Al-Baqoroh Ayat 196
Selasa, 15 Mei 2018
Add Comment
{وَأَتِمُّوا
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ
الْهَدْيِ وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ
أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ
إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ
كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (196)
}
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah
karena Allah. Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit),
maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kalian mencukur kepala
kalian sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara
kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka
wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban.
Apabila kalian telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah
sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah
didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di
sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras
siksaan-Nya.
Setelah Allah menyebutkan hukum-hukum puasa, lalu meng-'ataf kannya dengan
sebutan masalah jihad, maka mulailah Allah menjelaskan masalah manasik. Untuk
itu, Allah memerintahkan agar ibadah haji dan umrah disempurnakan. Menurut
pengertian lahiriah konteks menunjukkan harus menyempurnakan semua pekerjaan
haji dan umrah bilamana seseorang telah memulainya. Karena itulah sesudahnya
disebutkan:
{فَإِنْ
أُحْصِرْتُمْ}
Jika kalian terkepung. (Al-Baqarah: 196)
Yakni jika kalian terhalang sampai ke Baitullah dan kalian terhambat hingga
tidak dapat menyempurnakan keduanya (karena terhalang oleh musuh atau karena
sakit). Karena itulah para ulama sepakat bahwa memasuki ibadah haji dan umrah
merupakan suatu keharusan, baik menurut pendapat yang mengatakan bahwa umrah itu
wajib ataupun sunat, seperti pendapat-pendapat yang ada di kalangan ulama. Kami
telah menyebutkan kedua masalah ini beserta dalil-dalilnya di dalam Kitabul
Ahkam secara rinci.
Syu'bah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Abdullah ibnu Salamah, dari
Ali yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakan ibadah haji
dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Dikatakan demikian bilamana kamu
telah memasuki ihram dari rumah keluargamu. Hal yang sama dikatakan pula oleh
Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, dan Tawus.
Disebutkan dari Sufyan As-Sauri, ia pernah mengatakan sehubungan dengan
takwil ayat ini, bahwa pengertian menyempurnakan haji dan umrah itu ialah bila
kamu telah berihram dari rumah keluargamu dengan tujuan hanya untuk haji dan
umrah. Kamu ber-ihlal (berihram) dari miqat, sedangkan tujuan kamu bukan
untuk berniaga, bukan pula untuk keperluan lainnya. Ketika kamu sudah berada di
dekat Mekah, maka kamu berkata, "Sekiranya aku melakukan haji atau umrah," yang
demikian itu sudah dianggap cukup, tetapi yang sempurna ialah bila kamu
berangkat ihram dan tiada niat lain kecuali hanya untuk itu.
Makhul mengatakan, pengertian menyempurnakan haji dan umrah ialah memulai
keduanya dari miqat-nya. Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri
yang menceritakan, telah sampai kepada kami bahwa sahabat Umar pernah mengatakan
sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah
karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Bahwa termasuk menyempurnakan ibadah haji
dan umrah ialah bila kamu meng-ifrad-kan masing-masing dari yang lainnya
secara terpisah, dan kamu lakukan ibadah umrah di luar bulan-bulan haji, karena
sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: (Musim) haji adalah beberapa bulan
yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Aun bahwa ia pernah mendengar Al-Qasim ibnu
Muhammad berkata, "Sesungguhnya melakukan ibadah umrah di dalam bulan-bulan haji
kurang sempurna." Ketika dikatakan kepadanya, "Bagaimana dengan umrah dalam
bulan Muharram?" Ia menjawab, "Menurut mereka, melakukan ibadah umrah dalam
bulan tersebut dianggap sempurna."
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah ibnu Di'amah. Akan tetapi,
pendapat ini masih perlu dipertimbangkan karena disebutkan dalam sebuah hadis
bahwa Rasulullah Saw. melakukan umrahnya sebanyak empat kali, semuanya beliau
lakukan dalam bulan Zul-Qa'dah. Umrah hudaibiyyah dalam bulan Zul-Qa'dah tahun
enam Hijriah, umrah qada dalam bulan Zul-Qa'dah tahun ketujuh Hijriah, umrah
ji'arah dalam bulan Zul-Qa'dah tahun delapan Hijriah, dan umrah yang beliau
lakukan dalam ibadah haji —beliau berihram untuk keduanya secara bersamaan
(qiran)— dalam bulan Zul-Qa'dah tahun sepuluh Hijriah. Beliau Saw. tidak
melakukan umrah lagi selain dari umrah-umrah tersebut setelah beliau hijrah.
Akan tetapi, Nabi Saw. bersabda kepada Ummu Hani':
"عُمْرة
فِي رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً مَعِي"
Umrah dalam bulan Ramadan seimbang dengan melakukan ibadah haji
bersamaku.
Dikatakan demikian karena Ummu Hani' bertekad untuk melakukan ibadah haji
bersama Nabi Saw., tetapi ia terhambat melakukannya karena masa sucinya
terlambat, seperti yang dijelaskan dengan panjang lebar di dalam hadis Imam
Bukhari. Tetapi dalam nas Sa'id ibnu Jubair disebutkan bahwa hal tersebut hanya
merupakan kekhususan bagi Ummu Hani'.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakanlah
ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Yakni tegakkanlah
(kerjakanlah) ibadah haji dan umrah.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya:Dan sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah.
(Al-Baqarah: 196) Artinya, barang siapa yang telah berihram untuk ibadah haji
atau umrah, maka dia tidak boleh ber-tahallul sebelum menyempurnakan
keduanya, yaitu sempurnanya ibadah haji pada hari kurban. Bila ia telah melempar
jumrah aqabah, tawaf di Baitullah, dan sa'i antara Safa dan Marwah; setelah
semuanya dikerjakan, berarti sudah tiba masa tahallul-nya.
Qatadah meriwayatkan dari Zararah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah
mengatakan, "Haji itu adalah Arafah, dan umrah itu adalah tawaf."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah
sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena
Allah. (Al-Baqarah: 196) Disebutkan bahwa menurut qiraat Abdullah ibnu
Mas'ud bunyinya demikian, "Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah sampai ke
Baitullah," yakni melakukan ibadah umrah hanya di sekitar Baitullah, tidak
melebihinya. Selanjutnya Ibrahim mengatakan bahwa lalu ia menceritakan hal
tersebut kepada Sa'id ibnu Jubair. Maka Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa hal
yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas.
Sufyan meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, bahwa ia
pernah mengatakan, "Dan dirikanlah ibadah haji dan umrah sampai ke Baitullah."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh As-Sauri, dari Ibrahim, dari Mansur, dari
Ibrahim, bahwa ia membaca ayat ini dengan bacaan berikut yang artinya, "Dan
dirikanlah ibadah haji dan umrah sampai ke Baitullah."
