Al-Baqoroh Ayat 229-230
Selasa, 15 Mei 2018
Add Comment
{الطَّلاقُ
مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ
لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا
يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا
جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا
تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
(229) فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا
غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ
ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا
لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (230) }
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah
itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang
baik. Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang
melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika
si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal
lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang
lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama
dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang
(mau) mengetahui.
Ayat yang mulia ini mengangkat nasib kaum wanita dari apa yang berlaku pada
masa permulaan Islam. Yaitu seorang lelaki lebih berhak merujuk istrinya,
sekalipun ia menceraikannya sebanyak seratus kali talak, selagi si istri masih
dalam masa idahnya. Mengingat hal tersebut merugikan pihak wanita, maka Allah membatasinya hanya
sampai tiga kali talak, dan memperbolehkan rujuk pada talak pertama dan kedua,
memisahkannya secara keseluruhan pada talak yang ketiga kalinya. Untuk itu Allah
Swt. berfirman:
{الطَّلاقُ
مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ}
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah:
229)
Imam Abu Daud di dalam kitab Sunnan-nya mengatakan, yaitu dalam Bab "Nasakh
Rujuk Sesudah Talak Tiga Kali", telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu
Muhammad Al-Marwazi, telah menceritakan kepadaku Ali ibnul Husain ibnu Waqid,
dari ayahnya, dari Yazid ibnun Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya. (Al-Baqarah: 228), hingga akhir ayat.
Demikian itu bila ada seorang lelaki menalak istrinya, maka dialah yang lebih
berhak merujukinya, sekalipun dia telah menceraikannya sebanyak tiga kali. Maka
ketentuan tersebut di-mansukh oleh firman-Nya:Talak (yang dapat dirujuki) dua
kali. (Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari Zakaria ibnu Yahya, dari
Ishaq ibnu Ibrahim, dari Ali ibnul Husain dengan lafaz yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ishaq,
telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu
Urwah, dari ayahnya, bahwa ada seorang lelaki berkata kepada istrinya, "Aku
tidak akan menceraikanmu selama-lamanya, dan tidak akan pula memberimu tempat
selama-lamanya." Si istri bertanya, "Bagaimana caranya bisa demikian?" Lelaki
(si suami) menjawab, "Aku akan menceraikanmu; dan apabila masa idahmu akan
habis, maka aku merujukmu kembali." Lalu si istri datang kepada Rasulullah Saw.
dan menceritakan kepadanya hal tersebut. Maka Allah menurunkan firman-Nya:
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah 229)
Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya
melalui jalur Jarir ibnu Abdul Hamid dan Ibnu Idris. Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya pula di dalam kitab tafsirnya, dari Ja'far
ibnu Aun. Semuanya meriwayatkan hadis ini dari Hisyam, dari ayahnya yang
menceritakan: Pada mulanya seorang suami lebih berhak merujuk istrinya,
sekalipun ia telah menceraikannya menurut apa yang dikehendakinya, selagi si
istri masih berada dalam masa idahnya. Dan ada seorang lelaki dari kalangan
Ansar marah kepada istrinya, lalu ia mengatakan, "Demi Allah, aku tidak akan
menaungimu dan tidak pula akan menceraikanmu." Si istri bertanya, "Bagaimana
bisa demikian?" Si suami menjawab, "Aku akan menceraikanmu; dan apabila telah
dekat masa habis idahmu, maka aku akan merujukmu kembali. Kemudian aku ceraikan
kamu lagi; dan apabila sudah dekat masa habis idahmu, maka aku akan merujukmu
kembali." Kemudian si istri menceritakan hal itu kepada Rasulullah Saw. Maka
Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali"
(Al-Baqarah: 229). Ayah Hisyam melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu
orang-orang tidak berani lagi mempermainkan talak, baik mereka yang suka
menjatuhkannya maupun yang belum pernah.
Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui jalur Muhammad ibnu
Sulaiman, dari Ya'la ibnu Syabib maula Az-Zubair, dari Hisyam, dari ayahnya,
dari Siti Aisyah, lalu ia menceritakan ha-dis ini seperti yang disebutkan di
atas, yakni semisal dengannya. Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Qutaibah, dari Ya'la ibnu Syabib dengan
lafaz yang sama. Kemudian Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui Abu Kuraib, dari Ibnu
Idris, dari Hisyam, dari ayahnya secara mursal, dan mengatakan bahwa sanad hadis
ini paling sahih.
Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya melalui jalur Ya'qub
ibnu Humaid ibnu Kasib, dari Ya'la ibnu Syabib dengan lafaz yang sama, dan
mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.
Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abdullah,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada
kami Salamah ibnu Fadl, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Hisyam ibnu Urwah, dari
ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadis berikut: Pada mulanya talak
tidak mempunyai batas; seorang lelaki dapat menceraikan istrinya, lalu
merujukinya kembali selagi si istri belum habis masa idahnya. Dan tersebutlah
terjadi antara seorang lelaki Ansar dengan istrinya suatu hal yang biasa
dilakukan oleh kebanyakan orang (yakni menceraikan istrinya dengan seenaknya).
Si lelaki berkata, "Demi Allah, aku benar-benar akan membuat dirimu bukan
sebagai janda, bukan pula sebagai wanita yang bersuami." Lalu si lelaki
menalaknya; dan bila masa idah istrinya hampir habis, maka ia merujukinya
kembali; dia melakukan hal tersebut berkali-kali. Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya, "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik"
(Al-Baqarah: 229). Maka talak dihentikan sampai batas tiga kali, tiada rujuk
lagi sesudah talak tiga, sebelum si istri kawin dengan suami yang baru.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah secara mursal. As-Saddi, Ibnu
Zaid, dan Ibnu Jarir menuturkan pula demikian, dan Ibnu Jarir memilih bahwa
hadis ini merupakan tafsir dari ayat ini.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِمْسَاكٌ
بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ}
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229)
Yakni apabila engkau menceraikan istrimu sebanyak sekali talak atau dua kali
talak, maka engkau boleh memilih selagi istrimu masih dalam idahnya antara
mengembalikan dia kepadamu dengan niat memperbaiki dia dan berbuat baik
kepadanya; atau kamu biarkan dia menghabiskan masa idahnya, lalu berpisah darimu
dan kamu lepaskan ikatannya darimu dengan cara yang baik; tetapi janganlah kamu
berbuat aniaya terhadap haknya barang sedikit pun, jangan pula kamu membuat dia
mudarat.
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Apabila
seorang lelaki menceraikan istrinya dua kali talak, maka hendaklah ia bertakwa
kepada Allah dalam hal tersebut, yakni dalam talak yang ketiga. Adakalanya dia
merujukinya dengan cara yang makruf dan mempergaulinya dengan cara yang baik,
atau menceraikannya dengan cara yang baik. Dan janganlah ia menganiaya haknya
barang sedikit pun."
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قِرَاءَةً،
أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، حَدَّثَنِي
إِسْمَاعِيلُ بْنُ سُمَيْعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا رَزِين يَقُولُ: جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
أَرَأَيْتَ قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: {فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ
بِإِحْسَانٍ} أَيْنَ الثَّالِثَةُ؟ قَالَ: "التَّسْرِيحُ
بِإِحْسَانٍ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan; telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul
A'la secara qiraah (bacaan), telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah
menceritakan kepadaku Sufyan As-Sauri, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu
Sami' yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Razin menceritakan hadis
berikut: Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Wahai
Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang makna firman-Nya, 'Setelah itu
boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang
baik" (Al-Baqarah: 229). Maka manakah talak yang ketiganya? Nabi Saw.
menjawab, "Melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik."
Abdu ibnu Humaid meriwayatkan pula hadis ini di dalam kitab tafsirnya yang
lafaznya berbunyi seperti berikut:
أَخْبَرَنَا
يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَكِيمٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ سَمِيعٍ،
أَنَّ أَبَا رَزِينٍ الْأَسَدِيَّ يَقُولُ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
أَرَأَيْتَ قَوْلَ اللَّهِ: " الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ "، فَأَيْنَ الثَّالِثَةُ؟
قَالَ: "التَّسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ الثَّالِثَةُ".
Telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Hakim, dan Sufyan, dari Ismail
ibnu Sami', bahwa Abu Razin Al-Asadi pernah menceritakan hadis berikut: Seorang
lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu mengenai firman Allah
Swt., 'Talak (yang boleh dirujuki) dua kali’ (Al-Baqarah: 229). Maka
manakah talak yang ketiganya?" Nabi Saw. menjawab, "Melepaskan (menceraikan)
dengan cara yang baik adalah talak yang ketiganya.''''
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sa'id ibnu Mansur, dari Khalid ibnu
Abdullah, dari Ismail ibnu Zakaria dan Abu Mu'awiyah, dari Ismail ibnu Sami',
dari Abu Razin dengan lafaz yang sama.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui jalur Qais ibnur
Rabi', dari Ismail ibnu Sami', dari Abu Razin dengan lafaz yang sama secara
mursal.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula melalui jalur Abdul Wahid ibnu Ziyad, dari
Ismail ibnu Sami', dari Anas ibnu Malik, dari Nabi Saw., lalu ia menceritakan
hadis tersebut.
Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan;
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحِيمِ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
يَحْيَى، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ جَرِيرِ بْنِ جَبَلَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ
عَائِشَةَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ذَكَرَ اللَّهُ الطَّلَاقَ مَرَّتَيْنِ، فَأَيْنَ
الثَّالِثَةُ؟ قَالَ: "إِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ
بِإِحْسَانٍ".
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ahmad ibnu Abdur Rahim, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami
Ubaidillah ibnu Jarir ibnu Jabalah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aisyah,
telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Qatadah, dari Anas ibnu
Malik yang telah menceritakan: Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu
bertanya, "Wahai Rasulullah, Allah menuturkan masalah talak dua kali, maka
manakah talak yang ketiganya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Rujuk lagi dengan
cara yang makruf atau melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik.”
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا
يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا}
Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian
berikan kepada mereka. (Al-Baqarah: 229)
Artinya, tidak dihalalkan bagi kalian mengganggu dan mempersulit mereka
dengan maksud agar mereka membayar tebusannya kepada kalian sebagai ganti
maskawin yang telah kalian berikan kepada mereka, baik secara keseluruhan atau
sebagiannya. Hal ini diungkapkan pula oleh Allah dalam ayat yang lain, yaitu
firman-Nya:
وَلا
تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ
بِفاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata. (An-Nisa: 19)
Jika pihak istri memberikan sesuatu kepada pihak suami dengan suka hati, maka
diterangkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
فَإِنْ
طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً
مَرِيئاً
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)
yang sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa: 4)
Jika suami dan istri bertengkar karena pihak istri tidak dapat menunaikan
hak-hak suaminya dan membuat pihak suami marah kepadanya —begitu pula
sebaliknya, pihak suami tidak dapat mempergaulinya—, maka pihak istri boleh
menebus dirinya dari pihak suami dengan mengembalikan kepada pihak suami apa
yang pernah ia terima darinya. Tidak ada dosa atas diri istri dalam pengembalian
itu, tidak ada dosa pula bagi pihak suami menerimanya dari pihak istri. Karena
itulah Allah Swt. berfirman: Tidak halal bagi kalian mengambil kembali
sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir
bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat.
