Al-Baqoroh Ayat 185
Selasa, 15 Mei 2018
Add Comment
{شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ
كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
}
Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya
diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang ba-til). Karena itu,
barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu; dan barang siapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi
kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Hendaklah kalian
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian
bersyukur.
Allah Swt. memuji bulan Ramadan di antara bulan-bulan lainnya, karena Dia
telah memilihnya di antara semua bulan sebagai bulan yang padanya diturunkan
Al-Qur'an yang agung. Sebagaimana Allah mengkhususkan bulan Ramadan sebagai
bulan diturunkan-Nya Al-Qur'an, sesungguhnya telah disebutkan oleh hadis bahwa
pada bulan Ramadan pula kitab Allah lainnya diturunkan kepada para nabi Sebelum
Nabi Muhammad Saw.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ
مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا عمْران أَبُو الْعَوَّامِ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ
أَبِي الْمَلِيحِ، عَنْ وَاثِلَةَ -يَعْنِي ابْنَ الْأَسْقَعِ-أَنَّ رسول الله صلى
الله عليه وسلم قال: "أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ
رَمَضَانَ. وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ،
وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ
الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ"
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id
maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Imran Abul Awwam, dari
Qatadah, dari Abul Falih, dari Wasilah (yakni Ibnul Asqa), bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Lembaran-lembaran Nabi Ibrahim diturunkan pada permulaan
malam Ramadan dan kitab Taurat diturunkan pada tanggal enam Ramadan, dan kitab
Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadan, sedangkan Al-Qur'an diturunkan
pada tanggal dua puluh empat Ramadan.
Telah diriwayatkan pula melalui hadis Jabir ibnu Abdullah yang di dalamnya
disebutkan:
أَنَّ
الزَّبُورَ أُنْزِلَ لثنتَي عَشْرَةَ [لَيْلَةً] َلَتْ مِنْ رَمَضَانَ،
وَالْإِنْجِيلُ لِثَمَانِي عَشْرَةَ،
Bahwa kitab Zabur diturunkan pada tanggal dua belas Ramadan, dan kitab
Injil diturunkan pada tanggal delapan belasnya.
Sedangkan kalimat selanjutnya sama dengan hadis di atas. Demikianlah menurut
riwayat Ibnu Murdawaih. Adapun lembaran-lembaran atau suhuf, kitab Taurat, Zabur, dan Injil,
masing-masing diturunkan kepada nabi yang bersangkutan secara sekaligus. Lain
halnya dengan Al-Qur'an, diturunkan sekaligus hanya dari Baitul 'Izzah ke langit
dunia; hal ini terjadi pada bulan Ramadan, yaitu di malam Lailatul Qadar.
Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
إِنَّا
أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam penuh
kemuliaan. (Al-Qadar: 1)
إِنَّا
أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةٍ مُبارَكَةٍ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati.
(Ad-Dukhan: 3)
Setelah itu Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah Saw. secara bertahap
sesuai dengan kejadian-kejadiannya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan bukan hanya oleh seorang perawi
saja, dari Ibnu Abbas. Seperti yang diriwayatkan oleh Israil, dari As-Saddi,
dari Muhammad ibnu Abul Mujalid, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas.
Disebutkan bahwa Atiyyah ibnul Aswad pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa
di dalam hatinya terdapat keraguan mengenai firman-Nya: Bulan Ramadan, bulan
yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an. (Al-Baqarah: 185); Firman-Nya:
Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur'an) pada suatu malam yang
diberkahi. (Ad-Dukhan: 3); Serta firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam penuh kemuliaan. (Al-Qadar. 1)
Sedangkan Al-Qur'an ada yang diturunkan pada bulan Syawal, ada yang dalam bulan
Zul-Qa'dah, ada yang dalam bulan Zul-Hijjah, ada yang dalam bulan Muharram, ada
yang dalam bulan Safar, ada pula yang diturunkan dalam bulan Rabi'. Maka Ibnu
Abbas menjawab, "Sesungguhnya Al-Qur'an diturunkan dalam bulan Ramadan, yaitu
dalam malam yang penuh dengan kemuliaan (Lailatul Qadar), dan dalam malam yang
penuh dengan keberkahan secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi sesuai dengan
kejadian-kejadiannya secara berangsur-angsur dalam bulan dan hari yang
berbeda-beda."
