Al-Baqoroh Ayat 197
Selasa, 15 Mei 2018
Add Comment
{الْحَجُّ
أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ
وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي
الألْبَابِ (197) }
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang
dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan
haji, maka tidak boleh rafas, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam
masa mengerjakan haji. Dan apa yang kalian
kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai
orang-orang yang berakal.
Ulama bahasa berbeda pendapat mengenai makna firman-Nya: Haji adalah
beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197) Sebagian di antara mereka
mengatakan, bentuk lengkapnya ialah bahwa ibadah haji yang sesungguhnya yaitu
haji yang dilakukan dalam bulan-bulan yang dimaklumi untuk itu.
Berdasarkan pengertian ini, berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa melakukan
ihram ibadah haji dalam bulan-bulan haji lebih sempurna daripada melakukan ihram
haji di luar bulan haji, sekalipun melakukan ihram haji di luar bulan-bulan haji
hukumnya sah.
Pendapat yang mengatakan sah melakukan ihram ibadah haji di sepanjang tahun
merupakan. mazhab Imam Maliki, Abu Hanifah, Ahmad ibnu Hambal, dan Ishaq ibnu
Rahawaih. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibrahim An-Nakha'i, As-Sauri, dan
Al-Lais ibnu Sa'd. Hal yang dijadikan hujah untuk memperkuat pendapat mereka
adalah firman-Nya:
{يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ}
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, "Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji." (Al-Baqarah:
189)
Ibadah haji merupakan salah satu di antara sepasang manasik, maka hukumnya
sah melakukan ihram untuk haji di waktu kapan pun sepanjang tahun. Perihalnya
sama dengan ibadah umrah. Imam Syafii berpendapat, tidak sah melakukan ihram haji kecuali dalam
bulan-bulannya. Untuk itu seandainya seseorang melakukan ihram haji sebelum
bulan haji tiba, maka ihramnya tidak sah.
Akan tetapi, sehubungan dengan umrahnya, apakah sah atau tidak? Ada dua
pendapat mengenainya. Pendapat yang mengatakan bahwa tidak sah melakukan ihram
haji kecuali di dalam bulan-bulannya diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Jabir. Hal
yang sama dikatakan pula oleh Ata, Tawus, dan Mujahid. Sebagai dalilnya ialah
firman Allah Swt. yang mengatakan: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang
dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Menurut makna lahiriah, ayat ini mengandung makna lain yang diutarakan oleh
ulama Nahwu. Pendapat ini mengartikan bahwa musim haji adalah beberapa bulan
yang dimaklumi; Allah mengkhususkan haji dalam bulan-bulan tersebut di antara
bulan-bulan lainnya, maka hal ini menunjukkan bahwa tidak sah melakukan ihram
sebelum tiba bulan-bulan haji. Perihalnya sama dengan waktu-waklu salat.
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid,
dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Ata, dari Ikrimah, dari
Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tidak layak bagi seseorang melakukan ihram haji
kecuali dalam musim haji, karena berdasarkan kepada firman-Nya: Musim haji
adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ahmad ibnu Yahya ibnu
Malik As-Susi, dari Hajjaj ibnu Muhammad Al-A'war, dari Ibnu Juraij dengan lafaz
yang sama. Ibnu Murdawaih meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya melalui dua jalur, dari
Hajjaj ibnu Artah, dari Al-Hakim ibnu Utaibah, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan, "Termasuk tuntunan Nabi Saw. ialah tidak melakukan ihram haji
kecuali dalam bulan-bulan haji (musim haji)."
Ibnu Khuzaimah di dalam kitab sahihnya mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari
Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tidak
boleh ihram haji kecuali dalam bulan-bulan haji, karena sesungguhnya termasuk
sunnah haji ialah melakukan ihram haji dalam bulan-bulan haji.
Sanad asar ini berpredikat sahih. Perkataan seorang sahabat yang menyatakan
bahwa termasuk sunnah (tuntunan Nabi Saw.) dikategorikan sebagai hadis marfu'
menurut kebanyakan ulama. Terlebih lagi jika yang mengatakannya adalah Ibnu
Abbas yang dijuluki sebagai 'juru terjemah Al-Qur'an dan ahli menafsirkannya'.
Memang ada sebuah hadis marfu' sehubungan dengan masalah ini.
قَالَ
ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْبَاقِي بْنُ قَانِعٍ (7) حَدَّثَنَا
الْحَسَنُ بْنُ المُثَنى، حَدَّثَنَا أَبُو حُذَيْفَةَ، حدثنا سفيان، عَنْ أَبِي
الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ قَالَ: "لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ إِلَّا فِي
أَشْهُرِ الْحَجِّ".
