Al-Baqoroh Ayat 180-182
Senin, 14 Mei 2018
Add Comment
{كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (180)
فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ
يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (181) فَمَنْ خَافَ مِنْ مُوصٍ
جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (182) }
Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di
antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa, Maka barang siapa yang
mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah
bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat
itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka,
maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat yang mulia ini mengandung perintah berwasiat buat kedua orang tua dan
kaum kerabat. Pada mulanya hal ini hukumnya wajib, menurut pendapat yang paling
sahih di antara dua pendapat, yakni sebelum turunnya ayat mawaris (pembagian
waris). Setelah ayat faraid (pembagian waris) diturunkan, maka ayat ini
di-mansukh olehnya.
Dengan demikian, sejak diturunkan ayat faraid, maka bagian-bagian waris yang
telah ditentukan merupakan hukum fardu dari Allah yang harus dilaksanakan oleh
orang-orang yang bersangkutan dengan tegas tanpa melalui proses wasiat lagi.
Hukum-hukum bagian waris ini tidak mengandung pengertian pemberian dari pihak
orang yang berwasiat.
Karena itu, telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan di dalam
kitab-kitab sunnah dan kitab lainnya, melalui Amr ibnu Kharijah yang
menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw, berkhotbah, yang antara
lain mengatakan:
"إِنِ
اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ"
Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak atas
bagiannya (masing-masing), maka tidak ada lagi wasiat bagi ahli waris.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim
ibnu Ulayyah, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Muhammad ibnu Sirin yang menceritakan
bahwa sahabat Ibnu Abbas duduk di suatu majelis, lalu ia membaca surat
Al-Baqarah sampai pada firman-Nya: Jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya. (Al-Baqarah: 180) Lalu ia
mengatakan bahwa ayat ini telah di-mansukh.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sa'id ibnu Mansur, dari Hasyim, dari
Yunus dengan lafaz yang sama. Imam Hakim meriwayatkannya pula di dalam kitab
Mustadrak-nya, dan mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat keduanya (yakni
Bukhari dan Muslim).
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil
firman-Nya: berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya.
(Al-Baqarah: 180) Pada mulanya tidak ada yang berhak mewaris selain dari ibu
bapak, kecuali melalui proses wasiat bagi kaum kerabat. Maka Allah menurunkan
ayat mira's (pembagian waris) dan menjelaskan padanya bagian waris dari
ibu bapak, serta menetapkan wasiat buat kaum kerabat dalam sepertiga dari harta
peninggalan si mayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: berwasiat buat ibu bapak dan kaum
kerabatnya. (Al-Baqarah: 180)
Ayat ini dimansukh oleh firman-Nya:
لِلرِّجالِ
نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوالِدانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّساءِ نَصِيبٌ مِمَّا
تَرَكَ الْوالِدانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيباً
مَفْرُوضاً
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan. (An-Nisa: 7)
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Abu
Musa, Sa'id ibnul Musayyab, Al-Hasan, Mujahid, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad
ibnu Sirin, Ikrimah, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, As-Saddi,
Muqatil ibnu Hayyan, Tawus Ibrahim An-Nakha'i, Syuraih, Ad-Dahhak, dan Az-Zuhri,
bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 180) telah dimansukh; yang me-mansukh-nya adalah
ayatul miras (ayat yang menerangkan bagian-bagian tertentu dalam
pewarisan).
Akan tetapi, yang mengherankan adalah pendapat yang dikatakan oleh Abu
Abdullah Muhammad ibnu Umar Ar-Razi. Dia mengatakan di dalam kitab Tafsirul
Kabir-nya, meriwayatkan pendapat Abu Muslim Al-Asfahani, bahwa ayat ini tidak
di-mansukh, dan sesungguhnya ia hanya ditafsirkan oleh ayatul mawaris. Hal ini
berarti makna yang dimaksud ialah diwajibkan atas kalian apa yang telah
disyariatkan Allah kepada kalian tentang pembagian pusaka untuk ibu bapak dan
kaum kerabat, yakni bagian dari firman-Nya:
{يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ}
Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak
kalian. (An-Nisa: 11)
Selanjutnya Abu Abdullah Muhammad ibnu Umar Ar-Razi mengatakan, hal ini
merupakan pendapat kebanyakan ahli tafsir dan ahli fiqih yang dianggap. Ia
mengatakan pula bahwa di antara mereka ada yang mengatakan, sesungguhnya surat
Al-Baqarah ayat 180 ini di-mansukh berkenaan dengan orang-orang yang mempunyai
hak waris, dan tetap hukumnya bagi orang-orang yang tidak mempunyai hak waris.
