Al-Baqoroh Ayat 172-173
Senin, 14 Mei 2018
Add Comment
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا
لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (172) إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (173) }
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di
antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah
kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya saja kalian menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya),
sedangkan ia tidak (dalam keadaan) memberontak dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Allah Swt. berfirman memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk
memakan dari rezeki yang baik yang telah diberikan-Nya kepada mereka, dan
hendaknya mereka bersyukur kepada Allah Swt. atas hal tersebut, jika mereka
benar-benar mengaku sebagai hamba-hamba-Nya.
Makan dari rezeki yang halal merupakan penyebab bagi terkabulnya doa dan
ibadah, sedangkan makan dari rezeki yang haram dapat menghambat terkabulnya doa
dan ibadah. Seperti yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad:
حَدَّثَنَا
أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا الفُضَيل بْنُ مَرْزُوقٍ، عَنْ عدَيِّ بْنِ ثَابِتٍ،
عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هريرة قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّهَا النَّاسُ،
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيَّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ
الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا
الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ} [الْمُؤْمِنُونَ: 51] وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يطيلُ
السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يمدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا
رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وغُذي
بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ".
telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami
Al-Fudail ibnu Marzuq, dari Addi ibnu Sabit, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah
r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hai manusia,
sesungguhnya Allah itu Mahabaik, Dia tidak menerima kecuali yang baik-baik. Dan
sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sama dengan apa
yang diperintahkan-Nya kepada para rasul, maka Allah berfirman, "Hai
rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang
saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan"
(Al-Muminun: 51). Dan Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman,
makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian"
(Al-Baqarah: 172). Kemudian Nabi Saw. menyebutkan perihal seorang lelaki yang
lama dalam perjalanannya dengan rambut yang awut-awutan penuh debu, lalu ia
menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, "Wahai Tuhanku, wahai
Tuhanku." Sedangkan makanannya dari yang haram, minumnya dari yang haram,
pakaiannya dari yang haram, dan disuapi dari yang haram, mana mungkin doanya
dikabulkan dengan cara demikian?
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dan
Imam Turmuzi melalui hadis Fudail ibnu Marzuq. Setelah Allah menganugerahkan kepada mereka rezeki-Nya dan memberi mereka
petunjuk agar makan dari rezeki yang halal, berikutnya Allah menyebutkan bahwa
Dia tidak mengharamkan kepada mereka dari hal tersebut kecuali bangkai. Yang
dimaksud dengan bangkai ialah hewan yang menemui ajalnya tanpa melalui proses
penyembelihan, baik karena tercekik atau tertusuk, jatuh dari ketinggian atau
tertanduk hewan lain, atau dimangsa oleh binatang buas. Akan tetapi, jumhur
ulama mengecualikan masalah ini ialah bangkai ikan, karena berdasarkan
firman-Nya:
أُحِلَّ
لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعامُهُ
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal)
dari laut. (Al-Maidah: 96)
Hal ini akan diterangkan nanti pada tempatnya, insya Allah. Juga berdasarkan
hadis ikan anbar dalam kitab Sahih, kitab Musnad, kitab Muwatta’ dan kitab-kitab
Sunan, yaitu sabda Rasul Saw. mengenai laut:
«هُوَ
الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ»
Laut itu airnya menyucikan lagi bangkainya halal.
Imam Syafii, Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah serta Imam Daruqutni telah
meriwayatkan melalui hadis Ibnu Umar secara marfu yang mengatakan:
«أُحِلَّ
لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ السَّمَكُ وَالْجَرَادُ وَالْكَبِدُ
وَالطِّحَالُ»
Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah, yaitu ikan dan
belalang, serta hati dan limpa.
Pembahasan secara detail mengenai masalah ini nanti akan
diterangkan di dalam tafsir surat Al-Maidah. Air susu bangkai dan telur bangkai yang masih bersatu dengannya hukumnya
najis —menurut Imam Syafii dan lain-lainnya— karena masih merupakan bagian dari
bangkai tersebut.
