Al-Baqoroh Ayat 228
Selasa, 15 Mei 2018
Add Comment
{وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ
أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (228)
}
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suaminya lebih berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) itu menghendaki islah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami
mempunyai suatu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Mahaperkasa
lagi Mahabijaksana.
Allah memerintahkan kepada wanita-wanita yang diceraikan dan telah dicampuri,
sedangkan mereka mempunyai masa quru', hendaklah mereka menunggu selama tiga
kali quru'. Yakni salah seorang dari mereka yang dicerai oleh suaminya melakukan
idahnya selama tiga kali quru', kemudian kawin jika menghendaki.
Para imam yang empat orang mengecualikan keumuman makna ayat ini, yaitu
berkenaan dengan budak wanita apabila diceraikan. Maka sesungguhnya dia
melakukan idahnya hanya selama dua kali quru', mengingat segala sesuatunya
adalah separo dari wanita yang merdeka; sedangkan quru' tidak dapat dipecahkan,
maka digenapkanlah baginya dua kali quru'. Seperti apa yang diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir, dari Muzahir ibnu Aslam Al-Makhzumi Al-Madani, dari Al-Qasim, dari
Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«طَلَاقُ
الْأَمَةِ تَطْلِيقَتَانِ، وَعِدَّتُهَا حَيْضَتَانِ»
Bilangan talak budak perempuan adalah dua kali talak, dan idahnya adalah
dua kali haid.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah,
tetapi Muzahir ini berpredikat daif sama sekali. Al-Hafiz Ad-Daruqutni
mengatakan, begitu pula yang lainnya, bahwa yang benar ialah hadis ini merupakan
ucapan Al-Qasim ibnu Muhammad sendiri. Tetapi Imam Ibnu Majah meriwayatkannya
melalui jalur Atiyyah Al-Aufi, dari Ibnu Umar secara marfu. Imam Daruqutni
mengatakan bahwa yang benar apa yang diriwayatkan oleh Salim dan Nafi', dari
Ibnu Umar adalah perkataan Ibnu Umar sendiri (yakni mauquf, bukan marfu'). Hal
yang sama diriwayatkan pula dari Umar ibnul Khattab.
Para ulama mengatakan, belum pernah diketahui adanya perbedaan pendapat di
kalangan para sahabat mengenai masalah ini. Sebagian ulama Salaf mengatakan,
bahkan idah budak perempuan itu sama dengan wanita merdeka, mengingat keumuman
makna ayat di atas (Al-Baqarah: 228). Mengingat masalah ini merupakan hal yang
bersifat pembawaan, maka tidak ada perbedaan antara wanita yang merdeka dan
budak wanita. Pendapat ini diriwayatkan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr dari
Muhammad ibnu Sirin dan sebagian penganut mazhab Zahiri, tetapi Abu Umar
menilainya daif.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Ismail
(yakni Ibnu Ayyasy), dari Amr ibnu Muhajir, dari ayahnya, bahwa Asma (anak
perempuan Yazid ibnus Sakan Al-Ansariyah) telah menceritakan hadis berikut: Ia
pernah diceraikan di masa Rasulullah Saw., sedangkan saat itu masih belum ada
idah bagi wanita yang diceraikan. Maka Allah menurunkan firman-Nya-ketika Asma
ditalak, yakni firman yang menerangkan tentang idah wanita yang diceraikan.
Dengan demikian, Asma merupakan wanita pertama yang diturunkan berkenaan
dengannya masalah idah wanita yang diceraikan. Yang dimaksud adalah firman-Nya:
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'. (Al-Baqarah: 228)
Hadis ini garib bila ditinjau dari segi (jalur) ini.
Ulama Salaf dan Khalaf serta para imam berbeda pendapat tentang makna yang
dimaksud dari istilah quru'. Apakah makna yang sebenarnya? Ada dua
pendapat mengenainya, yaitu:
Pendapat pertama. Yang dimaksud dengan istilah quru' ialah masa
suci.
Imam Malik mengatakan di dalam kitab Muwatta'-nya, dari Ibnu Syihab, dari
Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa Hafsah binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar pindah
ketika memasuki darah haid-nya yang ketiga kali (yakni pindah ke rumah
suaminya). Ketika hal tersebut diceritakan kepada Umrah binti Abdur Rahman, ia
mengatakan bahwa Urwah benar dalam kisahnya. Akan tetapi, ada sejumlah ulama
yang membantah; mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah berfirman di
dalam Kitab-Nya: tiga kali quru'. (Al-Baqarah: 228) Maka Aisyah berkata,
"Kalian memang benar, tetapi tahukah kalian apa yang dimaksud dengan quru"
Sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah quru' ialah masa suci."
