Al-Baqoroh Ayat 233
Selasa, 15 Mei 2018
Add Comment
{وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ
بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (233) }
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah
karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka
tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin anak kalian disusukan oleh
orang lain, maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran
menurut yang patut. Bertakwalah kalian kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.
Hal ini merupakan petunjuk dari Allah Swt. kepada para ibu, menganjurkan agar
mereka menyusui anak-anak mereka dengan penyusuan yang sempurna, yaitu selama
dua tahun penuh. Sesudah itu penyusuan tidak berpengaruh lagi terhadap
kemahraman. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
{لِمَنْ
أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ}
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (Al-Baqarah: 233)
Kebanyakan para imam berpendapat bahwa masa penyusuan tidak dapat menjadikan
mahram kecuali bila si bayi yang disusui berusia di bawah dua tahun. Untuk itu
seandainya ada anak yang menyusu kepada seorang wanita, sedangkan usianya di
atas dua tahun, maka penyusuan itu tidak menjadikan mahram baginya.
Di dalam bab hadis yang mengatakan bahwa penyusuan tidak menjadikan mahram
pada diri seorang anak kecuali bila usianya di bawah dua tahun, Imam Turmuzi
mengatakan:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ
فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يُحَرِّمُ مِنَ الرِّضَاعِ إِلَّا مَا
فَتَقَ الْأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ، وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ".
telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abu
Uwwanah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari Fatimah bintil Munzir, dari Ummu Salamah
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Persusuan tidak
menjadikan mahram kecuali susuan yang dilakukan langsung pada tetek lagi
mengenyangkan perut dan terjadi sebelum masa penyapihan.
Hadis ini hasan sahih. Hal inilah yang diamalkan di kalangan kebanyakan ahlul
ilmi dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. dan lain-lainnya. Yaitu bahwa
penyusuan tidak menjadi mahram kecuali bila dilakukan dalam usia di bawah dua
tahun, sedangkan penyusuan yang dilakukan sesudah usia genap dua tahun, hal ini
tidak menjadikan mahram sama sekali. Fatimah bintil Munzir ibnuz Zubair ibnul
Awwam adalah istri Hisyam ibnu Urwah.
Menurut kami, hanya Imam Turmuzi sendiri yang mengetengahkan riwayat hadis
ini, sedangkan para rawinya bersyaratkan Sahihain. Makna sabda Nabi Saw. yang
mengatakan, "Illa ma kana fis sadyi,'" ialah kecuali susuan yang
dilakukan pada tetek sebelum usia dua tahun. Seperti yang terdapat di dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Waki' dan Gundar, dari
Syu'bah, dari Addi ibnu Sabit, dari Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan bahwa
ketika Ibrahim ibnu Nabi Saw. meninggal dunia, Nabi Saw. bersabda:
"إن
لَهُ مُرْضِعًا فِي الْجَنَّةِ"
sesungguhnya dia mempunyai orang yang menyusukannya di dalam
surga.
Hal yang sama diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui hadis Syu'bah.
Sesungguhnya Nabi Saw. bersabda demikian tiada lain karena putra beliau yang
bernama Ibrahim a.s. wafat dalam usia dua puluh dua bulan. Karena itulah beliau
Saw. bersabda: sesungguhnya dia mempunyai orang yang menyusukannya di
dalam surga.
Yakni yang akan menggenapkan masa persusuannya. Pengertian ini diperkuat oleh
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni melalui jalur Al-Haisam ibnu
Jamil, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لا
يُحَرِّمُ مِنَ الرَّضَاعِ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ"
Tiada yang menjadikan mahram karena persusuan kecuali yang dilakukan
sebelum usia dua tahun.
Kemudian Imam Daruqutni mengatakan, tiada yang menyandarkannya kepada Ibnu
Uyaynah selain Al-Haisam ibnu Jamil, tetapi Al-Haisam orangnya siqah lagi hafiz
(hafal hadis).