Pendapat ini merupakan mazhab Ibnu Abbas, Al-Hasan, Masruq, Thawus, Ad-Dahhak,
Muslim ibnu Yasar, dan Al-Ala ibnu Ziad.
Menurut kami, pendapat ini dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Ar-Rabi'
ibnu Anas, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan; tetapi pendapat mereka ini menurut
peristilahan di kalangan kami ulama mutaakhkhirin bukan dinamakan nasakh,
karena ayatul mawaris hanyalah menghapus sebagian hukum yang ditunjukkan oleh
keumuman makna ayat wasiat. Mengingat istilah kaum kerabat mencakup orang-orang
yang mempunyai hak waris dan orang-orang yang tidak mempunyai hak waris, maka
dihapuslah hukum yang menyangkut orang-orang yang berhak mewaris karena telah
ada bagian tertentu baginya, sedangkan untuk yang lainnya yang tidak mempunyai
bagian tertentu masih tetap berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh ayat pertama
(Al-Baqarah ayat 180). Pengertian ini hanyalah berdasarkan interpretasi pendapat
sebagian dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa wasiat itu pada permulaan
Islam hanyalah sunat, hingga ia di-mansukh.
Menurut orang yang berpendapat bahwa hukum wasiat itu pada mulanya adalah
wajib, seperti yang ditunjukkan oleh makna lahiriah konteks ayat, maka sudah
dapat ditentukan bahwa ia di-mansukh oleh ayat miras. Seperti yang
dikatakan oleh kebanyakan Mufassirin dan para ahli fiqih terkemuka. Mereka
mengatakan, sesungguhnya hukum wajib berwasiat buat kedua orang tua dan kaum
kerabat yang mewaris dimansukh oleh ayat miras menurut ijma', dan bahkan
dilarang karena dalil hadis yang telah lalu, yaitu sabda Nabi Saw.:
Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak (mewaris)
bagiannya masing-masing. Maka tidak ada wasiat (lagi) bagi orang yang
mewaris.
Ayat mengenai pembagian waris merupakan hukum menyendiri dan kewajiban dari
sisi Allah buat orang-orang yang memiliki bagian tertentu dan asabah.
Ayat ini menghapuskan hukum yang mewajibkan wasiat secara keseluruhan.
Dengan demikian, yang tertinggal adalah kaum kerabat yang tidak mempunyai
bagian tertentu. Untuk mereka disunatkan berwasiat yang diambil dari sepertiga
harta peninggalan, demi menghargai ayat wasiat dan keumuman maknanya; juga
karena apa yang telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Umar r.a.,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ، يَبِيتُ
لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ". قَالَ ابْنُ عُمَرَ مَا
مَرَّتْ عَلَيّ لَيْلَةً مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ إِلَّا وَعِنْدِي وَصِيَّتِي
Tiadalah kewajiban seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang akan ia
wasiatkan, lalu ia lewatkan waktu selama dua malam, melainkan wasiatnya itu
harus sudah tertulis di sisinya. Selanjutnya Ibnu Umar r.a. mengatakan,
"Tidak sekali-kali lewat bagiku satu malam sejak aku mendengar hadis ini dari
Rasulullah Saw. kecuali wasiatku telah kupersiapkan di sisiku."
Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi Saw. yang menganjurkan berbuat baik
kepada kaum kerabat dan menyantuni mereka sangat banyak.
قَالَ
عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ فِي مُسْنَدِهِ: أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ
مُبَارَكِ بْنِ حَسَّانَ، عَنْ نَافِعٍ قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: يَا ابْنَ
آدَمَ، ثِنْتَانِ لَمْ يَكُنْ لَكَ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا: جَعَلْتُ لَكَ نَصِيبًا
فِي مَالِكَ حِينَ أَخَذْتُ بِكَظْمِكَ؛ لِأُطَهِّرَكَ بِهِ وَأُزَكِّيَكَ،
وَصَلَاةُ عِبَادِي عَلَيْكَ بَعْدَ انْقِضَاءِ أَجَلِكَ".
Abdu ibnu Humaid mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan
kepada kami Abdullah, dari Mubarak ibnu Hassan, dari Nafi' yang menceritakan,
Abdullah pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Allah Swt.
berfirman, "Hai anak Adam, ada dua perkara yang tiada satu pun di antaranya
merupakan milikmu: Aku jadikan buatmu suatu bagian pada harta milikmu di saat
Aku menimpakan sakit kepadamu untuk membersihkan dan menyucikan dirimu
melaluinya, dan salat hamba-hamba-Ku untukmu sesudah kamu menunaikan ajalmu
(mati)."