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi, telah
mencertakan kepada kami Nafi', telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnul
Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada
kami Sufyan, dari Abuz Zubair, dari Jabir, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw.
pernah bersabda: Tidak layak bagi seseorang melakukan ihram haji kecuali di
dalam bulan-bulan haji.
Sanad hadis ini tidak ada masalah. Tetapi Imam Syafii dan Imam Baihaqi
meriwayatkannya melalui berbagai jalur, dari Ibnu Juraij, dari Abuz Zubair,
bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah bertanya:
أَيُهَلُّ
بِالْحَجِّ قَبْلَ أَشْهُرِ الْحَجِّ؟ فَقَالَ: لَا،
"Bolehkah melakukan ihram haji sebelum musim haji?" Beliau menjawab,
"Tidak boleh."
Hadis mauquf ini lebih sahih dan lebih kuat sanadnya daripada hadis marfu'
tadi. Dengan demikian, berarti mazhab sahabat menjadi kuat berkat adanya ucapan
Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa termasuk sunnah ialah tidak melakukan ihram
haji kecuali dalam bulan-bulan haji.
*************
Firman Allah Swt.:
{أَشْهُرٌ
مَعْلُومَاتٌ}
beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Imam Bukhari mengatakan bahwa menurut Ibnu Umar, yang dimaksud dengan
bulan-bulan haji ialah Syawwal, Zul-Qa'dah, dan sepuluh hari bulan Zul-Hijjah. Asar yang di-ta'liq (dikomentari) oleh Imam Bukhari dengan ungkapan yang
pasti ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir secara mausul.
Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim ibnu Abu
Zagrah, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami
Warqa, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar sehubungan dengan makna
firman-Nya: Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah:
197) Bahwa yang dimaksud ialah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan sepuluh hari dari
bulan Zul-Hijjah. Sanad asar ini berpredikat sahih.
Dan sesungguhnya Imam Hakim pun meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak,
dari Al-Asam, dari Al-Hasan ibnu Ali ibnu Affan, dari Abdullah ibnu Numair, dari
Ubaidillah ibnu Nafi', dari Ibnu Umar, lalu ia mengetengahkan asar ini dan
mengatakan bahwa asar ini (dikatakan sahih) dengan syarat Syaikhain.
Menurut kami, asar ini diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Abdullah
ibnuz Zubair, Ibnu Abbas, Ata, Tawus, Mujahid, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi,
Al-Hasan, Ibnu Sirin, Makhul, Qatadah, Ad-Dahhak ibnu Muzahim, Ar-Rabi' ibnu
Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan. Hal ini merupakan pegangan bagi mazhab Imam
Syafii, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad ibnu Hambal, Abu Yusuf, dan Abu Saur.
Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, dan Ibnu Jarir mengatakan bahwa dibenarkan
menyebutkan jamak untuk pengertian dua bulan dan sepertiga dari satu bulan
dengan pengertian taglib (prioritas). Perihalnya sama dengan perkataan
orang-orang Arab, "Aku melihatnya tahun ini," dan "Aku melihatnya hari ini,"
sedangkan makna yang dimaksud ialah sebagian dari satu tahun dan sehari. Juga
seperti pengertian dalam firman-Nya:
فَمَنْ
تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ
Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka
tiada dosa baginya. (Al-Baqarah: 203)
Karena sesungguhnya pengertian cepat berangkat ini tertuju kepada satu
setengah hari (bukan setelah dua hari). Imam Malik ibnu Anas dan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya mengatakan bahwa
bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah secara
lengkap. Pendapat ini berdasarkan sebuah riwayat dari Ibnu Umar.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah
menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari
Ibrahim ibnu Muhajir, dari Mujahid, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa
bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada
kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah
menceritakan kepadaku Ibnu Juraij yang pernah mengatakan bahwa ia bertanya
kepada Nafi', "Apakah engkau pernah mendengar Ibnu Umar menyebutkan tentang
bulan-bulan haji itu?" Nafi' menjawab, "Ya, Abdullah ibnu Umar menyebutnya bulan
Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah."
Ibnu Juraij mengatakan bahwa hal tersebut dikatakan pula oleh Ibnu Syihab,
Ata, dan Jabir ibnu Abdullah r.a. Sanad asar ini berpredikat sahih sampai kepada
Ibnu Juraij. Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Tawus, Mujahid, Urwah
ibnuz Zubair, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah.
Sehubungan dengan masalah ini ada hadis marfu', hanya sayangnya berpredikat
maudu', diriwayatkan oleh Al-Hafiz ibnu Murdawaih melalui jalur Husain
ibnu Mukhariq —sedangkan dia orangnya dicurigai suka membuat hadis maudu'—, dari
Yunus ibnu Ubaid, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Umamah yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"الْحَجُّ
أَشْهَرٌ مَعْلُومَاتٌ: شَوَّالٌ وَذُو الْقِعْدَةِ وَذُو
الْحِجَّةِ"
Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, yaitu bulan Syawwal,
bulan Zul-Qa'dah, dan bulan Zul-Hijjah.