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Malik di dalam kitab
Muwatta', dari Saur ibnu Yazid, dari Ibnu Abbas secara marfu'. Imam Darawardi
meriwayatkannya pula dari Saur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, yang di dalam
riwayatnya ditambahkan seperti berikut:
«وَمَا
كَانَ بَعْدَ الْحَوْلَيْنِ فَلَيْسَ بِشَيْءٍ»
Dan persusuan yang terjadi sesudah usia dua tahun tidak mempunyai pengaruh
apa pun.
Riwayat ini lebih sahih.
Abu Daud At-Tayalisi meriwayatkan melalui Jabir yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَا
رَضَاعَ بَعْدَ فِصَالٍ، وَلَا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ»
Tiada penyusuan lagi sesudah masa penyapihan, dan tiada status yatim
sesudah usia balig.
Penunjukan makna yang diketengahkan oleh hadis ini menjadi lebih sempurna
dengan adanya firman Allah Swt. yang mengatakan:
وَفِصالُهُ
فِي عامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي
dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku. (Luqman:
14)
وَحَمْلُهُ
وَفِصالُهُ ثَلاثُونَ شَهْراً
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (Al-Ahqaf:
15)
Pendapat yang mengatakan bahwa persusuan sesudah usia dua tahun tidak
menjadikan mahram diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Jabir, Abu
Hurairah, Ibnu Umar, Ummu Salamah, Sa'id ib-nul Musayyab, dan Ata serta jumhur
ulama. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Syafii, Imam Ahmad, Ishaq,
AS-Sauri, Abu Yusuf, Muhammad, dan Malik dalam salah satu riwayatnya.
Menurut riwayat yang lain dari Imam Malik juga disebutkan bahwa masa
persusuan itu adalah dua tahun dua bulan, dan menurut riwayat yang lainnya lagi
yaitu dua tahun tiga bulan. Imam Abu Hanifah mengatakan, masa penyusuan adalah dua setengah tahun. Zufar
ibnul Huzail mengatakan bahwa selagi si anak masih mau tetap menyusu, maka batas
maksimalnya adalah tiga tahun; pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari
Al-Auza'i.
Imam Malik mengatakan, "Seandainya seorang anak telah disapih dari penyusuan
sebelum usia dua tahun, lalu ada seorang wanita menyusukannya setelah disapih,
maka penyusuan kali ini tidak menjadikan mahram, karena persusuan saat itu
disamakan kedudukannya dengan makanan." Pendapat ini pun merupakan suatu riwayat
lain dari Al-Auza'i.
Telah diriwayatkan dari Umar r.a. dan Ali r.a., bahwa keduanya pernah
mengatakan, "Tiada persusuan sesudah penyapihan." Maka kalimat ini
diinterpretasikan bahwa keduanya bermaksud usia dua tahun, sama halnya dengan
pendapat jumhur ulama, yakni baik telah disapih ataupun belum. Akan tetapi,
dapat pula diinterpretasikan bahwa keduanya bermaksud kenyataannya. Dengan
demikian, berarti sama dengan apa yang dikatakan oleh Imam Malik.
Telah diriwayatkan di dalam kitab Sahihain, dari Siti Aisyah r.a.; ia
berpendapat bahwa penyusuan anak yang sudah besar mempunyai pengaruh pula dalam
kemahraman. Pendapat inilah yang dipegang oleh Ata ibnu Abu Rabah dan Al-Lais
ibnu Sa'd. Tersebutlah bahwa Siti Aisyah r.a. selalu memerintahkan kepada orang
yang ia pilih boleh masuk ke dalam rumahnya untuk menemui wanita-wanita yang ada
di dalam asuhannya, untuk menyusu kepadanya terlebih dahulu. Siti Aisyah r.a.
berpendapat demikian karena berdasarkan kepada hadis yang mengisahkan masalah
Salim maula Abu Huzaifah. Nabi Saw. memerintahkan kepada istri Abu Huzaifah
untuk menyusukan Salim, sedangkan Salim ketika itu sudah besar. Setelah itu
Salim bebas menemui istri Abu Huzaifah berkat penyusuan tersebut. Akan tetapi
istri-istri Nabi Saw. yang lainnya (selain Siti Aisyah r.a.) tidak mau melakukan
hal tersebut, mereka berpendapat bahwa peristiwa Salim tersebut termasuk hal
yang khusus. Pendapat inilah yang dianut oleh jumhur ulama.