Imam Malik menurut salah satu riwayat mengatakan bahwa air susu dan telur
tersebut suci, hanya saja menjadi najis karena faktor mujawairah. Demikian pula
halnya keju yang terbuat dari air susu bangkai, masih diperselisihkan; tetapi
menurut pendapat yang terkenal di kalangan mereka, hukumnya najis. Mereka
mengemukakan dalil untuk alasan mereka, bahwa para sahabat pernah memakan keju
orang-orang Majusi.
Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya sehubungan dengan masalah ini
mengatakan, "Bahan keju tersebut sedikit, sedangkan campurannya yang terdiri
atas air susu banyak. Karena itu, najis yang sedikit dimaafkan bila bercampur
dengan cairan (suci) yang banyak."
وَقَدْ
رَوَى ابْنُ مَاجَهْ مِنْ حَدِيثِ سَيْفِ بْنِ هَارُونَ، عَنْ سُلَيْمَانَ
التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنْ سَلْمَانَ سُئِلَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ السَّمْنِ وَالْجُبْنِ
وَالْفِرَاءِ، فَقَالَ: "الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ،
وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ
مِمَّا عَفَا عَنْهُ"
Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Saif ibnu Harun, dari Sulaiman
At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Salman r.a. yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai samin, keju, dan bulu. Maka beliau Saw.
bersabda: Halal ialah apa-apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitab-Nya,
dan haram ialah apa-apa yang diharamkan oleh Allah di dalam Kitab-Nya, sedangkan
apa yang tidak diterangkan padanya termasuk sesuatu yang dimaafkan.
Diharamkan pula atas mereka daging babi, baik yang disembelih ataupun mati
dengan sendirinya. Termasuk ke dalam pengertian daging babi ialah lemaknya,
adakalanya karena faktor prioritas atau karena pengertian daging mencakup
lemaknya juga, atau melalui jalur kias (analogi) menurut suatu pendapat.
Diharamkan pula hewan yang disembelih bukan karena Allah, yaitu hewan yang
ketika disembelih disebut nama selain Allah, misalnya menyebut nama
berhala-berhala, tandingan-tandingan, dan azlam serta lain sebagainya yang
serupa, yang biasa disebutkan oleh orang-orang Jahiliah bila mereka menyembelih
hewannya.
Imam Qurtubi menyebutkan suatu riwayat dari Ibnu Atiyyah, yang Ibnu Atiyyah
pernah menukil dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah ditanya mengenai seorang
wanita yang mengadakan pesta perkawinan buat bonekanya, lalu wanita itu
menyembelih seekor unta untuk pesta tersebut. Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan
bahwa daging unta tersebut tidak boleh dimakan karena disembelih untuk
berhala.
Imam Qurtubi mengetengahkan pula sebuah as'ar dari Siti Aisyah r.a., bahwa
Siti Aisyah pernah ditanya mengenai hewan yang disembelih oleh orang-orang 'ajam
(selain bangsa Arab) untuk hari perayaan mereka, lalu mereka menghadiahkan
sebagiannya kepada kaum muslim. Maka Siti Aisyah r.a. menjawab, "Hewan yang
disembelih untuk merayakan hari tersebut tidak boleh kalian makan, dan kalian
hanya boleh makan buah-buahannya."
Selanjutnya Allah Swt. memperbolehkan makan semua yang disebutkan tadi dalam
keadaan darurat dan sangat diperlukan bila makanan yang lainnya tidak didapati.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا
إِثْمَ عَلَيْهِ}
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan ia
tidak maksiat dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
(Al-Baqarah: 173)
Yakni bukan dalam keadaan maksiat, bukan pula dalam keadaan melampaui batas;
tidak ada dosa baginya makan apa yang telah disebutkan.
{إِنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah:
173)
Mujahid mengatakan, "Barang siapa yang tidak maksiat dan tidak pula melampaui
batas, yakni bukan dalam keadaan sebagai pembegal jalan (rampok), atau
memberontak terhadap imam (penguasa), atau bepergian untuk tujuan maksiat
terhadap Allah, diperbolehkan baginya memakannya. Tetapi barang siapa yang
bepergian karena memberontak atau melampaui batas atau berbuat maksiat kepada
Allah, tidak ada rukhsah (dispensasi) baginya, sekalipun ia dalam keadaan
darurat." Hal yang sama dikatakan pula menurut suatu riwayat yang bersumber dari
Sa'id ibnu Jubair.
Sa'id di dalam riwayat yang lain dan Muqatil mengatakan, yang dimaksud dengan
gaira bagin ialah tidak menghalalkannya. As-Saddi mengatakan bahwa gaira bagin artinya bukan karena
memperturutkan selera ingin memakannya. Adam ibnu Abi Iyas mengatakan, telah menceritakan kepada kami Damrah, dari
Usman ibnu Ata (yakni Al-Khurrasani), dari ayahnya yang mengatakan bahwa
seseorang tidak boleh memanggang sebagian dari bangkai itu untuk membuatnya
berselera memakannya, tidak boleh pula memasaknya serta tidak boleh memakannya
kecuali hanya sedikit, tetapi ia boleh membawanya sampai ia dapat menemukan
makanan yang halal. Apabila ia telah menemukan makanan yang halal, ia harus
membuangnya. Demikianlah yang dimaksud oleh firman-Nya, "Wala 'adin,"
yakni tidak boleh melampaui batas dalam memakannya bila telah menemukan yang
halal.
Dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa makna wala 'adin ialah tidak boleh
sekenyangnya. Sedangkan As-Saddi menafsirkannya dengan makna al-'udwan,
yakni melampaui batas. Disebutkan pula dari Ibnu Abbas bahwa gaira bagin yakni tidak
menginginkan bangkai tersebut, wala 'adin artinya dan tidak melampaui
batas dalam memakannya.
Qatadah mengatakan bahwa gaira bagin artinya tidak menginginkan
bangkai tersebut, yakni 'ketika keadaan memaksanya untuk memakan bangkai, ia
memakannya tidak melampaui batas garis-garis yang dihalalkan sampai kepada batas
yang diharamkan, padahal ia mempunyai jalan keluar dari itu'.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya:
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya). (Al-Baqarah:
173) Yakni dipaksa untuk memakannya tanpa ada kemauan dari dirinya sendiri.
Apabila orang yang dalam keadaan terpaksa (darurat) menemukan suatu bangkai
dan makanan milik orang lain, sekiranya tidak ada hukum potong tangan dalam
mengambilnya dan tidak pula hukuman lainnya (ta'zir), maka tidak dihalalkan
baginya memakan bangkai, melainkan ia boleh memakan makanan milik orang lain
itu. Semua ulama sepakat, tanpa ada yang memperselisihkannya.
Selanjutnya disebutkan, apabila dia memakannya dalam keadaan demikian, lalu
apakah dia harus menggantinya atau tidak? Sebagai jawabannya ada dua pendapat,
yang keduanya merupakan dua riwayat dari Imam Malik.