Imam Malik meriwayatkan pula dari Ibnu Syihab, bahwa ia pernah mendengar Abu
Bakar ibnu Abdur Rahman mengatakan, "Aku belum pernah menjumpai seorang pun dari
kalangan ahli fiqih kami melainkan ia mengatakan hal yang sama (yakni quru'
adalah masa suci)." Yang dimaksud ialah sama dengan apa yang dikatakan oleh
Aisyah.
Imam Malik meriwayatkan pula dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar, bahwa ia
pernah mengatakan, "Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya, lalu si istri
memasuki masa haidnya yang ketiga, berarti dia telah terlepas dari suaminya dan
suaminya terlepas darinya." Selanjutnya Imam Malik mengatakan, "Memang
demikianlah yang berlaku di kalangan kami."
Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Zaid ibnu Sabit,
Salim, Al-Qasim, Urwah, Sulaiman ibnu Yasar, Abu Bakar ibnu Abdur Rahman, Aban
ibnu Usman, Ata ibnu Abu Rabah, Qatadah, dan Az-Zuhri serta tujuh orang ahli
fiqih lainnya. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, mazhab Syafii,
dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, serta Daud dan Abu Saur. Pendapat ini
sama dengan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Mereka mengatakan demikian berdalilkan firman-Nya:
{فَطَلِّقُوهُنَّ
لِعِدَّتِهِنَّ}
Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
idahnya (yang wajar). (At-Talaq: 1)
Yakni di masa sucinya. Juga karena mengingat masa suci waktu si suami
menjatuhkan talak padanya terhitung, maka hal ini menunjukkan bahwa masa suci
merupakan salah satu quru' yang tiga yang d-perintahkan bagi si istri untuk
menjalaninya. Karena itulah mereka mengatakan bahwa sesungguhnya wanita yang ada
dalam idahnya, masa idahnya habis dan terpisah dari suaminya bila ia memasuki
masa haidnya yang ketiga.
Batas minimal masa yang di jalani oleh seorang istri hingga masa idahnya
habis ialah tiga puluh dua hari dan dua lahzah. Abu Ubaidah dan lain-lainnya
mengatakan demikian dengan berpegang kepada perkataan seorang penyair, yaitu
Al-A'sya:
فَفِي كُلِّ عَامٍ أَنْتَ جَاشِمُ غَزْوَةٍ ... تَشُدُّ لأقصاها عزيم عزائكا
مورثة مالا وفي الذكر رِفْعَةٌ ... لَمَّا
ضَاعَ فِيهَا مِنْ قُرُوءِ نِسَائِكَا
Setiap tahun kamu selalu menggeluti
perang, sekalipun jauh, tekad dan semangatmu tetap menyala, banyak harta benda
(ganimah) yang kamu peroleh, dan kamu dari keturunan yang terhormat, sekalipun
tersia-siakan di dalamnya masa suci istri-istrimu.
Penyair memuji seorang Amir Arab yang lebih senang memilih berperang daripada
tinggal di rumah, hingga terlewatkanlah masa-masa suci istri-istrinya; ia tidak
menyetubuhi mereka di masa-masa tersebut.
Pendapat kedua. Yang dimaksud dengan quru' ialah masa
haid.
Karena itu, menurut pendapat ini seorang istri masih belum habis masa idahnya
sebelum bersuci dari haid yang ketiga kalinya. Ulama lainnya menambahkan harus
mandi terlebih dahulu dari haidnya.
Batas minimal waktu yang di jalani oleh seorang wanita hingga sampai habis
masa idahnya adalah tiga puluh tiga hari dan satu lahzah.
As-Sauri meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim, dari Alqamah yang
menceritakan, "Kami pernah berada di hadapan Khalifah Umar ibnu Khattab r.a.
Lalu datang kepadanya seorang wanita dan berkata kepadanya, 'Sesungguhnya
suamiku telah menceraikan aku selama sekali atau dua kali haid. Lalu ia datang
kepadaku, sedangkan aku telah melepaskan bajuku dan pintuku telah kututup.' Maka
Umar berkata kepada Abdullah ibnu Mas'ud, 'Menurut pendapatku, dia telah menjadi
istrinya, hanya salat masih belum dihalalkan baginya.' Ibnu Mas'ud berkata, 'Aku
pun berpendapat demikian'."
