Al-Baqoroh Ayat 178-179
Senin, 14 Mei 2018
Add Comment
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ
بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ
أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ
تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ
أَلِيمٌ (178) وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ (179) }
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa
yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam
qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang yang
berakal, supaya kalian bertakwa.
Allah Swt. berfirman, "Telah diharuskan atas kalian berbuat adil dalam hukum
qisas, hai orang-orang mukmin; orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan
budak, dan wanita dengan wanita; janganlah kalian melampaui batas dan jangan
pula kalian berbuat aniaya, sebagaimana orang-orang sebelum kalian berbuat
kelewat batas karena mereka mengubah hukum Allah yang berkaitan dengan qisas."
Penyebabnya ialah Bani Quraizz dan Bani Nadir. Di masa Jahiliah Bani Nadir
berperang melawan Bani Quraizz dan dapat mengalahkan mereka. Tersebutlah bahwa
apabila seorang dari Bani Nadir membunuh seorang dari Bani Quraizz, maka si
pembunuh tidak dikenakan hukum balasan, melainkan hanya membayar tebusan berupa
seratus wasaq kurma. Tetapi apabila seorang Quraizz membunuh seorang Nadir, maka
tebusannya dua kali lipat, yaitu dua ratus wasaq kurma; jika tidak, ia akan
dikenakan hukuman qisas (dibunuh lagi). Maka Allah memerintahkan agar keadilan
ditegakkan dalam hukum qisas, tidak boleh mengikuti jalan orang-orang yang
merusak lagi menyimpang dan menentang hukum-hukum Allah di kalangan mereka
karena ingkar dan melampaui batas. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ
وَالأنْثَى بِالأنْثَى}
Diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh;
orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. (Al-Baqarah: 178)
Mengenai asbabun nuzul ayat ini, menurut riwayat Imam Abu Muhammad ibnu Abu
Hatim disebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan
kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku
Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id
ibnu Jubair sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.
(Al-Baqarah: 178) Yakni jika kasus pembunuhan terjadi dengan sengaja, maka
ketentuan hukumnya ialah orang merdeka dengan orang merdeka. Demikian itu karena
ada dua kabilah dari kalangan orang-orang Arab saling berperang di zaman
Jahiliah yang mendekati zaman Islam dalam jangka waktu yang tidak begitu lama.
Dahulu di antara mereka terjadi pembunuhan dan pelukaan, yang terbunuh termasuk
budak-budak dan kaum wanita. Maka sebagian dari mereka belum sempat menuntut
sebagian yang lain hingga mereka masuk Islam semuanya. Salah satu dari kedua
belah pihak mempunyai keunggulan atas pihak lain yang menjadi lawannya dalam hal
persenjataan dan harta benda (perbekalan). Mereka bersumpah bahwa mereka tidak
rela sebelum orang merdeka dari kalangan musuhnya dibunuh karena membunuh budak
dari kalangan mereka, dan seorang lelaki dari kalangan musuh dibunuh karena
membunuh seorang wanita dari kalangan mereka. Berkenaan dengan mereka itu
turunlah firman-Nya: Orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak,
dan wanita dengan wanita. (Al-Baqarah: 178) Sebagian dari kandungan ayat ini
ada yang di-mansukh dengan ayat yang menyatakan, "Jiwa dengan jiwa."
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: wanita (dihukum mati) karena (membunuh) wanita. (Al-Baqarah:
178) Demikian itu membuat mereka tidak menghukum mati lelaki karena membunuh
wanita. Mereka hanya membunuh lelaki karena membunuh lelaki lainnya, dan wanita
dibunuh karena membunuh wanita lainnya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata. (Al-Maidah: 45)
Dengan demikian, orang-orang yang merdeka dijadikan sama dalam hukum qisas
dalam kasus pembunuhan yang terjadi di antara sesama mereka dengan sengaja; kaum
lelaki dan kaum wanitanya dalam kasus jiwa dan pelukaan diberlakukan sama, tanpa
membedakan jenis kelamin. Budak-budak dijadikan sama di antara sesama mereka
dalam kasus pembunuhan yang disengaja, demikian pula dalam kasus pelukaan di
antara kaum lelaki dan kaum wanitanya.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Abu Malik, bahwa ayat ini di-mansukh
oleh firman-Nya: jiwa (dibalas) dengan jiwa. (Al-Maidah: 45)Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang merdeka dihukum mati karena membunuh
budak, berdasarkan keumuman makna ayat surat Al-Maidah (ayat 45). Pendapat ini
diikuti oleh As-Sauri, Ibnu Abu Laila, dan Daud. Pendapat inilah yang
diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Sa'id ibnul Musayyab, Ibrahim An-Nakha'i,
Qatadah, dan Al-Hakam.