Akan tetapi, seperti yang disebutkan di atas, predikat marfu' hadis ini tidak
sah.
Faedah dari mazhab Imam Malik yang mengatakan bahwa musim haji itu
berlangsung sampai akhir bulan Zul-Hijjah mengandung pengertian bahwa bulan
tersebut khusus buat ibadah haji, maka makruh melakukan ihram umrah pada sisa
bulan Zul-Hijjah, tetapi bukan berarti bahwa sah melakukan ihram haji sesudah
malam kurban.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan,
telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Qais ibnu
Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Abdullah pernah mengatakan,
"Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, tanpa ada umrah padanya."
Sanad asar ini sahih.
Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya orang yang berpendapat bahwa bulan-bulan
haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah hanyalah bermaksud
bahwa bulan-bulan tersebut bukanlah bulan-bulan untuk melakukan umrah.
Sesungguhnya bulan-bulan tersebut hanyalah untuk ibadah haji, sekalipun pada
kenyataannya semua pekerjaan ibadah haji telah rampung dengan selesainya
hari-hari Mina. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu Sirin, "Tiada seorang
pun dari kalangan ahlul ilmi merasa ragu bahwa ibadah umrah di luar bulan-bulan
haji lebih utama daripada melakukan ibadah umrah dalam bulan-bulan haji."
Ibnu Aun mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Qasim ibnu Muhammad
tentang. ibadah umrah dalam bulan-bulan haji. Lalu Al-Qasim menjawab, "Mereka
menganggapnya kurang sempurna."
Menurut kami, ada sebuah asar dari Umar dan Usman yang mengatakan bahwa
keduanya menyukai ibadah umrah dalam selain bulan-bulan haji, dan keduanya
melarang hal tersebut dalam bulan-bulan haji.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ}
Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan
haji. (Al-Baqarah: 197)
Maksudnya, telah mewajibkan haji dengan memasuki ihramnya. Di dalam ayat ini
terkandung makna yang menunjukkan keharusan ihram haji dan melangsungkannya. Ibnu Jarir mengatakan, mereka sepakat bahwa makna yang dimaksud dengan
al-fard dalam ayat ini ialah wajib dan harus.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Yakni orang yang telah berihram untuk
haji atau umrah.
Menurut Ata, yang dimaksud dengan fard ialah ihram.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibrahim dan Ad-Dahhak serta
lain-lainnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Ata, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan
haji. (Al-Baqarah: 197) Tidak layak bagi seseorang bila melakukan ihram
untuk haji, kemudian ia tinggal di suatu tempat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu
Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair, Mujahid, Ata, Ibrahim An-Nakha'i, Ikrimah,
Ad-Dahhak, Qatadah, Sufyan As-Sauri, Az-Zuhri, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Tawus dan Al-Qasim ibnu Muhammad mengatakan, yang dimaksud dengan fard
ialah talbiyah.
**********
Firman Allah Swt.:
{فَلا
رَفَثَ}
maka tidak boleh rafas. (Al-Baqarah: 197)
Yakni barang siapa yang memasuki ihram untuk ibadah haji atau umrah,
hendaklah ia menjauhi rafas. Yang dimaksud dengan rafas ialah
bersetubuh, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ}
Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri
kalian. (Al-Baqarah: 187)
Diharamkan pula melakukan hal-hal yang menjurus ke arahnya, seperti
berpelukan dan berciuman serta lain-lainnya yang semisal; juga diharamkan
membicarakan hal-hal tersebut di hadapan kaum wanita.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus; Nafi' pernah
menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Umar acapkali mengatakan bahwa
rafas artinya menggauli istri dan membicarakan hal-hal yang berbau
porno.
Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, dari Muhammad
ibnu Ka'b hal yang semisal dengan asar di atas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada
kami Syu'bah, dari Qatadah, dari seorang lelaki, dari Abul Aliyah Ar-Rayyahi,
dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mendendangkan syair untuk
memberi semangat kepada unta kendaraannya, sedangkan dia dalam keadaan berihram,
yaitu ucapan penyair:
وَهُنَّ
يَمْشينَ بنَا هَمِيسَا ...
إنْ يَصْدُق الطَّيْرُ نَنَلْ لَميسَا ...
Sedangkan wanita-wanita itu berjalan
bersama kami dengan langkah yang tak bersuara; sekiranya ada burung, niscaya
kami dapat menyentuhnya.
