari.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud, dari Qutaibah, dari Gundar,
dari Ibnul Musanna ibnu Abdul A'la, sedangkan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya
dari Ali ibnu Muhammad, dari Ar-Rabi'; ketiga-tiganya menerima hadis ini dari
Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Matar Al-Wariq, dari Raja ibnu Haywah, dari
Qubaisah, dari Amr ibnul As yang menceritakan hadis ini.
Sesungguhnya menurut suatu riwayat yang bersumber dari Imam Ahmad, disebutkan
bahwa ia mengingkari hadis ini. Menurut suatu pendapat, Qubaisah belum pernah mendengar dari Amr. Akan
tetapi, ada segolongan ulama Salaf yang berpegang kepada hadis ini, di antaranya
ialah Sa'id ibnul Musayyab, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Ibnu Sirin,
Abu Iyad, Az-Zuhri, dan Umar ibnu Abdul Aziz. Hal ini pula yang dianjurkan oleh
Yazid ibnu Abdul Malik ibnu Marwan ketika ia menjabat sebagai Amirul Muminin.
Hal ini pula yang dikatakan oleh Al-Auza'i, Ishaq ibnu Rahawaih, dan Imam Ahmad
ibnu Hambal dalam salah satu riwayat darinya.
Sedangkan Tawus dan Qatadah mengatakan bahwa idah ummul walad apabila
ditinggal mati oleh tuannya adalah setengah dari idah wanita merdeka, yaitu dua
bulan lima hari. Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta As-Sauri dan Al-Hasan ibnu Saleh
ibnu Huyay mengatakan bahwa ummul walad melakukan idahnya dengan tiga kali haid.
Pendapat ini berasal dari Ali r.a., Ibnu Mas'ud, Ata, dan Ibrahim
An-Nakha'i.
Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad menurut riwayat yang terkenal darinya
mengatakan bahwa idahnya adalah sekali haid. Pendapat inilah yang dikatakan oleh
Ibnu Umar, Asy-Sya'bi, Makhul, Al-Lais, Abu Ubaid, dan Abu Saur serta jumhur
ulama. Al-Lais mengatakan, "Seandainya suami ummul walad meninggal dunia, sedangkan
dia dalam keadaan berhaid, maka haidnya itu sudah cukup untuk idahnya."
Imam Malik mengatakan, "Seandainya ummul walad dari kalangan wanita yang
tidak berhaid, maka idahnya adalah tiga bulan." Imam Syafii dan jumhur ulama mengatakan, "Hal yang paling aku sukai ialah
bila ummul walad menjalani idahnya selama satu bulan tiga hari."
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ}
Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagi kalian (para
wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kalian perbuat. (Al-Baqarah: 234)
Dari makna ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa wajib hukumnya ihdad
(berbelasungkawa) bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya selama ia
menjalani masa idahnya, karena ada sebuah hadis di dalam kitab Sahihain yang
diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ummu Habibah dan Zainab binti Jahsy
Ummul Muminin, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَا
يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِالْلَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى
مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرًا»
Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian melakukan ihdad (belasungkawa)nya atas mayat lebih dari tiga hari;
kecuali bila yang meninggal adalah suaminya, maka selama empat bulan sepuluh
hari.
Di dalam kitab Sahihain pula disebutkan sebuah hadis dari Ummu Salamah
r.a.:
أَنَّ
امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنَتِي تُوَفِّي عَنْهَا
زَوْجُهَا وَقَدِ اشْتَكَتْ عَيْنُهَا أَفَنَكْحُلُهَا؟ فَقَالَ «لَا» كُلُّ ذَلِكَ
يَقُولُ- لَا- مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: «إِنَّمَا
هِيَ أربعة أشهر وعشر، وقد كانت إحداكم فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَمْكُثُ
سَنَةً»
Bahwa ada seorang wanita bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak
perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan matanya mengalami gangguan
penyakit, bolehkah kami mencelakinya (mengobatinya dengan celak mata)?" Nabi
Saw. menjawab, "Tidak," semua pertanyaan beliau jawab dengan tidak sebanyak dua
atau tiga kali. Kemudian beliau Saw. bersabda, "Sesungguhnya idah yang harus
di jalaninya adalah empat bulan sepuluh hari. Sesungguhnya seseorang di antara
kalian di masa Jahiliah menjalani idahnya selama satu tahun."