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu
Murdawaih.
Sedangkan di dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, disebutkan
bahwa Ibnu Abbas mengatakan, "Al-Qur'an diturunkan pada pertengahan bulan
Ramadan ke langit dunia dari tempat asalnya, yaitu Baitul 'Izzah. Kemudian
diturunkan kepada Rasulullah Saw. selama dua puluh tahun untuk menjawab
perkataan manusia."
Di dalam riwayat Ikrimah, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Al-Qur'an
diturunkan pada bulan Ramadan (yaitu di malam Lailatul Qadar) ke langit dunia
secara sekaligus. Sesungguhnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi-Nya menurut apa
yang dikehendaki-Nya, dan tidak sekali-kali orang-orang musyrik mendatangkan
suatu perumpamaan untuk mendebat Nabi Saw. melainkan Allah Swt. mendatangkan
jawabannya. Yang demikian itulah pengertian firman-Nya:
وَقالَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً واحِدَةً كَذلِكَ
لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤادَكَ وَرَتَّلْناهُ تَرْتِيلًا وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ
إِلَّا جِئْناكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً
Berkatalah orang-orang yang kafir, "Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?" Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya
dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok. Tidaklah orang-orang kafir itu
datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu
suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (Al-Furqan: 32-33)
*********
Adapun firman Allah Swt.:
{هُدًى
لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ}
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (Al-Baqarah:
185)
Hal ini merupakan pujian bagi Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah Swt.
sebagai petunjuk buat hati hamba-hamba-Nya yang beriman kepada Al-Qur'an,
membenarkannya, dan mengikutinya. Bayyinatin, petunjuk-petunjuk dan hujah-hujah yang jelas lagi gamblang
dan terang bagi orang yang memahami dan memikirkannya, membuktikan kebenaran apa
yang dibawanya berupa hidayah yang menentang kesesatan, petunjuk yang berbeda
dengan jalan yang keliru, dan pembeda antara perkara yang hak dan yang batil
serta ha-lal dan haram.
Telah diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf bahwa ia tidak suka
mengatakan bulan puasa dengan sebutan Ramadan saja, melainkan bulan Ramadan. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakkar ibnur Rayyan, telah menceritakan
kepada kami Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan Sa'id (yakni
Al-Maqbari), dari Abu Hurairah r.a., ia pernah mengatakan, "Janganlah kalian
katakan Ramadan, karena sesungguhnya Ramadan itu merupakan salah satu dari asma
Allah Swt. Tetapi katakanlah bulan Ramadan."
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan juga dari Mujahid dan
Muhammad ibnu Ka'b hal yang semisal dengan asar di atas. Akan tetapi, Ibnu Abbas
dan Zaid ibnu Sabit membolehkan sebutan tersebut. Menurut kami, Abu Ma'syar adalah Najih ibnu Abdur Rahman Al-Madani, seorang
imam ahli dalam Bab "Magazi dan Sirah", tetapi daif (dalam periwayatan hadis);
anak lelakinya yang bernama Muhammad mengambil riwayat hadis darinya. Dialah
yang me-rafa'-kan hadis ini sampai kepada Abu Hurairah. Periwayatan hadisnya
ditolak oleh Al-Hafiz Ibnu Addi, dan ia memang berhak untuk ditolak karena
predikatnya matruk; sesungguhnya dia hanya menduga-duga saja akan predikat
marfu' hadis ini. Tetapi Imam Bukhari di dalam kitab-nya mendukung Abu Ma'syar,
untuk itu ia mengatakan dalam kitabnya bahwa ini adalah bab mengenai sebutan
Ramadan, lalu ia mengetengahkan hadis-hadis yang menyangkut hal tersebut, antara
lain ialah hadis yang mengatakan:
"مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ"
Barang siapa yang puasa Ramadan karena iman dan mengharapkan rida Allah,
niscaya diampuni baginya semua dosanya yang terdahulu.
Dan hadis-hadis lainnya yang semisal.
*********
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ}
Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.
(Al-Baqarah: 185)
Hukum wajib ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal
masuk bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan
Ramadan datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat, maka dia harus
mengerjakan puasa. Ayat ini me-nasakh ayat yang membolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sehat
lagi mukim, tetapi hanya membayar fidyah, memberi makan seorang miskin untuk
setiap harinya, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.