Jika pihak wanita tidak mempunyai halangan (uzur), kemudian ia meminta agar
dirinya dilepaskan dengan imbalan tebusan darinya, menurut Ibnu Jarir dalam
salah satu riwayatnya disebutkan:
حَدَّثَنَا
ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ -وَحَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ -قَالَا جَمِيعًا: حَدَّثَنَا أَيُّوبُ،
عَنْ أَبِي قِلابة، عَمَّنْ حَدَّثَهُ، عَنْ ثَوْبَانَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا
طَلَاقَهَا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ
الْجَنَّةِ".
telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami
Abdul Wahhab. Telah menceritakan pula kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah. Keduanya (Abdul Wahhab dan Ibnu Ulayyah)
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari orang
yang menceritakannya, dari Sauban, dari Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Wanita mana pun yang meminta kepada suaminya untuk
diceraikan tanpa ada alasan yang membenarkan, maka haram baginya bau
surga.
Demikian pula menurut riwayat Imam Turmuzi, dari Bandar, dari Abdul Wahhab
ibnu Abdul Majid As-Saqafi, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini
hasan. Imam Turmuzi mengatakan, telah diriwayatkan pula dari Ayyub, dari Abu
Qilabah, dari Abu Asma, dari Sauban. Sebagian ahli hadis ada yang
meriwayatkannya dari Ayyub dengan sanad ini, tetapi tidak marfu'.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ
زَيْدٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ -قَالَ: وَذَكَرَ أَبَا أَسْمَاءَ
وَذَكَرَ ثَوْبَانَ -قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا
بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah
menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Abu Qilabah yang
mengatakan bahwa ia pernah menceritakan, Abu Asma dan juga Sauban pernah
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Wanita mana pun yang
meminta untuk diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka haram
baginya bau surga.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud, Imam Ibnu Majah, Imam
ibnu Jarir melalui hadis Hammad ibnu Zaid dengan lafaz yang sama. Jalur periwayatan yang lain diketengahkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنِي
يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ
لَيْثٍ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ، عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ قَالَ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا
بَأْسٍ، حَرّم اللَّهُ عَلَيْهَا رَائِحَةَ الْجَنَّةِ".
telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada
kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari Lais ibnu Abu Idris, juga Sauban (pelayan
Rasul Saw.), bahwa Nabi Saw. Pernah bersabda: Wanita mana pun yang meminta
kepada suaminya agar diceraikan tanpa alasan yang dibenarkan, maka Allah
mengharamkan atasnya bau surga.
Nabi Saw. bersabda pula:
"الْمُخْتَلِعَاتُ
هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ".
Wanita-wanita yang meminta khulu' (diceraikan oleh suaminya) adalah
wanita-wanita munafik.
Kemudian Ibnu Jarir dan Imam Turmuzi meriwayatkan dari Abu Kuraib, dari
Muzahim ibnu Daud ibnu Ulayyah, dari ayahnya, dari Lais (yaitu Ibnu Abu Sulaim),
dari Abul Khattab, dari Abu Zar'ah, dari Abu Idris, dari Sauban, bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda:
«الْمُخْتَلِعَاتُ
هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ»
Wanita-wanita yang meminta khulu' adalah wanita-wanita munafik.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib bila ditinjau dari
segi ini, sanadnya pun tidak kuat. Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْب حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ بِشْرٍ، حَدَّثَنَا قَيْسُ بْنُ الرَّبِيعِ،
عَنْ أَشْعَثَ بْنِ سَوَّارٍ، عَنِ الْحَسَنِ عَنْ ثَابِتِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ
عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "إِنَّ الْمُخْتَلِعَاتِ الْمُنْتَزِعَاتِ هُنَّ
الْمُنَافِقَاتُ"
telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami
Hafs ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi', dari Asy'as
ibnu Siwar, dari Al-Hasan, dari Sabit ibnu Yazid, dari Uqbah ibnu Amir, bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya wanita-wanita yang minta
diceraikan lagi suka bertengkar dengan suaminya adalah wanita-wanita
munafik.
Hadis ini berpredikat garib lagi daif bila ditinjau dari segi ini.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا
عَفَّانُ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنِ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْمُخْتَلِعَاتُ
وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ".
telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Wuhaib,
telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Al-Hasan, dari Abu Hurairah, dari
Nabi Saw. yang telah bersabda: Wanita-wanita yang minta dicerai oleh suaminya
lagi suka bertengkar dengan suaminya adalah wanita-wanita munafik.
Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
حَدَّثَنَا
بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ أَبُو بِشْرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ
يَحْيَى بْنِ ثَوْبان، عَنْ عَمِّهِ عمارةَ بْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"لَا تسألُ امْرَأَةٌ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ كُنْهِه فَتَجِدَ رِيحَ
الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لُيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ
عَامًا".
telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Khalaf Abu Bisyr, telah menceritakan
kepada kami Abu Asim, dari Ja'far ibnu Yahya ibnu Sauban, dari pamannya Imarah
ibnu Sauban, dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
Janganlah seorang wanita meminta talak kepada suaminya yang bukan karena
alasan semestinya, niscaya ia akan dapat mencium baunya surga; dan sesungguhnya
bau surga itu benar-benar dapat dirasakan sejauh perjalanan empat puluh
tahun.
Kemudian sejumlah banyak ulama dari kalangan ulama Salaf dan para Imam ulama
Khalaf mengatakan bahwa tidak boleh khulu' kecuali jika pertengkaran dan
perpecahan terjadi dari pihak istri. Maka dalam keadaan seperti itu barulah
pihak suami diperbolehkan menerima tebusan dari pihak istri untuk membebaskan
dia dari ikatan perkawinan. Mereka mengatakan demikian berdalilkan kepada
firman-Nya:
{وَلا
يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا [إِلا أَنْ
يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ] }
Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 229)
Mereka mengatakan bahwa masalah khulu' hanya disyariatkan bila
kondisinya seperti yang disebutkan ayat ini. Karena itu, masalah khulu'
tidak berlaku pada kondisi lainnya, kecuali jika ada dalilnya. Sedangkan pada
asalnya selain kasus ini tidak ada.
Di antara orang yang berpendapat seperti ini ialah Ibnu Abbas, Tawus,
Ibrahim, Ata, Al-Hasan, dan jumhur ulama. Hingga Imam Malik dan Al-A'uzai
mengatakan, "Seandainya seorang suami mengambil sesuatu dari istrinya, sedangkan
hal itu memudaratkan pihak istri, maka penebusan itu harus dikembalikan
kepadanya dan jatuhlah talaknya sebagai talak raj'i." Imam Malik mengatakan,
"Demikianlah yang aku jumpai di kalangan ulama, mereka berpendapat
demikian."
Imam Syafii mengatakan bahwa pihak istri diperbolehkan melakukan
khulu' dalam kondisi percekcokan; sedangkan dalam keadaan tidak ada
percekcokan lebih diperbolehkan lagi, berdasarkan analogi yang lebih utama.
Pendapat ini pula yang dikatakan oleh semua muridnya. Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan di dalam kitab Istizkar-nya dari
Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani yang mengatakan bahwa khulu' itu di-mansukh
oleh firman-Nya:
وَآتَيْتُمْ
إِحْداهُنَّ قِنْطاراً فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً
sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta
yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikit
pun. (An-Nisa: 20)
Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani, tetapi
pendapat ini lemah dan tidak dapat dipakai. Karena sesungguhnya Ibnu Jarir
sendiri menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Sabit ibnu Qais
ibnu Syammas dan istrinya, yaitu Habibah binti Abdullah ibnu Abu Salul. Sekarang
marilah kita tuturkan jalur-jalur hadisnya dan aneka ragam lafaznya.
قَالَ
الْإِمَامُ مَالِكٌ فِي مُوَطَّئِهِ: عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَمْرة
بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ بْنِ زَرَارَةَ، أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ عَنْ
حَبِيبَةَ بِنْتِ سَهْلٍ الْأَنْصَارِيَّةِ، أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ
قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَرَجَ إِلَى الصُّبْحِ فَوَجَدَ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ عِنْدَ بَابِهِ فِي
الغَلَس، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ
هَذِهِ؟ " قَالَتْ: أَنَا حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ. فَقَالَ: "مَا شَأْنُكِ؟ "
فَقَالَتْ: لَا أَنَا وَلَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ -لِزَوْجِهَا -فَلَمَّا جَاءَ
زَوْجُهَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "هذه حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ قَدْ ذَكَرَتْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ
تَذْكُرَ". فَقَالَتْ حَبِيبَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كُلُّ مَا أَعْطَانِي
عِنْدِي. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُذْ
مِنْهَا". فَأَخَذَ مِنْهَا وَجَلَسَتْ فِي أَهْلِهَا.
Imam Malik di dalam kitab Muwatta'-nya mengatakan dari Yahya ibnu Sa'id, dari
Amrah binti Abdur Rahman ibnu Sa'id ibnu Zararah, bahwa ia telah menceritakan
kepadanya apa yang ia terima dari Habibah binti Sahl Al-Ansari, bahwa ia pernah
menjadi istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas. Ketika Rasulullah Saw. keluar
menunaikan salat Subuh, beliau menjumpai Habibah binti Sahl berada di depan
pintu rumahnya dalam cuaca pagi yang masih gelap. Maka Rasulullah Saw. bertanya,
"Siapakah wanita ini?" Ia menjawab, "Aku Habibah binti Sahl." Rasulullah
Saw. bertanya, "Apakah keperluanmu?" Ia menjawab, "Aku tidak ada kaitan
lagi dengan Sabit ibnu Qais," maksudnya suaminya. Ketika suaminya (yakni Sabit
ibnu Qais) datang, maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, "Perempuan ini
adalah Habibah binti Sahl, ia menceritakan semua apa yang dikehendaki oleh Allah
mengenai dirinya." Habibah berkata, "Wahai Rasulullah, semua apa yang pernah
ia berikan masih utuh ada padaku." Maka Rasulullah Saw. bersabda (kepada Sabit
ibnu Qais), "Ambillah kembali darinya." Kemudian Sabit mengambil kembali
pemberian itu dari Habibah, lalu Habibah tinggal di rumah keluarganya.
Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu
Mahdi, dari Malik berikut sanadnya. Imam Abu Daud meriwayatkannya pula dari
Al-Qa'nabi, dari Malik, sedangkan Imam Nasai meriwayatkannya dari Muhammad ibnu
Maslamah, dari Ibnul Qasim, dari Imam Malik.
Hadis lain diriwayatkan dari Siti Aisyah.
Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Jarir mengatakan:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو
السَّدُوسِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ -بْنِ أَبِي بَكْرٍ -عَنْ عَمْرَةَ، عَنْ
عَائِشَةَ، أَنَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ
شَمَّاسٍ، فَضَرَبَهَا فَكَسَرَ نُغضها فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الصُّبْحِ فَاشْتَكَتْهُ إِلَيْهِ، فَدَعَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَابِتًا فَقَالَ: "خُذْ بَعْضَ
مَالِهَا وَفَارِقْهَا". قَالَ: وَيَصْلُحُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:
"نَعَمْ". قَالَ: فَإِنِّي أَصْدَقْتُهَا حَدِيقَتَيْنِ، فَهُمَا بِيَدِهَا.