Hujah yang dipegang oleh jumhur ulama —mereka terdiri atas para imam yang
empat orang, ulama ahli fiqih yang tujuh orang, para sesepuh sahabat, dan
istri-istri Nabi Saw. selain Siti Aisyah r.a.— ialah sebuah hadis yang
ditetapkan di dalam kitab Sahihain dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
"انظرْنَ
مِنْ إِخْوَانِكُنَّ، فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ
الْمَجَاعَةِ"
Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita) siapakah saudara-saudara kalian,
karena sesungguhnya persusuan itu hanyalah karena kelaparan.
Mengenai masalah persusuan dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah anak
yang sudah besar menyusu, akan dibahas dalam tafsir firman-Nya:
وَأُمَّهاتُكُمُ
اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian. (An-Nisa: 23)
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ}
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang makruf. (Al-Baqarah: 233)
Yakni diwajibkan atas orang tua si anak memberi nafkah dan sandang ibu
anaknya dengan cara yang makruf, yakni menurut tradisi yang berlaku bagi semisal
mereka di negeri yang bersangkutan tanpa berlebih-lebihan, juga tidak terlalu
minim. Hal ini disesuaikan dengan kemampuan pihak suami dalam hal kemampuan
ekonominya, karena ada yang kaya, ada yang pertengahan, ada pula yang miskin.
Seperti yang dijelaskan di dalam firman-Nya:
لِيُنْفِقْ
ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا
آتاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ
اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang
yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
(sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan. (At-Talaq: 7)
Ad-Dahhak mengatakan, "Apabila seseorang menceraikan istrinya, sedangkan ia
telah punya anak dari istrinya itu yang masih dalam masa penyusuan, maka ia
wajib memberi nafkah dan sandang kepada istrinya yang telah diceraikan itu
dengan cara yang makruf (selama bekas istrinya itu masih menyusukan anaknya)."
*******************
Firman Allah Swt.:
{لَا
تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا}
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya.
(Al-Baqarah: 233)
Yakni misalnya pihak si ibu menyerahkan bayi itu kepada pihak ayah si bayi
untuk menimpakan kemudaratan terhadap pihak ayah si bayi karena diharuskan
memeliharanya. Pihak ibu tidak boleh menyerahkan si bayi yang telah
dilahirkannya (kepada suaminya) sebelum menyusukannya yang pada kebanyakan si
bayi tidak dapat hidup melainkan dengan susu ibunya. Setelah masa penyusuan
telah habis, maka pihak ibu si bayi baru diperbolehkan menyerahkan bayinya itu
kepada ayah si bayi jika pihak ibu berkenan. Sekalipun demikian, jika hal
tersebut mengakibatkan pihak ayah si bayi menderita kesengsaraan karena harus
memelihara bayinya, maka pihak ibu tidak boleh menyerahkan bayinya itu kepada
ayah si bayi. Sebagaimana tidak dihalalkan bagi pihak ayah si bayi merampas bayi
dari tangan ibunya hanya semata-mata untuk menimpakan kesengsaraan kepada pihak
ibu si bayi. Karena itu, maka Allah Swt. berfirman:
{وَلا
مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ}
dan (janganlah menderita kesengsaraan) seorang ayah karena anaknya.
(Al-Baqarah: 233)
Yaitu misalnya ayah si anak (bayi) ingin merampas anak dari tangan ibunya
dengan tujuan menyengsarakan ibunya. Demikianlah menurut penafsiran Mujahid, Qatadah, Ad-Dahhak,
Az-Zuhri,As-Saddi, As-Sauri, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَعَلَى
الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ}
dan waris pun berkewajiban demikian. (Al-Baqarah: 233)
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud ialah tidak boleh menimpakan mudarat
kepada ahli waris (kaum kerabat) pihak ayah si bayi. Demikianlah pendapat
Mujahid, Asy-Sya'bi, dan Ad-Dahhak.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah 'kepada ahli waris
diwajibkan hal yang. sama dengan apa yang diwajibkan atas ayah si bayi, yaitu
memberi nafkah kepada ibu si bayi, memenuhi semua hak-haknya, dan tidak
menimpakan mudarat kepadanya'. Penakwilan yang terakhir ini menurut jumhur
ulama. Hal ini telah dibahas secara rinci oleh Ibnu Jarir di dalam kitab
tafsirnya.