Asy-Sya'bi membaca ayat ini dengan me-rafa'-kan lafaz
al-umrah, dan ia mengatakan bahwa ibadah umrah hukumnya tidak
wajib, melainkan sunat. Akan tetapi, diriwayatkan darinya hal yang berbeda,
yakni yang mengatakan wajib.
Telah disebutkan di dalam banyak hadis yang diriwayatkan melalui berbagai
jalur yang berbeda, dari Anas dan sejumlah sahabat, bahwa Rasulullah Saw. dalam
ihramnya menggabungkan ibadah haji dan ibadah umrah. Ditetapkan di dalam hadis
sahih yang bersumber dari Nabi Saw. bahwa beliau Saw. pernah bersabda kepada
para sahabat:
"مَنْ
كَانَ مَعَهُ هَدْي فَلْيُهِلَّ بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ"
Barang siapa yang membawa hadyu (hewan kurban), maka hendaklah ia
ber-ihlal (berihram) untuk ibadah haji dan umrahnya.
Di dalam hadis sahih lain disebutkan pula bahwa Nabi Saw. pernah
bersabda:
"دَخَلَتِ
الْعُمْرَةُ فِي الْحَجِّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ"
Umrah dimasukkan ke dalam ibadah haji sampai hari kiamat.
Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini
meriwayatkan sebuah hadis yang garib. Untuk itu dia mengatakan:
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ، حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْهَرَوِيُّ،
حَدَّثَنَا غَسَّانُ الْهَرَوِيُّ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَان، عَنْ
عَطَاءٍ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ أَنَّهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَضَمِّخٌ بِالزَّعْفَرَانِ،
عَلَيْهِ جُبَّةٌ، فَقَالَ: كَيْفَ تَأْمُرُنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فِي عُمْرَتِي؟
قَالَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ} فَقَالَ
رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيْنَ السَّائِلُ عَنِ
العُمْرة؟ " فَقَالَ: هَا أَنَا ذَا. فَقَالَ لَهُ: "أَلْقِ عَنْكَ ثِيَابَكَ،
ثُمَّ اغْتَسِلْ، وَاسْتَنْشِقْ مَا اسْتَطَعْتَ، ثُمَّ مَا كُنْتَ صَانِعًا فِي
حَجّك فَاصْنَعْهُ فِي عُمْرَتِكَ"
telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada
kami Abu Abdullah Al-Harawi, telah menceritakan kepada kami Gassan Al-Harawi,
telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Tahman, dari Ata, dari Safwan ibnu
Umayyah yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi Saw. dalam
keadaan memakai minyak wangi za'faran yang ia balurkan pada baju jubahnya, lalu
lelaki itu bertanya, "Apakah yang harus aku lakukan dalam ibadah umrahku
menurutmu, wahai Rasulullah?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Lalu
Rasulullah Saw. bertanya, "Ke manakah orang yang bertanya tentang umrah
tadi?" Lelaki itu menjawab, "Inilah aku." Nabi Saw. bersabda kepadanya,
"Lepaskanlah bajumu itu, lalu mandilah dan ber-istinsyaq-lah menurut
kemampuanmu. Kemudian apa yang kamu lakukan dalam ibadah hajimu, lakukanlah pula
dalam ibadah umrahmu."
Hadis ini garib dan konteksnya aneh.
Hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain dari Ya'la ibnu Umayyah dalam
kisah seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi Saw. ketika di Ji'ranah,
disebutkan bahwa lelaki itu bertanya, "Bagaimanakah menurutmu tentang seorang
lelaki yang berihram untuk umrah, sedangkan dia memakai kain jubah yang dilumuri
dengan minyak za'faran?" Nabi Saw. diam, lalu turunlah wahyu kepadanya, kemudian
beliau mengangkat kepalanya dan bertanya, "Manakah orang yang bertanya
tadi?" Lelaki itu menjawab, "Inilah aku." Maka beliau Saw. bersabda:
"أَمَّا
الْجُبَّةُ فَانْزَعْهَا، وَأَمَّا الطِّيبُ الذِي بِكَ فَاغْسِلْهُ، ثُمَّ مَا
كُنْتَ صَانِعًا فِي حَجِّكَ فَاصْنَعْهُ فِي عُمْرتك"
Adapun mengenai baju jubahmu, lepaskanlah ia; dan adapun mengenai
wewangian yang ada pada tubuhmu, cucilah. Kemudian apa yang biasa kamu lakukan
dalam ibadah hajimu, maka lakukanlah pula dalam ibadah umrahmu.
Di dalam riwayat ini tidak disebutkan masalah istinsyaq (mengisap air
dengan hidung untuk mencucinya), juga tidak disebutkan mandi, tidak pula sebutan
asbabun nuzul ayat ini. Hadis ini dari Ya'la ibnu Umayyah, bukan Safwan ibnu
Umayyah.
*****************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ
أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka
(sembelihlah) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Mereka mengatakan bahwa ayat ini diturunkan pada tahun enam Hijriah, yakni
pada tahun perjanjian Hudaibiyah, yaitu ketika kaum musyrik menghalang-halangi
antara Rasulullah Saw. dan Baitullah, hingga beliau tidak dapat sampai
kepadanya, dan Allah menurunkan sehubungan dengan peristiwa ini di dalam surat
Al-Fath secara lengkap. Allah menurunkan bagi mereka keringanan, yaitu mereka
diperbolehkan menyembelih hewan hadyu yang mereka bawa. Jumlah hewan hadyu yang
mereka bawa saat itu kurang lebih tujuh puluh ekor unta, lalu mereka mencukur
rambut mereka masing-masing dan diperintahkan untuk ber-tahallul dari ihram
mereka.
Maka pada saat itu juga Nabi Saw. memerintahkan kepada mereka untuk mencukur
rambut dan ber-tahallul dari ihramnya. Akan tetapi, pada mulanya mereka tidak
mau melakukannya karena menunggu adanya perintah nasakh. Maka terpaksa
Rasulullah Saw. keluar dan mencukur rambutnya, lalu orang-orang mengikuti
jejaknya; dan di antara mereka ada orang-orang yang hanya memotong rambutnya
saja, tidak mencukurnya. Karena itulah Nabi Saw. bersabda:
"رَحِم
اللَّهُ المُحَلِّقين". قَالُوا: وَالْمُقَصِّرِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ
فِي الثَّالِثَةِ: "وَالْمُقَصِّرِينَ"
"Semoga Allah merahmati orang-orang yang bercukur." Mereka berkata,
"Wahai Rasulullah, doakanlah pula buat orang-orang yang memotong rambutnya."
Pada yang ketiga kalinya baru Rasulullah Saw. berdoa, "Dan juga orang-orang
yang mencukur rambutnya."
Mereka bersekutu dalam penyembelihan hadyu mereka, setiap tujuh orang satu
ekor unta, sedangkan jumlah mereka seluruhnya ada seribu empat ratus orang.
