Al-Baqoroh Ayat 177
Senin, 14 Mei 2018
Add Comment
{لَيْسَ
الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ
الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ
وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ
الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا
وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ
الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (177) }
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan
orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa
Ayat yang mulia ini mengandung kalimat-kalimat yang agung, kaidah-kaidah yang
luas, dan akidah yang lurus. Seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim:
حَدَّثَنَا
أَبِي، حَدَّثَنَا عُبيد بْنُ هِشَامٍ الْحَلَبِيُّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ
بْنُ عَمْرٍو، عَنْ عَامِرِ بْنِ شُفَي، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ مُجَاهِدٍ،
عَنْ أَبِي ذَرٍّ: أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: مَا الْإِيمَانُ؟ فَتَلَا عَلَيْهِ: {لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا
وُجُوهَكُمْ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ. قَالَ: ثُمَّ سَأَلَهُ أَيْضًا، فَتَلَاهَا
عَلَيْهِ ثُمَّ سَأَلَهُ. فَقَالَ: "إِذَا عَمِلْتَ حَسَنَةً أَحَبَّهَا قَلْبُكَ،
وَإِذَا عَمِلْتَ سَيِّئَةً أَبْغَضَهَا قَلْبُكَ"
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ubaid
ibnu Hisyam Al-Halbi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Amr, dari
Amir ibnu Syafi, dari Abdul Karim, dari Mujahid, dari Abu Zar r.a., telah
menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang iman,
"Apakah yang dinamakan iman itu?" Maka Rasulullah Saw. membacakan kepadanya
firman Allah Swt.: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu
suatu kebajikan. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Mujahid melanjutkan
kisahnya, bahwa setelah itu Abu Zar kembali bertanya, dan Rasulullah Saw.
membacakan lagi ayat ini kepadanya. Kemudian Abu Zar bertanya lagi, maka Rasul
Saw. menjawab: Apabila kamu hendak mengerjakan suatu kebaikan, maka buatlah
hatimu cinta kepadanya; dan apabila kamu hendak melakukan suatu keburukan, maka
buatlah hatimu benci kepadanya.
Akan tetapi, hadis ini berpredikat munqati (terputus mata rantai
sanadnya), mengingat Mujahid sebenarnya belum pernah bersua dengan sahabat Abu
Zar, karena Abu Zar telah meninggal dunia di masa sebelumnya.
قَالَ
الْمَسْعُودِيُّ: حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى أَبِي ذَرٍّ، فَقَالَ: مَا الْإِيمَانُ؟ فَقَرَأَ عَلَيْهِ هَذِهِ
الْآيَةَ: {لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ} حَتَّى فَرَغَ مِنْهَا.
فَقَالَ الرَّجُلُ: لَيْسَ عَنِ الْبَرِّ سألتُكَ. فَقَالَ أَبُو ذَرٍّ: جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَمَّا
سَأَلْتَنِي عَنْهُ، فَقَرَأَ عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةَ، فَأَبَى أن يرضى كما أبيت
[أنت] أن تَرْضَى فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
-وَأَشَارَ بِيَدِهِ -: "الْمُؤْمِنُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً سَرته وَرَجَا
ثَوَابَهَا، وَإِذَا عَمِلَ سَيِّئَةً أَحْزَنَتْهُ وَخَافَ
عِقَابَهَا"
Al-Mas'udi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim Abdur Rahman,
bahwa ada seorang lelaki datang kepada sahabat Abu Zar, lalu lelaki itu
bertanya, "Apakah iman itu?" Kemudian Abu Zar membacakan kepadanya ayat berikut:
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Kemudian lelaki itu
berkata, "Yang kutanyakan kepadamu bukanlah masalah kebajikan." Maka Abu Zar
r.a. menceritakan kepadanya bahwa ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah
Saw., lalu menanyakan kepadanya seperti pertanyaan yang baru kamu ajukan
kepadaku, maka beliau Saw. membacakan ayat ini kepadanya. Akan tetapi, lelaki
itu masih kurang puas sebagaimana kamu kurang puas. Maka akhirnya Rasulullah
Saw. bersabda kepadanya dan mengisyaratkan dengan tangannya: Orang mukmin itu
apabila melakukan suatu kebaikan, ia merasa gembira dan mengharapkan pahalanya;
dan apabila dia mengerjakan suatu keburukan (dosa), maka hatinya sedih dan takut
akan siksaannya.