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُذْهُمَا وَفَارِقْهَا".
فَفَعَلَ.
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ma'mar, telah menceritakan
kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abu Amr As-Sadusi, dari
Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Amrah, dari Siti Aisyah, bahwa Habibah binti Sahl
adalah istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, lalu Sabit memukulnya hingga salah
satu anggota tubuhnya ada yang patah. Kemudian Habibah datang kepada Rasulullah
Saw. sesudah salat Subuh, dan mengadu kepadanya. Maka Rasulullah Saw. memanggil
Sabit dan bersabda, "Ambillah sebagian hartanya dan ceraikanlah dia!"
Sabit bertanya, "Apakah hal tersebut dianggap baik, wahai Rasulullah?"
Rasulullah Saw. menjawab, "Ya." Sabit berkata, "Sesungguhnya aku
menyedekahkan kepadanya dua buah kebun kurma yang sekarang masih berada di
tangannya." Maka Nabi Saw. bersabda, "Ambillah kedua kebun itu darinya,
kemudian ceraikanlah dia." Lalu Sabit melakukan hal tersebut.
Demikianlah menurut lafaz Ibnu Jarir. Abu Amr As-Sadusi adalah Sa'id ibnu
Salamah ibnu Abul Husam.
Hadis lainnya bersumber dari sahabat Ibnu Abbas.
قَالَ
الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا أَزْهَرُ بْنُ جَمِيلٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ
الثَّقَفِيُّ، حَدَّثَنَا خَالِدٌ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ
امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي
خُلُقٍ وَلَا دِينٍ، وَلَكِنْ أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ. فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ
حَدِيقَتَهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً".
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Jamil,
telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab As-Saqafi, telah menceritakan kepada
kami Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan hadis
berikut: Bahwa istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas datang kepada Nabi Saw., lalu
berkata, "Wahai Rasulullah, aku tidak mencelanya dalam masalah akhlak, tidak
pula dalam masalah agama, melainkan aku tidak suka kemunafikan sesudah masuk
Islam." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Maukah engkau mengembalikan kepadanya
kebun (kurma)nya?" Ia menjawab, "Ya." Rasulullah Saw. bersabda,
"Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah dia sekali talak."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai dari Azar ibnu Jamil berikut
sanadnya. Imam Bukhari meriwayatkannya pula dari Ishaq Al-Wasiti, dari Khalid
(yaitu Abdullah At-Tahawi), dari Khalid (yaitu Ibnu Mahran Al-Hazza), dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal. Demikian pula Imam Bukhari meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Ayyub,
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sedangkan pada sebagiannya disebutkan bahwa istri
Sabit ibnu Qais mengatakan:
لَا
أُطِيقُهُ
Aku tidak tahan dengannya - yakni benci.
Hadis ini bila ditinjau dari segi ini hanya Imam Bukhari sendiri yang
memilikinya.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman
ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari
Ikrimah, bahwa Jamilah r.a. —demikianlah menurutnya—, tetapi yang masyhur nama
pelaku wanitanya adalah Habibah, seperti yang disebut sebelumnya.
Akan tetapi, Imam Abu Abdullah ibnu Buttah mengatakan: telah menceritakan
kepadaku Abu Yusuf (yakni Ya'qub ibnu Yusuf At-Tabbakh), telah menceritakan
kepada kami Abul Qasim (yaitu Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdul Aziz Al-Bagawi),
telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah
menceritakan kepadaku Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari
Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut:
أَنَّ
جَمِيلَةَ بِنْتَ سَلُولَ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَتْ: وَاللَّهِ مَا أَعْتِبُ عَلَى ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ فِي
دِينٍ وَلَا خُلُقٍ، وَلَكِنَّنِي أَكْرَهُ الْكُفْرَ بَعْدَ الْإِسْلَامِ، لَا
أُطِيقُهُ بُغْضًا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"تَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا حَدِيقَتَهُ وَلَا
يَزْدَادَ.
Bahwa Jamilah binti Salul datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Demi Allah,
bukan karena aku mencela Sabit ibnu Qais dalam masalah agama dan akhlak, tetapi
aku benci kepada kemunafikan sesudah Islam; aku tidak tahan dengannya karena
benci." Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Maukah engkau mengembalikan kebunnya
kepadanya?" Jamilah menjawab, "Ya" Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada Sabit
Ibnu Qais untuk mengambil kembali pokoknya dan tidak boleh lebih.
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya di dalam kitab tafsirnya melalui Musa ibnu
Harun, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Marwan, telah menceritakan
kepada kami Abdul A'la hal yang semisal. Demikian pula menurut riwayat Ibnu
Majah, dari Azar ibnu Marwan berikut sanadnya dengan lafaz yang sama, sanad
hadis ini baik lagi benar.
قَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا
ابْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ وَاضِحٍ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ
وَاقِدٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ عَنْ جَمِيلَةَ بِنْتِ
أُبَيِّ ابْنِ سَلُولَ: أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ، فَنَشَزَتْ
عَلَيْهِ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: "يَا جَمِيلَةُ، مَا كَرِهْتِ مِنْ ثَابِتٍ؟ " قَالَتْ: وَاللَّهِ مَا
كَرِهْتُ مِنْهُ دِينًا وَلَا خُلُقًا، إِلَّا أَنِّي كَرِهْتُ دَمَامَتَهُ!
فَقَالَ لَهَا: "أَتَرُدِّينَ الْحَدِيقَةَ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ. فَرَدَّتِ
الْحَدِيقَةَ، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami
Al-Husain ibnu Waqid, dari Sabit, dari Abdullah ibnu Rabah, dari Jamilah binti
Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, bahwa ia pernah menjadi istri Sabit ibnu Qais,
lalu membangkang kepada suaminya. Maka Nabi Saw. memanggilnya, kemudian bersabda
kepadanya: "Hai Jamilah, mengapa engkau tidak suka kepada Sabit?'"
Jamilah menjawab, "Demi Allah, bukannya aku tidak senang kepadanya dalam masalah
agama, tidak pula dalam masalah akhlak, melainkan aku tidak suka kepada
penampilannya yang buruk." Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Maukah engkau
mengembalikan kepadanya kebun itu?" Jamilah menjawab, "Ya." Maka Jamilah
mengembalikan kebun itu, dan Nabi Saw. menceraikan di antara keduanya.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ
قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى فُضَيْلٍ، عَنْ أَبِي جَرِيرٍ أَنَّهُ سَأَلَ عِكْرِمَةَ:
هَلْ كَانَ لِلْخُلْعِ أَصْلٌ؟ قَالَ: كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقُولُ: إِنَّ أَوَّلَ
خُلْعٍ كَانَ فِي الْإِسْلَامِ فِي أُخْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ، أَنَّهَا
أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، لَا يَجْمَعُ رَأْسِي وَرَأْسَهُ شَيْءٌ أَبَدًا، إِنِّي رفعتُ جَانِبَ
الْخِبَاءِ، فَرَأَيْتُهُ أَقْبَلَ فِي عِدَّةٍ، فَإِذَا هُوَ أَشُدُّهُمْ
سَوَادًا، وَأَقْصَرُهُمْ قَامَةً وَأَقْبَحُهُمْ وَجْهًا. قَالَ زَوْجُهَا: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي قَدْ أَعْطَيْتُهَا أَفْضَلَ مَالِي، حَدِيقَةً لِي،
فَإِنْ رَدَّتْ عليَّ حَدِيقَتِي؟ قَالَ: "مَا تَقُولِينَ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ،
وَإِنْ شَاءَ زِدْتُهُ. قَالَ: فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا.
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan
kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah belajar
kepada Fudail yang menerima hadis berikut dari Abu Jarir, bahwa Abu Jarir pernah
bertanya kepada Ikrimah, "Apakah masalah khulu' mempunyai dalil asal?" Ikrimah
menjawab bahwa Ibnu Abbas pernah menceritakan, mula-mula peristiwa khulu' dalam
Islam terjadi pada saudara perempuan Abdullah ibnu Ubay. Disebutkan bahwa pada
mulanya saudara perempuan Abdullah ibnu Ubay datang kepada Rasulullah Saw., lalu
bertanya, "Wahai Rasulullah, semoga aku dan dia tidak dipertemukan untuk
selama-lamanya. Sesungguhnya aku mengintip di balik tendaku, lalu aku lihat dia
datang dengan segala perangkatnya. Ternyata dia adalah lelaki berkulit hitam,
tubuhnya sangat pendek, dan mukanya sangat jelek." Maka suaminya berkata, "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku telah memberikan kepadanya harta milikku yang
paling berharga, yaitu kebunku. Bagaimanakah kalau dia mengembalikan kebun itu
kepadaku?" Rasulullah Saw. bertanya kepada istrinya, "Bagaimanakah
pendapatmu?" Si istri menjawab, "Ya. Dan jika dia menghendaki, aku beri
tambahannya." Maka Nabi Saw. memisahkan (menceraikan) keduanya.
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ، عَنْ حَجَّاجٍ، عَنْ عَمْرِو
بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ قَالَ: كَانَتْ حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ
تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، وَكَانَ رَجُلًا دَمِيمًا، فَقَالَتْ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَاللَّهِ لَوْلَا مَخَافَةُ اللَّهِ إِذَا دَخَلَ عليَّ
بَصَقْتُ فِي وَجْهِهِ! فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ. فَرَدَّتْ
عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ. قَالَ فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu
Khalid Al-Ahmar, dari Hajjaj, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya
yang menceritakan: Habibah binti Sahl pada mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais
ibnu Syammas, sedangkan Sabit adalah orang yang buruk rupanya. Lalu Habibah
berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah, sekiranya aku tidak takut kepada Allah,
bila ia masuk ke kamarku, niscaya aku ludahi wajahnya." Rasulullah Saw.
bersabda, "Maukah engkau mengembalikan kebunnya kepada dia?" Habibah
menjawab, "Ya." Lalu Habibah mengembalikan kepada Sabit kebun (yang pernah ia
berikan kepada)nya. Kemudian Rasulullah Saw. memisahkan keduanya.
Para imam berbeda pendapat mengenai masalah bila pihak lelaki meminta tebusan
yang jumlahnya lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepada pihak si
istri. Menurut jumhur ulama, hal tersebut diperbolehkan karena mengingat keumuman
makna firman-Nya: maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami
Ayyub, dari Kasir maula Ibnu Samurah, bahwa dihadapkan kepada Khalifah Umar
seorang wanita yang membangkang terhadap suaminya. Maka Khalifah Umar
memerintahkan agar wanita tersebut disekap di dalam sebuah aimah yang banyak
sampahnya. Setelah itu si wanita tersebut dipanggil dan ditanya, "Bagairnanakah
perasaanmu?" Si wanita menjawab, "Aku belum pernah merasa ketenangan sejak aku
dinikahi olehnya kecuali malam tadi sewaktu engkau menyekapku." Maka Khalifah
Umar berkata kepada suaminya, "Ceraikanlah dia, sekalipun dengan tebusan
anting-anting-nya."