Tempat mereka di Hudaibiyyah berada di luar Tanah Suci. Menurut pendapat yang
lain, bahkan mereka berada di pinggir kawasan Kota Suci.
Para ulama berselisih pendapat, apakah masalah boleh ber-tahallul di luar
Kota Suci ini khusus hanya menyangkut keadaan bila dikepung oleh musuh,
karenanya tidak boleh ber-tahallul kecuali hanya orang yang dikepung oleh musuh,
bukan karena faktor sakit atau faktor lainnya? Ada dua pendapat mengenai masalah
ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr
ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas, juga
dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tiada kepungan
kecuali karena kepungan musuh. Orang yang terkena sakit atau penyakitnya kambuh
atau tersesat, maka tiada dispensasi apa pun atas dirinya, karena sesungguhnya
Allah Swt. telah berfirman: Apabila kalian telah (merasa) aman.
(Al-Baqarah: 196) Maksud keadaan aman itu ialah bila tidak dikepung.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari
Ibnu Umar, Tawus, Az-Zuhri, dan Zaid ibnu Aslam. Pendapat yang kedua mengatakan, pengertian hasr (terkepung) lebih umum
daripada hanya sekadar dikepung musuh atau karena sakit atau karena tersesat
jalannya atau faktor lainnya yang sejenis.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا حَجَّاج بْنُ
الصوّافُ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ الْحَجَّاجِ
بْنِ عَمْرٍو الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وسلم يقول: "من كُسِر أَوْ عَرِج فَقَدْ حَلَّ، وَعَلَيْهِ حَجَّةٌ
أُخْرَى".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah
menceritakan kepada kami Hajjaj ibnus Sawwaf, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari
Ikrimah, dari Al-Hajjaj ibnu Amr Al-Ansari yang menceritakan bahwa ia pernah
mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang patah tulang atau sakit
atau pincang, maka sesungguhnya dia telah ber-tahallul, dan wajib atas dirinya
melakukan haji lagi.
Selanjutnya Ikrimah (tabi'in) mengatakan, lalu ia menceritakan hal ini kepada
Ibnu Abbas dan Abu Hurairah r.a. Keduanya mengatakan bahwa dia (yakni Al-Hajjaj
ibnu Amr Al-Ansari) memang benar.
Penulis kitab-kitab pokok hadis yang empat menceritakan hadis ini melalui
Yahya ibnu Abu Kasir dengan lafaz yang sama.
Menurut riwayat Abu Daud dan ibnu Majah disebutkan:
مَنْ
عَرَجَ أَوْ كُسر أَوْ مَرض
Barang siapa yang pincang (terkilir) atau patah tulang atau sakit.
Kemudian kalimat selanjutnya sama dengan hadis di atas, yakni semakna
dengannya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Arafah, dari Ismail ibnu
Ulayyah, dari Al-Hajjaj ibnu Abu Us'man As-Sawwaf dengan lafaz yang sama.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud,
Ibnuz Zubair, Alqamah, Sa'id ibnul Musayyab, Urwah ibnuz Zubair, Mujahid,
An-Nakha'i, Ata, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka mengatakan, "Yang
dimaksud dengan istilah ihsar ialah terhalang oleh musuh atau sakit atau patah
tulang."
As-Sauri mengatakan bahwa ihsar artinya segala sesuatu yang
mengganggu.
Di dalam hadis Sahihain disebutkan:
عَنْ
عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَل عَلَى
ضُبَاعة بِنْتِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، إِنِّي أُرِيدُ الْحَجَّ وَأَنَا شَاكِيَةٌ. فَقَالَ: "حُجِّي
وَاشْتَرِطِي: أنَّ مَحِلِّي حيثُ حبَسْتَني"
dari hadis Aisyah bahwa Rasulullah Saw. memasuki rumah Duba'ah binti Zubair
ibnu Abdul Muttalib, lalu Duba'ah berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
bermaksud menunaikan haji, sedangkan aku dalam keadaan sakit (sedang haid)."
Maka Rasulullah Saw. bersabda: Berhajilah kamu dan syaratkanlah dalam niatmu
bahwa tempat tahallul-ku sekiranya penyakit (haid) menahanku.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui Ibnu Abbas dengan lafaz yang
semisal. Maka berpendapatlah sebagian ulama bahwa sah mengadakan persyaratan
dalam niat haji karena berdasarkan hadis ini.
Imam Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii memberikan komentarnya, bahwa kebenaran
pendapat ini bergantung kepada kesahihan hadis yang dijadikan landasannya. Imam
Baihaqi dan lain-lainnya dari kalangan huffaz (orang-orang yang hafal hadis)
mengatakan bahwa hadis ini sahih.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَمَا
اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat.
(Al-Baqarah: 196)
Imam Malik meriwayatkan dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali
ibnu Abu Talib, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat.
(Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud dengan hewan kurban ialah seekor kambing.
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan hadyu ialah hewan jantan dan
hewan betina dari keempat jenis ternak, yaitu unta, sapi, kambing, dan
domba.
As-Sauri meriwayatkan dari Habib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka (wajiblah baginya menyembelih)
kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud ialah ternak
kambing.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata, Mujahid, Tawus, Abul Aliyah, Muhammad
ibnu Ali ibnul Husain, Abdur Rahman ibnul Qasim, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i,
Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. Pendapat
inilah yang dipegang oleh mazhab empat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj,
telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Yahya ibnu Sa'id, dari
Al-Qasim, dari Siti Aisyah dan Ibnu Umar; keduanya berpendapat sehubungan dengan
hewan kurban yang mudah didapat, bahwa yang dimaksud tiada lain adalah dua jenis
ternak, yaitu berupa unta dan sapi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Salim,
Al-Qasim, Urwah ibnuz Zubair, dan Sa'id ibnu Jubair.
Menurut kami, sandaran yang dijadikan pegangan mereka untuk memperkuat
pendapatnya ialah hadis yang mengisahkan peristiwa di Hudaibiyyah. Karena
sesungguhnya belum pernah dinukil oleh seorang pun di antara mereka bahwa Nabi
Saw. dalam tahallul-nya itu menyembelih kambing, melainkan yang disembelih oleh
mereka sebagai kurban ialah ternak unta dan sapi.
Di dalam kitab Sahihain, dari Jabir, disebutkan:
أَمَرَنَا
رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْتَرِكَ فِي الْإِبِلِ
وَالْبَقَرِ كُلُّ سَبْعَةٍ مِنَّا فِي بَقَرَةٍ
Rasulullah Saw. memerintahkan kami untuk bersekutu dalam kurban unta dan
sapi, tiap-tiap tujuh orang di antara kami satu ekor sapi.
Abdur Razzaq mengatakan bahwa Ma'mar menceritakan kepada kami, dari Ibnu
Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Maka
(wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Yang dimaksud ialah disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
Menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, "Jika orang yang bersangkutan adalah orang
kaya, maka ia termasuk ke dalam golongan kurban ternak unta. Dan jika dia bukan
orang kaya, ia termasuk ke dalam golongan kurban ternak sapi. Jika dia termasuk
golongan yang lebih rendah tingkatan ekonominya, hendaklah ia berkurban dengan
menyembelih seekor kambing."