Abul Aliyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bertanya, "Apakah engkau
mengeluarkan kata-kata rafas, sedangkan engkau dalam keadaan berihram?" Ibnu
Abbas menjawab, "Sesungguhnya rafas yang dilarang ialah bila dituturkan di
hadapan kaum wanita."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-A'masy, dari Ziyad ibnu Husain, dari
Abul Aliyah, dari Ibnu Abbas, lalu ia mengetengahkan asar ini.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi,-dari Auf, telah
menceritakan kepadaku Ziyad ibnu Husain, telah menceritakan kepadaku Abu Husain
ibnu Qais yang menceritakan bahwa ia pernah berangkat haji bersama Ibnu Abbas,
dan pada tahun itu dia menjadi teman Ibnu Abbas. Setelah kami ihram (memasuki
miqat), Ibnu Abbas mendendangkan sebuah syair untuk memberikan semangat kepada
unta kendaraannya, yaitu:
وَهُنَّ
يَمْشِينَ بنَا هَمِيسَا ...
إنْ يَصْدُق الطَّيْرُ نَنَلْ لَميسَا ...
Mereka (wanita-wanita itu) berjalan
bersama kami dengan langkah-langkah yang tak bersuara; seandainya kami menjumpai
burung, niscaya kami dapat memegangnya.
Abu Husain ibnu Qais bertanya, "Apakah engkau berani mengucapkan kata-kata
rafas, sedangkan engkau dalam keadaan berihram?" Ibnu Abbas menjawab,
"Sesungguhnya yang dinamakan rafas ialah bila diucapkan di hadapan kaum
wanita."
Abdullah ibnu Tawus meriwayatkan dari ayahnya, bahwa ayahnya pernah bertanya
kepada Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya: maka tidak boleh rafas dan
berbuat fasik. (Al-Baqarah: 197) Maka Ibnu Abbas menjawab, "Rafas artinya
mengeluarkan kata-kata sindiran yang mengandung arti persetubuhan. Ungkapan ini
dinamakan 'irabah menurut islilah orang-orang Arab yang artinya 'kata-kata yang
jorok'."
Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa rafas artinya persetubuhan dan yang lebih
rendah daripada itu berupa perkataan yang jorok. Hal yang sama dikatakan pula
oleh Amr ibnu Dinar.
Ata mengatakan bahwa orang-orang Arab tidak menyukai ungkapan 'irabah yang
artinya kata-kata sindiran ke arah persetubuhan, hal ini hukumnya haram. Tawus mengatakan, rafas ialah bila seorang lelaki berkata kepada istrinya,
"Apabila kamu telah ber-tahallul, niscaya aku akan menggaulimu." Hal yang sama
dikatakan pula oleh Abul Aliyah.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa rafas artinya
menyetubuhi wanita, menciumnya, dan mencumbu rayunya serta mengeluarkan
kata-kata sindiran yang jorok kepadanya yang menjurus ke arah persetubuhan dan
lain-lainnya yang semisal.
Ibnu Abbas mengatakan pula —juga Ibnu Umar— bahwa rafas artinya menyetubuhi
wanita. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Mujahid,
Ibrahim, Abul Aliyah, dari Ata, Makhul, Ata Al-Khurrasani, Ata ibnu Yasar,
Atiyyah, Ibrahim An-Nakha'i, Ar-Rabi', Az-Zuhri, As-Saddi, Malik ibnu Anas,
Muqatil ibnu Hayyan, Abdul Karim ibnu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, dan
lain-lainnya.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَلا
فُسُوقَ}
dan tidak boleh berbuat fasik. (Al-Baqarah: 197)
Miqsam dan bukan hanya seorang telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang
dimaksud dengan fusuq ialah perbuatan-perbuatan maksiat. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata, Mujahid, Tawus, Ikrimah, Sa'id ibnu
Jubair, Muhammad ibnu Ka'b, Al-Hasan, Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, Az-Zuhri,
Ar-Rabi' ibnu Anas, Ata ibnu Yasar, Ata Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu
Hayyan.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Nafi', dari Ibnu Umar yang pernah
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fusuq ialah semua jenis perbuatan maksiat
terhadap Allah, baik berupa berburu (di waktu ihram) ataupun perbuatan
lainnya. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Nafi', bahwa
Abdullah ibnu Umar pernah berkata, "Yang dinamakan fusuq ialah melakukan
perbuatan-perbuatan yang durhaka terhadap Allah di Tanah Suci."
Sedangkan ulama lainnya mengatakan, yang dimaksud dengan fusuq dalam ayat ini
ialah mencaci maki. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnuz Zubair,
Mujahid, As-Saddi, Ibrahim An-Nakha'i, dan Al-Hasan. Barangkali mereka yang
mengatakan demikian (caci maki) berpegang kepada apa yang telah ditetapkan di
dalam hadis sahih, yaitu:
«سِبَابُ
الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ»
Mencaci orang muslim adalah perbuatan fasik, dan memeranginya adalah
kekufuran.