Asar ini diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Ayyub, dari
Kasir maula Samurah dengan lafaz yang semisal. Tetapi di dalam riwayat ini
disebutkan bahwa Khalifah Umar menyekap wanita itu di dalam rumah tersebut
selama tiga hari. Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah, dari Humaid ibnu Abdur
Rahman, bahwa ada seorang wanita datang kepada Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu
wanita itu mengadu perihal dengan suaminya. Maka Khalifah Umar menyekapnya di
dalam rumah yang penuh dengan sampah. Pada keesokan harinya Khalifah Umar
berkata kepadanya, "Bagaimanakah keadaan tempatmu ini?" Wanita itu menjawab,
"Sejak aku dinikahi olehnya, aku belum pernah merasakan malam hari yang
menyenangkan seperti malam ini." Maka Khalifah Umar berkata (kepada suaminya),
"Ambillah, sekalipun kondenya (lalu ceraikanlah dia)."
Imam Bukhari mengatakan bahwa Usman memperbolehkan khulu' dengan
tebusan yang lebih kecil daripada konde. Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Abdullah
ibnu Muhammad ibnu Uqail, bahwa Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra pernah
menceritakan asar berikut. Ia pernah mempunyai seorang suami yang tidak baik
kepadanya bila ada di rumah; dan apabila bepergian, maka si suami
menelantarkannya.
Ar-Rabi' binti Mu'awwaz melanjutkan kisahnya, bahwa pada suatu hari ia
terlanjur mengatakan kalimat, "Aku meminta khulu' kepadamu dengan tebusan
semua yang aku miliki." Si suami menjawab, "Ya." Maka Ar-Rabi' melakukan hal
itu. Ar-Rabi' melanjutkan kisahnya, bahwa pamannya (yaitu Mu'az ibnu Afra)
memperkarakan hal itu kepada Khalifah Usman ibnu Affan. Maka Khalifah Usman
memperbolehkan khulu' itu dan memerintahkan kepada suaminya untuk
mengambil konde kepalanya dan yang lebih kecil daripada itu, atau segala sesuatu
yang nilainya lebih kecil daripada konde.
Makna yang dimaksud dari asar ini ialah bahwa pihak suami diperbolehkan
mengambil dari istrinya yang meminta khulu' seperti itu segala sesuatu
yang menjadi miliknya, baik yang bernilai besar ataupun kecil, dan tiada
menyisakan untuk si istri kecuali tusuk konde kepalanya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah,
Ibrahim An-Nakha'i, Qubaisah ibnu Zuaib, Al-Hasan ibnu Saleh, dan Usman
Al-Batti. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, Al-Lais, Imam Syafii, dan
Abu Saur serta dipilih oleh Ibnu Jarir.
Murid-murid Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa jika mudarat yang ditimbulkan
bersumber dari pihak istri, maka pihak suami diperbolehkan menarik dari pihak
istri apa yang pernah diberikan kepadanya, dan tidak boleh lebih dari itu. Jika
pihak suami menuntut tambahannya, maka hanya diperbolehkan lewat pengadilan. Jika mudarat yang ditimbulkan bersumber dari pihak suami, maka tidak boleh
pihak suami mengambil sesuatu pun dari pihak istrinya. Jika pihak suami ingin
mengambilnya kembali, maka hanya diperbolehkan lewat pengadilan.
Imam Ahmad, Abu Ubaid, dan Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan bahwa pihak suami
tidak boleh mengambil lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepada
istrinya yang meminta khulu'. Hal ini dikatakan oleh Sa'id ibnu Musayyab,
Ata, Amr ibnu Syu'aib, Az-Zuhri, Tawus, Al-Hasan, Asy-Sya'bi, Hammad ibnu Abu
Sulaiman, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Ma'mar dan Al-Hakam mengatakan bahwa sahabat Ali pernah mengatakan, "Seorang
suami tidak boleh mengambil dari wanita yang meminta khulu' lebih banyak
daripada apa yang pernah ia berikan ke-padanya."
Al-Auza'i mengatakan bahwa para kadi tidak membolehkan seorang lelaki
mengambil dari istrinya yang minta khulu' lebih banyak daripada apa yang
pernah ia berikan kepadanya. Menurut kami, dalil dari pendapat ini adalah hadis yang telah kami sebutkan
di atas yang diriwayatkan oleh Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dalam
kisah Sabit ibnu Qais. Yaitu Rasulullah Saw. memerintahkan kepada Sabit agar
mengambil dari istrinya kebun itu (yang pernah ia berikan kepadanya) dan tidak
boleh lebih dari itu.
Dalil lainnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid yang
menceritakan, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, dari Sufyan, dari Ibnu
Juraij, dari Ata, bahwa Nabi Saw. tidak suka bila seorang lelaki mengambil dari
istrinya yang minta khulu' hal yang lebih banyak daripada apa yang pernah
ia berikan kepadanya.
Mereka menakwilkan makna ayat berikut: Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.
(Al-Baqarah: 229) Yakni berupa apa yang pernah diberikan pihak suami kepadanya,
mengingat dalam ayat sebelumnya disebutkan: Tidak halal bagi kalian mengambil
kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian
khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri
untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229) Yaitu mengembalikan kembali
pemberian tersebut.
Takwil yang sama dikemukakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas melalui qiraahnya
yang mengatakan, "Tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh istri untuk menebus dirinya dengan mengembalikan pemberian tersebut."
Demikianlah menurut riwayat Ibnu jarir. Karena itulah maka sesudahnya
disebutkan: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya.
Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang
zalim. (Al-Baqarah: 229)
Imam Syafii mengatakan bahwa teman-teman kami berselisih pendapat dalam
masalah khulu'. Telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Amr ibnu
Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas mengenai masalah seorang lelaki yang
menceraikan istrinya dua kali talak, sesudah itu pihak istri meminta khulu'
darinya. Maka pihak suami boleh mengawininya jika suka, mengingat Allah Swt.
telah berfirman: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229)
sampai dengan firman-Nya: bila keduanya (bekas suami pertama dan istri) kawin
kembali. (Al-Baqarah: 230)
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Sufyan, dari Amr,
dari Ikrimah yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang diperbolehkan melalui
imbalan harta bukan talak namanya.
Sedangkan selain Imam Syafii meriwayatkan dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr
ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibrahim ibnu Sa'd ibnu Abu Waqqas
pernah bertanya kepadanya mengenai masalah seorang lelaki yang menceraikan
istrinya dua kali talak, kemudian pihak istri minta khulu' darinya.
Pertanyaannya, "Bolehkah suami tersebut mengawininya kembali?" Ibnu Abbas
menjawab, "Ya, boleh. Khulu' bukanlah talak. Allah menyebutkan masalah
talak pada permulaan ayat dan akhirnya, sedangkan masalah khulu'
disebutkan-Nya di antara keduanya. Maka khulu' bukan merupakan sesuatu yang
dianggap (sebagai talak)." Kemudian Ibnu Abbas r.a. membacakan firman-Nya:
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229);
Firman-Nya: Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. (Al-Baqarah: 230)
Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas r.a. yang kesimpulannya menyatakan
bahwa khulu' bukanlah talak, melainkan fasakh nikah. Hal yang sama dikatakan pula oleh suatu riwayat dari Usman ibnu Affan r.a.
dan Ibnu Umar. Juga merupakan pendapat yang dikatakan oleh Tawus dan Ikrimah.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih,
Abu Saur, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Syafii
dalam qaul qadimnya, dan sesuai dengan makna lahiriah ayat yang
bersangkutan.
Pendapat yang kedua mengenai masalah khulu' mengatakan bahwa khulu' adalah
talak bain, kecuali jika lelaki yang bersangkutan berniat lebih dari itu. Imam Malik meriwayatkan dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Jahman
maula Bani Aslam, dari Ummu Bakr Al-Aslamiyyah, bahwa ia pernah meminta
khulu' dari suaminya yang bernama Abdullah ibnu Khalid ibnu Usaid. Lalu
keduanya datang menghadap Usman ibnu Affan, mengadukan perkara tersebut. Maka
Khalifah Usman mengatakan, "Talak satu. Kecuali jika kamu menyebutkan
bilangannya, maka talak yang jatuh menurut apa yang kamu sebutkan."
Imam Syafii mengatakan bahwa ia tidak mengenal perawi yang bernama Jahman
tersebut. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, ia
mengatakan bahwa asar ini daif. Hal yang sama diriwayatkan pula melalui Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, dan ibnu
Umar. Dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Al-Hasan, Ata, Syuraih,
Asy-Sya'bi, Ibrahim, dan Jabir ibnu Zaid. Juga dikatakan oleh Imam Malik, Abu
Hanifah, dan teman-temannya; serta As-Sauri, Al-Auza'i, Abu Usman Al-Batti, dan
Imam Syafii dalam qaul jadid-nya.
Hanya mazhab Hanafi mengatakan, "Manakala Mukhali' berniat dengan
khulu'-nya itu menjatuhkan sekali talak atau dua kali atau
memutlakkannya, maka yang terjadi adalah talak satu bainah. Jika pihak
suami berniat menjatuhkan tiga talak, maka yang jatuh adalah tiga talak." Imam Syafii mempunyai pendapat lain dalam masalah khulu', yaitu
manakala khulu' terjadi bukan dengan lafaz talak dan lagi tidak ada bayyinah
(bukti/saksi), maka hal tersebut bukan dinamakan sebagai suatu masalah sama
sekali.
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad, Ishaq ibnu Rahawaih
dalam salah satu riwayat darinya yang terkenal mengatakan, wanita yang meminta
khulu' mempunyai idah sama dengan idah wanita yang ditalak, yaitu tiga
quru' jika ia termasuk wanita yang berhaid.
Hal ini telah diriwayatkan dari Umar, Ali, dan Ibnu Umar. Hal yang sama
dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Sulaiman ibnu Yasar dan Urwah, Salim,
Abu Salamah, Umar ibnu Abdul Aziz, Ibnu Syihab, Al-Hasan, Asy-Sya'bi, Ibrahim
An-Nakha'i, Abu Iyad, Khal-las Ibnu Umar, Qatadah, Sufyan, As-Sauri, Al-Auza'i,
Al-Lais ibnu Sa'd, dan Abul Ubaid.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh kebanyakan
ulama dari kalangan sahabat dan lain-lainnya. Kesimpulan pendapat mereka dalam
masalah ini menyatakan bahwa khulu' adalah talak. Karena itu, wanita yang
meminta khulu' dikategorikan sebagaimana wanita-wanita lainnya yang
diceraikan.
Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita yang meminta khulu' dari suaminya
melakukan idahnya hanya dengan sekali haid untuk membersihkan rahimnya. Ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id,
dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Ar-Rabi' meminta khulu' kepada suaminya, lalu
paman Ar-Rabi' datang kepada Khalifah Usman r.a. (mengadukan hal tersebut). Lalu
Usman r.a. berkata, "Hendaklah ia melakukan idah selama sekali haid."
Ibnu Abu Syaibah mengatakan bahwa Ibnu Umar mengatakan, "Hendaklah wanita
yang khulu' melakukan idahnya selama tiga kali haid." Hingga Khalifah
Usman sendiri mengatakan hal yang sama, dan Ibnu Umar selalu memfatwakan
demikian dan mengatakan, "Usman adalah orang yang paling terpilih dan paling
alim di antara kami."
Telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu
Umar yang mengatakan bahwa idah wanita yang meminta khulu' kepada suaminya
adalah sekali haid. Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dari
Lais, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mukhtali'ah (wanita yang
meminta khulu') idahnya adalah sekali haid.
Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah dan Aban ibnu Usman beserta semua orang
yang telah disebutkan di atas dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa khulu'
adalah fasakh. Mereka mengatakan demikian berdalilkan hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi; masing-masing dari keduanya mengatakan:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ الْبَغْدَادِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ
بَحْرٍ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ
مُسْلِمٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ
قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahim Al-Bagdadi, telah
menceritakan kepada kami Ali ibnu Bahr, telah menceritakan kepada kami Hisyam
ibnu Yusuf, dari Ma'mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas:
Bahwa istri Sabit ibnu Qais meminta khulu' dari suaminya di masa Nabi
Saw. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepadanya agar melakukan idah sekali haid.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi garib. Hal yang
sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Amr ibnu Muslim,
dari Ikrimah secara mursal.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Turmuzi:
حَدَّثَنَا
مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ، حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى، عَنْ سُفْيَانَ،
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَهُوَ مَوْلَى آلِ طَلْحَةَ، عَنْ
سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ:
أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ - أَوْ أُمِرَتْ -أَنْ تَعْتَدَّ
بِحَيْضَةٍ.
telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Gailan, telah menceritakan kepada
kami Al-Fadl ibnu Musa, dari Sufyan, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Abdur Rahman (yaitu maula keluarga Talhah), dari Sulaiman ibnu Yasar, dari
Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra, bahwa ia pernah meminta khulu' di masa
Rasulullah Saw. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepadanya —atau dia diperintahkan—
untuk melakukan idah sekali haid. Imam Turmuzi mengatakan, yang sahih adalah disebutkan bahwa ia diperintahkan
untuk melakukan idah sekali haid.
Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ سَلَمَةَ النَّيْسَابُورِيُّ، حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
بْنِ سَعْدٍ، حَدَّثَنَا أَبِي عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، أَخْبَرَنِي عبادة بن الوليد
بن عبادة بن الصامت، عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَ:
قُلْتُ لَهَا: حَدِّثِينِي حَدِيثَكِ. قَالَتِ: اخْتَلَعْتُ مِنْ زَوْجِي، ثُمَّ
جِئْتُ عُثْمَانَ، فَسَأَلْتُ: مَاذَا عَلَيَّ مِنَ الْعِدَّةِ؟ قَالَ: لَا عِدَّةَ
عَلَيْكِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ حَدِيثَ عَهْدٍ بِكِ فَتَمْكُثِينَ عِنْدَهُ حَتَّى
تَحِيضِي حَيْضَةً. قَالَتْ: وَإِنَّمَا تَبِعَ فِي ذَلِكَ قَضَاءَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرْيَمَ الْمُغَالِيَةِ، وَكَانَتْ تَحْتَ
ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ، فَاخْتَلَعَتْ مِنْهُ.
telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Salamah An-Naisaburi, telah
menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ishaq, telah
menceritakan kepadaku Ubadah ibnu Walid ibnu Ubadah ibnus Samit, dari Ar-Rabi'
binti Mu'awwaz ibnu Afra, bahwa Ubadah pernah berkata kepada Ar-Rabi',
"Ceritakanlah kepadaku kisah tentang dirimu." Ar-Rabi' menjawab, "Aku pernah
meminta khulu' dari suamiku. Kemudian aku datang kepada Khalifah Us'man dan
menanyakan kepadanya berapa lama idah yang harus aku jalani. Maka Khalifah Usman
menjawab, 'Tiada idah atas dirimu, kecuali jika suamimu baru saja menggaulimu,
maka kamu tinggal padanya selama sekali haid'." selanjutnya Ar-Rabi' mengatakan
bahwa sesungguhnya dia dalam masalah ini hanyalah mengikut kepada peradilan yang
telah diputuskan oleh Rasulullah Saw. terhadap Maryam Al-Mugaliyah. Maryam pada
mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu ia meminta khulu' darinya.
Ibnu Luhai'ah menceritakan dari Abul Aswad, dari Abu Salamah dan Muhammad
ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz yang menceritakan
bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. memerintahkan kepada istri Sabit ibnu
Qais ketika meminta khulu' dari suaminya agar melakukan idah sekali haid.
Lelaki yang meng-khulu' istrinya tidak boleh merujuki istrinya yang meminta
khulu' dalam idahnya tanpa seizin dari pihak si istri. Demikianlah menurut para
imam yang empat dan jumhur ulama, karena si istri telah memiliki dirinya sendiri
berkat tebusan yang telah ia berikan kepada pihak suami.
Telah diriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Aufa, Mahan Al-Hanafi, dan Sa'id
ibnul Musayyab serta Az-Zuhri, bahwa mereka mengatakan, "Jika pihak suami
mengembalikan lagi tebusan tersebut kepada pihak istri, maka pihak suami
diperbolehkan merujuki istrinya selagi dalam idahnya tanpa perlu ada kerelaan
dari pihak si istri." Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Saur
rahimahullah. Sufyan As-Sauri mengatakan, "Jika khulu' terjadi bukan dengan memakai lafaz
talak, maka hal ini namanya perpisahan, dan tidak ada jalan lagi bagi pihak
suami untuk merujukinya. Jika pihak suami menyebutnya dengan memakai kalimat
talak, maka dialah yang lebih berhak merujuki istrinya selagi masih berada dalam
idahnya." Pendapat inilah yang dikatakan oleh Daud ibnu Ali Az-Zahiri.
Semua ulama sepakat bahwa lelaki yang meng-khulu' istrinya berhak mengawini
istrinya selagi masih dalam idah. Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barra telah meriwayatkan dari sejumlah ulama, bahwa
suami tidak boleh merujuki istrinya yang telah di-khulu', sebagaimana
tidak boleh pula bagi lelaki lain yang ingin mengawininya. Pendapat ini syaz
(menyendiri) lagi tidak dapat diterima.
Apakah si suami boleh menjatuhkan talak lainnya kepada mukhtali'ah di
masa idahnya? Sehubungan dengan masalah ini ada tiga pendapat di kalangan
ulama.
Pendapat pertama: mengatakan bahwa pihak suami
tidak boleh melakukan demikian, karena pihak istri telah memiliki dirinya
sendiri dan terpisah dari dia. Hal inilah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnuz
Zubair, Ikrimah, Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan Al-Basri, Imam Syafii, Imam Ahmad
ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, dan Abu Saur.
Pendapat kedua. Imam Malik mengatakan, "Jika talak diikutkan
dengan khulu' tanpa ada tenggang waktu di antara keduanya, maka talaknya sah.
Tetapi jika si suami diam sebentar di antara keduanya (lafaz khulu' dan lafaz
talak), maka talaknya tidak jatuh." Ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat ini
mirip dengan apa yang diriwayatkan dari sahabat Usman r.a.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa talak jatuh atas diri si istri
yang meminta khulu' dalam keadaan apa pun selagi si istri masih berada
dalam idahnya. Pendapat ini merupakan pegangan Abu Hanifah dan semua
teman-temannya serta As-Sauri dan Al-Auza'i.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih, Tawus,
Ibrahim, Az-Zuhri, Al-Hakim, Al-Hakam, dan Hammad ibnu Abu Sulaiman. Hal ini
diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan Abu Darda. Ibnu Abdul Bar mengatakan, hal
tersebut masih belum terbukti bersumberkan dari keduanya (Ibnu Mas'ud dan Abu
Darda).
*******************
Firman Allah Swt.:
{تِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ
هُمُ الظَّالِمُونَ}
Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa
yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim.
(Al-Baqarah: 229)
Yakni syariat-syariat yang telah ditetapkan-Nya bagi kalian merupakan
hukum-hukum-Nya, maka janganlah kalian melanggarnya. Seperti yang dijelaskan di
dalam hadis sahih yang mengatakan:
"إِنِ
اللَّهَ حَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَفَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا
تُضَيِّعُوهَا، وَحَرَّمَ مَحَارِمَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ
رَحْمَةً لَكُمْ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ، فَلَا تَسْأَلُوا
عَنْهَا".
Sesungguhnya Allah telah menggariskan hukum-hukum-Nya, maka janganlah
kalian melanggarnya; dan Dia telah menetapkan fardu-fardu-Nya, maka janganlah
kalian melalaikannya; dan Dia telah mengharamkan hal-hal yang haram, maka
janganlah kalian melanggarnya; dan Dia membiarkan banyak hal karena kasihan
kepada kalian tanpa melupakannya, maka janganlah kalian menanyakan
tentangnya.
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa menggabungkan tiga
kali talak dalam satu kalimat hukumnya haram. Seperti yang dikatakan oleh mazhab
Maliki dan orang-orang yang sependapat dengan mereka. Karena sesungguhnya hal
yang diberlakukan di kalangan mereka, talak itu dijatuhkan hanya sekali talak,
karena berdasarkan kepada firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua
kali. (Al-Baqarah: 229) Kemudian Allah Swt. berfirman: Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kalian melanggar-nya. Barang siapa yang melanggar
hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah:
229)
Hal ini diperkuat oleh mereka dengan sebuah hadis dari Mahmud ibnu Labid yang
diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab sunan-nya. Disebutkan bahwa:
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ مَخْرَمَةَ بْنِ بُكَيْرٍ
عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ قَالَ: أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ
جَمِيعًا فَقَامَ غَضْبَانَ، ثُمَّ قَالَ: "أَيُلْعَبُ بِكِتَابِ اللَّهِ وَأَنَا
بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟! " حَتَّى قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا
أَقْتُلُهُ؟
telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Wahb, dari Makhramah ibnu Bukair, dari ayahnya, dari Mahmud ibnu Labid
yang menceritakan: Diceritakan kepada Rasulullah Saw. tentang seorang lelaki
yang menceraikan istrinya tiga kali talak sekaligus. Maka beliau berdiri dalam
keadaan emosi dan bersabda, "Apakah Kitabullah dipermainkan, sedangkan aku
masih ada di antara kalian? Hingga ada seorang lelaki yang bangkit dan
mengatakan, "Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya!"
Akan tetapi, di dalam sanad hadis ini terdapat inqita'.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا
غَيْرَهُ}
Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. (Al-Baqarah: 230)
Yaitu apabila seorang lelaki menceraikan istrinya dalam talak yang ketiga,
sesudah dua talak yang mendahuluinya jauh sebelum itu, maka si istri tidak halal
lagi bagi suaminya sebelum kawin dengan lelaki yang lain, yakni hingga suaminya
yang baru menyetubuhinya dalam perkawinan yang benar. Seandainya si istri
disetubuhi oleh lelaki yang lain bukan dalam nikah, sekalipun si istri adalah
milkul yamin (budak perempuan), maka si istri tetap tidak halal bagi
suaminya yang pertama, karena bukan suami. Demikian pula seandainya kawin dengan
suami yang baru, tetapi belum disetubuhi oleh suami yang baru, maka si istri
tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama.