Hisyam ibnu Urwah meriwayatkan dari ayahnya sehubungan dengan firman-Nya:
Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat.
(Al-Baqarah: 196) Sesungguhnya hal tersebut yang dijadikan standar ialah menurut
pasang surutnya harga antara murah dan mahalnya. Sebagai dalil yang membenarkan
pendapat jumhur ulama yang mengatakan cukup menyembelih kambing bila dalam
keadaan terkepung, bahwa Allah Swt. hanya memerintahkan menyembelih hewan kurban
yang mudah didapat, yakni berupa ternak apa pun selagi masih ada kategori hewan
hadyu, baik berupa unta, sapi, ataupun kambing.
Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a. Hal ini terbukti
di dalam kitab Sahihain melalui Siti Aisyah Ummul Muminin r.a. yang
menceritakan:
أهْدَى
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرة غَنَمًا
Nabi Saw. pernah sekali berkurban dengan menyembelih seekor domba.
************
{وَلا
تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ}
Dan jangan kalian mencukur kepala kalian sebelum kurban sampai di tempat
penyembelihannya. (Al-Baqarah: 196)
Jumlah ini di-'ataf-kan kepada firman-Nya:
{وَأَتِمُّوا
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ}
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah:
196)
Bukan di-'ataf-kan (dikaitkan) dengan firman-Nya:
{فَإِنْ
أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka
(sembelihlah) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Seperti apa yang diduga oleh Ibnu Jarir rahimahullah. Karena Nabi Saw.
bersama para sahabatnya pada tahun Hudaibiyah —yaitu ketika orang-orang kafir
Quraisy melarang mereka memasuki Tanah Suci— beliau Saw. bersama para sahabatnya
bercukur dan menyembelih hewan kurban mereka di luar Tanah Suci. Adapun dalam
keadaan aman dan telah sampai di Tanah Suci, tidak boleh baginya mencukur
rambutnya (yakni tidak boleh ber-tahallul) sebelum hewan kurban sampai di tempat
penyembelihannya. Orang yang berhaji telah selesai dari semua pekerjaan haji dan
umrahnya jika ia sebagai orang yang ber-qiran, atau setelah ia mengerjakan salah
satunya jika dia melakukan haji ifrad atau tamattu. Seperti yang disebutkan di
dalam kitab Sahihain melalui Siti Hafsah r.a. yang menceritakan:
يَا
رَسُولَ اللَّهِ، مَا شَأْنُ النَّاسِ حَلّوا مِنَ الْعُمْرَةِ، وَلَمْ تَحِلّ
أَنْتَ مِنْ عُمْرَتِكَ؟ فَقَالَ: "إِنِّي لَبَّدْتُ رَأْسِي وقلَّدت هَدْيي، فَلَا
أَحِلُّ حَتَّى أَنْحَرَ"
"Wahai Rasulullah, mengapa orang-orang ber-tahallul dari umrahnya, sedangkan
engkau sendiri tidak ber-tahallul dari umrah-mu?" Maka Nabi Saw. menjawab,
"Sesungguhnya aku telah meminyaki rambut kepalaku dan telah kukalungi hewan
kurbanku, maka aku tidak akan ber-tahallul sebelum menyembelih hewan
kurbanku."
***************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ
أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ}
Jika di antara kalian ada yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu
ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah
atau berkurban. (Al-Baqarah: 196)
قَالَ
الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ الْأَصْبَهَانِيِّ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَعْقل، قَالَ: فَعُدْتُ
إِلَى كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ -يَعْنِي مَسْجِدَ الْكُوفَةِ
-فَسَأَلْتُهُ عَنْ {فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ} فَقَالَ: حُملْتُ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ والقملُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِي. فَقَالَ:
"مَا كنتُ أرَى أَنَّ الجَهد بَلَغَ بِكَ هَذَا! أَمَا تَجِدُ شَاةً؟ " قُلْتُ:
لَا. قَالَ: "صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، لِكُلِّ
مِسْكِينٍ نِصْفُ صَاعٍ مِنْ طَعَامٍ، وَاحْلِقْ رَأْسَكَ". فَنَزَلَتْ فِيَّ
خَاصَّةً، وَهِيَ لَكُمْ عَامَّةً
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Adam, telah
menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abdur Rahman ibnul Asbahani, bahwa ia
pernah mendengar Abdullah ibnu Ma'qal bercerita, "Aku pernah duduk di dekat Ka'b
ibnu Ujrah di dalam masjid ini (yakni Masjid Kufah). Lalu aku bertanya kepadanya
tentang fidyah yang berupa melakukan puasa. Maka Ka'b ibnu Ujrah menjawab bahwa
ia berangkat untuk bergabung dengan Nabi Saw., sedangkan ketombe bertebaran di
wajahnya. Maka Nabi Saw. bersabda, 'Sebelumnya aku tidak menduga bahwa
kepayahan yang menimpamu sampai separah ini. Tidakkah kamu mempunyai
kambing?' Ia menjawab, 'Tidak.' Nabi Saw. bersabda, 'Puasalah tiga hari
atau berilah makan enam orang miskin, masing-masing orang sebanyak setengah sa’
makanan, dan cukurlah rambutmu itu.' (Selanjutnya ia berkata), Maka turunlah
ayat ini, berkenaan denganku secara khusus, tetapi maknanya umum mencakup kalian
semua'."
وَقَالَ
الْإِمَامُ أحمدُ: حَدَّثَنَا إسماعيلُ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَة قَالَ: أَتَى
عَلَيّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أُوقِدُ تَحْتَ
قِدْرٍ، والقَمْلُ يتناثَرُ عَلَى وَجْهِي -أَوْ قَالَ: حَاجِبِي -فَقَالَ:
"يُؤْذيك هَوَامُّ رَأْسِكَ؟ ". قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: "فَاحْلِقْهُ، وَصُمْ
ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، أَوِ انْسَكْ نَسِيكَةً".
قَالَ أَيُّوبُ: لَا أَدْرِي بِأَيَّتِهِنَّ بَدَأَ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah
menceritakan kepada kami Ayyub, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila,
dari Ka'b Ujrah yang menceritakan: Nabi Saw. datang kepadaku ketika aku sedang
menyalakan api untuk panci, dan ketombe bertebaran di wajahku, atau dia
mengatakan, "Di alisku." Maka Nabi Saw. bersabda, "Apakah penyakit yang ada
di kepalamu itu mengganggumu?" Aku menjawab, "Ya." Nabi Saw. bersabda,
"Maka cukurlah rambutmu itu dan puasalah tiga hari (sebagai fidyahnya), atau
berilah makan enam orang miskin, atau sembelihlah seekor hewan kurban."