**************
Firman Allah Swt.:
{إِنْ
تَرَكَ خَيْرًا}
jika ia meninggalkan harta yang banyak. (Al-Baqarah: 180)
Yang dimaksud dengan khairan atau kebaikan ialah harta benda. Demikianlah
menurut pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah,
Atiyyah Al-Aufi, Ad-Dahhak, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan,
Qatadah, dan lain-lainnya.
Kemudian sebagian di antara mereka mengatakan bahwa wasiat itu disyariatkan
tanpa memandang apakah harta peninggalan berjumlah banyak ataupun sedikit,
perihalnya sama dengan yang untuk ahli waris.
Di antara mereka mengatakan bahwa sesungguhnya wasiat itu diwajibkan hanya
bila orang yang bersangkutan meninggalkan harta yang berjumlah banyak. Kemudian
mereka berselisih pendapat mengenai kadar yang termasuk jumlah banyak ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Hisyam
ibnu Urwah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa pernah dikatakan kepada Ali r.a.
bahwa sesungguhnya seorang lelaki dari kabilah Quraisy telah meninggal dunia dan
meninggalkan harta sebanyak tiga ratus atau empat ratus dinar, tetapi ia tidak
berwasiat. Maka Ali r.a. menjawab bahwa jumlah tersebut masih belum banyak,
karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: jika ia meninggalkan harta
yang banyak. (Al-Baqarah: 180)
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu
Ishaq Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman),
dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa Ali r.a. masuk ke dalam rumah
seorang lelaki dari kalangan kaumnya (Quraisy) untuk menjenguknya. Maka lelaki
itu berkata kepadanya, "Apakah aku harus berwasiat?" Ali r.a. menjawab:
"Sesungguhnya Allah Swt. hanya mengatakan dalam firman-Nya, ‘Jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat' (Al-Baqarah: 180) Dan
sesungguhnya harta yang kamu tinggalkan hanyalah berjumlah sedikit, maka
biarkanlah untuk anakmu.”
Imam Hakim bin Iban mengatakan: pernah menceritakan kepadaku sebuah asar dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Jika ia
meninggalkan harta yang banyak. (Al-Baqarah: 180) Maka Ibnu Abbas berkata,
"Barang siapa yang tidak meninggalkan sejumlah enam puluh dinar, berarti dia
tidak meninggalkan kebaikan (harta yang banyak)."
Imam Hakim mengatakan bahwa Tawus pernah mengatakan, "Masih belum dikatakan
meninggalkan harta yang banyak seseorang yang tidak meninggalkan harta sejumlah
delapan puluh dinar." Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan harta yang banyak ialah sejumlah
seribu dinar hingga lebih. Yang dimaksud dengan bil ma'ruf ialah dengan cara yang baik dan lemah
lembut.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami
Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu
Basysyar, telah menceritakan kepadaku Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu
Mansur, dari Al-Hasan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Diwajibkan atas
kalian apabila seorang di antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut.
(Al-Baqarah: 180) Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Sebaik-baik wasiat, yang
merupakan perkara yang hak atas setiap orang muslim, ialah hendaknya ia
berwasiat dengan cara yang makruf (bukan mungkar) apabila kedatangan tanda-tanda
maut." Yang dimaksud dengan cara yang makruf ialah hendaknya dia berwasiat untuk
kaum kerabatnya suatu wasiat yang tidak menghabiskan bagian ahli warisnya, yakni
tidak berlebih-lebihan dan tidak pula terlalu pelit. Seperti yang disebutkan di
dalam hadis Sahihain, yaitu:
أَنَّ
سَعْدًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي مَالًا وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا
ابْنَةٌ لِي، أَفَأُوصِي بثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: "لَا" قَالَ: فبالشَّطْر؟ قَالَ:
"لَا" قَالَ: فَالثُّلُثُ ؟
قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ؛ إِنَّكَ أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن
تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ".
Bahwa Sa'd bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta
yang banyak, sedangkan aku tidak mempunyai ahli waris selain anak perempuanku,
maka bolehkah aku berwasiat dengan dua pertiga hartaku?" Rasul Saw. menjawab,
"Tidak." Sa'd bertanya, "Bagaimana dengan separonya?" Rasul Saw.
menjawab, "Tidak." Sa'd bertanya, "Bagaimana dengan sepertiga?" Rasul
Saw. menjawab, "Sepertiga, ya sepertiga cukup banyak. Sesungguhnya kamu jika
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, jauh lebih baik daripada
kamu tinggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang
lain."