Imam Bukhari, Ali ibnul Madini, Ibrahim An-Nakha'i, dan As-Sauri menurut
salah satu riwayat darinya mengatakan bahwa seorang tuan pemilik budak dihukum
mati karena membunuh budaknya, karena keumuman makna hadis Al-Hasan dari Samurah
yang mengatakan:
"مَنْ
قَتَلَ عَبْدَهُ قَتَلْنَاهُ، وَمَنْ جَذَعَهُ جَذَعْنَاهُ، وَمَنْ خَصَاهُ
خَصَيْنَاهُ"
Barang siapa yang membunuh budaknya, maka kami bunuh pula dia; dan barang
siapa yang memotong hidung budaknya, maka kami potong pula hidungnya; dan barang
siapa yang mengebiri budaknya, maka kami kebiri pula ia.
Akan tetapi, jumhur ulama berbeda pendapat dengan mereka. Jumhur ulama
mengatakan bahwa orang merdeka tidak dihukum mati karena membunuh budak, karena
budak kedudukannya sama dengan barang dagangan; sekiranya seorang budak dibunuh
secara keliru (tidak sengaja), maka tidak wajib diat dalam kasusnya, melainkan
yang wajib hanyalah membayar harga budak tersebut. Demikian pula halnya dalam
kasus pemotongan anggota tubuh, tidak ada hukum balasan; terlebih lagi terhadap
jiwa, tidak ada hukuman qisas bagi orang merdeka yang melakukannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang muslim tidak dihukum mati karena
membunuh orang kafir, berdasarkan sebuah hadis sahih yang diketengahkan oleh
Imam Bukhari melalui sahabat Ali r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
"لَا
يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ"
Orang muslim tidak dihukum mati karena (membunuh) orang kafir.
Tidak ada suatu hadis atau asar sahih pun yang bertentangan dengan makna
hadis ini.
Akan tetapi, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang muslim tetap dihukum
mati karena membunuh orang kafir, karena keumuman surat Al-Maidah ayat 45.
Al-Hasan dan Ata mengatakan bahwa seorang lelaki tidak dihukum mati karena
membunuh seorang wanita, berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 178. Berbeda dengan
jumhur ulama, mereka berpendapat sebaliknya karena berdasarkan surat Al-Maidah
ayat 45. Juga berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:
"الْمُسْلِمُونَ
تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ"
Orang-orang muslim itu, darah mereka sebanding (satu sama
lainnya).
Al-Lais mengatakan, sekiranya seorang suami membunuh istrinya, maka si suami
tidak dikenai hukuman mati hanya karena membunuh istrinya.
Mazhab keempat Imam dan jumhur ulama mengatakan bahwa sejumlah orang-orang
terkena hukuman mati semuanya karena membunuh satu orang. Khalifah Umar r.a.
pernah berkata dalam kasus seorang pelayan yang dibunuh oleh tujuh orang,
"Seandainya semua penduduk San'a ikut mengeroyoknya, niscaya aku hukum mati
mereka semuanya." Ternyata di masanya itu tidak ada seorang sahabat pun yang
menentang pendapatnya; yang demikian itu sama kedudukannya dengan ijma'
(kesepakatan).
Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad sebuah riwayat yang menyatakan bahwa suatu
jamaah tidak dibunuh karena hanya membunuh satu orang, dan tidaklah suatu jiwa
itu dihukum mati kecuali karena membunuh satu jiwa lainnya. Pendapat ini
diriwayatkan oleh Ibnul Munzir, dari Mu'az dan Ibnuz Zubair, Abdul Malik ibnu
Marwan, Az-Zuhri, Ibnu Sirin, dan Habib ibnu Abu Sabit. Kemudian Ibnul Munzir
mengatakan bahwa sanad riwayat ini lebih sahih, dan tidak ada hujah bagi orang
yang membolehkan menghukum mati suatu jamaah karena hanya membunuh satu orang.
Sesungguhnya terbukti adanya suatu riwayat dari Ibnuz Zubair yang menentang
pendapat pertama tadi. Untuk itu apabila para sahabat berbeda pendapat, maka
jalan keluarnya ialah mempertirnbangkannya.