Ayyub (salah seorang perawi hadis ini) mengatakan bahwa ia tidak mengetahui
manakah di antara semua fidyah itu yang disebutkan paling dahulu.
Imam Ahmad meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah
menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu
Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah yang menceritakan, "Ketika kami berada di Hudaibiyah
bersama Rasulullah Saw., sedangkan kami semuanya dalam keadaan berihram, dan
orang-orang musyrik telah mengepungnya. Tersebutlah bahwa rambutku sangat lebat,
maka ketombe bertebaran di wajahku (karena banyaknya). Lalu Nabi Saw. lewat di
dekatku. Beliau bersabda, 'Apakah penyakit di kepalamu itu menganggumu?'
Maka Nabi Saw. memerintahkan Ka'b ibnu Ujrah untuk bercukur." Selanjutnya Ka'b
ibnu Ujrah mengatakan bahwa lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya:
Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia
bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau
berkurban. (Al-Baqarah: 196)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Usman, dari Syu'bah, dari Abu Bisyr
(yaitu Ja'far ibnu Iyas) dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula dari Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Abdur Rahman ibnu Abu
Laila dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula dari Syu'bah, dari Daud, dari
Asy-Sya'bi, dari Ka'b ibnu Ujrah hal yang semisal. Imam Malik meriwayatkannya
dari Humaid ibnu Qais, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b
ibnu Ujrah, lalu Imam Malik menyebutkan hadis yang semisal.
Sa'd ibnu Ishaq ibnu Ka'b ibnu Ujrah meriwayatkan dari Aban ibnu Saleh, dari
Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah mendengar Ka'b ibnu Ujrah mengatakan, "Maka
aku menyembelih seekor kambing."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih, telah diriwayatkan pula
melalui hadis Umar ibnu Qais —dia orangnya daif— dari Ata, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
النُّسُكُ
شَاةٌ، وَالصِّيَامُ ثَلَاثَةُ أَيَّامِ، وَالطَّعَامُ فَرَق، بَيْنَ
سِتَّةٍ"
Nusuk artinya menyembelih kambing, dan puasa adalah selama tiga hari,
sedangkan memberi makan ialah dibagikan di antara enam orang (miskin).
Hal yang sama diriwayatkan dari Ali, Muhammad ibnu Ka'b, Alqamah, Ibrahim,
Mujahid, Ata, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، أَخْبَرَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ: أَنَّ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ حَدَّثَهُ عَنْ عَبْدِ
الْكَرِيمِ بْنِ مَالِكٍ الجَزَري، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
أَبِي لَيْلَى، عَنْ كعب ابن عُجْرة: أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَآذَاهُ القَمْل فِي رَأْسِهِ، فَأَمَرَهُ رسولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَحْلِقَ رَأْسَهُ، وَقَالَ: "صُمْ
ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، مُدّين مُدَّيْنِ لِكُلِّ
إِنْسَانٍ، أَوِ انسُك شَاةً، أيَّ ذَلِكَ فعلتَ أَجْزَأَ عَنْكَ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul
A'la, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Wahb, bahwa Malik ibnu Anas
pernah menceritakan hadis kepa-danya, dari Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari,
dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah yang
menceritakan bahwa ia pernah bersama Rasulullah Saw., lalu terganggu oleh
banyaknya ketombe di kepalanya. Maka Nabi Saw. memerintahkan agar ia mencukur
rambutnya dan bersabda: Berpuasalah tiga hari, atau berilah makan enam orang
miskin dua mud-dua mud perorangnya, atau sembelihlah seekor kambing. Mana saja
di antaranya yang kamu kerjakan, maka hal itu sudah cukup sebagai
fidyahmu.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Lais ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Maka wajiblah atasnya
berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196)
Ibnu Abbas mengatakan, apabila huruf 'ataf yang dipakai adalah au,
maka mana saja yang kamu ambil, hal itu sudah mencukupi fidyah-mu.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Ata, Tawus, Al-Hasan,
Humaid Al-A'raj, Ibrahim An-Nakha'i, dan Ad-Dahhak, lalu disebutkan hal yang
semisal.
Menurut kami, pendapat mazhab Imam yang empat serta mayoritas ulama merupakan
pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran. Mereka mengatakan bahwa dalam hal
ini orang yang bersangkutan diperbolehkan memilih salah satu di antara puasa,
atau menyedekahkan satu farq makanan, yaitu tiga sa' untuk setiap orang miskin
—setengah sa' yakni dua mud— atau menyembelih seekor kurban, lalu menyedekahkan
dagingnya kepada fakir miskin. Mana saja yang ia pilih sudah cukup baginya,
mengingat ungkapan Al-Qur'an dalam menjelaskan suatu keringanan, yang
didahulukannya adalah yang paling mudah, seperti yang disebutkan di dalam
firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah
atau berkurban. (Al-Baqarah: 196)
Akan tetapi, ketika Nabi Saw. memerintahkan hal tersebut kepada Ka'b ibnu
Ujrah, beliau memberinya petunjuk kepada yang paling utama lebih dahulu,
kemudian baru yang utama. Untuk itu beliau Saw. bersabda: Sembelihlah seekor
kambing, atau berilah makan enam orang miskin, atau berpuasalah tiga
hari.
Maka masing-masing dinilai baik bila disesuaikan dengan kondisi orang yang
bersangkutan.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ayyasy, bahwa Al-A'masy pernah
menceritakan bahwa Ibrahim pernah bertanya kepada Sa'id ibnu Jubair tentang ayat
berikut, yaitu firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa
atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) Maka Sa'id ibnu Jubair
menjawab dengan suatu jawaban yang menjadikan makanan sebagai tolok ukurnya.
Jika dia mempunyai kemampuan untuk membeli seekor kambing, hendaklah ia membeli
seekor kambing. Jika kambing tidak ada, maka harga kambing ditaksir, lalu
jumlahnya diberikan berupa makanan untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Jika
ia tidak mempunyai uang, hendaklah ia berpuasa, untuk setengah sa’ ganti dengan
puasa satu hari (hingga jumlah hari-hari yang dipuasainya berjumlah enam
hari).
Selanjutnya Ibrahim mengatakan bahwa hal yang sama telah kudengar pula dari
Alqamah. Alqamah menceritakan, "Ketika Sa'id Ibnu Jubair berkata kepadaku,
'Siapakah orang ini? Alangkah gantengnya!' Maka kujawab, 'Dia adalah Ibrahim.'
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, 'Alangkah gantengnya dia duduk bersama kita.' Lalu
aku ceritakan kepada Ibrahim hal itu. Ketika kuceritakan kepadanya apa yang
dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, maka Ibrahim pergi dari majelis itu."