Karena itulah maka dalam bab ini Abu Muhammad ibnu Abu Hatim meriwayatkannya
melalui hadis Sufyan As-Sauri, dari Zubaid, dari Abu Wail, dari Abdullah, dari
Nabi Saw. yang telah bersabda: Mencaci orang muslim hukumnya fasik dan
memeranginya hukumnya kufur.
Telah diriwayatkan melalui hadis Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Mas'ud, dari
ayahnya, juga melalui hadis Abu Ishaq, dari Muhammad ibnu Sa'd, dari ayahnya.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa fusuq dalam ayat ini
artinya melakukan sembelihan untuk berhala-berhala, seperti pengertian yang
terdapat di dalam Firman-Nya:
أَوْ
فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (Al-An'am:
145)
Ad-Dahhak mengatakan, al-fusuq artinya saling memanggil dengan
julukan-julukan yang buruk.
Pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa makna fusuq dalam ayat ini ialah
semua perbuatan maksiat merupakan pendapat yang benar, sebagaimana Allah
melarang perbuatan zalim (aniaya) dalam bulan-bulan haram, sekalipun dalam
sepanjang masa perbuatan ini diharamkan, hanya saja dalam bulan-bulan haram
lebih keras lagi keharamannya. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
مِنْها
أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ
أَنْفُسَكُمْ
di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kalian menganiaya diri kalian sendiri dalam bulan yang empat ini.
(At-Taubah: 36)
Sehubungan dengan melakukan perbuatan zalim di Tanah Suci, Allah Swt.
berfirman:
وَمَنْ
يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذابٍ أَلِيمٍ
Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim,
niscaya Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih. (Al-Hajj: 25)
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa isitilah fusuq dalam
ayat ini ialah semua perbuatan yang dilarang di dalam ihram, seperti membunuh
binatang buruan, mencukur rambut kepala, memotong kuku, dan lain sebagainya yang
sejenis, seperti yang disebutkan dari Ibnu Umar. Akan tetapi, semua apa yang
telah kami sebutkan adalah harus lebih dijauhi.
Disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Abu Hazm, dari sahabat Abu
Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«من
حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ
كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ»
Barang siapa yang melakukan haji di Baitullah ini, lalu ia tidak rafas dan
tidak berbuat fasik, maka seakan-akan ia bersih dari semua dosanya seperti pada
hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَلا
جِدَالَ فِي الْحَجِّ}
dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.
(Al-Baqarah: 197)
Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama mengatakan tidak boleh berbantah-bantahan dalam musim haji,
yakni sewaktu sedang melaksanakan manasik-manasiknya. Allah Swt. telah
menjelaskannya dengan keterangan yang sempurna dan merincikannya dengan rincian
yang gamblang.
Sehubungan dengan hal ini Waki' telah meriwayatkan dari Al-Ala ibnu Abdul
Karim, bahwa ia pernah mendengar Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan
haji. (Al-Baqarah: 197) Sesungguhnya Allah Swt. telah menjelaskan
bulan-bulan haji, maka tidak boleh lagi ada bantah-bantahan di antara manusia
dalam mengerjakannya.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya:
dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.
(Al-Baqarah: 197) Tidak ada bulan yang ditangguhkan dan tidak ada
bantahan-bantahan dalam masalah haji, semuanya sudah jelas. Kemudian Mujahid
menyebutkan tingkah laku yang dilakukan oleh kaum musyrik terhadap apa yang
disebutkan di kalangan mereka dengan nama nasi' (menangguhkan bulan haji, lalu
memindahkannya ke bulan yang lain). Perbuatan mereka itu sangat dicela oleh
Allah Swt.
As-Sauri meriwayatkan dari Abdul Aziz ibnu Rafi', dari Mujahid sehubungan
dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Bahwa masalah haji telah diluruskan,
maka tidak boleh ada bantah-bantahan lagi mengenainya.
Hal yang sama dikatakan pula oleh As-Saddi. Hisyam mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud dengan jidal ialah
berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan ibadah haji.
Abdullah ibnu Wahb mengatakan bahwa Malik pernah mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Makna yang dimaksud ialah melakukan
bantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji. Hanya Allah yang lebih mengetahui,
bahwa pada mulanya orang-orang Quraisy melakukan wuquf di Masy'aril Haram, yaitu
di Muzdalifah, sedangkan orang-orang Arab lainnya dan selain orang-orang Arab
melakukan wuquf di Arafah. Mereka selalu berbantah-bantahan. Golongan yang
pertama mengatakan, "Kami lebih benar," sedangkan golongan yang lain mengatakan,
"Kamilah yang lebih benar." Demikianlah menurut pandangan kami, dan hanya Allah
yang lebih mengetahui.