************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ
بِإِحْسَانٍ}
Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dimaafkan)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
(Al-Baqarah: 178)
Mujahid mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya.
(Al-Baqarah: 178) Yakni konsekuensi memberi maaf dalam kasus pembunuhan secara
sengaja ialah menerima pembayaran diat.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Abul Aliyah, Abusy Sya'sa, Mujahid,
Sa'id ibnu Jubair, Ata, Al-Hasan, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya.
(Al-Baqarah: 178) Bahwa barang siapa yang diberi suatu pemaafan dari saudaranya,
yakni saudaranya memilih mengambil diat sesudah berhak menuntut darah, yang
demikian itulah yang dimaksud dengan pemaafan. Selanjutnya disebutkan:
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik. (Al-Baqarah:
178) Dengan kata lain, pihak si penuntut hendaklah mengikuti cara yang baik bila
ia menerima diat, yakni jangan mempersulit dan mengada-ada. dan hendaklah
(yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang
baik (pula). (Al-Baqarah: 178) Yakni hendaklah si pembunuh membayar diat-nya
tanpa membahayakan dirinya, juga tidak boleh menolak.
Telah diriwayatkan oleh Imam Hakim melalui hadis Sufyan, dari Amr, dari
Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah hendaklah orang yang
diberi maaf menunaikan apa yang diminta pihak si terbunuh dengan cara yang baik.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Abusy Sya'sa, Jabir ibnu
Zaid, Al-Hasan, Qatadah, Ata Al-Khurra-sani, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan
Muqatil ibnu Hayyan.
Imam Malik mengatakan di dalam riwayat Ibnul Qasim darinya, yang merupakan
pendapat yang terkenal di kalangan mazhabnya. Begitu pula Imam Abu Hanifah dan
murid-muridnya, juga Imam Syafii dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya,
bahwa pihak wali darah tidak mempunyai hak memberi maaf dengan imbalan diat,
kecuali dengan kerelaan dari pihak si pembunuh. Sedangkan ulama lainnya
berpendapat, pihak wali darah boleh memaafkan dengan imbalan diat, sekalipun
pihak si pembunuh tidak rela.
Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa bagi kaum wanita tidak ada hak untuk
memberi maaf. Mereka yang mengatakan demikian antara lain Al-Hasan, Qatadah,
Az-Zuhri, Ibnu Syabramah, Al-Lais, dan Al-Auza'i; tetapi ulama Salaf lainnya
berpendapat berbeda.
*************
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ
تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ}
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan
rahmat. (Al-Baqarah: 178)
Yakni sesungguhnya Allah mensyariatkan kepada kalian pembayaran diat dalam
kasus pembunuhan sengaja tidak lain hanyalah suatu keringanan dari Allah buat
kalian dan merupakan suatu rahmat bagi kalian, yang membebaskan kalian dari apa
yang berlaku di kalangan umat-umat terdahulu sebelum kalian, yaitu hukuman mati
atau memaafkan secara cuma-cuma.
Seperti yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami
Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, telah menceritakan kepadaku Mujahid, dari Ibnu
Abbas yang mengatakan bahwa diwajibkan atas kaum Bani Israil hukuman qisas
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh tanpa ada pemaafan di kalangan mereka.
Maka Allah berfirman kepada umat ini (umat Nabi Muhammad Saw.): Diwajibkan
atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. Maka barang
siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178)
Pemaafan itu ialah menerima diat dalam kasus pembunuhan sengaja. Yang demikian
itu merupakan keringanan ketimbang apa yang diwajibkan atas kaum Bani Israil dan
umat-umat sebelum kalian. hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178)
Takwil ini telah diriwayatkan bukan hanya oleh seorang saja, melalui Amr.
Diketengahkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui Amr ibnu Dinar;
hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Jamaah melalui Mujahid, dari Ibnu
Abbas.Qatadah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 178) Semoga Allah
merahmati umat ini, Allah telah memperkenankan bagi mereka makan hasil diat yang
belum pernah dihalalkan kepada seorang pun sebelumnya. Tersebutlah bahwa hukum
yang berlaku di kalangan ahli Taurat hanyalah qisas dan pemaafan tanpa diat.