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Imran,
telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Mu'az, dari ayahnya, dari Asy'as,
dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka wajiblah atasnya
berfidyah, yaiiu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah:
196)
Ia mengatakan, "Apabila orang yang sedang ihram mengalami gangguan di
kepalanya, ia boleh bercukur dan membayar fidyah dengan salah satu di antara
ketiga perkara ini menurut apa yang disukainya. Kalau puasa sebanyak sepuluh
hari, kalau sedekah memberi makan sepuluh orang miskin dengan ketentuan tiap
orang miskin sebanyak dua Makkuk' (1 Makkuk l.k 3,264 kg.
–pen) yaitu satu Makkuk berupa kurma, sedangkan satu Makkuk lainnya
berupa jewawut. Sedangkan yang dimaksud dengan nusuk ialah menyembelih kurban,
berupa seekor kambing.
Qatadah meriwayatkan dari Al-Hasan dan Ikrimah sehubungan dengan firman-Nya:
Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau
berkurban. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud dengan sedekah ialah memberi
makan sepuluh orang miskin.
Kedua pendapat ini —yaitu yang bersumber dari Sa'id ibnu Jubair dan Alqamah
serta Al-Hasan dan Ikrimah— merupakan dua pendapat yang aneh, keduanya masih
perlu dipertimbangkan. Karena telah disebutkan oleh sunnah melalui hadis Ka'b
ibnu Ujrah bahwa puasa itu adalah tiga hari, bukan enam hari; dan memberi makan
adalah kepada enam orang miskin, nusuk artinya menyembelih seekor
kambing. Hal tersebut atas dasar takhyir (boleh memilih salah satu di
antaranya), seperti yang ditunjukkan oleh konteks ayat Al-Qur'an. Adapun
mengenai tartib (urutan), hal ini hanyalah dikenal dalam masalah membunuh
binatang buruan, seperti yang disebutkan di dalam nas Al-Qur'an dan telah
disepakati oleh semua ahli fiqih, lain halnya dengan masalah ini.
Hisyam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Lais, dari Tawus, bahwa ia
selalu mengatakan sehubungan dengan masalah dam atau memberi makan; hal
itu dilaksanakan di Mekah. Sedangkan yang menyangkut puasa boleh dilakukan di
mana saja menurut apa yang disukai oleh orang yang bersangkutan. Hal yang sama
dikatakan pula oleh Mujahid, Ata, dan Al-Hasan.
Hisyam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj dan Abdul Malik
serta selain keduanya, dari Ata. Ia acapkali mengatakan bahwa masalah apa saja
yang menyangkut dam dilaksanakan di Mekah, sedangkan apa saja yang
menyangkut memberi makan atau puasa dilaksanakan menurut kehendak orang yang
bersangkutan.
Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari
Ya'qub ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Abu Asma maula Ibnu Ja'far
yang menceritakan bahwa Usman ibnu Affan pernah berhaji ditemani oleh Ali dan
Al-Husain ibnu Ali. Usman berangkat lebih dulu. Abu Asma' melanjutkan kisahnya,
bahwa ia bersama Ibnu Ja'far, "Tiba-tiba kami bersua dengan seorang lelaki yang
sedang tidur, sedangkan unta kendaraannya berada di dekat kepalanya, lalu aku
(Abu Asma) berkata, 'Hai orang yang sedang tidur.' Lelaki itu bangun, dan
ternyata dia adalah Al-Husain ibnu Ali. Lalu Ibnu Ja'far membawanya sampai
datang ke tempat air. Kemudian dikirimkan seorang utusan untuk menemui Ali yang
saat itu sedang bersama Asma binti Umais. Maka kami merawat Al-Husain ibnu Ali
selama kurang lebih dua puluh malam. Lalu Ali bertanya kepada Al-Husain, 'Apakah
sakit yang kamu rasakan?' Al-Husain mengisyaratkan dengan tangannya ke
kepalanya. Maka Ali memerintahkan agar rambut Al-Husain dicukur, kemudian Ali
meminta didatangkan seekor unta, lalu ia menyembelihnya."
Jika unta kurban ini sebagai fidyah dari bercukur, berarti Ali menyembelihnya
di luar kota Mekah. Tetapi jika sebagai fidyah dari tahallul, maka masalahnya
sudah jelas.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا
أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ
الْهَدْيِ}
Apabila kalian telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan
umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang
mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Dengan kata lain, apabila kalian mampu untuk menunaikan manasik, tanpa
hambatan apa pun, sedangkan di antara kalian ada yang ingin melakukan
tamattu' dengan mengerjakan umrah dahulu sebelum ibadah haji tiba
waktunya.
Pengertian tamattu' di sini mencakup orang yang berihram untuk keduanya atau
berihram untuk umrah lebih dahulu, setelah selesai dari umrah baru berihram lagi
untuk haji. Demikianlah pengertian tamattu' secara khusus yang telah terkenal di
kalangan para ahli fiqih. Sedangkan pengertian tamattu secara umum mencakup
keduanya, seperti yang ditunjukkan oleh hadis-hadis sahih. Karena sesungguhnya
di antara perawi ada yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. ber-tamattu',
sedangkan yang lainnya mengatakan ber-qiran, tetapi di antara keduanya tidak ada
perbedaan dalam masalah bahwa Nabi Saw. membawa hewan hadyunya.
**************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ
الْهَدْيِ}
Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan
haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah:
196)
Dengan kata lain, hendaklah ia menyembelih kurban yang mudah didapat baginya,
minimal seekor kambing. Tetapi diperbolehkan baginya menyembelih seekor sapi,
karena Rasulullah Saw. sendiri menyembelih sapi untuk dam istri-istrinya. Al-Auza'i meriwayatkan dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Salamah, dari
sahabat Abu Hurairah r.a.:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَبَحَ بَقَرَةً عَنْ
نِسَائِهِ، وَكُنْ مُتَمَتِّعَاتٍ.
Bahwa Rasulullah Saw. menyembelih seekor sapi untuk (dam) istri-istrinya,
karena mereka semuanya melakukan tamattu'.
Hadis riwayat Abu Bakar ibnu Murdawaih.
Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa tamattu' itu
disyariatkan, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Imran ibnu
Husain yang mengatakan, "Ayat tamattu' telah diturunkan di dalam Kitabullah dan
kami mengerjakannya bersama-sama Rasulullah Saw. Kemudian tidak ada wahyu lagi
yang turun mengharamkannya serta Nabi Saw. tidak melarangnya pula hingga beliau
wafat."
Akan tetapi, ada seorang lelaki yang berpendapat menurut kehendaknya sendiri.
Imam Bukhari mengatakan bahwa lelaki itu adalah sahabat Umar. Apa yang dikatakan
oleh Imam Bukhari ini telah disebutkan dengan jelas, bahwa Umar pernah melarang
orang-orang melakukan tamattu'. Ia mengatakan bahwa kita harus memegang
Kitabullah, karena sesungguhnya Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk
melakukannya dengan sempurna. Yang dimaksud adalah firman-Nya: Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Tetapi
pada kenyataannya Umar r.a. tidak melarang orang yang berihram dengan tamattu'.