Selanjutnya diketengahkan sebuah hadis dari Sunan Ibnu Majah:
مِنْ
حَدِيثِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي إِيَاسٍ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي وَحْشِيَّةَ: سَمِعْتُ
عَبَّادَ بْنَ الْعَنْزِيِّ قَالَ: أَصَابَتْنَا عَامًا مَخْمَصَةٌ، فَأَتَيْتُ
الْمَدِينَةَ. فَأَتَيْتُ حَائِطًا، فَأَخَذْتُ سُنْبُلًا فَفَرَكْتُهُ
وَأَكَلْتُهُ، وَجَعَلْتُ مِنْهُ فِي كِسَائِي، فَجَاءَ صَاحِبُ الْحَائِطِ
فَضَرَبَنِي وَأَخَذَ ثَوْبِي، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ لِلرَّجُلِ: "مَا أَطْعَمْتَهُ إِذْ كَانَ
جَائِعًا أَوْ سَاعِيًا، وَلَا عَلَّمْتَهُ إِذْ كَانَ
جَاهِلَا" فَأَمَرَهُ
فَرَدَّ إِلَيْهِ ثَوْبَهُ، وَأَمَرَ لَهُ بِوَسْقٍ مِنْ طَعَامٍ أَوْ نِصْفِ
وَسْقٍ
melalui hadis Syu'bah, dari Abu Iyas, dari Ja'far ibnu Abu Wahsyiyyah yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Syurahbil Al-Anazi menceritakan hadis
berikut, "Ketika tahun paceklik menimpa kami, aku datang ke Madinah, lalu aku
memasuki sebuah kebun dan mengambil setangkai buah kurma. Aku memakannya, dan
selebihnya aku masukkan ke dalam kantong bajuku. Ternyata pemilik kebun itu
datang, maka dia memukuliku dan merampas bajuku. Lalu aku datang kepada
Rasulullah Saw. dan kuceritakan kepadanya hal tersebut Maka beliau Saw. bersabda
kepada pemilik kebun: 'Kamu tidak memberinya makan ketika dia sedang
kelaparan dan dalam keadaan tidak bermata pencaharian, dan kamu tidak
mengajarnya sewaktu dia tidak mengerti (bodoh).' Lalu Nabi Saw.
memerintahkan kepadanya agar mengembalikan pakaian lelaki itu, dan Nabi Saw.
memerintahkan pula agar diberikan kepada si pemilik kebun satu wasaq atau
setengah wasaq makanan (sebagai gantinya)."
Sanad hadis ini sahih, kuat lagi jayyid dan mempunyai banyak syawahid lainnya
yang memperkuatnya. Termasuk ke dalam bab ini hadis lain yang diriwayatkan
melalui hadis Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah
Saw. pernah ditanya mengenai buah-buahan yang bergantung pada pohonnya. Maka
beliau Saw. menjawab:
"مَنْ
أَصَابَ مِنْهُ مِنْ ذِي حَاجَةٍ بِفِيهِ غَيْرَ مُتَّخِذٍ خُبْنَةً فَلَا شَيْءَ
عَلَيْهِ"
Barang siapa yang mengambil sebagian darinya cukup untuk makannya sendiri,
sedangkan dia dalam keadaan miskin serta tidak mengambil bekal darinya, tidak
ada dosa baginya, hingga akhir hadis.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka
tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Al-Baqarah: 173) Yakni tidak ada dosa baginya karena memakan
makanan itu, sebab dia dalam keadaan terpaksa. Telah sampai kepada kami suatu
riwayat —hanya Allah Yang Mengetahui— bahwa makanan tersebut tidak boleh lebih
dari tiga suap.
Menurut Sa'id ibnu Jubair, makna ayat adalah sebagai berikut: "Allah Maha
Pengampun terhadap apa yang telah dimakannya dari barang yang haram, lagi Maha
Penyayang karena Dia telah menghalalkan baginya barang yang haram dalam keadaan
terpaksa." Waki' mengatakan bahwa Al-A'masy menceritakan kepada kami, dari Abud-Duha,
dari Masruq yang mengatakan, "Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, lalu dia
tidak mau makan dan minum, kemudian berakibat kepada kematiannya, maka dia masuk
neraka." Pendapat ini menunjukkan bahwa memakan bangkai bagi orang yang dalam
keadaan terpaksa merupakan azimah (keharusan), bukan rukhsah (dispensasi).
Abul Hasan At-Tabari yang dikenal dengan nama Kayalharasi (sahabat karib Imam
Gazali) di dalam kitab Al-Istigal-nya. mengatakan, "Menurut
pendapat yang sahih di kalangan kami, masalah ini sama halnya dengan berbuka
puasa bagi orang yang sakit dan karena penyebab lainnya yang membolehkannya
berbuka puasa."
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 172-173"
Posting Komentar