Demikian pula hal yang diriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, Umar, Usman,
Ali, Abu Darda, Ubadah ibnus Samit, Anas ibnu Malik, Ibnu Mas'ud, Mu'az, Ubay
ibnu Ka'b, Abu Musa Al-Asy'ari, Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab, Alqamah,
Al-Aswad, Ibrahim, Mujahid, Ata, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Muhammad
ibnu Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Asy-Sya'bi, Ar-Rabi', Muqatil ibnu Hayyan,
As-Saddi, Makhul, Ad-Dahhak, dan Ata Al-Khurrasani. Mereka semua mengatakan
bahwa quru' artinya haid.
Pendapat ini merupakan mazhab Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, dan sebuah
riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal yang paling sahih di antara kedua
riwayatnya. Al-Asram meriwayatkan darinya, bahwa ia (Imam Ahmad) pernah
mengatakan, "Para pembesar sahabat Rasulullah Saw. mengatakan bahwa quru'
artinya haid."
Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab As-Sauri, Al-Auza'i, ibnu Abu
Laila, Ibnu Syabramah, Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Hay, Abu Ubaid, dan Ishaq Ibnu
Rahawaih. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud
dan Imam Nasai melalui jalur Al-Munzir ibnul Mugirah, dari Urwah ibnuz Zubair,
dari Fatimah binti Abu Hubaisy, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda
kepadanya:
«دَعِي
الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ»
Tinggalkanlah salat dalam hari-hari quru'-mu (haidmu).
Seandainya disebutkan dengan jelas bahwa quru' artinya haid, maka hal ini
lebih sahih, tetapi Al-Munzir (salah seorang perawinya) disebutkan oleh Ibnu Abu
Hatim sebagai perawi yang majhul (tak dikenal) lagi tidak masyhur. Ibnu Hibban
menyebutkannya di dalam kitab As-Siqat. Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal quru' di dalam percakapan orang-orang Arab
menunjukkan pengertian waktu bagi kedatangan suatu hal yang telah menjadi
kebiasaan kedatangannya, lagi dalam waktu yang telah dimaklumi, juga kepada
kepergian sesuatu hal yang biasa kepergiannya dalam waktu yang telah dimaklumi.
Ungkapan ini menunjukkan pengertian yang bersekutu antara haid dan suci.
Pendapat inilah yang dipegang oleh sebagian ulama Usul.
Menurut Al-Asmu'i, quru' artinya waktu. Abu Amr ibnul Ala mengatakan bahwa
orang-orang Arab menamakan haid dengan sebutan quru', begitu pula masa suci.
Dengan kata lain, haid dan suci dinamakan quru'.
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan, tidak ada perselisihan pendapat di
kalangan ulama bahasa dan ahli fiqih, bahwa yang dimaksud dengan quru' ialah
haid dan suci; dan sesungguhnya mereka hanya berselisih pendapat tentang makna
yang dimaksud dari ayat ini, yaitu terdiri atas dua pendapat.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَلا
يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي
أَرْحَامِهِنَّ}
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya. (Al-Baqarah: 228)
Yakni kandungan atau masa haidnya. Demikianlah menurut apa yang dikatakan
oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, Asy-Sya'bi, Al-Hakam ibnu Uyaynah, Ar-Rabi'
ibnu Anas, dan Ad-Dahhak serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنْ
كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. (Al-Baqarah:
228)
Ayat ini mengandung makna ancaman yang ditujukan kepada mereka jika mereka
menentang perkara yang hak. Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatunya dalam
masalah ini dikembalikan kepada pihak wanita, karena hal ini tidak dapat
diketahui kecuali dari pihak mereka sendiri; dan sulit untuk menegakkan bayyinah
(bukti) pada kebanyakannya untuk membuktikan hal tersebut. Karena itu, segala
sesuatu di-kembalikan kepada mereka. Lalu mereka diancam oleh ayat ini agar
jangan sekali-kali mereka memberitahukan kecuali hanya kebenaran belaka,
mengingat adakalanya pihak wanita mau mempercepat masa idahnya atau berkeinginan
memperpanjang masa idahnya karena ada maksud-maksud tertentu. Karena itulah
seorang istri diperintahkan agar menceritakan hal yang sebenarnya dalam hal ini
tanpa menambah-nambahi atau mengurangi.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَبُعُولَتُهُنَّ
أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا}
Dan suaminya lebih berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) itu menghendaki islah.(Al-Baqarah: 228)
Maksudnya, suami yang menceraikannya lebih berhak untuk merujukinya selagi ia
masih berada dalam idahnya, jika tujuan rujuk itu adalah untuk perdamaian dan
kebaikan. Hal ini berlaku bagi wanita-wanita yang ditalak raj'i. Adapun
bagi wanita-wanita yang diceraikan secara bain, maka di saat turunnya ayat ini
belum ada yang namanya talak bain. Talak bain baru ada setelah dibatasi sampai
tiga kali.