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam bahwa mereka
mengambil tempat wuqufnya sendiri-sendiri se-cara berbeda-beda yang masih mereka
perdebatkan, masing-masing pihak mengakui bahwa mauqif-nya adalah
berdasarkan mauqif Nabi Ibrahim a.s. Maka Allah memutuskannya, yaitu ketika Dia
memberi-tahukan kepada Nabi-Nya tentang manasik yang sesungguhnya.
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abu Sakhr, dari Muhammad ibnu Ka'b yang
mengatakan bahwa dahulu orang-orang Quraisy apabila berkumpul di Mina, maka
sebagian dari mereka mengatakan kepada sebagian yang lainnya, "Haji kami lebih
sempurna daripada haji kalian," begitu pula sebaliknya.
Hammad ibnu Salamah meriwayatkan dari Jabir ibnu Habib, dari Al-Qasim ibnu
Muhammad yang mengatakan bahwa berbantah-bantahan dalam ibadah haji ialah bila
sebagian dari mereka yang terlibat mengatakan, "Haji adalah esok hari."
Sedangkan sebagian yang lain mengatakan, "Haji adalah hari ini."
Sementara itu Ibnu Jarir memilih kandungan makna dari semua pendapat yang
telah disebutkan di atas, yaitu tidak boleh berbantah-bantahan dalam manasik
haji. Pendapat yang kedua mengatakan, yang dimaksud dengan istilah jidal
dalam ayat ini ialah bertengkar. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abdul Hamid ibnu Hassan, telah menceritakan kepada kami Ishaq, dari
Syarik, dari Abu Ishaq, dari Abul Ah-was, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan
dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197)
Makna yang dimaksud dengan al-jidal ialah bila kamu membantah
saudaramu hingga kamu buat dia marah karenanya. Dengan sanad yang sama sampai kepada Abu Ishaq, dari At-Tamimi, disebutkan
bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna al-jidal, maka Ibnu
Abbas menjawab, "Artinya berbantah-bantahan, yaitu bila kamu melakukan bantahan
terhadap temanmu hingga kamu buat dia marah karenanya." Hal yang sama
diriwayatkan pula oleh Miqsan dan Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas. Hal yang sama
dikatakan pula oleh Abul Aliyah, Ata, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Jabir
ibnu Zaid, Ata Al-Khurrasani, Makhul, As-Saddi, Mu-qatil ibnu Hayyan, Arar ibnu
Dinar, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, Ibrahim An-Nakha'i, Ata ibnu Yasar,
Al-Hasan, Qatadah, dan Az-Zuhri.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan
haji. (Al-Baqarah: 197) Artinya, berbantah-bantahan dan perdebatan hingga
engkau membuat marah saudara dan temanmu, kemudian Allah Swt. melarang hal
tersebut.
Ibrahim An-Nakha'i mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan
tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah:
197) Bahwa mereka tidak menyukai berbantah-bantahan.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Nafi, dari Ibnu Umar yang mengatakan
bahwa al-jidal dalam ibadah haji artinya mencaci maki dan bertengkar. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Nafi', Umar
pernah mengatakan bahwa berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji artinya
melakukan caci maki, perdebatan, dan pertengkaran.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnuz Zubair, Al-Hasan,
Ibrahim,Tawus, dan Muhammad ibnu Ka'b, bahwa mereka mengatakan, "Al-jidal
artinya berbantah-bantahan." Abdullah ibnul Mubarak meriwayatkan dari Yahya ibnu Basyir, dari Ikrimah
sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di
dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah 197) Al-jidal artinya marah, yaitu
bila kamu membuat marah seorang muslim, kecuali jika kamu menegur budak, lalu
kamu membuatnya marah tanpa memukulnya, maka tidak menjadi masalah bagimu, insya
Allah.
Menurut kami, seandainya seseorang memukul budaknya, hal ini masih tetap
diperbolehkan. Sebagai dalilnya ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam
Ahmad:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ يَحْيَى
بْنِ عَبَّادِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ
أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُجّاجًا، حَتَّى إِذَا كُنَّا بالعَرْج نَزَلَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَلَسَتْ عائشةُ إِلَى جَنْبِ
رَسُولِ اللَّهِ، وجلستُ إِلَى جَنْب أَبِي. وَكَانَتْ زِمَالة أَبِي بَكْرٍ
وزِمَالة رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاحِدَةً مَعَ
غُلَامِ أَبِي بَكْرٍ، فَجَلَسَ أَبُو بَكْرٍ يَنْتَظِرُهُ إِلَى أَنْ يَطْلُعَ
عَلَيْهِ، فأطْلَعَ وَلَيْسَ مَعَهُ بَعِيرُهُ، فَقَالَ: أَيْنَ بَعِيرُكَ؟
فَقَالَ: أضللتُه الْبَارِحَةَ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: بَعِيرٌ وَاحِدٌ تُضلَّه؟
فَطَفِقَ يَضْرِبُهُ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَتَبَسَّمُ وَيَقُولُ: "انْظُرُوا إِلَى هَذَا المُحْرِم مَا يَصْنَعُ؟
".
