Al-Baqoroh Ayat 226-227
Selasa, 15 Mei 2018
Add Comment
{لِلَّذِينَ
يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (226) وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ (227) }
Kepada orang-orang yang meng-ila istrinya
diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada
istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika
mereka ber-'azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ila ialah sumpah seorang suami terhadap istrinya bahwa dia tidak akan
menggaulinya selama suatu masa. Hal ini adakalanya berjangka waktu kurang dari
empat bulan atau lebih. Jika jangka waktunya kurang dari empat bulan, maka pihak
suami harus menunggu habisnya masa yang disumpahkannya, setelah itu baru boleh
menyetubuhi kembali istrinya; dan pihak istri harus bersabar, pihaknya tidak
boleh meminta dijimak dalam masa tersebut. Hal ini telah disebutkan di dalam
kitab Sahihain, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ آلَى مِنْ نِسَائِهِ شَهْرًا، فَنَزَلَ لِتِسْعٍ وَعِشْرِينَ،
وَقَالَ: "الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ"
Bahwa Rasulullah Saw. pernah meng-ila istri-istrinya selama satu
bulan. Maka beliau baru turun setelah dua puluh sembilan hari, lalu bersabda,
"Bulan ini bilangannya dua puluh sembilan hari.” Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang semisal melalui Umar
ibnul Khattab r.a.
Jika masa ila lebih dari empat bulan, maka pihak istri boleh meminta
kepada pihak suami agar menggaulinya setelah habis masa empat bulan. Setelah
habis masa empat bulan, pihak suami hanya ada salah satu pilihan: Adakalanya
menyetubuhi istrinya dan adakalanya menceraikan istrinya, pihak hakim boleh
menekan pihak suami untuk melakukan hal tersebut. Demikian itu agar pihak istri
tidak mendapat mudarat karenanya. Oleh sebab itulah maka disebutkan oleh
firman-Nya:
{لِلَّذِينَ
يُؤْلُونَ}
Kepada orang-orang yang meng-ila istrinya. (Al-Baqarah: 226)
Yakni bersumpah untuk tidak menyetubuhi istrinya. Di dalam ayat ini
terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa ila hanya kliusus bagi
istri, tidak berlaku bagi budak perempuan. Seperti yang dikatakan oleh jumhur
ulama.
{تَرَبُّصُ
أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ}
diberi tangguh empat bulan (lamanya). (Al-Baqarah: 226)
Pihak suami menunggu selama empat bulan sejak ia mengucapkan sumpahnya,
kemudian dihentikan, lalu dituntut untuk menyetubuhi istrinya atau
menceraikannya. Karena itulah pada firman selanjutnya disebutkan:
{فَإِنْ
فَاءُوا}
Kemudian jika mereka kembali (kepada istri-istrinya). (Al-Baqarah:
226)
Yaitu hubungan mereka berdua kembali seperti semula sebagai suami istri
secara utuh. Kalimat ini merupakan kata sindiran yang menunjukkan pengertian
bersetubuh. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Masruq, Asy-Sya'bi, Sa'id
ibnu Jubair, dan ulama lainnya yang bukan hanya seorang, di antaranya ialah Ibnu
Jarir.
**********
Firman Allah Swt.:
{فَإِنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Al-Baqarah: 226)
Artinya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang atas semua kelalaian yang
dilakukan terhadap hak para istri disebabkan sumpah ila.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ
فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 226)
Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menjadi pegangan salah satu di antara
dua pendapat yang ada di kalangan ulama, yaitu qaul qadim dari Imam Syafii. Bahwa orang yang bersumpah ila apabila kembali kepada istrinya sesudah
empat bulan, tidak ada kifarat atas dirinya. Hal ini diperkuat oleh hadis yang
terdahulu mengenai ayat ini, diriwayatkan dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya,
dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ
حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَتَرْكُهَا
كَفَّارَتُهَا"
Barang siapa yang bersumpah atas sesuatu, lalu ia melihat bahwa selainnya
lebih baik daripadanya, maka kifaratnya ialah meninggalkan sumpahnya
itu.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam
Turmuzi.