Setelah masalah puasa dituntaskan ketetapannya, maka disebutkan kembali
keringanan bagi orang yang sakit dan orang yang bepergian. Keduanya boleh
berbuka, tetapi dengan syarat kelak harus mengqadainya. Untuk itu Allah Swt.
berfirman:
{وَمَنْ
كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}
dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 185)
Maknanya, barang siapa yang sedang sakit hingga puasa memberatkannya atau
membahayakannya, atau ia sedang dalam perjalanan, maka dia boleh berbuka.
Apabila berbuka, maka ia harus berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya di
hari-hari yang lain (di luar Ramadan). Karena itu, dalam firman selanjutnya
disebutkan:
{يُرِيدُ
اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran
bagi kalian. (Al-Baqarah: 185)
Dengan kata lain, sesungguhnya diberikan keringanan ini bagi kalian hanya
dalam keadaan kalian sedang sakit atau dalam perjalanan, teta-pi puasa merupakan
suatu keharusan bagi orang yang mukim lagi se-hat. Hal ini tiada lain hanyalah
untuk mempermudah dan memperi-ngan kalian sebagai rahmat dari Allah Swt. buat
kalian.
Beberapa masalah yang berkaitan dengan ayat ini
Pertama: Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa orang yang
sejak permulaan Ramadan masuk masih dalam keadaan mukim, kemudian di tengah
bulan Ramadan ia mengadakan perjalanan (bepergian), maka tidak diperbolehkan
baginya berbuka karena alasan bepergian selama ia berada dalam perjalanannya,
karena firman Allah Swt.: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu. (Al-Baqarah: 185) Sesungguhnya berbuka itu hanya diperbolehkan bagi
orang yang melakukan perjalanannya sebelum bulan Ramadan masuk, sedangkan dia
telah berada dalam perjalanannya.
Tetapi pendapat ini aneh, dinukil oleh Abu Muhammad ibnu Hazm di dalam
kitabnya yang berjudul Al-Mahalli, dari sejumlah sahabat dan tabi'in. Hanya
riwayat yang dikemukakannya dari mereka masih perlu dipertimbangkan
kebenarannya, karena sesungguhnya telah ditetapkan di dalam sunnah dari
Rasulullah Saw. bahwa beliau pernah melakukan suatu perjalanan di dalam bulan
Ramadan untuk melakukan Perang Fatah (penaklukan kota Mekah). Beliau Saw.
berjalan bersama pasukannya sampai di Kadid. Ketika di Kadid, beliau berbuka dan
memerintahkan kepada orang-orang untuk berbuka mengikuti jejaknya. Demikianlah
menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Kedua: Segolongan sahabat dan tabi'in lainnya berpendapat,
wajib berbuka dalam perjalanan karena berdasarkan firman-Nya: maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. (Al-Baqarah: 185) Akan tetapi, pendapat yang benar ialah yang
dikatakan oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yaitu bahwa masalah berbuka dalam
perjalanan ini berdasarkan takhyir (boleh memilih) dan bukan suatu
keharusan. Karena mereka berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam bulan Ramadan,
lalu menurut salah seorang di antara mereka yang terlibat, "Di antara kami ada
orang yang tetap berpuasa dan di antara kami ada pula yang berbuka. Maka Nabi
Saw. tidak mencela orang yang tetap berpuasa dan tidak pula terhadap orang yang
berbuka. Seandainya berbuka merupakan suatu keharusan, niscaya beliau Saw.
mencela orang-orang yang berpuasa di antara kami. Bahkan telah dibuktikan pula
dari perbuatan Rasulullah Saw. sendiri bahwa beliau pernah dalam keadaan
demikian (berada dalam suatu perjalanan), tetapi beliau tetap berpuasa." Seperti
yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abu Darda yang menceritakan:
خَرَجْنَا
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي
حَرٍّ شَدِيدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ من شدة،
وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ
Kami berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam bulan Ramadan, cuaca saat itu
sangat panas hingga seseorang di antara kami ada yang meletakkan tangannya di
atas kepalanya karena teriknya panas matahari, dan tiada seorang pun di antara
kami yang tetap berpuasa selain Rasulullah Saw. sendiri dan Abdullah ibnu
Rawwahah.