Telah terkenal di kalangan kebanyakan ulama fiqih, bahwa Sa'id ibnul Musayyab
pernah mengatakan, "Maksud yang dituju telah berhasil untuk
men-tahlil-kan (menghalalkan) si istri bagi suaminya yang pertama hanya
dengan melakukan akad nikah dengan lelaki yang lain." Akan tetapi, kesahihan
pendapat ini dari dia masih perlu dipertimbangkan, sekalipun Asy-Syekh Abu Umar
ibnu Abdul Bar telah meriwayatkannya dari dia di dalam kitab
Al-Istiikar-nya.
Dikatakan demikian karena Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan:
حَدَّثَنَا
ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ
عَلْقَمَةَ بْنَ مَرْثَدٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ رَزِينٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ
فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا الْبَتَّةَ، فَيَتَزَوَّجُهَا زَوْجٌ
آخَرُ فَيُطَلِّقُهَا، قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: أَتَرْجِعُ إِلَى الْأَوَّلِ؟
قَالَ: "لَا حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا".
telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ja'far, dari Syu'bah, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Salim ibnu
Razin, dari Salim ibnu Abdullah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari
Nabi Saw. tentang seorang lelaki yang menikahi seorang wanita, lalu ia
menceraikannya sebelum menggaulinya dengan talak tiga kali. Kemudian wanita itu
dikawin oleh lelaki lain dan langsung diceraikan sebelum disetubuhinya. Hal ini
ditanyakan kepada Nabi Saw., "Bolehkah si wanita tersebut kembali kepada
suaminya yang pertama?" Nabi Saw. menjawab: Tidak boleh, sebelum si wanita
mencicipi madu kecilnya dan si suami yang baru mencicipi pula madu
kecilnya.
Hal yang sama disebutkan pula di dalam riwayat Ibnu Jarir.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Untuk itu dia mengatakan:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ،
سَمِعْتُ سَالِمَ بْنَ رَزِينٍ يُحَدِّثُ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ،
يَعْنِي: ابْنَ عُمَرَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِي الرَّجُلِ تَكُونُ لَهُ
الْمَرْأَةُ فَيُطَلِّقُهَا، ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا رَجُلٌ فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ
أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَتَرْجِعُ إِلَى زَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "حتى يَذُوقَ
الْعُسَيْلَةَ".
telah menceritakan kepada karai Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan
kepada kami Syu'bah, dari Alqamah ibnu Marsad yang mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Salim ibnu Razin menceritakan hadis berikut dari Salim ibnu Abdullah
(yakni Ibnu Umar), dari Sa'ib ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw.
sehubungan dengan masalah seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu istrinya itu
ditalaknya. Kemudian si istri dikawini oleh lelaki lain dan diceraikannya
sebelum disetubuhinya, lalu si istri kembali kepada suaminya yang pertama. Maka
Nabi Saw. bersabda: (Tidak boleh) sebelum si wanita mencicipi madu
kecilnya.
Demikian pula menurut riwayat Imam Nasai, dari Amr ibnu Ali Al-Fallas dan
Ibnu Majah, dari Muhammad ibnu Basysyar Bandar; keduanya menceritakan hadis ini
dari Muhammad Ibnu Ja'far Gundar, dari Syu'bah dengan lafaz yang sama. Apa yang diriwayatkan oleh Sa'id ibnul Musayyab dari Ibnu Umar secara marfu'
bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab sendiri,
seperti yang disebutkan di atas tadi. Maka mustahil bila dia menentang
riwayatnya sendiri yang ada sandarannya dengan riwayat yang tidak ada
sandarannya.
Imam Ahmad meriwayatkan pula —begitu pula Imam Nasai dan Imam Ibnu Jarir—
hadis ini melalui jalur Sufyan As-Sauri:
عَنْ
عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ، عَنْ رَزِينِ بْنِ سُلَيْمَانَ الْأَحْمَرِيِّ، عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن
الرَّجُلِ يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا فَيَتَزَوَّجُهَا آخَرُ، فَيُغْلِقُ
الْبَابَ وَيُرْخِي السِّتْرَ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا، قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا:
هَلْ تَحِلُّ لِلْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ
الْعُسَيْلَةَ".
dari Alqamah ibnu Marsad, dari Razin ibnu Sulaiman Al-Ahmari, dari Ibnu Umar
yang menceritakan: Nabi Saw. pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang
menceraikan istrinya sebanyak tiga kali talak, lalu si istri dikawini oleh
lelaki lain, dan suaminya yang baru itu menutup pintu rumahnya serta menurunkan
kain kelambunya. Setelah itu dia menceraikannya sebelum menggaulinya. Maka
apakah si istri halal bagi suaminya yang pertama? Nabi Saw. menjawab, "Tidak,
sebelum si wanita itu mencicipi madu kecil (suami baru)nya."
Demikianlah menurut lafaz Imam Ahmad dan menurut suatu riwayat dari Ahmad,
yakni Sulaiman ibnu Razin. Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا
عَفَّانُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَزِيدَ
الْهَنَائِيُّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ فَطَلَّقَهَا
ثَلَاثًا فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ رَجُلًا فَطَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا:
أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا حَتَّى يَكُونَ الْآخَرُ قَدْ ذَاقَ مِنْ عُسَيْلَتِهَا
وَذَاقَتْ مِنْ عُسَيْلَتِهِ".
telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Dinar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yazid Al-Hana'i, dari Anas
ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang seorang lelaki yang
mempunyai istri, lalu ia menceraikannya dengan tiga kali talak. Sesudah itu
bekas istri kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi suaminya yang baru ini
menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Apakah wanita tersebut boleh dikawini
lagi oleh suaminya yang pertama? Maka Rasulullah Saw. menjawab: Tidak boleh,
sebelum suaminya yang baru itu mencicipi madu kecilnya dan dia mencicipi pula
madu kecil suaminya yang baru.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad ibnu Ibrahim
Al-Anmati, dari Hisyam ibnu Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Dinar, lalu ia menceritakan hadis ini.
Menurut kami, Muhammad ibnu Dinar ibnu Sandal yang dikenal dengan sebutan Abu
Bakar Al-Azdi, lalu At-Ta-i, lalu Al-Basri, yang juga dikenal dengan sebutan
Ibnu Abul Furat, para ahli hadis berselisih pendapat mengenai dirinya. Di antara
mereka ada yang menilainya lemah, ada pula yang menilainya kuat dan hadisnya
dapat diterima serta dinilai baik. Akan tetapi, Imam Abu Daud menyebutkan bahwa
dia mengalami masa pikun sebelum meninggal dunia.
Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ بْنُ آدَمَ بْنِ أَبِي إِيَاسٍ الْعَسْقَلَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي،
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي
الْحَارِثِ الْغِفَارِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَرْأَةِ يُطَلِّقُهَا زَوْجُهَا
ثَلَاثًا فَتَتَزَوَّجُ زَوْجًا غَيْرَهُ، فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ
بِهَا، فَيُرِيدُ الْأَوَّلُ أَنْ يُرَاجِعَهَا، قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ
الْآخَرُ عُسَيْلَتَهَا".
telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Adam ibnu Abu Ayas Al-Asqalani,
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Syaiban,
telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abul Haris Al-Gifari,
dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda
sehubungan dengan wanita yang diceraikan tiga kali talak oleh suaminya, lalu
wanita itu dikawini oleh lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhi,
kemudian suaminya yang pertama hendak menikahinya kembali: Tidak boleh,
sebelum suami barunya merasakan madu kecilnya.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui jalur lain dari Syaiban (yaitu
Ibnu Abdur Rahman) dengan lafaz yang sama. Abu Haris orangnya tidak
terkenal.
Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنَا
ابْنُ مُثَنَّى، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا
الْقَاسِمُ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَجُلًا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا،
فَتَزَوَّجَتْ زَوْجًا فَطَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا، فَسُئِلَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَحِلُّ لِلْأَوَّلِ؟ فَقَالَ: "لَا
حَتَّى يَذُوقَ مِنْ عُسَيْلَتِهَا كَمَا ذَاقَ الْأَوَّلُ".
telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Ubaidillah, telah menceritakan
kepada kami Al-Qasim, dari Siti Aisyah, bahwa ada seorang lelaki menceraikan
istrinya dengan tiga kali talak. Kemudian si istri kawin lagi dengan lelaki lain
yang juga menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Lalu Rasulullah Saw. ditanya,
"Apakah si wanita itu halal bagi suaminya yang pertama?" Maka Rasulullah Saw.
bersabda: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan madu kecilnya
sebagaimana suaminya yang pertama telah merasakannya.
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim serta Imam Nasai
melalui banyak jalur dari Ubaidillah ibnu Umar Al-Umari, dari Al-Qasim ibnu Abu
Bukair, dari bibinya, dari Siti Aisyah dengan lafaz yang sama.
Jalur yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْهَبَّارِيُّ، وَسُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ،
وَأَبُو هِشَامٍ الرِّفَاعِيُّ قَالُوا: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ
الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سُئِلَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ
امْرَأَتَهُ، فَتَزَوَّجَتْ رَجُلًا غَيْرَهُ، فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا
قَبْلَ أَنْ يُوَاقِعَهَا: أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ
حَتَّى يَذُوقَ الْآخَرُ عُسَيْلَتَهَا وَتَذُوقَ عُسَيْلَتَهُ".
telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail Al-Hubari dan Sufyan
ibnu Waki' serta Abu Hisyam Ar-Rifa'i. Semuanya mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari
Aisyah yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah ditanya tentang seorang lelaki
yang menceraikan istrinya, lalu si istri kawin lagi dengan lelaki yang lain,
kemudian suami yang baru ini memasukinya, setelah itu menceraikannya, padahal ia
belum menyetubuhinya. Apakah si wanita tersebut halal bagi suaminya yang
pertama? Rasulullah Saw. bersabda: Wanita itu tidak halal bagi suaminya yang
pertama sebelum suaminya yang baru merasakan kemanisannya dan dia pun merasakan
kemanisan suaminya yang baru itu.
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Musaddad dan Imam
Nasai, dari Abu Kuraib; keduanya dari Abu Mu'awiyah (yaitu Muhammad ibnu Hazim
yang tuna netra) dengan lafaz yang sama.
Jalur lain disebutkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ
هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ يَتَزَوَّجُهَا الرَّجُلُ
فَيُطَلِّقُهَا، فَتَتَزَوَّجُ رَجُلًا فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا:
أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ
عُسَيْلَتَهَا".
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Ala Al-Hamdani, telah
menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti
Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai seorang wanita yang
dikawini oleh seorang lelaki, lalu diceraikannya. Setelah itu si wanita tersebut
kawin lagi dengan lelaki yang lain, dan suaminya yang baru ini pun
menceraikannya pula sebelum menggaulinya, maka apakah wanita tersebut halal
dikawin lagi oleh suaminya yang pertama? Nabi Saw. menjawab: Tidak boleh,
sebelum suaminya yang baru itu merasakan kemanisannya.
Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu
Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Fudail, telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, semuanya dari
Hisyam dengan sanad ini. Imam Bukhari meriwayatkannya melalui jalur Abu Mu'awiyah (yaitu Muhammad ibnu
Hazm), dari Hisyam dengan lafaz yang sama. Imam Muslim menyendiri dalam dua
jalur lainnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Abdullah ibnu
Mubarak, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah secara marfu'
dengan lafaz yang sama atau yang semisal dengannya. Riwayat ini sanadnya
berpredikat jayyid (baik).