Sesungguhnya dia melarangnya hanya untuk tujuan agar orang-orang yang ziarah ke
Baitullah bertambah banyak, ada yang melakukan haji dan ada yang berumrah,
seperti yang telah dijelaskannya sendiri.
************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ
تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ}
Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. (Al-Baqarah:
196)
Allah Swt. berfirman, "Barang siapa yang tidak dapat menemukan binatang
kurban, hendaklah ia puasa tiga hari dalam hari-hari haji, yakni di hari-hari
manasik."
Menurut ulama, hal yang paling utama hendaknya puasa dilakukan sebelum hari
Arafah, yaitu pada tanggal sepuluh. Demikianlah menurut Ata. Atau sejak dia
melakukan ihram (untuk hajinya), menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, karena
berdasarkan sabda Nabi Saw. dalam ibadah hajinya. Di antara mereka ada yang
memperbolehkan melakukan puasa sejak dari permulaan bulan Syawwal. Demikianlah
menurut Tawus, Mujahid, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Asy-Sya'bi memperbolehkan berpuasa pada hari Arafah dan dua hari sebelumnya.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, As-Saddi, Ata,
Tawus, Al-Hakam, Al-Hasan, Hammad, Ibrahim, Abu Ja'far Al-Baqir, Ar-Rabi', dan
Muqatil ibnu Hayyan.
Al-Aufi mengatakan dari Ibnu Abbas, "Apabila seseorang tidak dapat menemukan
hadyu, hendaklah ia puasa tiga hari dalam hari-hari haji sebelum hari Arafah.
Untuk itu apabila jatuh hari yang ketiga dari Arafah, maka puasanya harus sudah
selesai. Ia juga harus puasa tujuh hari setelah pulang ke tanah airnya."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Ishaq, dari Wabrah, dari Ibnu Umar
yang mengatakan bahwa orang yang bersangkutan hendaknya memulai puasanya sehari
sebelum hari Tarwih, kemudian hari Tarwih, dan yang terakhir pada hari
Arafahnya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari
Ali.
Sekiranya orang yang bersangkutan tidak melakukan puasanya pada hari-hari
haji atau tidak melakukan sebagiannya sebelum hari Raya Adha, bolehkah ia
melakukan puasanya itu pada hari-hari Tasyriq?
Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat di kalangan para ulama,
kedua-duanya diketengahkan pula oleh Imam Syafii. Menurut qaul qadim-nya, orang
yang bersangkutan boleh melakukan puasanya pada hari-hari Tasyriq. Karena
berdasarkan kepada ucapan Siti Aisyah dan Ibnu Umar yang terdapat di dalam kitab
Sahih Bukhari, yaitu bahwa Nabi Saw. tidak memperbolehkan melakukan puasa di
hari-hari Tasyriq kecuali bagi orang yang tidak menemukan hadyu (hewan
kurban).
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Malik, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari
Aisyah, juga dari Salim, dari Ibnu Umar. Memang telah diriwayatkan dari keduanya
(Siti Aisyah dan Ibnu Umar) melalui banyak jalur.
Sufyan meriwayatkannya dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali r.a.
yang mengatakan, "Barang siapa yang kelewat waktunya hingga tidak melakukan
puasa tiga hari pada hari-hari haji, maka ia harus melakukannya pada hari-hari
Tasyriq."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ubaid ibnu Umair Al-Laisi, dari Ikrimah dan
Al-Hasan Al-Basri serta Urwah ibnuz Zubair. Sesungguhnya mereka mengatakan demikian karena keumuman makna yang terkandung
di dalam firman-Nya: maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji.
(Al-Baqarah: 196)
Sedangkan menurut qaul jadid, ia tidak boleh melakukan puasa pada hari-hari
Tasyriq, karena berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
melalui Qutaibah Al-Huzali r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"أَيَّامُ
التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ"
Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir kepada
Allah Swt.
**********
Firman Allah Swt.:
{وَسَبْعَةٍ
إِذَا رَجَعْتُمْ}
dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali.
(Al-Baqarah: 196)
Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat. Salah satunya mengatakan,
yang dimaksud dengan iza raja'tum ialah apabila kalian kembali ke
perjalanan pulang kalian. Karena itulah Mujahid mengatakan bahwa puasa tujuh
hari ini merupakan rukhsah. Untuk itu apabila orang yang bersangkutan ingin
melakukannya dalam perjalanan pulangnya, ia boleh melakukannya. Hal yang sama
dikatakan pula oleh Ata ibnu Abu Rabah.
Pendapat kedua mengatakan, yang dimaksud dengan iza raja'tum ialah
apabila kalian kembali ke tanah air kalian, yakni kalian telah berada di negeri
tempat tinggal kalian sendiri.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Yahya
ibnu Sa'id, dari Salim, bahwa ia pernah mendengar ibnu Umar berkata sehubungan
dengan makna firman-Nya: Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau
tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
(lagi) apabila kalian telah pulang kembali. (Al-Baqarah: 196) Makna yang
dimaksud ialah bila orang yang bersangkutan telah kembali ke tempat keluarganya
(tanah airnya).
Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah,
Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Abu
Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang telah
disepakati.
قَالَ
الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَير، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ
عُقَيل، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ
قَالَ: تَمَتَّعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّة
الْوَدَاعِ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ وَأَهْدَى فَسَاقَ مَعَهُ الهَدْي مِنْ
ذِي الحُلَيفة، وَبَدَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فأهلَّ
بِالْعُمْرَةِ، ثُمَّ أهلَّ بِالْحَجِّ، فَتَمَتَّعَ النَّاسُ مَعَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ. فَكَانَ مِنَ
النَّاسِ مَنْ أَهْدَى فَسَاقَ الهَدْي، وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يُهْد. فَلَمَّا
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ قَالَ لِلنَّاسِ:
"مَنْ كَانَ مِنْكُمْ أَهْدَى فَإِنَّهُ لَا يَحل لِشَيْءٍ حَرُم مِنْهُ حتَى
يَقْضِيَ حَجّه، ومَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَهْدَى فَلْيَطُفْ بِالْبَيْتِ
وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَلْيُقَصِّر وليَحللْ ثُمَّ ليُهِلّ بِالْحَجِّ،
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ هَدْيًا فليصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةً
إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ". وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيثِ
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair,
telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Salim
ibnu Abdullah, bahwa Ibnu Umar pernah menceritakan: Rasulullah Saw. melakukan
tamattu' dalam haji wada'-nya dengan melakukan umrah sebelum ibadah haji, lalu
beliau menyembelih hewan kurbannya. Untuk itu beliau membawa hewan hadyu
(kurban) dari Zul Hulaifah, kemudian beliau berihram untuk ibadah umrahnya.