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah
mengatakan:
لَوْ
أَنَّ النَّاسَ غَضوا مِنَ الثُّلُثِ إِلَى الرُّبُعِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ
كَثِيرٌ"
Seandainya orang-orang mengurangi sepertiga hingga seperempatnya (niscaya
baik bagi mereka), karena sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, "Sepertiga.
Sepertiga itu cukup banyak."
رَوَى
الْإِمَامُ أَحْمَدُ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، عَنْ ذَيَّالِ
بْنِ عُبَيْدِ بْنِ حَنْظَلَةَ، سَمِعْتُ حَنْظَلَةَ بْنَ حِذْيَمِ بْنِ حَنِيفَةَ:
أَنَّ جِدَّهُ حَنِيفَةَ أَوْصَى لِيَتِيمٍ فِي حِجْرِهِ بِمِائَةٍ مِنَ الْإِبِلِ،
فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَى بَنِيهِ، فَارْتَفَعُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ حَنِيفَةُ: إِنِّي أَوْصَيْتُ لِيَتِيمٍ لِي بِمِائَةٍ
مِنَ الْإِبِلِ، كُنَّا نُسَمِّيهَا الْمُطَيَّبَةَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، "لَا لَا لَا. الصَّدَقَةُ: خَمْسٌ، وَإِلَّا فعَشْر،
وَإِلَّا فَخَمْسَ عَشْرَةَ، وَإِلَّا فَعِشْرُونَ، وَإِلَّا فَخَمْسٌ وَعِشْرُونَ،
وَإِلَّا فَثَلَاثُونَ، وَإِلَّا فَخَمْسٌ وَثَلَاثُونَ، فَإِنْ أَكْثَرْتَ
فَأَرْبَعُونَ". وَذَكَرَ
الْحَدِيثَ بِطُولِهِ
Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id maula Bani Hasyim, dari Ziad ibnu Atabah
ibnu Hanzalah bahwa ia pernah mendengar Hanzalah ibnu Juzaim ibnu Hanifah
menceritakan bahwa kakeknya yang bernama Hanifah pernah berwasiat seratus ekor
unta untuk seorang anak yatim yang berada dalam pemeliharaannya. Hal tersebut
dirasakan amat berat bagi anak-anaknya, lalu mereka melaporkan hal tersebut
kepada Rasulullah Saw. Hanifah berkata, "Sesungguhnya aku mewasiatkan buat anak
yatimku ini sebanyak seratus ekor unta. Unta-unta itu kami namakan Matiyyah."
Maka Nabi Saw. menjawab: Tidak, tidak, tidak, sedekah (zakat) saja hanya
seperlimanya. Jika tidak, maka sepuluh ekor unta saja; dan jika tidak, maka lima
belas ekor unta saja; dan jika tidak, maka dua puluh ekor unta saja; dan jika
tidak, maka dua puluh lima ekor unta saja; dan jika tidak, maka tiga puluh ekor
unta saja; dan jika tidak, maka tiga puluh lima ekor unta saja. Akan tetapi,
jika ternak unta berjumlah banyak, boleh empat puluh ekor unta. Lalu hadis
ini dikemukakannya hingga selesai.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ
يُبَدِّلُونَهُ}
Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka
sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. (Al-Baqarah:
181)
Yakni barang siapa yang mengubah wasiat dan menyelewengkannya hingga
menyimpang dari ketentuannya, baik dengan melebihkannya atau menguranginya, dan
termasuk ke dalam pengertian ini ialah orang yang menyembunyikan wasiat secara
lebih prioritasnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang
mengubahnya. Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan, "Pahala mayat tetap ada di sisi
Allah, sedangkan dosa mengubah wasiat ditanggung oleh orang-orang yang
mengubahnya."
{إِنَّ
اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ}
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah:
181)
Yakni Allah melihat apa yang diwasiatkan oleh si mayat, dan Dia Maha
Mengetahui hal tersebut dan apa yang diubah oleh orang-orang yang menerima
wasiat.