Akan tetapi, pendapat jumhur ulama sama dengan qaul jadid Imam Syafii yang
mengatakan bahwa si suami dikenakan kifarat, mengingat keutamaan makna wajib
membayar kifarat bagi setiap orang yang bersumpah, lalu melanggar sumpahnya,
sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis-hadis terdahulu yang semuanya sahih.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَإِنْ
عَزَمُوا الطَّلاقَ}
Dan jika mereka bertetap hati untuk talak. (Al-Baqarah: 227)
Di dalam kalimat ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa talak tidak
jatuh hanya dengan lewatnya masa empat bulan. Demikianlah menurut pendapat
jumhur ulama mutaakhkhirin. Sedangkan menurut pendapat ulama lainnya, talak satu
jatuh setelah lewat masa empat bulan. Pendapat ini didukung oleh riwayat yang
sanad-sanadnya berpredikat sahih, dari Umar, Usman, Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu
Abbas, Ibnu Umar, dan Zaid ibnu Sabit. Pendapat inilah yang dipegang oleh Ibnu
Sirin, Masruq, Al-Qasim, Salim, Al-Hasan, Abu Sala-mah, Qatadah, Syauraih
Al-Qadi, Qubaisah ibnu Zuaib, Ata, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Sulaiman ibnu
Tarkhan At-Taimi, Ibrahim An-Nakha'i, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi.
Kemudian dikatakan bahwa si istri tertalak dengan lewatnya masa ila
empat bulan dengan status talak raj'i. Demikianlah menurut Sa'id ibnul Musayyab,
Abu Bakar ibnu Abdur Rahman ibnul Haris ibnu Hisyam, Makhul, Rabi'ah, Az-Zuhri,
dan Marwan ibnul Hakam. Menurut pendapat yang lainnya lagi, si istri tertalak bain. Pendapat
ini diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Usman, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Zaid
ibnu Sabit; serta dipegang oleh Ata, Jabir ibnu Zaid, Masruq, Ikrimah, Al-Hasan,
Ibnu Sirin, Muhammad ibnul Hanafiyyah, Ibrahim, Qubaisah ibnu Zuaib, Abu
Hanifah, As-Sauri, dan Al-Hasan ibnu Saleh.
Semua pendapat yang mengatakan bahwa si istri tertalak dengan lewatnya masa
empat bulan mewajibkan adanya idah atas pihak istri. Kecuali apa yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abusy Sya'sa yang mengatakan bahwa si istri
telah mengalami haid tiga kali, maka tidak ada idah atas dirinya. Pendapat
inilah yang dikemukakan oleh Imam Syafii.
Akan tetapi, pendapat yang dikatakan oleh jumhur ulama mutaakhkhirin
mengatakan bahwa pihak suami dihentikan, lalu ia dituntut untuk kembali kepada
istrinya atau menceraikannya, dan tiada suatu talak pun yang jatuh atas diri si
istri hanya karena lewatnya masa empat bulan.
Imam Malik meriwayatkan dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan,
"Apabila seorang lelaki meng-ila istrinya, maka talaknya tidak ada yang
jatuh, sekalipun telah berlalu masa empat bulan; melainkan pihak suami
dihentikan, lalu dituntut untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya."
Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh Imam Bukhari.
Imam Syafii rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan
ibnu Uyaynah, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sulaiman ibnu Yasar yang mengatakan,
"Aku telah menjumpai belasan orang sahabat Nabi Saw., semua berpendapat bahwa
lelaki yang bersumpah ila dihentikan." Pengertian belasan menurut Imam Syafii
paling sedikit terdiri atas tiga belas orang.
Imam Syafii meriwayatkan sebuah asar melalui Ali r.a., bahwa ia menghentikan
suami yang bersumpah ila. Kemudian mengatakan bahwa memang demikianlah menurut
pendapat kami, pendapat ini sesuai dengan apa yang telah kami riwayatkan melalui
Umar, Ibnu Umar, Siti Aisyah, Usman, Zaid ibnu Sabit dan belasan orang sahabat
Nabi lainnya. Demikianlah pendapat Imam Syafii rahimahullah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayub, dari Ubaidillah ibnu Umar, dari Suhail
ibnu Abu Saleh, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada
dua belas lelaki sahabat tentang masalah seorang lelaki yang mengucapkan sumpah
ila terhadap istrinya. Mereka mengatakan bahwa si suami tidak dikenakan apa pun
sebelum lewat masa empat bulan, setelah itu si suami dihentikan dan dipaksa
memilih salah satu di antara dua alternatif: Adakalanya kembali kepada istrinya
(menyetubuhinya) atau menceraikannya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Daruqutni melalui Suhail.