Ketiga: Segolongan ulama yang antara lain ialah Imam Syafii
mengatakan bahwa puasa dalam perjalanan lebih utama daripada berbuka karena
berdasarkan perbuatan Nabi Saw., seperti yang disebutkan di atas tadi.
Segolongan ulama lainnya mengatakan, bahkan berbuka lebih baik daripada
berpuasa karena berpegang kepada rukhsah (keringanan), juga karena ada sebuah
hadis dari Rasulullah Saw. yang menceritakan bahwa beliau Saw. pernah ditanya
mengenai puasa dalam perjalanan. Maka beliau menjawab:
«مَنْ
أَفْطَرَ فَحَسَنٌ، وَمَنْ صَامَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ»
Barang siapa yang berbuka, maka hal itu baik; dan barang siapa yang tetap
berpuasa, maka tiada dosa atasnya.
Di dalam hadis yang lain disebutkan:
«عَلَيْكُمْ
بِرُخْصَةِ اللَّهِ التِي رَخَّصَ لَكُمْ»
Ambillah oleh kalian rukhsah (keringanan) Allah yang diberikan-Nya kepada
kalian.
Segolongan ulama yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya (berbuka dan
puasa dalam perjalanan) sama saja, karena berdasarkan hadis Siti Aisyah yang
mengatakan bahwa Hamzah ibnu Amr Al-Aslami pernah bertanya, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku adalah orang yang sering berpuasa, maka bolehkah aku berpuasa
dalam perjalanan?" Rasulullah Saw. menjawab:
«إِنْ
شِئْتَ فَصُمْ، وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ»
Jika kamu menginginkan puasa, berpuasalah. Dan jika kamu menginginkan
berbuka, berbukalah.
Hadis ini terdapat di dalam kitab Sahihain.
Menurut pendapat yang lain, apabila puasa memberatkannya, maka berbuka adalah
lebih utama, berdasarkan kepada hadis Jabir yang mengatakan:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ
عَلَيْهِ، فَقَالَ: "مَا هَذَا؟ " قَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ: " لَيْسَ مِنَ
الْبَرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ".
Bahwa Rasulullah Saw. pernah melihat seorang lelaki yang dinaungi (dikerumuni
oleh orang banyak), maka beliau bertanya, "Ada apa?" Mereka menjawab,
"Orang yang berpuasa." Maka beliau Saw. bersabda, "Bukanlah merupakan suatu
kebaktian melakukan puasa dalam perjalanan." (Hadis diketengahkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim)
Jika orang yang bersangkutan tidak menyukai sunnah dan ia tidak suka berbuka,
maka merupakan suatu ketentuan baginya berbuka, dan haram baginya melakukan
puasa bila ia dalam perjalanan. Hal ini berdasarkan sebuah hadis di dalam kitab
Musnad Imam Ahmad dan lain-lainnya, dari Ibnu Umar dan Jabir serta selain
keduanya yang mengatakan:
مَنْ
لَمْ يَقْبَلْ رُخْصَةَ اللَّهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ جِبَالِ
عَرَفَةَ
Barang siapa yang tidak mau menerima keringanan Allah, maka atas dirinya
dibebankan dosa yang besarnya semisal dengan Bukit Arafah.
Keempat: Mengenai masalah qada, apakah wajib berturut-turut
atau boleh terpisah-pisah? Ada dua pendapat mengenai masalah ini.
-
Pendapat pertama mengatakan wajib berturut-turut, karena qada merupakan
pengulangan dari ada'an.
- Menurut pendapat kedua, tidak wajib berturut-turut. Jika orang yang bersangkutan ingin memisah-misahkannya, maka ia boleh memisah-misahkannya. Jika ingin berturut-turut, ia boleh berturut-turut dalam mengerjakannya. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama Salaf dan Khalaf —dan didukung oleh dalil-dalil yang kuat— karena berturut-turut itu hanyalah diwajibkan dalam bulan Ramadan, mengingat puasa harus dilakukan dalam bulan itu secara tuntas. Bila bulan Ramadan telah lewat, maka makna yang dimaksud hanyalah wajib membayar hari-hari yang ditinggalkannya saja, tanpa ikatan harus berturut-turut. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah : 185) Kemudian Allah Swt. berfirman: Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. (Al-Baqarah: 185)
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا
أَبُو سَلَمَةَ الْخُزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ هِلَالٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ
هِلَالٍ الْعَدَوِيِّ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ، عَنِ الْأَعْرَابِيِّ الذِي سَمِعَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إن خَيْرَ دِينِكُمْ
أَيْسَرُهُ، إِنَّ خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Al-Khuza'i,
telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Humaid ibnu Hilal Al-Adawi, dari
Abu Qatadah, dari Al-A'rabi yang mendengarnya langsung dari Nabi Saw.:
Sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama kalian ialah yang paling mudah,
sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama kalian ialah yang paling
mudah.