**************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
خَافَ مِنْ مُوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا}
(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu
berlaku berat sebelah atau berbuat dosa. (Al-Baqarah: 182)
Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi
mengatakan bahwa al-janaf ialah keliru, tetapi yang ini pengertiannya
mencakup segala macam kekeliruan. Misalnya mereka menambahkan bagian salah
seorang ahli waris dengan memakai suatu perantara atau suatu cara. Umpamanya
bila ia mewasiatkan untuk menjual sesuatu kepada si Fulan dengan harga yang
sangat murah, atau mewasiatkan sesuatu kepada cucu lelakinya yang lahir dari
anak perempuan dengan tujuan untuk menambah bagian si anak perempuan, atau
dengan cara lainnya. Hal ini dia lakukan baik secara tidak sengaja —karena
terdorong oleh emosi dan kekuatan kasih sayangnya tanpa berpikir terlebih
dahulu— ataupun ia lakukan dengan sengaja tanpa memikirkan dosanya, maka dalam
keadaan seperti ini si penerima harus memperbaiki permasalahannya dan bersikap
adil dalam menangani wasiat yang diterimanya itu sesuai dengan ketentuan hukum
syara'. Dan hendaknya merevisi apa yang diwasiatkan oleh si mayat dengan
meluruskannya kepada apa yang lebih dekat kepada hukum yang benar dan maksud
yang dituju oleh si mayat. Singkatnya, menggabungkan tujuan si pemberi wasiat
dengan hukum syar'i. Perbaikan dan penyesuaian ini sama sekali bukan termasuk ke
dalam pengertian mengubah wasiat. Karena itulah maka ia di-'ataf"-kan
(dikaitkan) dengan kalimat sebelumnya yang menunjukkan pengertian dilarang,
untuk diketahui bahwa cara ini sama sekali berbeda dengan cara pertama tadi.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ بْنِ مَزيد،
قِرَاءَةً، أَخْبَرَنِي أَبِي، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، قَالَ الزُّهْرِيُّ:
حَدَّثَنِي عُرْوَةُ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: أَنَّهُ قَالَ: "يُرَدّ مِنْ صَدقة الْحَائِفِ فِي حَيَاتِهِ مَا
يُرَدُّ مِنْ وَصِيَّةِ الْمُجْنِفِ عِنْدَ مَوْتِهِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul
Walid ibnu Mazid secara qiraah, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari
Al-Auza'i, bahwa Az-Zuhri pernah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Urwah,
dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Dikembalikan sebagian
dari sedekah orang yang aniaya selagi ia masih hidup, sebagaimana dikembalikan
sebagian wasiat orang yang berat sebelah setelah ia meninggal dunia.
Diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih melalui hadis Al-Abbas ibnul
Walid dengan lafaz yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Al-Walid ibnu
Mazid melakukan kekeliruan padanya, perkataan ini hanyalah dari Urwah saja.
Al-Walid ibnu Muslim meriwayatkannya pula dari Al-Auza'i, dan dalam sanadnya ini
ia tidak sampai kepada Urwah.
قَالَ
ابْنُ مَرْدويه أَيْضًا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ،
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ،
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِيِ هِنْدٍ، عَنْ
عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "الْحَيْفُ فِي الْوَصِيَّةِ مِنَ الْكَبَائِرِ"
Ibnu Murdawaih mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Yusuf, telah
menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Umar
ibnul Mugirah, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari
Nabi Saw. yang bersabda: Berat sebelah dalam wasiat merupakan dosa
besar.
Mengenai status rafa" hadis ini masih perlu dipertimbangkan.
Hadis yang paling baik mengenai bab ini ialah apa yang dikatakan oleh Abdur
Razzaq:
حَدَّثَنَا
مَعْمَر، عَنْ أشعثَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ شَهْر بْنِ حَوْشَب، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"إِنَّ الرَّجُلَ ليعملُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْخَيْرِ سبعينَ سنة، فإذا أوصى حاف في
وصيته فَيُخْتَمُ لَهُ بِشَرِّ عَمَلِهِ، فَيَدْخُلُ النَّارَ، وَإِنَّ الرجل ليعمل
بعَمَل أهل الشر سبعينَ سنة، فَيَعْدِلُ فِي وَصِيَّتِهِ، فَيُخْتَمُ لَهُ بِخَيْرِ
عَمَلِهِ، فيدخل الجنة"
telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Asy'as ibnu Abdullah, dari Syahr
ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengamalkan suatu
amalan ahli kebaikan selama tujuh puluh tahun; tetapi apabila ia berwasiat, lalu
ia berat sebelah dalam wasiatnya itu, maka dia akan diakhiri dengan keburukan
amalnya, lalu dimasukkan ke dalam neraka. Dan sesungguhnya seorang lelaki
benar-benar mengamalkan suatu amalan ahli keburukan selama tujuh puluh tahun,
tetapi ternyata berlaku adil dalam wasiatnya, maka dia akan diakhiri dengan
kebaikan amalnya, lalu dimasukkan ke dalam surga.
Selanjutnya Abu Hurairah r.a. mengatakan, "Bacalah oleh kalian bila kalian
suka," yaitu firman-Nya: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian
melanggarnya. (Al-Baqarah: 229)
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 180-182"
Posting Komentar