Menurut kami, pendapat ini diriwayatkan dari Umar, Usman, Ali, Abu Darda,
Aisyah Ummul Muminin, Ibnu Umar, dan ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan pula
oleh Sa'id ibnul Musayyab, Umar ibnu Abdul Aziz, Mujahid, Tawus, Muhammad ibnu
Ka'b, dan Al-Qasim. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu
Hambal serta murid-murid mereka semuanya, rahimahullah.
Pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Jarir, juga yang dikatakan oleh
Al-Lais, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Ubaid, Abu Saur, dan Daud. Mereka semua
berpendapat bahwa jika pihak suami tidak mau kembali kepada istrinya, maka pihak
suami harus menalak istrinya. Jika pihak suami tidak mau menalak istrinya, maka
pihak hakimlah yang menjatuhkan talaknya. Kemudian talak yang dijatuhkan
ber-sifat raj’i, si suami boleh merujuknya selagi dalam masa idahnya.
Tetapi Imam Malik berpendapat menyendiri. Ia mengatakan, tidak boleh pihak
suami merujuknya sebelum ia menyetubuhi istrinya dalam idahnya. Pendapat ini
aneh sekali. Para ahli fiqih dan lain-lainnya sehubungan dengan masalah menangguhkan
seorang suami yang bersumpah ila selama empat bulan telah menyebutkan
sebuah asar yang diriwayatkan oleh Imam Malik ibnu Anas di dalam kitab
Muwatta-nya, dari Abdullah ibnu Dinar yang menceritakan bahwa di suatu malam
Khalifah Umar ibnul Khattab keluar, lalu ia mendengar seorang wanita mengucapkan
syair berikut:
Malam ini terasa amat panjang dan lambungnya kelihatan sudah menghitam,
sedangkan aku tidak dapat tidur karena tiada kekasih yang biasa bermain
denganku. Maka demi Allah, seandainya aku tidak mempunyai perasaan bahwa Allah
selalu mengawasiku, niscaya lambungnya akan bergerak dari tempat tidur ini.
Kemudian Umar bertanya kepada anak perempuannya (yaitu Siti Hafsah r.a.),
"Berapa lamakah seorang wanita bertahan ditinggal suaminya?" Siti Hafsah
menjawab, "Enam atau empat bulan." Maka Umar berkata, "Aku tidak akan menugaskan
seorang pun dari pasukan kaum muslim lebih dari masa tersebut."
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari As-Saib ibnu Jubair maula ibnu Abbas
yang telah menjumpai masa sahabat Nabi Saw. (yakni tabi'in) mengatakan bahwa ia
masih tetap teringat kepada hadis Umar. Disebutkan bahwa di suatu malam Khalifah
Umar mengelilingi kota Madinah, dia sering melakukan hal tersebut; tiba-tiba ia
melewati rumah seorang wanita Arab, sedangkan pintu rumah wanita itu tertutup,
lalu terdengar wanita itu mendendangkan syair berikut:
Malam ini terasa amat panjang dan lambung tempat tidurnya Sudah lapuk,
sedangkan aku sendiri tidak dapat tidur karena tiada kekasih yang aku biasa
bermain dengannya. Aku bermain dengannya tahap demi tahap, seakan-akan bulan
menampakkan alisnya di malam yang pekat, Dia membuat senang orang yang bermain
di dekatnya, dalam kelembutan perutnya yang agak besar itu aku mendekatinya.
Demi Allah, seandainya tidak ada Allah dan memang kenyataannya tiada sesuatu pun
selain Allah, niscaya lambungnya pasti direbahkannya di atas tempat tidur ini.
Akan tetapi, aku takut kepada malaikat pengawas yang ditugaskan menjaga diri
kami, sepanjang masa dia selalu mencatat semuanya karena taat kepada perintah
Tuhanku, sedangkan rasa malu menghalang-halangi diriku dan demi menghormat
suamiku agar diriku jangan tercemar.
Kemudian perawi melanjutkan asar ini seperti yang disebutkan di atas atau
semisal dengannya. Asar ini diriwayatkan pula melalui berbagai jalur, dan
merupakan salah satu as'ar yang terkenal.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 226-227"
Posting Komentar