Sesudah ilu baru beliau berihram untuk ibadah hajinya. Maka orang-orang pun ikut
ber-tamattu' bersama-sama Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. memulai pekerjaannya
dengan ibadah umrah sebelum haji. Sedangkan di kalangan orang-orang ada yang
berkurban, ia membawa hewan kurbannya; dan di antara mereka ada yang tidak
berkurban. Ketika Nabi Saw. tiba di Mekah, maka beliau bersabda kepada
orang-orang, "Barang siapa di antara kalian mempunyai hewan kurban, maka
tidak halal baginya melakukan sesuatu pun yang diharamkan atas dirinya sebelum
menyelesaikan hajinya. Barang siapa di antara kalian tidak membawa hadyunya
(hewan kurban-nya), hendaklah ia melakukan tawaf di Baitullah, dan sa'i di
antara Safa dan Marwah serta memotong rambut dan ber-tahallul. Setelah itu
hendaklah ia berihram lagi untuk ibadah hajinya. Barang siapa yang tidak
menemukan hewan kurban, hendaklah ia berpuasa selama tiga hari dalam masa haji
dan tujuh hari lagi apabila ia telah kembali kepada keluarganya. Hingga
akhir hadis.
Az-Zuhri mengatakan, telah menceritakan kepadaku Urwah, dari Siti Aisyah r.a.
hal yang semisal dengan apa yang telah diceritakan kepadaku oleh Salim, dari
ayahnya. Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Az-Zuhri
dengan lafaz yang sama.
************
Firman Allah Swt.:
{تِلْكَ
عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ}
Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. (Al-Baqarah: 196)
Menurut suatu pendapat, kalimat ayat ini merupakan taukid (yang menguatkan
makna kalimat sebelumnya). Perihalnya sama dengan kata-kata orang Arab, "Aku
melihat dengan kedua mataku sendiri, dan aku mendengar dengan kedua telingaku
sendiri, aku tulis dengan tanganku ini." Dan sama dengan makna yang terkandung
di dalam firman-Nya:
وَلا
طائِرٍ يَطِيرُ بِجَناحَيْهِ
dan tiada burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya. (Al-An'am:
38)
وَلا
تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ
dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu.
(Al-'Ankabut: 48)
Adapun firman Allah Swt.:
وَواعَدْنا
مُوسى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْناها بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقاتُ رَبِّهِ
أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu
waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh
(malam lagi), maka sempurnakanlah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat
puluh (malam lagi). (Al-A'raf: 142)
Menurut pendapat yang lain, makna 'Kamilah' yang terkandung di dalam
ayat ini ialah perintah untuk menyelesaikannya dengan sempurna. Pendapat ini
dipilih oleh Ibnu Jarir.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah cukup sebagai ganti
menyembelih hewan kurban. Hisyam meriwayatkan dari Abbad ibnu Rasyid, dari
Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna firman-Nya: Itulah sepuluh hari
yang sempurna. (Al-Baqarah: 196) Yakni sudah cukup sebagai ganti menyembelih
hewan kurban.
***************
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ
لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ}
Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya
tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (bukan penduduk Mekah).
(Al-Baqarah: 196)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ahli takwil berbeda pendapat sehubungan dengan
orang yang dimaksud di dalam firman-Nya: bagi orang-orang yang keluarganya
tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (bukan penduduk Mekah).
(Al-Baqarah: 196) Padahal mereka telah sepakat bahwa yang dimaksud ialah
penduduk kota Mekah. Tidak ada tamattu'' bagi mereka. Sebagian dari mereka
berpendapat bahwa yang dimaksud ialah hanya khusus bagi penduduk kota Mekah,
bukan selainnya.
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami
Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan (yakni As-Sauri) yang
menceritakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Yang dimaksud dengan mereka
(dalam ayat ini) adalah penduduk kota Mekah." Hal yang sama diriwayatkan pula
oleh Ibnul Mubarak, dari As-Sauri.
Jama'ah menambahkan dalam riwayatnya, dan Qatadah mengatakan bahwa Ibnu Abbas
pernah mengatakan, "Hai penduduk Mekah, tiada tamattu' bagi kalian. Tamattu'
hanya dihalalkan bagi penduduk negeri-negeri lain dan diharamkan atas kalian.
Sesungguhnya seseorang dari kalian hanya tinggal menempuh sebuah lembah, atau
dia menjadikan antara dirinya dan Tanah Suci sebuah lembah, kemudian ia berihram
untuk umrahnya."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu
Tawus, dari ayahnya yang mengatakan bahwa tamattu' hanya diperbolehkan bagi
orang-orang lain, bukan untuk penduduk Mekah, yaitu bagi orang yang keluarganya
tidak berada di sekitar Tanah Suci. Demikianlah menurut apa yang disebutkan di
dalam firman-Nya: Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang
yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram. (Al-Baqarah:
196)
Abdur Razzaq mengatakan, telah sampai kepadanya dari Ibnu Abbas pendapat yang
semisal dengan apa yang dikatakan oleh Tawus. Ulama lainnya mengatakan bahwa mereka adalah penduduk Tanah Suci dan daerah
sekitarnya yang masih berada di antara Mekah dan miqat. Seperti yang dikatakan
oleh Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ata yang
mengatakan, "Barang siapa yang keluarganya berada sebelum miqat (dari Mekah),
maka kedudukannya sama dengan penduduk Mekah, yakni tidak boleh melakukan
tamattu"
Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Yazid, dari
Jabir, dari Makhul sehubungan dengan makna firman-Nya: Demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di
sekitar) Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 196) Makna yang dimaksud ialah orang
yang tempat tinggalnya masih berada di dalam lingkungan miqat.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata sehubungan dengan makna firman-Nya:
Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya
tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud
ialah Arafah, Muzdalifah, Urnah, dan Ar-Raji'.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, bahwa ia
pernah mendengar Az-Zuhri mengatakan, "Barang siapa yang keluarganya berada
dalam jarak perjalanan kurang lebih satu hari dari Mekah, maka ia boleh
ber-tamattu'." Menurut riwayat yang lain darinya mengatakan perjalanan dua hari
dari Mekah.
Ibnu Jarir sehubungan dengan masalah ini memilih mazhab Imam Syafii yang
mengatakan bahwa mereka adalah penduduk kota Mekah dan orang-orang yang tinggal
dalam jarak tidak diperbolehkan melakukan qasar dari Kota Suci, karena
sesungguhnya orang yang tempat tinggalnya sejauh itu masih termasuk ke dalam
pengertian hadir, bukan musafir.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُوا
اللَّهَ}
Dan bertakwalah kepada Allah. (Al-Baqarah: 196)
Yaitu dalam mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya kepada kalian dan apa yang
dilarang-Nya terhadap kalian.
{وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ}
Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (Al-Baqarah:
196)
Yakni terhadap orang yang menentang perintah-Nya dan mengerjakan hal-hal yang
dilarang ia melakukannya
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 196"
Posting Komentar