قَالَ
أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ
هِلَالٍ، حَدَّثَنَا غَاضِرَةُ بْنُ عُرْوة الفُقَيْمي، حَدَّثَنِي أَبِي عُرْوَة،
قَالَ: كُنَّا نَنْتَظِرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ
رَجلا يَقْطُرُ رَأْسُهُ مِنْ وُضُوءٍ أَوْ غُسْلٍ، فَصَلَّى، فَلَمَّا قَضَى
الصَّلَاةَ جَعَلَ النَّاسُ يَسْأَلُونَهُ: عَلَيْنَا حَرَجٌ فِي كَذَا؟ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ دِينَ اللَّهِ فِي
يُسْرٍ" ثَلَاثًا يَقُولُهَا
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun,
telah menceritakan kepada kami Asim ibnu Hilal, telah menceritakan kepada kami
Amir ibnu Urwah Al-Faqimi, telah menceritakan kepadaku Abu Urwah yang
menceritakan: Ketika kami sedang menunggu Nabi Saw., maka keluarlah beliau
dengan kepala yang masih meneteskan air karena habis wudu atau mandi, lalu
beliau salat. Setelah beliau selesai dari salat-nya, maka orang-orang bertanya
kepadanya, "Apakah kami berdosa jika melakukan demikian?" Maka Rasulullah Saw.
bersabda, "Sesungguhnya agama Allah itu berada dalam kemudahan." Beliau
mengucapkannya sebanyak tiga kali.
Imam Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dalam tafsir ayat ini
melalui hadis Muslim ibnu Abu Tamim, dari Asim ibnu Hilal dengan lafaz yang
sama.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو التَّيَّاحِ، سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: إِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "يَسِّرُوا، وَلَا
تُعَسِّرُوا، وسكِّنُوا وَلَا تُنَفِّروا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far,
telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Abut
Tayyah; ia pernah mendengar sahabat Anas r.a. mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Mudahkanlah dan janganlah kalian mempersulit, serta bersikap
simpatilah kalian dan janganlah kalian bersikap tidak disenangi.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahih
masing-masing. Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula bahwa ketika Rasulullah
Saw. mengutus sahabat Mu'az ibnu Jabal dan Abu Musa ke negeri Yaman, beliau
bersabda kepada keduanya:
"بَشِّرَا
وَلَا تُنَفِّرَا، وَيَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا، وَتَطَاوَعَا وَلَا
تَخْتَلِفَا"
Sampaikanlah berita gembira (kepada mereka) dan janganlah kamu berdua
bersikap yang membuat mereka antipati kepadamu; permudahkanlah oleh kamu dan
janganlah kamu berdua mempersulit; dan saling bantulah kamu berdua dan jangan
sampai kamu berdua berselisih pendapat.