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur Ali ibnu Zaid
ibnu Jad'an, dari istri ayahnya (yaitu Aminah Ummu Muhammad), dari Aisyah, dari
Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.
Konteks hadis di atas merupakan kependekan dari hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari, yaitu:
حَدَّثَنَا
عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ هِشَامٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ
عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَحَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ،
عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيَّ تَزَوَّجَ امْرَأَةً
ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَتَزَوَّجَتْ آخَرَ فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَتْ لَهُ أَنَّهُ لَا يَأْتِيهَا، وَأَنَّهُ لَيْسَ
مَعَهُ إِلَّا مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَقَالَ: "لَا حَتَّى تَذُوقِي
عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ ".
Telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami
Yahya, dari Hisyam ibnu Urwah, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Siti
Aisyah secara marfu', dari Nabi Saw. Telah menceritakan pula kepada kami Usman
ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Hisyam ibnu Urwah,
dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a., bahwa Rifa'ah Al-Qurazi kawin dengan
seorang wanita, lalu ia menceraikannya. Kemudian si wanita itu datang kepada
Nabi Saw. dan menceritakan kepadanya bahwa dia (suami yang baru) belum menggauli
dirinya, dan bahwa apa yang dimilikinya tiada lain mirip dengan ujung kain baju
(yakni tidak dapat ereksi). Maka Nabi Saw. bersabda: Tidak boleh, sebelum
kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi kemanisanmu.
Imam Bukhari dalam jalur sanad ini menyendiri dalam periwayatannya.
Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْأَعْلَى، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ: دَخَلَتِ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ -وَأَنَا وَأَبُو
بَكْرٍ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -فَقَالَتْ: إِنَّ
رِفَاعَةَ طَلَّقَنِي الْبَتَّةَ، وَإِنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزُّبَيْرِ
تَزَوَّجَنِي، وَإِنَّمَا عِنْدُهُ مِثْلُ الْهُدْبَةِ، وَأَخَذَتْ هُدْبَةً مِنْ
جِلْبَابِهَا، وَخَالِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ بِالْبَابِ لَمْ يُؤْذَنْ
لَهُ، فَقَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ، أَلَا تَنْهَى هَذِهِ عَمَّا تَجْهَرُ بِهِ
بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ! فَمَا زَادَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى التَّبَسُّمِ، وَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كَأَنَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ
تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ، لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ
عُسَيْلَتَكِ".
telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari
Urwah, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadis berikut: Istri Rifa'ah Al-Qurazi
masuk menemui Nabi Saw. Ketika itu aku dan Abu Bakar sedang bersamanya. Lalu
istri Rifa'ah berkata, "Sesungguhnya Rifa'ah telah menceraikanku habis-habisan,
dan sesungguhnya Abdur Rahman ibnuz Zubair menikahiku, tetapi apa yang ada
padanya hanyalah seperti ujung kain baju," seraya memegang ujung kain jilbabnya.
Ketika itu Khalid ibnu Sa'id ibnul As berada di dekat pintu rumah Nabi Saw.
karena belum mendapat izin untuk masuk. Maka ia berkata, "Wahai Abu Bakar,
mengapa engkau tidak menghentikan wanita yang berbicara blakblakan ini di depan
Rasulullah Saw.?" Tiada yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. kecuali hanya
tersenyum, lalu bersabda, "Seakan-akan kamu ingin kembali kepada Rifa'ah.
Tidak boleh, sebelum kamu merasakan kemanisannya dan dia merasakan pula
kemanisanmu."
Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui hadis Abdullah
ibnul Mubarak dan Imam Muslim melalui hadis Abdur Razzaq, serta Imam Nasai
melalui hadis Yazid ibnu Zurai'. Ketiga-tiganya meriwayatkan hadis ini dari
Ma'mar dengan lafaz yang sama.
Menurut hadis Abdur Razzaq yang ada pada Imam Muslim disebutkan:
أن رِفَاعَةَ
طَلَّقَهَا آخِرَ ثَلَاثِ تَطْلِيقَاتٍ.
Bahwa Rifa'ah menceraikannya dengan tiga kali talak.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Jamaah selain Imam Abu Daud melalui jalur
Sufyan ibnu Uyaynah dan Imam Bukhari melalui jalur Uqail, serta Imam Muslim
melalui jalur Yunus ibnu Yazid. Yang ada pada riwayat Imam Muslim disebutkan
talak terakhir, yaitu yang ketiga. Imam Nasai meriwayatkannya melalui jalur
Ayyub ibnu Musa, dan Saleh ibnu Abul Akhdar; semuanya dari Az-Zuhri, dari Urwah,
dari Siti Aisyah dengan lafaz yang sama.
Imam Malik meriwayatkan:
عَنِ
الْمِسْوَرِ بْنِ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ الزُّبَيْرِ: أَنَّ رِفَاعَةَ بْنَ سِمْوَالٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ تَمِيمَةَ
بِنْتَ وَهْبٍ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ثَلَاثًا، فَنَكَحَتْ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزُّبَيْرِ، فَاعْتَرَضَ عَنْهَا
فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَمَسَّهَا، فَفَارَقَهَا، فَأَرَادَ رِفَاعَةُ أَنْ
يَنْكِحَهَا، وَهُوَ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ الَّذِي كَانَ طَلَّقَهَا، فَذُكِرَ
ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَهَاهُ عَنْ
تَزْوِيجِهَا، وَقَالَ: "لَا تَحِلُّ لَكَ حَتَّى تَذُوقَ
الْعُسَيْلَةَ"
dari Al-Miswar ibnu Rifa'ah Al-Qurazi, dari Az-Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz
Zubair, bahwa Rifa'ah ibnu Samuel menceraikan istrinya yang bernama Tamimah
binti Wahb di masa Rasulullah Saw. dengan tiga kali talak. Lalu Tamimah kawin
lagi dengan Abdur Rahman ibnu Zubair. Akan tetapi, Tamimah berpaling darinya dan
ia tidak mampu menyentuhnya. Maka Abdur Rahman ibnuz Zubair menceraikannya.
Ketika Rifa'ah ibnu Samuel (yaitu suami pertama yang telah menceraikannya)
hendak mengawininya kembali, maka hal tersebut diceritakan kepada Rasulullah
Saw. Lalu Rasulullah Saw. melarang Rifa'ah mengawininya seraya bersabda: Dia
tidak halal bagimu sebelum dia merasakan kemanisan (suami baru) nya.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh murid-murid Imam Malik di
dalam kitab Muwatta', dari Imam Malik. Akan tetapi, di dalam sanadnya terdapat
inqita'. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibrahim ibnu Tahman dan Abdullah ibnu Wahb,
dari Malik, dari Rifa'ah, dari Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, dari
ayahnya yang me-rafa-kan hadis ini.
Tujuan utama perkawinan baru dengan lelaki lain ialah hendaknya perkawinan
tersebut didasari rasa cinta yang sesungguhnya kepada wanita yang bersangkutan
dan akan membina rumah tangga yang lestari dengannya sebagaimana yang telah
disyariatkan dalam ketentuan perkawinan. Imam Malik mensyaratkan selain ini, hendaknya suami yang baru menyetubuhinya
dalam keadaan yang diperbolehkan. Untuk itu seandainya suami yang baru
menyetubuhinya di masa ia sedang ihrarn atau sedang berpuasa atau sedang i'tikaf
atau sedang haid atau sedang nifas, atau pihak suami barunya sedang puasa atau
sedang ihrarn atau sedang melakukan i'tikaf, maka si istri masih belum
diperbolehkan untuk dikawini oleh suami pertamanya.
Demikian pula jika suami barunya itu adalah seorang kafir zimmi yang tidak
halal bagi seorang muslim menikahinya, karena nikah dengan orang kafir hukumnya
batil menurut mazhab Maliki.
Menurut Al-Hasan Al-Basri melalui riwayat yang dikemukakan oleh Syekh Abu
Umar ibnu Abdul Bar, dari Al-Hasan, disyaratkan hendaknya suaminya yang baru itu
mengeluarkan air mani dalam persetubuhannya. Seakan-akan pendapat ini berpegang
kepada makna yang terkandung di dalam sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:
Sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi
kemanisanmu.
Berdasarkan pengertian ini, maka pihak wanita diharuskan pula mengalami
inzal (ejakulasi).
Akan tetapi, makna yang dimaksud dengan istilah 'usailah bukanlah air
mani, berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Nasai
melalui Siti Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"أَلَا
إِنَّ الْعُسَيْلَةَ الْجِمَاعُ"
Ingatlah, sesungguhnya 'usailah adalah jimak (persetubuhan).
Jika suami yang baru hanya bertujuan untuk menghalalkan si wanita untuk
dikawin lagi oleh suami pertamanya, hal ini disebutkan dengan istilah 'penghapus
talak' yang dikecam dan dilaknat oleh banyak hadis. Untuk itu apabila suami yang
baru mengutarakan maksud yang sebenarnya (yakni hanya sebagai penghapus talak)
secara terang-terangan dalam akad nikahnya, maka nikahnya batal menurut
kesepakatan jumhur para imam.
*******************
Hadis-hadis tentang muhallil
-
Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a.Imam Ahmad mengatakan:حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْن، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي قَيْسٍ، عَنِ الْهُذَيْلِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ، وَآكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ.telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Qais, dari Al-Huzail, dari Abdullah yang telah menceritakan: Rasulullah Saw. telah melaknat wanita yang menato dan yang ditato, wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang meminta disambung (dengan rambut lain), dan muhallil serta muhallal lah, dan pemakan riba serta orang yang menjadi wakilnya.Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan pula, begitu juga Imam Turmuzi dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Sufyan (yakni As-Sauri), dari Abu Qais yang nama aslinya Abdur Rahman ibnu Sarwan Al-Audi, dari Huzail ibnu Syurahbil Al-Audi, dari Abdullah ibnu Mas'ud, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang sama.Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi sahih. Imam Turmuzi mengatakan bahwa pendapat inilah yang diamalkan di kalangan ahlul 'ilmi dari kalangan sahabat yang antara lain ialah Usman, Umar, dan Ibnu Umar. Pendapat ini pula yang dipakai oleh ulama fiqih dari kalangan tabi'in. Hal ini diriwayatkan pula dari Ali, Ibnu Mas'ud, dan Ibnu Abbas.Jalur lain melalui Ibnu Mas'ud.Imam Ahmad mengatakan:حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ عَدِيٍّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ أَبِي الْوَاصِلِ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَعَنَ اللَّهُ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ".telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Abdul Karim, dari Abul Wasil, dari Ibnu Mas'ud, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Allah melaknat muhallil dan muhallal lah.Jalur yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Nasai melalui hadis Al-A'masy, dari Abdullah ibnu Murrah, dari Al-Harts Al-A'war, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa pemakan riba, wakilnya, dan kedua saksinya serta juru tulisnya jika mereka mengetahui transaksi riba; wanita yang menyambung rambutnya dan yang minta disambung rambutnya; penggelap zakat dan memungut zakat yang melampaui batas; orang yang murtad dari kalangan bangsa Arab sesudah hijrahnya; dan muhallil serta muhallal lah; semuanya dilaknat oleh lisan Muhammad Saw. di hari kiamat.