Hadis riwayat Ibnu Murdawaih, dan hadis ini berpredikat munqati'
pula.
Pembahasan mengenai tafsir ayat ini ialah: Sesungguhnya Allah Swt. setelah
memerintahkan kepada orang-orang mukmin pada mulanya untuk menghadap ke arah
Baitul Maqdis, lalu Allah memalingkan mereka ke arah Ka'bah, maka hal tersebut
terasa berat oleh segolongan orang-orang dari kalangan Ahli Kitab dan sebagian
kaum muslim. Maka Allah Swt. menurunkan penjelasan hikmah yang terkandung di
dalam hal tersebut. Yang intinya berisikan bahwa tujuan utama dari hal tersebut
tiada lain adalah taat kepada Allah dan mengerjakan perintah-perintah-Nya dengan
patuh, serta menghadap ke arah mana yang dikehendaki-Nya dan mengikuti apa yang
telah disyariatkan-Nya.
Demikianlah makna kebajikan, takwa, dan iman yang sempurna; dan kebajikan
serta ketaatan itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan kepatuhan menghadap ke
arah timur atau barat, jika bukan karena perintah Allah dan syariatnya. Karena
itulah maka Allah Swt. berfirman:
{لَيْسَ
الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ
الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan,
tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada
Allah, hari kemudian. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat.
Seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam masalah kurban dan menyembelih
hadyu, yaitu firman-Nya:
{لَنْ
يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى
مِنْكُمْ}
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridaan) Allah, tetapi ketakwaan kalianlah yang dapat mencapainya.
(Al-Hajj: 37)
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa
kebajikan itu bukanlah kalian melakukan salat tetapi tidak beramal. Hal ini
diturunkan ketika Nabi Saw. hijrah dari Mekah ke Madinah, dan diturunkan
hukum-hukum fardu dan hukum-hukum had, maka Allah memerintahkan mereka untuk
mengerjakan fardu-fardu dan mengamalkannya. Hal yang semisal telah diriwayatkan
pula dari Ad-Dahhak serta Muqatil.
Abul Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi menghadap ke arah barat, dan
orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur. Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Bukanlah menghadap wajahmu ke arah timur dan barat itu suatii
kebajikan. (Al-Baqarah: 177) Apa yang dibahas oleh ayat ini adalah iman dan
hakikatnya, yaitu pengalamannya. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari
Al-Hasan serta Ar-Rabi' ibnu Anas.
Mujahid mengatakan, "Kebajikan yang sesungguhnya ialah ketaatan kepada
Allah Swt. yang telah meresap ke dalam hati."Ad-Dahhak mengatakan bahwa kebajikan dan ketakwaan itu ialah bila kalian
menunaikan fardu-fardu sesuai dengan ketentuan-ketentuannya.
As-Sauri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang yang beriman kepada
Allah. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Semua yang disebutkan oleh ayat
ini merupakan aneka ragam kebajikan.
Memang benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Sauri ini, karena sesungguhnya
orang yang memiliki sifat seperti yang disebutkan oleh ayat ini berarti dia
telah memasukkan dirinya ke dalam ikatan Islam secara keseluruhan dan
mengamalkan semua kebaikan secara menyeluruh; yaitu iman kepada Allah dan tidak
ada Tuhan yang wajib disembah selain Dia, juga beriman kepada para malaikat yang
merupakan duta-duta antara Allah dan rasul-rasul-Nya.
Wal kitabi, merupakan isim jinis yang pengertiannya mencakup semua
kitab yang diturunkan dari langit kepada para nabi hingga diakhiri dengan yang
paling mulia di antara semuanya, yaitu kitab Al-Qur'an yang isinya mencakup
semua kitab sebelumnya, berakhir padanya semua kebaikan, serta mengandung semua
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan diturunkan-Nya Al-Qur'an, maka
di-na-sakh-lah semua kitab sebelumnya, di dalamnya terdapat anjuran beriman
kepada semua nabi Allah dari permulaan hingga yang paling akhir, yaitu Nabi
Muhammad Saw.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَآتَى
الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ}
dan memberikan harta yang dicintainya. (Al-Baqarah: 177)
Yakni mengeluarkannya, sedangkan dia mencintainya dan berhasrat kepadanya.
Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Sa'id ibnu Jubair, dan lain-lainnya
dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf, seperti yang disebutkan di dalam hadis
sahihain dari hadis Abu Hurairah secara marfu', yaitu:
"أَفْضَلُ
الصَّدَقَةِ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ، تَأْمُلُ الْغِنَى،
وَتَخْشَى الْفَقْرَ".
Sedekah yang paling ulama ialah bila kamu mengeluarkannya, sedangkan kamu
dalam keadaan sehat lagi pelit bercita-cita ingin kaya dan takut jatuh
miskin.
وَقَدْ
رَوَى الْحَاكِمُ فِي مُسْتَدْرَكِهِ، مِنْ حَدِيثِ شُعْبَةَ وَالثَّوْرِيِّ، عَنْ
مَنْصُورٍ، عَنْ زُبَيد، عَنْ مُرَّة، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ} أَنْ
تُعْطِيَهُ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ، تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى
الْفَقْرَ".
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Syu'bah
dan As-Sauri, dari Mansur, dari Zubair, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud r.a. yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda sehubungan dengan makna
firman-Nya: "Dan memberikan harta yang dicintainya" (Al-Baqarah: 177),
yaitu hendaknya kamu memberikannya, sedangkan kamu dalam keadaan sehat lagi
pelit, mengharapkan kecukupan dan takut jatuh miskin.
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain
(Bukhari dan Muslim), sedangkan keduanya tidak mengetengahkannya. Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Waki', dari Al-A'masy, dan
Sufyan, dari Zubaid, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud secara mauquf dan lebih
sahih.
Allah Swt. telah berfirman:
وَيُطْعِمُونَ
الطَّعامَ عَلى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً. إِنَّما نُطْعِمُكُمْ
لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزاءً وَلا شُكُوراً
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak
yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian
hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari
kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (Al-Insan: 8-9)
لَنْ
تَنالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. (Ali Imran: 92)
وَيُؤْثِرُونَ
عَلى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كانَ بِهِمْ خَصاصَةٌ
Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri,
sekalipun mereka dalam kesusahan. (Al-Hasyr: 9)
Apa yang telah disebutkan oleh ketiga ayat di atas merupakan jenis lain dari
cara bersedekah yang lebih tinggi kedudukannya daripada yang disebutkan oleh
ayat ini (Al-Baqarah: 177). Demikian itu karena mereka lebih mengutamakan diri
orang lain daripada diri mereka sendiri, padahal mereka sangat memerlukannya,
tetapi mereka tetap memberikannya dan memberi makan orang-orang lain dari harta
yang mereka sendiri mencintai dan memerlukannya.
Yang dimaksud dengan Zawil Qurba dalam ayat ini ialah kaum kerabat
lelaki yang bersangkutan, mereka adalah orang-orang yang lebih utama untuk
diberi sedekah. Seperti yang telah ditetapkan di dalam hadis sahih, yaitu:
«الصَّدَقَةُ
عَلَى الْمَسَاكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ: صَدَقَةٌ
وَصِلَةٌ، فَهُمْ أَوْلَى النَّاسِ بِكَ وَبِبِرِّكَ وَإِعْطَائِكَ»
Sedekah kepada orang-orang miskin adalah suatu sedekah, dan sedekah kepada
kerabat merupakan dua amal, yaitu sedekah dan silaturahmi. Karena kaum kerabat
adalah orang-orang yang lebih utama bagimu untuk mendapatkan kebajikan dan
pemberianmu.
Allah Swt. telah memerintahkan untuk berbuat baik kepada kaum kerabat, hal
ini diutarakan-Nya bukan hanya pada satu tempat dari kitab-Nya.
Wal yatama, yang dimaksud dengan anak-anak yatim ialah mereka yang
tidak mempunyai penghasilan, sedangkan ayah-ayah mereka telah tiada, mereka
dalam keadaan lemah, masih kecil, dan berusia di bawah usia balig serta belum
mampu mencari mata pencaharian. Sehubungan dengan masalah ini Abdur Razzaq
mengatakan:
أَنْبَأَنَا
مَعْمَر، عَنْ جُوَيْبِرٍ، عَنِ الضَّحَّاكِ، عَنِ النَّزَّالِ بْنِ سَبْرَةَ، عَنْ
عَلِيٍّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا
يُتْم بَعْدَ حُلُم".
telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Juwaibir, dari Ad-Dahhak, dari
An-Nizal ibnu Sabrah, dari sahabat Ali, dari Rasulullah Saw. yang telah
bersabda: Tiada yatim lagi sesudah usia balig.