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Idris, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Yahya ibnu Abbad ibnu Abdullah ibnuz Zubair, dari
ayah-nya, dari Asma binti Abu Bakar yang menceritakan hadis berikut: Kami
berangkat bersama Rasulullah Saw. untuk menunaikan ibadah haji. Ketika kami
berada di Araj, Rasulullah Saw. turun istirahat. Maka Siti Aisyah r.a. duduk di
sebelah Rasulullah Saw., sedangkan aku duduk di sebelah Abu Bakar (ayahku).
Ketika itu pelayan perempuan Abu Bakar dan Rasulullah Saw. hanya satu orang
disertai dengan budak laki-laki milik Abu Bakar. Abu Bakar duduk menunggu
budaknya muncul. Si budak muncul tanpa hewan untanya, maka Abu Bakar bertanya,
"Ke mana untamu?" Si budak menjawab, "Tadi malam aku kehilangan dia." Abu Bakar
berkata, "Mengapa seekor unta saja kamu tidak dapat menjaganya, hingga ia
kabur?" Lalu Abu Bakar memukul budaknya itu, sedangkan Rasulullah Saw. tersenyum
seraya berkata: Lihatlah oleh kalian apa yang dilakukan oleh orang yang
sedang ihram ini.’
Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah
melalui hadis Ibnu Ishaq. Berangkat dari pengertian hadis ini, ada sebagian ulama Salaf yang
menyimpulkan bahwa termasuk kesempurnaan ibadah haji ialah memukul unta
(kendaraan). Akan tetapi, dari sabda Nabi Saw. terhadap Abu Bakar ini, yaitu:
Lihatlah oleh kalian apa yang dilakukan oleh orang yang sedang ihram
ini. dapat ditarik kesimpulan adanya teguran yang lembut. Maknanya
menyatakan bahwa meninggalkan perbuatan tersebut adalah lebih utama.
قَالَ
الْإِمَامُ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ
مُوسَى، عَنْ مُوسَى بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ أَخِيهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدَةَ
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ قضَى نُسُكَه وسلِم الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ"
Imam Abdu ibnu Humaid di dalam kitab Musnad-nya mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Musa ibnu Ubaidah, dari
saudaranya (yaitu Abdullah ibnu Ubaidillah), dari Jabir ibnu Abdullah yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang telah
menunaikan hajinya, dan orang-orang muslim selamat dari ulah lisan dan
tangannya, niscaya Allah memberikan ampunan baginya atas semua dosanya yang
terdahulu.
********
Firman Allah Swt.:
{وَمَا
تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ}
Dan apa yang kalian kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. (Al-Baqarah: 197)
Setelah Allah Swt. melarang mereka melakukan perbuatan yang buruk, baik
berupa ucapan maupun perbuatan, maka Allah menganjurkan kepada mereka untuk
mengerjakan kebaikan, dan Allah Swt. memberitahukan kepada mereka bahwa Dia Maha
Mengetahuinya; kelak Allah akan memberikan balasan kepadanya dengan balasan yang
berlimpah di hari kiamat nanti.
************
Firman Allah Swt.:
{وَتَزَوَّدُوا
فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.
(Al-Baqarah: 197)
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ada orang-orang yang berangkat
meninggalkan keluarga mereka tanpa membawa bekal. Mereka mengatakan, "Kami akan
melakukan ibadah haji, mengapa Allah tidak memberi kami makan?" (yakni niscaya
Allah memberi kami makan). Maka turunlah ayat ini yang maknanya, "Berbekallah
kalian untuk mencegah diri kalian dari meminta-minta kepada orang lain."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr
ibnu Dinar, dari Ikrimah, bahwa orang-orang ada yang menunaikan hajinya tanpa
membawa bekal. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Amr (yaitu Al-Fallas),
dari Ibnu Uyaynah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, sesungguhnya hadis ini diriwayatkan pula oleh
Warqa, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Ibnu Abu Hatim
mengatakan bahwa apa yang diriwayatkan oleh Warqa, dari Ibnu Uyaynah lebih
sahih.
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari Sa'id ibnu
Abdur Rahman Al-Makhzumi, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ada orang-orang yang menunaikan ibadah haji
tanpa membawa bekal, lalu Allah menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Adapun hadis Warqa, diketengahkan oleh Imam Bukhari, dari Yahya ibnu Bisyr,
dari Syababah.