Di dalam kitab Sunan dan kitab Masanid disebutkan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
"بُعِثْتُ
بالحنيفيَّة السَّمْحَةِ"
Aku diutus membawa agama yang cenderung kepada perkara yang hak dan penuh
dengan toleransi.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya mengatakan:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ابْنُ أَبِي
طَالِبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ، حَدَّثَنَا أَبُو مَسْعُودٍ
الجُرَيري، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ مِحْجَن بْنِ الْأَدْرَعِ: أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي فَتَرَاءَاهُ بِبَصَرِهِ
سَاعَةً، فَقَالَ: "أَتُرَاهُ يُصَلِّي صَادِقًا؟ " قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، هَذَا أَكْثَرُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ صَلَاةً، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لا تُسْمِعْه فَتُهلِكَه". وَقَالَ: "إِنَّ
اللَّهَ إِنَّمَا أَرَادَ بِهَذِهِ الْأُمَّةِ اليُسْر، وَلَمْ يَرِدْ بِهِمُ
العُسْر"
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ishaq ibnu Ibrahim, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Talib, telah menceritakan kepada kami
Abdul Wahhab ibnu Ata, telah menceritakan kepada kami Abu Mas'ud Al-Hariri, dari
Abdullah ibnu Syaqiq, dari Mihjan ibnul Adra' yang menceritakan: Bahwa
Rasulullah Saw. melihat seorang lelaki yang sedang salat, lalu beliau
menatapnya dengan pandangan mata yang tajam selama sesaat, kemudian bersabda,
"Bagaimanakah menurutmu, apakah lelaki ini salat dengan sebenarnya?" Perawi
berkata, "Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, orang ini adalah penduduk Madinah
yang paling banyak mengerjakan salat'." Maka Rasulullah Saw. bersabda,
"Janganlah kamu memperdengarkan jawabanmu kepadanya, karena akan
membinasakannya (membuatnya bangga dan riya)!" Dan Rasul Saw. bersabda,
"Sesungguhnya Allah hanya menghendaki kemudahan belaka bagi umat ini, dan Dia
tidak menghendaki mereka kesulitan."
**********
Firman Allah Swt:
{يُرِيدُ
اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا
الْعِدَّةَ}
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan
bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya. (Al-Baqarah:
185)
Yakni sesungguhnya Aku memberikan keringanan kepada kalian boleh berbuka bagi
orang yang sakit dan yang sedang dalam perjalanan serta uzur lainnya, tiada lain
karena Aku menghendaki kemudahan bagi kalian. Dan sesungguhnya Aku memerintahkan
kalian untuk mengqadainya agar kalian menyempurnakan bilangan bulan Ramadan
kalian.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَلِتُكَبِّرُوا
اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ}
dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya.
(Al-Baqarah: 185)
Yakni agar kalian ingat kepada Allah di saat ibadah kalian selesai.
Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lainnya, yaitu
firman-Nya:
فَإِذا
قَضَيْتُمْ مَناسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آباءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ
ذِكْراً
Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berzikirlah
dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan)
nenek moyang kalian, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.
(Al-Baqarah: 200)
فَإِذا
قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian
beruntung. (Al-Jumu'ah: 10)
Dan firman Allah Swt.:
سَبِّحْ
بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ. وَمِنَ اللَّيْلِ
فَسَبِّحْهُ وَأَدْبارَ السُّجُودِ
Dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenam(nya). Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai
salat. (Qaf: 39-40)
Karena itulah maka disebutkan di dalam sunnah bahwa disunatkan membaca
tasbih, tahmid, dan takbir setiap sesudah mengerjakan salat lima waktu. Sahabat
Ibnu Abbas mengatakan, "Kami tidak mengetahui selesainya salat Nabi Saw.
melainkan melalui takbirnya."
Karena itulah banyak kalangan ulama yang mengatakan bahwa membaca takbir
disyariatkan dalam Hari Raya Idul Fitri atas dasar firman-Nya: Dan hendaklah
kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan-Nya kepada kalian. (Al-Baqarah: 185) Hingga Daud
ibnu Ali Al-Asbahani Az-Zahiri berpendapat wajib membaca takbir dalam Hari Raya
Idul Fitri berdasarkan makna lahiriah perintah yang terkandung di dalam
firman-Nya: dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepada kalian. (Al-Baqarah: 185)
Lain halnya dengan mazhab Imam Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa membaca
takbir dalam Hari Raya Fitri tidak disyariatkan. Sedangkan Imam lainnya
mengatakan sunat, tetapi masih ada perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam
sebagian cabang-cabangnya.
********
Firman Allah Swt.:
{وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ}
Supaya kalian bersyukur. (Al-Baqarah: 185)
Artinya, apabila kalian mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada
kalian (yakni taat kepada-Nya dan mengerjakan semua yang difardukan-Nya dan
meninggalkan semua apa yang diharamkan-Nya serta memelihara
batasan-batasan-Nya), barangkali kalian akan menjadi orang-orang yang bersyukur
kepada-Nya karena mengerjakan hal tersebut.
Tafsir Ibnu Katsir
0 Response to "Al-Baqoroh Ayat 185"
Posting Komentar