Wal masakin, mereka adalah orang-orang yang tidak dapat menemukan apa
yang mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka. Untuk itu mereka
diberi apa yang dapat memenuhi kebutuhan dan keperluan mereka. Di dalam kitab
Sahihain disebutkan sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah r.a., bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَيْسَ
الْمِسْكِينُ بهذا الطوَّاف الذي تَرده التمرة وَالتَّمْرَتَانِ وَاللُّقْمَةُ
وَاللُّقْمَتَانِ، وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا
يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدق عَلَيْهِ.
Orang miskin itu bukanlah orang yang suka berkeliling (meminta-minta) yang
pergi setelah diberi sebutir atau dua butir kurma, dan sesuap atau dua suap
makanan, tetapi orang miskin yang sesungguhnya ialah orang yang tidak
mendapatkan apa yang mencukupinya, dan pula keadaan dirinya tidak diketahui
(sebagai orang miskin) hingga mudah diberi sedekah.
Yang dimaksud dengan ibnu sabil ialah orang musafir jauh yang
kehabisan bekalnya, untuk itu dia harus diberi bekal yang dapat memulangkannya
ke tempat tinggalnya. Demikian pula halnya orang yang akan mengadakan perjalanan
untuk tujuan ketaatan, ia boleh diberi bekal yang mencukupinya buat pulang
pergi.
Termasuk ke dalam pengertian ibnu sabil ialah tamu, seperti yang dikatakan
oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Ibnu Sabil ialah
tamu yang menginap di kalangan orang-orang muslim. Hal yang sama dikatakan
pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Ja'far Al-Baqir, Al-Hasan, Qatadah,
Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Wassailina, mereka adalah orang-orang yang merelakan dirinya
meminta-minta, maka mereka diberi dari sebagian harta zakat dan sedekah. Seperti
yang disebutkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا
وَكِيع وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ
مُحَمَّدٍ، عَنْ يَعْلَى بْنِ أَبِي يَحْيَى، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْحُسَيْنِ،
عَنْ أَبِيهَا -قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ -قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لِلسَّائِلِ حَقٌّ وَإِنْ
جَاءَ عَلَى فَرَسٍ".
bahwa telah menceritakan kepada kami Waki' dan Abdur Rahman; keduanya
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mus'ab ibnu Muhammad,
dari Ya'la ibnu Abu Yahya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya (yakni
Husain ibnu Ali), bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Orang yang
meminta-minta mempunyai hak (untuk diberi), sekalipun dia datang dengan
berkendaraan kuda. (Riwayat Imam Abu Daud)
Ar-Riqab, mereka adalah budak-budak mukatab yang tidak menemukan apa
yang mereka jadikan untuk melunasi transaksi kitabahnya.Pembahasan mengenai golongan tersebut nanti akan diterangkan di dalam ayat
sedekah (zakat), bagian dari surat Al-Bara’ah (surat Taubah).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid, telah menceritakan kepadaku
Syarik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepadaku Fatimah
binti Qais yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.,
"Apakah pada harta benda terdapat kewajiban selain zakat?" Maka beliau
membacakan ayat berikut kepadanya, yaitu firman-Nya: dan memberikan harta
yang dicintainya. (Al-Baqarah: 177)
وَرَوَاهُ
ابْنُ مَرْدُويه مِنْ حَدِيثِ آدَمَ بْنِ أَبِي إِيَاسٍ، وَيَحْيَى بْنِ عَبْدِ
الْحَمِيدِ، كِلَاهُمَا، عن شريك، عَنْ
أَبِي حَمْزَةَ عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، قَالَتْ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى
الزَّكَاةِ" ثُمَّ تَلَا {لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ} إِلَى قَوْلِهِ: {وَفِي الرِّقَابِ}
Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula melalui hadis Adam ibnu Abu Iyas dan Yahya
ibnu Abdul Hamid, keduanya menerima hadis berikut dari Syarik, dari Abu Hamzah,
dari Asy-Sya'bi, dari Fatimah binti Qais yang telah menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Di dalam harta benda terdapat kewajiban
selain zakat." Kemudian beliau membacakan firman-Nya, "Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan —sampai
dengan firman-Nya—dan (memerdekakan) hamba sahaya" (Al-Baqarah: 177).