Sedangkan dalam syariat ahli Injil, hanya maaf belaka yang dianjurkan kepada
mereka. Maka Allah menjadikan bagi umat ini hukum qisas dan pemaafan serta diat.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair, Muqatil ibnu Hayyan,
dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَمَنِ
اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang
sangat pedih. (Al-Baqarah: 178)
Dengan kata lain, barang siapa yang membunuh sesudah mengambil diat dari si
terbunuh atau sesudah ia setuju dengan diat, maka baginya siksa Allah yang
sangat pedih lagi menyakitkan dan sangat keras.
Demikianlah takwil ayat menurut apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan
Muqatil ibnu Hayyan. Kesimpulan dari semuanya itu, yang dimaksud dengan orang yang melampaui batas
ialah orang yang membunuh si pembunuh sesudah mengambil diat darinya.
قَالَ
مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ فُضَيْلٍ، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ
أَبِي الْعَوْجَاءِ، عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْخُزَاعِيِّ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ
أُصِيبَ بِقَتْلٍ أَوْ خَبْل فَإِنَّهُ يَخْتَارُ إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ
يَقْتَصَّ، وَإِمَّا أَنْ يَعْفُوَ، وَإِمَّا أَنْ يَأْخُذَ الدِّيَةَ؛ فَإِنْ
أَرَادَ الرَّابِعَةَ فَخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ. وَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ
فَلَهُ نَارُ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا"
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Al-Haris ibnu Fudail, dari Sufyan ibnu
Abul Auja, dari Abu Syuraih Al-Khuza'i, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
Barang siapa yang tertimpa musibah pembunuhan atau pelukaan, maka
sesungguhnya dia memilih salah satu di antara tiga perkara, yaitu: Adakalanya
meng-qisas (pelakunya), adakalanya memaafnya, dan adakalanya mengambil diat.
Dan jika dia menghendaki yang keempat, maka belenggulah kedua tangannya
(lakukanlah qisas terhadapnya). Dan barang siapa yang melampaui batas sesudah
itu, maka baginya neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya. (Riwayat Imam
Ahmad)
Sa'id ibnu Abu Urubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"لا
أُعَافِي رَجُلًا قَتَلَ بَعْدَ أَخْذِ الدِّيَةِ -يَعْنِي: لَا أَقْبَلُ مِنْهُ
الدِّيَةَ -بَلْ أَقْتُلُهُ"
Aku tidak akan memaafkan seorang lelaki yang membunuh (si pembunuh)
sesudah dia mengambil diat (darinya).
Dengan kata lain, aku tidak mau menerima diat darinya melainkan kujalankan
hukum qisas terhadapnya, tanpa ampun.
************
Firman Allah Swt.:
{وَلَكُمْ
فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ}
Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian.
(Al-Baqarah: 179)
Allah Swt. berfirman bahwa di dalam pen-tasyri'-an hukum qisas bagi
kalian, yakni membunuh si pembunuh, terkandung hikmah yang besar, yaitu jaminan
kelangsungan hidup dan terpeliharanya nyawa. Sesungguhnya seseorang itu apabila
mengetahui (jika dia membunuh seseorang, maka ia akan dikenai hukuman mati),
niscaya dia akan mencegah dirinya dari melakukan niatnya itu. Di dalam peraturan
ini terkandung jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia.
Di dalam kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa hukum mati itu lebih
meniadakan pembunuhan. Maka pengertian ini diungkapkan oleh Al-Qur'an dengan
ungkapan yang lebih fasih, lebih mengena, dan lebih ringkas, yaitu melalui
firman-Nya: Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi
kalian. (Al-Baqarah: 179)
Abul Aliyah mengatakan, Allah menjadikan hukum qisas sebagai jaminan
kelangsungan hidup bagi kalian; karena berapa banyak orang dari kaum laki-laki
yang hendak melakukan pembunuhan, tetapi niatnya itu dia urungkan karena takut
akan terkena hukum qisas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu
Jubair, Abu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu
Hayyan.
************
Firman Allah Swt.:
{يَا
أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa. (Al-Baqarah:
179)
Allah Swt. berfirman, "Hai orang-orang yang berakal, mempunyai pengertian dan
pemahaman (ditetapkan-Nya demikian itu) supaya kalian sadar dan menghentikan
hal-hal yang diharamkan Allah dan semua perbuatan dosa." Takwa merupakan isim
yang pengertiannya mencakup semua perbuatan taat dan menghentikan hal-hal yang
mungkar.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 178-179"
Posting Komentar