Zainab binti Ummu Salamah mengatakan bahwa dahulu bila seorang wanita
ditinggal mati oleh suaminya (yakni di masa Jahiliah), maka wanita itu memasuki
sebuah namah gubuk, lalu memakai pakaiannya yang paling buruk; tiada wewangian
dan tiada lainnya yang ia pakai selama satu tahun. Setelah lewat satu tahun ia
keluar dari gubuk itu dan diberi kotoran unta, lalu ia melempar kotoran itu.
Kemudian diberikan kepadanya seekor hewan, yaitu keledai atau kambing atau
burung, lalu ia mengusapkan tubuhnya ke hewan tersebut. Maka jarang sekali hewan
yang diusapnya dapat bertahan hidup melainkan kebanyakan mati (karena baunya
yang sangat busuk).
Dari kesimpulan makna ayat ini banyak ulama berpendapat bahwa ayat ini
me-nasakh ayat sesudahnya, yaitu firman-Nya:
{وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا
إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ}
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan
meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah. (Al-Baqarah:
240), hingga akhir ayat.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Akan tetapi, hal ini
masih perlu dipertimbangkan, sebagaimana yang akan diterangkan kemudian dalam
pembahasannya. Yang dimaksud dengan istilah ihdad ialah meninggalkan perhiasan berupa
wewangian dan tidak memakai pakaian yang mendorongnya untuk bergairah kawin
lagi, seperti pakaian dan perhiasan serta lain-lainnya. Hal ini hukumnya wajib
bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, tanpa ada yang memperselisihkannya.
Tetapi sebaliknya, hal ini tidak wajib bagi wanita yang berada dalam idah talak
raji'.
Akan tetapi, apakah ber-ihdad hukumnya wajib bagi wanita yang ditalak ba-in?
Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat.
Ber-ihdad hukumnya wajib bagi semua istri yang ditinggal oleh suami-suami
mereka, baik yang masih kecil, wanita yang tidak ber-haid, wanita merdeka,
maupun budak wanita yang muslimah dan yang kafir, mengingat keumuman makna
ayat.
As-Sauri dan Imam Abu Hanifah beserta semua temannya mengatakan tidak ada
ihdad atas wanita kafir. Hal yang sama dikatakan pula oleh Asyhab dan Ibnu Nafi'
dari kalangan teman-teman Imam Malik. Hujah yang dijadikan pegangan oleh
orang-orang yang berpendapat demikian ialah sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian
melakukan ihdad atas meninggalnya seseorang lebih dari tiga hari; kecuali bila
ditinggal mati suaminya, maka empat bulan sepuluh hari. Mereka
mengatakan bahwa hal ini merupakan masalah ta'abbud.
Imam Abu Hanifah dan teman-temannya serta As-Sauri memasukkan ke dalam
pengertian ini istri yang masih kecil yang belum terkena taklif. Imam Abu
Hanifah serta teman-temannya memasukkan ke dalam pengertian ini budak wanita
muslimah yang tidak memiliki kemerdekaan (mengingat masalah idah adalah masalah
ta'abbud). Pembahasan mengenai masalah ini secara rinci terdapat di dalam
kitab-kitab yang membahas masalah hukurn dan cabang-cabangnya.
********************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ}
Kemudian apabila telah habis idahnya. (Al-Baqarah: 234)
Yakni masa idahnya telah habis, menurut Ad-Dahhak dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
{فَلا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ}
maka tidak ada dosa bagi kalian. (Al-Baqarah: 234)
Yaitu bagi para walinya, menurut Az-Zuhri.
{فِيمَا
فَعَلْنَ}
membiarkan mereka berbuat. (Al-Baqarah: 234)
Maksudnya, membiarkan wanita-wanita yang telah menghabiskan masa idahnya.
Al-Wunni meriwayatkan dari Ibnu Abbas, apabila seorang istri diceraikan atau
ditinggal mati oleh suaminya, bila ia telah menghabiskan masa idahnya, maka
tidak dosa atas dirinya untuk menghias diri dan mempercantik diri serta
menawarkan diri untuk dikawini. Pengertian ini sudah dimaklumi. Hal yang semisal
telah diriwayatkan dari Muqatil ibnu Hayyan.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya:
maka tiada dosa bagi kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap
diri mereka menurut yang patut. (Al-Baqarah: 234) Makna yang dimaksud ialah
untuk nikah yang halal lagi baik.
Telah diriwayatkan hal yang semisal dari Al-Hasan, Az-Zuhri, dan
As-Saddi.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 234"
Posting Komentar