Ayat ini dijadikan dalil oleh kalangan mazhab Hanafi dan mazhab Hambali yang
mengatakan bahwa kaum kerabat wajib memberi nafkah sebagian di antara mereka
kepada sebagian lainnya. Pendapat ini bersumber dari riwayat yang diceritakan
oleh Umar ibnul Khattab r.a. dan kebanyakan ulama Salaf. Kemudian hal ini
diperkuat dengan adanya hadis Al-Hasan, dari Samurah secara marfu', yaitu:
مَنْ
مَلَكَ ذَا رَحِمٍ مَحْرَمٍ عُتِق عَلَيْهِ
Barang siapa yang memiliki orang yang masih kerabat lagi mahram dengannya,
maka ia harus memerdekakannya.
Telah disebutkan bahwa persusuan atau rada'ah sesudah usia dua tahun
adakalanya menimpakan kesengsaraan terhadap pihak anak, barangkali pada tubuhnya
atau akalnya. Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari
Alqamah, bahwa ia pernah melihat seorang ibu yang menyusukan anaknya sesudah si
anak berusia dua tahun, maka ia berkata kepada si ibu tersebut, "Janganlah kau
susui dia!"
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ
أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا}
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.
(Al-Baqarah: 233)
Dengan kata lain, apabila pihak ayah dan ibu si bayi sepakat untuk menyapih
anaknya sebelum si anak berusia dua tahun, dan keduanya memandang bahwa
keputusan inilah yang mengandung maslahat bagi diri si bayi, serta keduanya
bennusyawarah terlebih dahulu untuk itu dan membuahkan kesepakatan, maka tidak
ada dosa atas keduanya untuk melakukan hal tersebut.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa bila salah satu pihak saja yang
melakukan hal ini dinilai kurang cukup, dan tidak boleh bagi salah satu pihak
dari keduanya memaksakan kehendaknya dalam hal ini tanpa persetujuan dari pihak
yang lainnya. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh As-Sauri dan
lain-lainnya. Pendapat ini mengandung sikap preventif bagi si bayi demi
kemaslahatannya; dan hal ini merupakan rahmat dari Allah kepada hamba-hamba-Nya,
mengingat Dia telah menetapkan keharusan bagi kedua orang tua untuk memelihara
anak mereka berdua, dan memberikan bimbingan kepada apa yang menjadi maslahat
bagi kedua orang tua, juga maslahat si anak. Seperti yang diungkapkan di dalam
surat At-Talaq melalui firman-Nya:
فَإِنْ
أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ
وَإِنْ تَعاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرى
Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) kalian untuk kalian, maka
berikanlah kepada mereka upahnya; dan bermusyawarahlah di antara kalian (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kalian menemui kesulitan, maka perempuan lain
boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (At-Talaq: 6)
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَإِنْ
أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا
سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ}
Dan jika kalian ingin anak kalian disusukan oleh orang lain, maka tidak
ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran menurut yang
patut. (Al-Baqarah: 233)
Apabila ibu dan ayah si bayi sepakat bahwa masalah persusuan si bayi
diserahkan kepada pihak ayah, adakalanya karena pihak ibu si bayi berhalangan
menyusukannya atau adakalanya halangan dari pihak bayinya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya dalam masalah penyerahan bayi mereka. Bukan merupakan suatu
keharusan bagi pihak ayah untuk menerima penyerahan itu bilamana ia telah
menyerahkan kepada pihak ibu upah penyusuan si bayi dengan cara yang lebih baik,
lalu si bayi disusukan wanita lain dengan upah tersebut. Pengertian ini sudah
tidak asing lagi. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh ulama yang bukan
hanya satu orang.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُوا
اللَّهَ}
Bertakwalah kalian kepada Allah. (Al-Baqarah: 233)
Yakni dalam semua keadaan kalian.
{وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ}
dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.
(Al-Baqarah: 233)
Artinya, tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya dari sepak terjang dan semua
ucapan kalian.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 233"
Posting Komentar