-
Hadis yang diriwayatkan melalui sahabat Ali r.a.Imam Ahmad mengatakan:حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ جَابِرٍ [وَهُوَ ابْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ] عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ، وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ، وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ للحُسْن، وَمَانِعَ الصَّدَقَةِ، وَالْمُحَلِّلَ، وَالْمُحَلَّلَ لَهُ، وَكَانَ يَنْهَى عَنِ النَّوْحِ.telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Jabir, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali r.a. yang mengatakan: Rasulullah Saw. telah melaknat pemakan riba, wakilnya, kedua saksinya, dan juru tulisnya; dan wanita yang menato serta wanita yang minta ditato untuk kecantikan; orang yang tidak mau membayar zakat; dan muhallil serta muhallal lah; dan beliau Saw. melarang pula menangisi mayat (dengan tangisan Jahiliah).Hal yang sama diriwayatkan pula dari Gundar, dari Syu'bah, dari Jabir (yaitu Ibnu Yazid Al-Ju'fi), dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali dengan lafaz yang sama.Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad melalui hadis Ismail ibnu Abu Khalid, Husain ibnu Abdur Rahman, Mujalid ibnu Sa'id, dan Ibnu Aun, dari Amir Asy-Sya'bi dengan lafaz yang sama.Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula melalui hadis Asy-Sya'bi dengan lafaz yang sama.Kemudian Imam Ahmad mengatakan:حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاحِبَ الرِّبَا، وَآكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَهُ، وَالْمُحَلِّلَ، وَالْمُحَلَّلَ لَهُtelah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan: Rasulullah Saw. telah melaknat tukang riba, pemakannya, juru tulisnya, kedua saksinya, muhallil, dan muhallal lah.
-
Hadis yang diriwayatkan dari Jabir r.a.Imam Turmuzi mengatakan:حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ، أَخْبَرَنَا أَشْعَثُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زُبَيْدٍ الْيَامِيُّ، حَدَّثَنَا مَجَالِدٌ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَعَنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيٍّ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُtelah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Asy'as" ibnu Abdur Rahman ibnu Yazid Al-Ayyami, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Jabir ibnu Abdullah dan dari Al-Haris, dari Ali r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah telah melaknat muhallil dan muhallal lah (lelaki penghapus talak dan yang memintanya).Kemudian Imam Turmuzi mengatakan, sanad hadis ini kurang kuat, karena Mujalid dinilai daif bukan hanya oleh seorang saja, antara lain ialah Imam Ahmad ibnu Hambal.Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Numair, dari Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Jabir ibnu Abdullah, dari Ali r.a. Imam Turmuzi mengatakan, sanad ini merupakan dugaan dari Ibnu Numair; hadis pertama tadi lebih sahih.
-
Hadis yang diriwayatkan dari Uqbah ibnu Amir r.a.Abu Abdullah (yaitu Muhammad ibnu Yazid ibnu Majah) mengatakan:حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عُثْمَانَ بْنِ صَالِحٍ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، سَمِعْتُ اللَّيْثَ بْنَ سَعْدٍ يَقُولُ: قَالَ أَبُو مُصْعَبٍ مِشْرَحٌ هُوَ: ابْنُ عَاهَانَ، قَالَ عُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ؟ " قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "هُوَ المحلِّل، لَعَنَ اللَّهُ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ".telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman ibnu Saleh Al-Masri, telah menceritakan kepada kami ayahku, bahwa ia pernah mendengar Al-Lais ibnu Sa'd mengatakan bahwa Abul Mus’ab (yaitu Musarrih yang dikenal dengan panggilan Ibnu Ahan) pernah menceritakan bahwa Uqbah ibnu Amir r.a. pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: "Maukah kalian aku ceritakan tentang pejantan sewaan?" Mereka menjawab, "Tentu saja kami mau, wahai Rasulullah." Nabi Saw. bersabda, "Dia adalah muhallil (lelaki penghapus talak). Allah melaknat muhallil dan muhallal lah."Hadis ini hanya ada pada Imam Ibnu Majah sendiri.Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibrahim ibnu Ya'qub Al-Jauzjani, dari Usman ibnu Saleh, dari Al-Lais dengan lafaz yang sama. Kemudian ia mengatakan bahwa mereka menilai Usman dalam hadis ini munkar dengan penilaian munkar yang berat.Menurut kami, Usman yang disebut dalam sanad hadis ini adalah salah seorang perawi siqah; Imam Bukhari meriwayatkan hadis darinya di dalam kitab sahihnya, kemudian jejaknya itu diikuti oleh yang lain. Maka hadis ini diriwayatkan pula oleh Ja'far Al-Giryani, dari Al-Abbas yang dikenal dengan nama Ibnu Fariq, dari Abu Saleh (yaitu Abdullah ibnu Saleh), dari Al-Lais dengan lafaz yang sama. Karena itu, maka Usman terbebas dari tuduhan yang dilancarkan kepada dirinya.
-
Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.Imam Ibnu Majah mengatakan:حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، عَنْ زَمْعَةَ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ وَهْرَامَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, dari Zam'ah ibnu Saleh, dari Salamah ibnu Wahran, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Rasulullah Saw. telah melaknat muhallil dan muhallal lahu.Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Al-Hafiz juru khotbah kota Damaskus, yaitu Abu Ishaq (yakni Ibrahim ibnu Ya'qub Al-Jauzjani As-Sa'di):حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي حَبِيبَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِكَاحِ الْمُحَلِّلِ قَالَ: "لَا إِلَّا نِكَاحَ رَغْبَةٍ، لَا نِكَاحَ دُلْسَة وَلَا اسْتِهْزَاءٍ بِكِتَابِ اللَّهِ، ثُمَّ يَذُوقُ عُسَيْلَتَهَا".telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ismail ibnu Abu Hanifah dari Daud Ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan: Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai nikah yang dilakukan oleh muhallil, maka beliau bersabda, "Tidak sah, kecuali nikah karena kehendak sendiri (senang), bukan nikah palsu, bukan pula memperolok-olokkan Kitabullah, kemudian dia merasakan kemanisannya."Kedua sanad ini bertambah kuat dengan adanya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari Musa ibnu Abul Furat, dari Amr ibnu Dinar, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal. Dengan demikian, maka bertambah kuatlah dengan adanya hadis mursal ini, satu sama lainnya saling memperkuat.
-
Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.Imam Ahmad mengatakan:حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ، هُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ، الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Ja'far), dari Usman ibnu Muhammad Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan: Rasulullah Saw. telah melaknat muhallil dan muhallal lah.Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Al-Jauzjani Al-Baihaqi melalui jalur Abdullah ibnu Ja'far Al-Qurasyi. Imam Ahmad menilainya siqah, begitu pula Ali ibnul Madini dan Yahya ibnu Mu'in serta lain-lainnya.Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya dari Usman ibnu Muhammad Al-Akhnasi yang dinilai siqah oleh Ibnu Mu'in, dari Sa'id Al-Maqbari. Hadis ini termasuk hadis yang dinilai muttafaq 'alaih (disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim).
-
Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.Imam Hakim mengatakan di dalam kitab Mustadrak-nya: telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Al-Asam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq As-San'ani, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Abu Yaman (yaitu Muhammad ibnu Mutarrif Al-Madani), dari Umar ibnu Nafi', dari ayahnya yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Umar, lalu lelaki itu menanyakan kepadanya tentang masalah seorang lelaki yang menalak istrinya tiga kali. Lalu wanita itu dikawini oleh saudaranya tanpa ada persetujuan dari pihak suaminya yang pertama tadi. Maka apakah wanita tersebut halal dikawini lagi oleh suaminya yang pertama (setelah diceraikan oleh suami barunya yang merupakan saudara lelaki dari suami pertamanya)? Maka Ibnu Umar menjawab, "Tidak boleh, kecuali nikah karena senang. Kami dahulu menganggap perkawinan seperti itu termasuk sifah (zina), yakni di masa Rasulullah Saw."Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini berpredikat sahih, tetapi Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mengetengahkannya.Hadis ini diriwayatkan pula oleh As-Sauri, dari Abdullah ibnu Nafi', dari ayahnya, dari Ibnu Umar dengan lafaz yang sama. Ungkapan ini memberikan pengertian bahwa hadis ini berpredikat marfu'.Demikian pula menurut apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, Al-Jauzjani, Harb Al-Kirmani, dan Abu Bakar ibnul Asram melalui hadis Al-A'masy, dari Al-Musayyab ibnu Rafi', dari Qubaisah ibnu Jabir, dari Umar r.a. yang mengatakan: Tidak sekali-kali dihadapkan kepadaku muhallil dan muhallal lah, melainkan aku pasti merajam keduanya.Imam Baihaqi meriwayatkan melalui hadis Ibnu Luhai'ah, dari Bukair ibnul Asyaj, dari Sulaiman ibnu Yasar, bahwa Khalifah Usman ibnu Affan pernah menangani kasus seorang lelaki yang kawin dengan seorang wanita untuk tujuan menghapus talaknya agar si wanita halal dikawini oleh suami pertamanya. Maka Khalifah Usman ibnu Affan memisahkan keduanya.Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ali dan Ibnu Abbas serta sahabat lainnya yang bukan hanya seorang, semoga Allah melimpah-kan rida-Nya kepada mereka.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ
طَلَّقَهَا}
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya. (Al-Baqarah:
230)
Yakni suami yang baru sesudah menggaulinya.
{فَلا
جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا}
maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin kembali. (Al-Baqarah:
230)
Yaitu dia dan bekas suami yang pertama.
{إِنْ
ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ}
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
(Al-Baqarah: 230)
Maksudnya, kembali membangun rumah tangga secara makruf. Mujahid mengatakan
bahwa makna yang dimaksud ialah jika keduanya menduga bahwa perkawinan mereka
kali ini bukanlah palsu.
{وَتِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ}
Itulah hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 230)
Yakni syariat-syariat dan ketentuan-ketentuan hukum-Nya.
{يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ}
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Al-Baqarah:
230)
Para Imam rahimahumullah berselisih pendapat dalam masalah bila seorang
lelaki menceraikan istrinya dengan sekali atau dua kali talak, lalu si lelaki
membiarkannya hingga masa idahnya habis. Kemudian si wanita itu kawin dengan
lelaki lain dan bersetubuh dengannya, setelah itu ia dicerai kembali hingga
habis masa idahnya. Selanjutnya ia dikawini oleh suami pertamanya, maka apakah
kembali lagi kepadanya apa yang tersisa dari tiga talaknya, seperti yang
dikatakan oleh mazhab Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal? Hal
ini juga merupakan pendapat segolongan sahabat. Ataukah suami yang kedua
dianggap telah menghapuskan semua talak yang terjadi sebelumnya? Untuk itu
apabila si wanita yang bersangkutan kembali lagi dikawini oleh suami pertama,
maka kembali pula kepadanya talak tiga secara utuh, seperti yang dikatakan oleh
mazhab Abu Hanifah dan semua temannya. Alasan mereka mengatakan, apabila suami
yang kedua dapat menghapuskan tiga talak, terlebih lagi bila talak yang
dihapuskan itu kurang dari tiga.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 229-230"
Posting Komentar