Diketengahkan oleh Abu Daud, dari Abu Mas'ud (yaitu Ahmad ibnul Furat
Ar-Razi) dan Muhammad ibnu Abdullah Al-Makhzumi, dari Syababah, dari Warqa, dari
Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa
orang-orang Yaman melakukan ibadah hajinya tanpa membawa bekal, dan mereka
mengatakan, "Kami adalah orang-orang yang bertawakal." Maka Allah menurunkan
firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.
(Al-Baqarah: 197)
Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya pula di dalam kitab tafsirnya dari
Syababah.
Ibnu Hibban meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui hadis Syababah
dengan lafaz yang sama. Ibnu Jarir dan Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui
hadis Amr ibnu Abdul Gaffar, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa
tersebutlah apabila mereka telah memasuki ihram, sedangkan bekal yang mereka
bawa masih ada pada mereka, maka mereka membuangnya, lalu mereka mengadakan
perbekalan lain yang baru. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.
(Al-Baqarah: 197)
Mereka dilarang melakukan hal tersebut dan mereka diperintahkan agar membawa
perbekalan berupa tepung terigu, sagon, dan roti kering (yakni makanan yang
tahan lama). Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnuz Zubair, Abul Aliyah,
Mujahid, Ikrimah, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Salim ibnu Abdullah, Ata
Al-Khurrasani, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Berbekallah kalian dengan perbekalan berupa
tepung terigu, sagon, dan roti kering." Waki' ibnul Jarrah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan
kepada kami Sufyan, dari Muhammad ibnu Suqah, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan
dengan makna firman-Nya: Dan berbekallah (Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud
ialah bekal berupa tepung dan sagon.
Waki' meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Al-Makki,
dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Amr yang mengatakan bahwa
sesungguhnya termasuk kedermawanan seorang laki-laki ialah membawa bekal yang
baik dalam perjalanannya.
Hammad ibnu Salamah menambahkan pada riwayat di atas, dari Abu Raihanah,
bahwa Ibnu Umar pernah memerintahkan kepada orang yang mau bepergian dengannya
agar membawa bekal yang baik.
****************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنَّ
خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}
dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Setelah Allah Swt. memerintahkan mereka agar membawa bekal dalam bepergian di
dunia, maka Allah Swt. memberikan pctunjuk-Nya kepada mereka bekal lainnya untuk
kebahagiaan di negeri akhirat, yaitu takwa kepada Allah. Perihalnya sama dengan
makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَرِيشاً
وَلِباسُ التَّقْوى ذلِكَ خَيْرٌ
dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling
baik. (Al-A'raf: 26)
Dengan kata lain, setelah Allah menyebutkan pakaian hissi (konkret),
lalu Allah mengingatkan seraya memberikan petunjuk kepada jenis pakaian lainnya,
yaitu pakaian maknawi (abstrak) berupa khusyuk, taat, dan takwa. Allah
menyebutkan pula bahwa pakaian yang terakhir ini lebih baik dan lebih bermanfaat
daripada jenis yang per-tama tadi.
Ata Al-Khurrasani mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud
dengan takwa ialah bekal untuk akhirat.
قَالَ
الْحَافِظُ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، حَدَّثَنَا
هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ،
عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ
النَّبِيِّ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [قَالَ] : "مَنْ يَتَزَوَّدْ فِي
الدُّنْيَا يَنْفَعه فِي الْآخِرَةِ"
Imam Tabrani meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar,
telah menceritakan kepada kami Marwan ibnu Mu'awiyah, dari Ismail, dari Qais,
dari Jarir ibnu Abdullah, dari Nabi Saw. yang bersabda: Barang siapa yang
membuat bekal di dunia, maka bekal ini akan bermanfaat di akhirat.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, ketika diturunkan firman-Nya: Dan
berbekallah. (Al-Baqarah: 197) Maka berdirilah seorang lelaki dari kalangan
kaum fakir miskin kaum muslim, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, kami tidak
menemukan apa yang bisa dipergunakan buat bekal kami." Maka Rasulullah Saw.
bersabda:
"تَزَوَّدْ
مَا تَكُفُّ بِهِ وَجْهَكَ عَنِ النَّاسِ، وَخَيْرُ مَا تَزَوَّدْتُمُ
التَّقْوَى".
Berbekallah untuk mencegah dirimu dari meminta-minta kepada orang lain,
dan sebaik-baik apa yang dijadikan bekal bagi kalian ialah takwa. (Riwayat
Ibnu Abu Hatim)
**************
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُونِ
يَا أُولِي الألْبَابِ}
dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal. (Al-Baqarah:
197)
Yakni hindarilah oleh kalian siksaan-Ku, pembalasan-Ku, dan azab-Ku bagi
orang yang menentang-Ku dan tidak mau mengerjakan perintah-Ku, hai orang-orang
yang berakal dan berpemahaman!
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 197"
Posting Komentar