Hadis diketengahkan oleh Ibnu Majah dan Imam Turmuzi, tetapi Abu Hamzah
(yakni Maimun Al-A'war, salah seorang perawinya) dinilai daif. Hadis ini
diriwayatkan pula oleh Sayyar dan Ismail ibnu Salim, dari Asy-Sya'bi.
Firman Allah Swt., "Wa-aqamas salata," artinya 'dan merampungkan semua
pekerjaan salat pada waktunya masing-masing', yakni menyempurnakan
rukuk-rukuknya, sujud-sujudnya, dan tumaninah serta khusyuknya sesuai dengan
perintah syariat yang diridai.
Firman Allah Swt., "Wa-ataz zakata," artinya 'dan menunaikan zakat',
tetapi dapat pula diinterpretasikan dengan pengertian membersihkan jiwa dan
membebaskannya dari akhlak-akhlak yang rendah lagi kotor, seperti pengertian
yang terkandung di dalam firman-Nya:
قَدْ
أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاها. وَقَدْ خابَ مَنْ دَسَّاها
Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 9-10)
Ucapan Musa a.s. kepada Fir'aun yang disitir oleh firman-Nya:
هَلْ
لَكَ إِلى أَنْ تَزَكَّى وَأَهْدِيَكَ إِلى رَبِّكَ فَتَخْشى
Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu
akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar kamu takut kepada-Nya?" (An-Nazi'at:
18-19)
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
وَوَيْلٌ
لِلْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكاةَ
Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya),
(yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat. (Fushshilat: 6-7)
Dapat pula diartikan zakat harta benda, seperti yang dikatakan oleh Sa'id
ibnu Jubair dan Muqatil ibnu Hayyan. Dengan demikian, berarti hal yang telah
disebutkan sebelumnya —yaitu memberikan sebagian harta kepada golongan-golongan
yang telah disebutkan— hanyalah dianggap sebagai amal tatawwu' (sunat),
kebajikan, dan silaturahmi. Sebagai dalilnya ialah hadis Fatimah binti Qais yang
telah disebutkan di atas, yaitu yang menyatakan bahwa pada harta benda terdapat
kewajiban selain zakat.
******
Firman Allah Swt.:
{وَالْمُوفُونَ
بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا}
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji.
(Al-Baqarah: 177)
Ayat ini semakna dengan firman Allah Swt.:
{الَّذِينَ
يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ}
(Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak
perjanjian. (Ar-Ra'd: 20)
Kebalikan dari sifat ini adalah sifat munafik. Seperti yang disebutkan di
dalam hadis sahih, yaitu:
"آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ".
Pertanda munafik itu ada tiga, yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila
berjanji, ingkar; dan apabila dipercaya, berkhianat.
Di dalam hadis lainnya disebutkan seperti berikut:
:"إِذَا
حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ"
Apabila berbicara, berdusta; apabila berjanji, merusak (janjinya); dan
apabila bersengketa, berbuat curang.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَالصَّابِرِينَ
فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ}
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam
peperangan. (Al-Baqarah: 177)
Yang dimaksud dengan ba-sa ialah dalam keadaan miskin dan fakir,
sedangkan yang dimaksud dengan darra ialah dalam keadaan sakit dan
kesusahan. Yang dimaksud dengan hinal ba-su ialah ketika peperangan
sedang berkecamuk. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abul
Aliyah, Murrah Al-Hamdani, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah,
Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Abu Malik, Ad-Dahhak, dan
lain-lainnya.
Sesungguhnya lafaz sabirina di-nasab-kan karena mengandung pujian
terhadap sikap sabar dan sekaligus sebagai anjuran untuk bersikap sabar dalam
situasi seperti itu, mengingat situasinya sangat keras lagi sulit.
******
Firman Allah Swt.:
{أُولَئِكَ
الَّذِينَ صَدَقُوا}
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). (Al-Baqarah: 177)
Maksudnya, mereka yang memiliki sifat-sifat ini adalah orang-orang yang benar
imannya, karena mereka merealisasikan iman hati dengan ucapan dan amal
perbuatan; maka mereka itulah orang-orang yang benar. Mereka itulah orang-orang
yang bertakwa, karena mereka memelihara dirinya dari hal-hal yang diharamkan dan
mengerjakan semua amal ketaatan.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 177"
Posting Komentar