Adapun di saat ayat ini diturunkan, maka seorang lelaki lebih berhak merujuk
istrinya, sekalipun ia telah menceraikannya sebanyak seratus kali. Ketika mereka
dibatasi oleh ayat sesudahnya hanya tiga kali talak, maka baru muncul di
kalangan orang-orang ada wanita yang ditalak bain dan yang bukan talak
bain (talak raj'i).
Apabila Anda renungkan masalah ini, maka tampak jelas bagi Anda kelemahan
metode yang ditempuh oleh sebagian ulama Usul, yaitu mereka yang menyimpulkan
dalil dari ayat ini tentang masalah kembalinya damir yang ada padanya. Dengan
kata lain, apakah damir tersebut men-takhsis pengertian lafaz umum yang
sebelumnya ataukah tidak? Karena sesungguhnya tamsil yang ada pada ayat ini
bersifat tidak mutlak seperti apa yang mereka sebutkan.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ}
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang makruf. (Al-Baqarah: 228)
Yakni para wanita mempunyai hak atas suami mereka seimbang dengan hak yang
ada pada para lelaki atas diri mereka. Karena itu, hendaklah masing-masing pihak
dari keduanya menunaikan apa yang wajib ia tunaikan kepada pihak lain dengan
cara yang makruf.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Jabir, bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam haji wada'nya:
"فَاتَّقُوا
اللَّهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّكُمْ أخذتموهُنّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ،
وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا
يُوطِئْنَ فُرُشَكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ
ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّح، وَلَهُنَّ رِزْقُهُنَّ وَكِسَوْتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ".
Maka bertakwalah kalian kepada Allah dalam masalah wanita, karena
sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah, dan kalian
halalkan farji mereka dengan kalimat Allah. Maka bagi kalian atas mereka
hendaknya mereka tidak mengizinkan seorang lelaki yang kalian benci menginjak
permadani (rumah) kalian. Dan jika mereka mengizinkan hal tersebut, maka
pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai, dan bagi mereka pangan dan
sandangnya secara makruf.
Di dalam hadis Bahz ibnu Hakim, dari Mu'awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi, dari
ayahnya, dari kakeknya, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah
Saw., "Wahai Rasulullah, apakah hak istri seseorang di antara kami?" Rasulullah
Saw. menjawab:
"أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طعمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَا تَضْرِبَ
الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّح، وَلَا تَهْجُرَ إِلَّا فِي الْبَيْتِ"
Hendaknya kamu memberi makan dia jika kamu makan, memberi pakaian
kepadanya jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu memukul wajah, jangan pula
berkata-kata buruk serta jangan pula mengisolasinya kecuali di dalam lingkungan
rumah.
Waki' meriwayatkan dari Basyir ibnu Sulaiman, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas
yang mengatakan, "Sesungguhnya aku benar-benar suka berhias diri untuk istri,
sebagaimana si istri suka berhias untukku." Ibnu Abbas mengatakan demikian
karena Allah Swt. telah berfirman: Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. (Al-Baqarah: 228)
Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلِلرِّجَالِ
عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ}
Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
istrinya. (Al-Baqarah: 228)
Yakni keutamaan dalam hal pembawaan, akhlak, kedudukan, taat pada perintah,
berinfak, mengerjakan semua kepentingan, dan keutamaan di dunia serta akhirat.
Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
الرِّجالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّساءِ بِما فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلى بَعْضٍ وَبِما
أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
(An-Nisa: 34)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَاللَّهُ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ}
Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 228)
Yakni Mahaperkasa dalam pembalasan-Nya terhadap orang yang durhaka kepada-Nya
dan menentang perintah-Nya, lagi Mahabijaksana dalam perintah, syariat, dan
takdir-Nya.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 228"
Posting Komentar